Pembuatan peta wilayah rawan banjir dapat dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa peta tematik. Peta-peta tematik ini harus mengandung informasi yang menjadi parameter dalam kejadian banjir di suatu wilayah, seperti data curah hujan, topografi, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Peta curah hujan berpengaruh karena biasanya bencana banjir terjadi pada saat curah hujan yang turun sangat tinggi. Peta jaringan sungai diperlukan karena biasanya wilayah dengan kerawanan banjir yang tinggi berada dekat dengan sungai. Sementara itu, peta topografi dan penggunaan lahan diperlukan karena biasanya wilayah yang rawan terhadap banjir adalah wilayah yang rendah dengan penggunaan lahan terbangun dengan intensitas tinggi. Jadi, jawaban yang tepat adalah E.
Oleh : Dr. Agung Setianto Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Indonesia yang terletak di antara 6° LU – 11° LS dan diantara 95° BT – 141° BT, telah memposisikan negara ini dalam posisi yang rawan bencana secara geologis. Dalam posisi ini Indonesia berada dalam wilayah perbenturan tiga lempeng kerak bumi yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng India Australia yang membawa dampak kerawanan Indonesia terhadap berbagai aktivitas seismic yang kuat dan intensif. Letak ini pun ternyata merupakan wilayah yang rawan bencana karena ternyata selain pertemuan lempeng benua, wilayah ini juga merupakan zone pertemuan dua jalur gempa yaitu jalur Sirkum Pasifik dan jalur gempa Alpide Transasiatic yang menyebabkan kerawanan terhadap aktivitas gempa bumi yang cukup tinggi dan tsunami apabila gempa tersebut terjadi dalam kekuatan yang besar dan pusat gempanya berada dalam jarak yang tidak jauh dari dasar laut. Keberadaan gunung berapi yang berderet hampir melingkari seluruh wilayah kepulauan di Indonesia telah menambah faktor kerawanan wilayah Indonesia. Selain itu kondisi iklim Indonesia dengan curah hujan yang tinggi dan juga musim kemarau yang cukup panjang juga sangat potensial untuk menghantarkan penduduk Indonesia pada bencana banjir, longsor dan kekeringan serta kelaparan. Kondisi sistem sosial yang sangat plural dalam berbagai dimensinya pun selain menjadi kekayaan yang sangat bernilai juga ternyata dapat mempertinggi kerawanan bencana sosial semacam konflik sosial, apabila tidak dikelola dengan baik. Umumnya bencana yang terjadi tersebut mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat, baik berupa korban jiwa manusia kerugian harta benda, maupun kerusakan lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai (BAKORNAS PBP, JAKARTA, 2002). Bencana yang beruntun menimpa tanah air kita, semakin meningkatkan kesadaran akan perlunya suatu sistim informasi kebencanaan yang berbasis data spasial. Sistim informasi spasial ini sangat diperlukan pada segala tahapan manajemen bencana, dari mulai aktifitas pra-bencana seperti studi tentang resiko suatu daerah terhadap suatu bencana dan penyusunan berbagai scenario bencana; aktifitas sesaat setelah bencana terjadi seperti pemetaan sebaran kerusakan dan kebutuhan pengungsi yang sangat diperlukan oleh para petugas dan relawan pemberi bantuan; sampai ke aktifitas rehabilitasi dan rekonstruksi suatu daerah pasca bencana. Dengan adanya sistim informasi spasial ini, maka keputusan akan dapat diambil lebih tahapan pada segala tahapan tersebut (Bakosurtanal, 2010).
Kejadian bencana alam merupakan kejadian yang tak beraturan dalam 3 (tiga) hal : (a) Frekuensi (Kapan?); (b) Lokasi (Dimana?); (c) Intensitas (Bagaimana?). Kejadian yang tak beraturan ini mengakibatkan bencana alam rumit untuk diramalkan, sehingga untuk mencegah, mengurangi, menghindari dan memulihkan diri dari dampak bencana perlu serangkaian kegiatan baik sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang disebut sebagai manajemen bencana alam (penanggulangan bencana). Pada masa lalu, manusia mengunakan paham Fatalism ketika berhadapan dengan bencana, yaitu “tidak ada yang dapat dilakukan melawan bencana-bencana, orang-orang harus hidup dengan dan menerima bencana”. Dimasa sekarang, manusia berusaha mengurangi kerugian nyawa dan harta jika terjadi bencana dengan persiapan sebelum bencana yang terukur dengan managemen bencana/resiko bencana. Secara umum kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana atau managemen bencana adalah sebagai berikut: pencegahan, pengurangan dampak bahaya, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi), dan pembangunan berkelanjutan yang mengurangi risiko bencana. Siklus penganggulangan bencana dapat ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1. Siklus penganggulangan bencana/manajemen bencana secara umum Pencegahan (prevention) adalah upaya yang dilakukan untuk menghilangkan sama sekali atau mengurangi ancaman. Mitigasi atau pengurangan (mitigation) merupakan upaya untuk mengurangi atau meredam risiko. Kegiatan mitigasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu fisik dan nonfisik. Kesiapsiagaan (preparedness) adalah upaya menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pada saat itu. Hal ini bertujuan agar warga mempunyai persiapan yang lebih baik untuk menghadapi bencana. Tanggap darurat (rescue and relief) dilakukan segera setelah bencana terjadi untuk mengurangi dampak bencana, seperti penyelamatan jiwa dan harta benda. Pemulihan (rehabilitation) adalah upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi hidup dan kehidupan masyarakat seperti semula atau lebih baik dibanding sebelum bencana terjadi melalui kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pembangunan berkelanjutan (recontruction) adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mempertimbangkan faktor risiko bencana sehingga masyarakat akan mampu mencegah, mengurangi, menghindari ancaman atau bahaya dan memulihkan diri dari dampak bencana. Belajar dari bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh, diperlukan kesiapan pengelolaan data dan informasi geospasial untuk meminimalkan kerugian dan mempercepat proses rehabilitasi dan rekontruksi pada areal terkena bencana. Informasi geospasial/spasial atau informasi bereferensi geografis memang telah banyak digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, managemen bencana, lingkungan, transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya. Tingkat pentingnya data spasial dalam siklus manajemen bencana digambarkan pada Tabel 1 elemen kunci manajemen bencana (Key elements of Disaster Management) oleh Worldbank, DMF & USAID. Tabel 1. Elemen Kunci Manajemen Bencana (Key elements of Disaster Management)
PP15/2010 membakukan skala-skala pemetaan. Skala minimum ditetapkan diterapkan untuk berbagai tingkat perencanaan yang berbeda sebagai berikut :
Dalam memilih sistem penginderaan jauh yang sesuai dengan tujuan peneraannya, maka perlu memahami adanya konsep resolusi. Resolusi sangat menentukan tingkat kerincian obyek, sifat signatur spektral, periode ulang untuk monitoring dan tampilan datanya. Empat resolusi, yaitu : (a) Resolusi spektral, (b) Resolusi spasial, (c) Resolusi temporal, dan (d) Resolusi radiometrik. Resolusi spasial mencerminkan rincian data tentang obyek yang dapat disadap dari suatu sistem penginderaan jauh, dalam bentuk ukuran obyek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan, dan dikenali pada citra, disebut pixel (picture element). Resolusi spektral menunjukkan kerincian spektrum elektromagnetik yang digunakan dalam suatu sistem penginderaan jauh. Resolusi temporal merupakan frekuensi perekaman ulang bagi daerah yang sama oleh suatu sistem penginderaan jauh, dan resolusi radiometrik menunjukkan kepekaan suatu sistem sensor terhadap perbedaan terkecil kekuatan sinyal yang sampai pada sensor tersebut. Data penginderaan jauh yang diperoleh dari satelit adalah teknik yang baik dalam pemetaan daerah bencana yang menggambarkan distribusi spasial pada suatu periode tertentu. Banyak satelit dengan perbedaan sistem sekarang ini, dengan karakteristik resolusi spasial, temporal, dan spektral tertentu. Data penginderaan jauh dapat direlasikan dengan data lain, sehingga dapat juga digunakan untuk penyajian data bencana. Metode perolehan data dapat dengan 2 cara, yaitu dengan interpretasi visual dan pengolahan citra digital seperti teknik klasifikasi. Managemen bencana memerlukan disiplin pengetahuan lain dan perlu integrasi. Melalui integrasi data dan disiplin bidang tertentu akan memperkuat SIG. Contoh aplikasi hasil integrasi tersebut antara lain :
Penggunaan data satelit untuk managemen bencana banyak mengunakan satelit sumberdaya (Earth Resource Satellites) dan satelit cuaca/meteorologi (meteorological satellites). Satelit sumberdaya dengan sistem orbit polar yang dapat digunakan, yaitu :
Sedangkan satelit meteorologi yang sering digunakan untuk aplikasi kebencanaan antara lain:
Dengan kemampuan merekam kejadian dan wilayah dengan tingkat kerincian dan kemampuan tertentu serta periode ulang tertentu maka data penginderaan jauh dapat digunakan dalam managemen bencana. Berdasar beberapa kemampuan penginderaan jauh dan SIG di atas yang digunakan dalam managemen bencana atau penanggulangan bencana, beberapa hal yang mendasar yang dapat disimpulkan dari integrasi tersebut, adalah :
Daftar Pustaka Burrough P.A., 1987, Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment, Clanderon Press Oxford London. INDEP, 2007, Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat, Yayasan IDEP, Bali Indonesia Jetten V., 2007, Spatial Modelling of Geohazard, Departement of Earth Systems Analysis ITC, Enchede, Netherland. Westen, C V., 2007, Geo-information for Disaster Management, Department Earth Systems Analysis International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation (ITC) ————, 2008. PP RI, NOMOR 21 TAHUN 2008, Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana ———–, 2010, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Informasi Geospasial. |