Akankah indonesia seperti suriah facebook

Akankah indonesia seperti suriah facebook
Pesan-pesan yang bermuatan radikalisme mudah diperoleh dari konten di situs online ataupun di media sosial. Anak-anak muda menjadi radikal atau bahkan bergabung dengan kelompok militan melalui ajakan di media sosial.

Akhir Februari lalu, tiga remaja perempuan Inggris pergi ke Suriah melalui Turki dengan melewati jalur darat. Dalam rekaman CCTV, siswi-siswi Akademi Bethnal Green ini tampak di stasiun bis hendak pergi ke Suriah.

Shamima Begum, berusia 15 tahun, Kadiza Sultana, 16 tahun, dan seorang lainnya yang tidak disebutkan namanya berusia umur 15 tahun, adalah murid sekolah Bethnal Green Academy, terbang menuju Turki dari bandara Gatwick, London, Selasa (17/02).

Kekhawatiran mereka bergabung dengan kelompok militan yang menyebut diri Negara Islam atau ISIS disampaikan oleh Pimpinan Kepolisian Metropolitan London, Richard Walton.

Kepolisian mendeteksi mereka melakukan komunikasi dengan salah seorang perempuan Inggris yang berada di Suriah Aqsa Mahmood melalui media sosial.

Aqsa meninggalkan kediamanannya di Glasgow Skotlandia, untuk bergabung dengan ISIS di Suriah pada 2013.

Sejak kemunculannya, ISIS menggunakan media sosial untuk menarik perhatian anak-anak muda. Pertama muncul dengan membuat video cuplikan film Flames of War, yang dikemas secara profesional dengan gaya film laga Hollywood, pada tahun lalu.

Belakangan, ISIS kerap mengunggah video-video pembunuhan para sandera mereka.

Pengunaan media sosial juga dilakukan oleh para pendukungnya. Di Indonesia, Santoso yang disebut memimpin jaringan Kelompok Mujahidin Indonesia Timur menyampaikan dukungan terhadap pimpinan ISIS Abu Bakar Al Bahgdadi melalui media sosial YouTube.

Aksinya diikuti oleh sejumlah orang Indonesia yang mengaku berada di wilayah kekuasaan ISIS, Irak serta Suriah, dan mengajak masyarakat untuk ikut 'berjihad' bersama ISIS di negara tersebut.

Peneliti masalah terorisme darn direktur Institute for Policy Analysis of Conflict IPAC Sydney Jones dalam wawancara dengan BBC Indonesia pada Oktober lalu, mengatakan kelompok Santoso lebih menggunakan media sosial sebagai alat propaganda.

"Kekuatan propaganda Santoso melalui media sosial melalui Twitter, Facebook dan YouTube jauh lebih besar dibandingkan kekuatan dia di Poso," jelas Sydney.

Sydney menilai ancaman kelompok Santoso terhadap keamanan tidak begitu serius, tetapi pengaruhnya melalui media sosial ini menjangkau sejumlah daerah antara lain Solo, Medan, Makassar, dan Bima.

Regulasi baru Kominfo

Pengguna media sosial di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia, dengan pengguna aktif Facebook lebih dari 70 juta orang.

Pemerintah mengatakan baru dapat melakukan pencegahan ataupun pemblokiran terhadap situs jika ada pengaduan dari masyarakat. Dan sejauh ini, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengaku tidak mengetahui apakah ada pengaduan masyarakat mengenai konten radikal.

Rudiantara mengatakan pemerintah akan mengeluarkan regulasi untuk mencegah penyebaran konten-konten yang melanggar hukum, termasuk yang berisi radikalisme dan penyebaran kebencian dalam waktu dekat.

Regulasi baru itu, akan memberikan wewenang kepada panel yang berisi tokoh-tokoh masyarakat, untuk mengkaji pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan konten online.

"Targetnya Maret ini, jadi akan dibuat beberapa panel yang berisi pakar dan tokoh masyarakat yang paham dengan bidangnya, seperti kekerasan terhadap anak, konten radikal dan penyebaran kebencian ataupun juga pornografi," kata Rudiantara, "Mereka yang akan mengkaji pengaduan masyarakat yang disampaikan melalui kominfo".

Rudiantara mengatakan rekomendasi panel itu yang menjadi dasar bagi Kementerian Kominfo untuk memblokir, membatasi situs tersebut. Tetapi Rudiantara mengakui, kebijakan tersebut sulit untuk dilakukan terhadap akun-akun atas nama pribadi.

Sumber : http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2015/03/150301_radikalisme_anakmuda_sosmed

Hampir setengah dari populasi dunia memiliki smartphone (ponsel pintar). Bagi mereka yang tinggal di zona konflik, atau mengalami pelanggaran hak asasi manusia, perangkat ini sangatlah penting. Perangkat ini membantu masyarakat awam merekam dan membagikan bukti kekejaman yang mereka saksikan – memperingatkan dunia tentang keadaan buruk yang sedang terjadi, dan menuntut pertanggungjawaban atas berbagai kejahatan kemanusiaan di sekitar mereka.

Namun, setelah mereka mengunggah bukti digital penting di platform media sosial, mereka kerap mendapati unggahan mereka disensor dan dihapus secara permanen.

Perusahaan seperti Facebook – yang kini korporasi induknya dinamai “Meta” – memang tidak memiliki kewajiban untuk menyimpan bukti semacam itu, dan di sisi lain mereka juga telah dituduh terburu-buru memoderasi konten secara ad hoc, dan terkadang secara tidak konsisten.

Human Rights Watch sendiri menyebut kekejaman di seluruh dunia sebagai “new normal” di era modern. Oleh karena itu, kita perlu segera menciptakan sistem di mana masyarakat di seluruh dunia dapat menjaga, membagi, dan mempublikasikan bukti digital kekejaman tanpa takut akan pembalasan atau sensor.

Akankah indonesia seperti suriah facebook

Para pengunjuk rasa di Yangon, ibu kota Myanmar, mengunggah bukti kekejaman yang mereka saksikan. Sipa US/Alamy

Kejadian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perusahaan media sosial tidak dapat dipercaya untuk menjaga bukti digital terkait tindak kekejaman.

Kita bisa ambil contoh dari peran Facebook di Myanmar. Facebook telah memblokir akun yang terafiliasi dengan militer Myanmar sebagai respons terhadap kudeta Februari 2021.


Read more: Kudeta Myanmar: militer kembali berkuasa, membuat demokrasi Myanmar semakin rapuh


Facebook sendiri telah mengakui “keterlambatan mereka untuk bertindak” atas kasus Myanmar, meski perusahaan itu mengaku telah mengembangkan teknologi yang lebih baik dan kini mempekerjakan lebih banyak peninjau konten untuk mencegah penyebaran kebencian di negara tersebut.

Penyensoran yang subjektif ini tidak hanya terjadi di Myanmar.

Dalam konflik terkini antara Gaza dan Israel, Facebook membungkam pandangan kritis, memblokir akun editor di kantor berita Shehab News yang berbasis di Gaza. YouTube juga telah dituduh secara rutin menghapus bukti atas kekejaman selama gelombang revolusi Arab (Arab Spring) pada awal 2010-an dan juga perang saudara Suriah.

Konten tersebut telah secara salah ditandai oleh algoritme dan dianggap melanggar pedoman YouTube. Kesalahan ini diakui oleh Google – perusahaan induk Youtube – yang mengatakan bahwa “algoritme tidak selalu benar”, namun tetap menganggap insiden seperti ini “sangat serius”.

Untuk mengatasi masalah ini, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHRC) dalam beberapa tahun terakhir telah membentuk mekanisme untuk mengumpulkan, memperkuat, menjaga, dan menganalisis bukti yang berkaitan dengan kejahatan internasional yang serius. Untuk Suriah, upaya ini disebut IIIM dan untuk Myanmar disebut IIMM.

Mekanisme khusus ini telah mengadopsi pendekatan media tradisional, di mana penyelidik yang berpengalaman secara strategis memilih individu dan mengurai bukti dari mereka. Materi dipilih berdasarkan kekuatannya untuk digunakan sebagai bukti dalam proses pengadilan di masa depan, di mana pelaku kekejaman dapat dimintai pertanggungjawaban.

Di tempat lain, organisasi jurnalisme masyarakat global seperti Bellingcat menggunakan pendekatan yang berbeda. Mereka mengumpulkan bukti dari berbagai platform media sosial dan menggunakan jaringan sukarelawan untuk menganalisis dan menyelidikinya.

Sebagai contoh, Bellingcat berperan di balik pembukaan kedok laki-laki Rusia yang dituduh meracuni Sergei Skripal, seorang agen ganda yang bekerja untuk intelejen Ingrris, dan juga putrinya Yulia di kota Salisbury, Inggris pada tahun 2018.

Sistem yang cacat

Meski baik, pendekatan seperti ini memiliki kekurangan. Salah satunya adalah bahwa sifatnya terpusat. Hal ini meningkatkan risiko bahwa identitas warga negara dapat terungkap (melalui peretasan, misalnya) yang sering membuat orang enggan untuk maju dan memberikan bukti tindak kekejaman.

Sistem investigasi yang terpusat juga rentan terhadap kompromi, subjektivitas, diskriminasi, atau bahkan kehancuran data.

Perangkat komputer yang berisi bukti dari pelapor Edward Snowden, misalnya, dihancurkan oleh media The Guardian, di bawah pengawasan pejabat dari badan intelijen Inggris (GCHQ) pada tahun 2013. Baru-baru ini, angkatan bersenjata Israel mengebom kantor Associated Press dan Al Jazeera di Gaza pada Mei 2021, menghancurkan semua bukti yang disimpan oleh kantor tersebut.

Jelas bahwa kita membutuhkan platform terdesentralisasi, tanpa penjaga gerbang atau potensi kegagalan tunggal, untuk melestarikan bukti digital kekejaman orang dengan baik. Ini bisa dikatakan mirip dengan Wikipedia: sifatnya terdistribusi dan tidak berada di bawah kendali langsung oleh siapa pun.

Namun, tidak seperti Wikipedia, platform semacam itu harus dapat menjamin anonimitas untuk melindungi warga dari paparan dan pembalasan di masa depan.

Setelah bukti diunggah, bukti tersebut perlu diberi stempel waktu dan dibuat tidak dapat diubah, sehingga tidak seorang pun (termasuk penyedia bukti) dapat mengedit atau menghapus bukti tersebut. Platform itu sendiri juga harus tahan terhadap segala bentuk serangan siber, sehingga tidak dapat ditutup (take down). Semua ini membutuhkan keterlibatan teknologi baru.

Pelestarian bukti yang kuat

Membuat situs web yang terdistribusi sebenarnya relatif mudah.

Situs web konvensional menggunakan apa yang disebut hypertext transfer protocol (HTTP), yang menyimpan file situs web di server pusat atau komputer. Tetapi ada alternatif, seperti protokol peer-to-peer (seperti IPFS, misalnya) yang memungkinkan file situs web disimpan di banyak komputer. Ini berarti tidak ada otoritas yang bisa menutupnya. Demikian pula, IPFS juga dapat digunakan untuk menyimpan file terkait bukti secara terdistribusi dan terdesentralisasi.

Membuat proses pembagian bukti tindak kekejaman yang bersifat anonim, hanya membutuhkan situs web yang terintegrasi dengan semacam portal unggahan bukti yang didukung oleh Tor – teknologi ini membuat perangkat lunak yang terbuka dan gratis untuk komunikasi anonim. Outlet berita seperti The Guardian dan New York Times, misalnya, sudah menggunakan Tor untuk pembagian file anonim. Warga juga harus didorong untuk menggunakan browser anonim Tor untuk melindungi diri dari pelacakan perusahaan dan pengawasan pemerintah.

Terakhir, tidak seperti sistem terpusat, bukti yang diunggah secara anonim ke sistem file terdistribusi (IPFS) ini harus tetap dibuat tidak boleh diubah dan tidak dapat dihancurkan.

Hal ini dapat dicapai dengan melibatkan jaringan blockchain, yang merupakan teknologi di balik mata uang kripto.

Blockchain adalah sistem pencatatan atau sistem data terdistribusi yang terbuka, di mana salinan catatan yang selalu diperbarui tersedia untuk semua pemangku kepentingan, dan dapat diakses setiap saat di seluruh dunia. Hal ini membuat hampir tidak mungkin bagi satu orang atau perusahaan untuk meretas catatan aktivitas semua orang, sehingga memastikan keamanan terhadap serangan siber. Data ini menyimpan data transaksi mata uang kripto – tetapi blockchain juga dapat menyimpan bukti digital.

Melawan ketidakadilan dan kekejaman

Situs web untuk mengirim bukti-bukti yang kami usulkan ini memberikan kesempatan kepada korban dan saksi untuk mengunggah bukti mereka ketika krisis terjadi, dan jika situasinya mendukung, data tersebut dapat digunakan oleh jurnalis investigasi atau oleh penuntut umum di Mahkamah Internasional.

Situs web semacam itu akan memberdayakan masyarakat awam dan pelapor untuk melawan ketidakadilan dan kekejaman.

Pada saat yang sama, penyebarannya akan memberikan tekanan psikologis pada pelaku, yang lambat laun akan mengetahui bahwa ada bukti kejahatan mereka yang tidak dapat dihancurkan, diubah, atau dibatalkan. Pergeseran kekuasaan dan pola pikir ini dapat merombak hubungan antara penindas dan yang tertindas, memutar balik makna “new normal” atas kekejaman yang telah terjadi di seluruh dunia.


Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.