6 mengapa prinsip dari Islam transnasional tidak mudah di terima oleh masyarakat Indonesia

BLAJ-Ideologi transnasional seperti Salafi dan Syiah  di Indonesia sebenarnya bukan hanya ajaran keagamaan saja, tapi lebih kepada kepada gerakan-gerakan atau ideologi Islam politik, dan erat kaitannya  dengan gejolak politik yang terjadi di Timur Tengah.  Hal ini dikatakan Ali Muhtarom, penulis buku "Ideologi dan Lembaga Pendidikan Islam Transnasional di Indonesia" dalam kegiatan bedah buku  yang membahas buku tulisannya  di Bekasi, Rabu (16/09) lalu.   

“Dalam buku ini saya ingin memberikan pemahaman kepada masyarakat Indonesia secara umum bahwa pemahaman mengenai Salafi dan Syiah  sebenarnya harus dipahami secara lebih jernih, dalam konteks geopolitik dan geostrategi. Terutama konflik antara Iran dan Arab Saudi yang  sudah mulai itu terjadi pasca  revolusi Iran.  Hingga mempengaruhi gejolak-gejolak di Timur Tengah yang hari ini terjadi, terutama di Yaman dan Suriah. Nah, hal-hal seperti ini ketika terjadi di Indonesia akhirnya menjadi isu ideology.  Padahal di Timur Tengah yang terjadi adalah isu politik, bukan agama” ujar  Ali Muhtarom yang juga  Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. 

Meski demikian, Muhtarom mengingatkan ideologi transnasional terkadang  memberikan narasi-narasi yang membuat gamang masyarakat Indonesia untuk meyakini Pancasila sebagai dasar negara. Menurutnya, ideologi transnasional tersebut bisa menggerus ideologi bangsa ini.  

“Jadi perlunya pendidik atau guru di pendidikan madrasah atau lembaga pendidikan Islam secara umum  memahami literasi keislaman yang lebih luas. Pemahaman kebangsaan, literasi kebangsaan, dan  historis berdirinya bangsa ini juga perlu sekali dipahami oleh guru. Sehingga tidak mudah terpengaruh dengan ideologi-ideologi impor tersebut,” tegas Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini. 

Sedangkan akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Khamami Zada yang menjadi pembedah dalam kegiatan ini mengatakan buku "Ideologi dan Lembaga Pendidikan Islam Transnasional di Indonesia" memiliki  banyak data yang bagus sebagai rujukan penelitian.  Buku ini juga bisa membaca potret kawasan dalam pengertian  geopolitik di Timur Tengah. Tidak hanya memotret skala kecilnya di perguruan tinggi Islam saja, tapi masuk ke ranah politik kawasan. 

“Saya terkesan dengan buku ini karena penulisnya mampu membawa perdebatan ditingkat global.  Namun kritik saya adalah detail tentang Libya, Iran, Suadi Arabia juga perlu dilacak lebih serius sehingga keterhubungan dengan gerakan di Indonesia bisa terlihat. Terutama aktifitas alumni-alumninya, ini yang belum dibidik dalam buku ini,” kata  Khamami Zada. 

Menurut Khamami Zada  di Indonesia  banyak karakter lembaga pendidikan Islam yang selalu dikaitkan dengan ideologi agama. Karena pendiri lembaga pendidikan ini yang nantinya akan mewarnai ideologi santri atau peserta didiknya, sehingga hal ini menjadi semacam perantara atau kaderisasi ideologi keagamaan. 

“Menurut saya ini warning bagi pemerintah, bila ideologinya ini kemudian tidak bisa atau tidak mau beradaptasi dengan ideologi Indonesia. Bisa berbahaya kalau mereka dibebaskan untuk mengkreasi ideloginya tanpa ada pembatasan dari pemerintah. Artinya, semua pendidikan di Indonesia itu harus masuk dalam ranah ideologi negara. Bila ada lembaga pendidikan agama yang keluar dari ideologi negara,  ya harus ditangani.  Di Arab Suadi pun bila ada  faham yang bertentangan dengan ideologi juga dibatasi atau malah dilarang,” tuturnya. 

Hal senada juga dikatakan Kepala Balai Litbang Agama Jakarta Nurudin. Menurutnya, guru agama memiliki peran yang sangat strategis untuk membendung maraknya ideologi transnasional yang masuk di Indonesia melalui lembaga pendidikan. Para guru ini harus punya pengetahuan yang cukup tentang pemikiran keagamaan yang berkembang di masyarakat. 

“Pemerintah juga harus membuat parameter tentang apa yang harus dipelajari guru agama, sehingga apa yang disampaikan kepada para siswa atau peserta didik bisa tetap sesuai dengan arah tujuan bangsa yang berideologi Pancasila ini,” kata Nurudin. “Saya berharap, usai bedah buku ini ditemukan sejumlah rekomendasi yang bisa diberikan kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti dalam rumusan kebijakan dalam rangka perbaikan pengelolaan pendidikan secara nasional,” harapnya.

Kegiatan Bedah Buku yang dilakukan Balai Litbang Agama Jakarta ini juga mengundang Anggota Ombudsman RI Ahmad Suaedy sebagai narasumber yang hadir secara daring. Sedangkan kehadiran peserta di tempat kegiatan sangat dibatasi sesuai anjuran pemerintah dalam mencegah penyebaran Covid-19. 

Teks: Aris W Nuraharjo/ Foto: Heri Setiawan

Sumber :

Penulis : Aris W Nuraharjo

Editor : Aris W Nuraharjo

Ilustrasi menjaga kebinekaan dan NKRI.

Jakarta - Kehadiran gerakan keagamaan transnasional di Tanah Air selama beberapa dekade terakhir harus diwaspadai dan diambil tindakan oleh pemerintah dan aparat keamanan. Sebab, kehadiran mereka secara nyata ingin mengganti bentuk dan dasar negara Pancasila.“

Selama satu dekade terakhir, kehadiran dan eksistensi mereka semakin kuat dan signifikan,” ujar Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz, Jumat (28/4).

Menurutnya, dengan menggunakan strategi politik nonkekerasan, gerakan ini relatif dapat diterima di ruang kekosongan ideologis sebagian masyarakat Indonesia. Gerakan tersebut secara nyata ingin menghidupkan khilafah di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan terutama melalui dunia pendidikan. Tidak hanya melakukan infiltrasi ideologis di kampus, mereka juga mulai menyasar siswa SD hingga SMA.

“Gerakan ini secara tegas merupakan ancaman nyata bagi ketahanan ideologis bangsa ini. Apalagi disinyalir mulai merasuki aparat pemerintahan,” jelasnya.

Strategi gerakan ini adalah menggunakan politik nirkekerasan. Mereka lebih banyak mengandalkan perubahan pola pikir masyarakat Indonesia melalui dunia pendidikan dan ceramah-ceramah keagamaan.

“Mereka mengkampanyekan ide khilafah Islam melalui dunia sekolah dan kampus. Di sekolah, mereka menginfiltrasi para guru dan kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan di kampus mereka menciptakan organisasi dan gerakan mahasiswa,” paparnya.

Oleh karenanya, pemerintah wajib memperkuat keberadaan ormas-ormas pembela ideologi Pancasila, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah agar berperan lebih aktif di kalangan masyarakat luas untuk meneguhkan Pancasila sebagai ideologi negara dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagi kedua ormas ini, tambahnya, Pancasila dan NKRI adalah sesuatu yang telah final dan tak dapat diganggu gugat, apalagi ditukar dengan ideologi lain semacam khilafah.

Selain itu, lanjutnya, kampus dan sekolah-sekolah negeri yang berada di bawah koordinasi pemerintah harus secara aktif menghalau gerakan ini dan mempersempit ruang geraknya di kampus dan sekolah. Untuk itu kampus dan sekolah harus memiliki kebijakan internal untuk memperkuat ideologi Pancasila.

Abdullah Darraz mengungkapkan, kelompok pengusung khilafah ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok ini telah menyebarkan ideologi khilafah di hampir 45 negara di Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Asia. Keberadaannya secara politik bertujuan untuk menyatukan negara-negara Islam dan negara-negara dengan penduduk muslim dalam satu entitas politik yang disebut khilafah.

Terkait hal itu, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif mengatakan, HTI adalah sebuah badan hukum yang disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM.

“Semestinya Menteri Hukum dan HAM yang sekarang harus berani mencabutnya kembali. Karena tujuannya jelas-jelas ingin membentuk negara baru di Indonesia,” katanya.

Dia menilai, kelemahan pemerintah selama ini adalah seperti membiarkan gerakan transnasional ini makin membesar dan meresahkan masyarakat luas.

Secara terpisah, Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga angkat bicara soal HTI yang mengusung konsep khilafah. Belakangan ini, kegiatan HTI di sejumlah daerah batal digelar karena tidak ada Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) oleh polisi.
Salah satu yang batal digelar itu adalah agenda HTI yang mengangkat tema “Khilafah Kewajiban Syar’i Jalan Kebangkitan Umat” yang semula akan digelar di Jakarta pada Minggu (23/4). “Kita memang tidak keluarkan izin STTP-nya, karena banyak potensi konfliknya. Jadi lebih baik kita larang,” kata Tito, di Mabes Polri, Jumat (28/4).

Dia menegaskan, STTP tidak dikeluarkan bukan karena instruksi Mabes Polri, tetapi ada keberatan dari banyak pihak. “Karena banyak ancaman dari berbagai pihak yang tidak suka, atau yang anti. Mereka yang menolak HTI beralasan gerakan itu tidak sesuai dengan NKRI dan Pancasila. Polisi tugasnya untuk mencegah konflik,” lanjut Tito.

Kapolri menegaskan, siap menindaklanjuti jika ada laporan adanya gerakan yang mengancam NKRI dan Pancasila. “Yang pasti siapa pun yang mencoba merongrong atau mengganggu NKRI tentu harus ditindak tegas,” ujar.

Terkait perekrutan HTI di kampus-kampus, Tito menilai, hal itu indikasi yang bisa dianggap berbahaya. “Sedang kita bicarakan. Kalau seandainya itu dilakukan (menegakkan) khilafah, ya itu bertentangan dengan ideologi pancasila,” tandasnya.
Disinggung kemungkinan HTI dilarang secara permanen, Kapolri menjawab, “Sedang dibicarakan di Polhukam.”

Revisi UU Ormas
Sementara itu, pengamat sosial politik Yudi Latif mengungkapkan perlu langkah tegas dari pemerintah dan masyarakat mencegah berbagai gerakan yang ingin mengubah bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara khilafah. Langkah jangka pendek, pertama, menindak tegas kelompok atau ormas yang mengkampanyekan atau mempropagandakan gerakan ini.

“Jangan ada loyalitas ganda dari aparat penegak hukum, mereka harus tegak lurus dengan Pancasila, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangannya. Mereka juga tidak boleh kompromi dengan kelompok ini hanya demi kepentingan sesaat saja. Karena ada juga elemen di dalam kekuasaan yang bermain-main dengan kelompok atau ormas-ormas tersebut demi kepentingan sesaat,” ungkap dia.

Kedua, perlu revisi UU Ormas yang hanya memberikan definisi sempit terhadap golongan atau ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila. Menurut Yudi, kualifikasi “bertentangan dengan Pancasila” terlalu sempit, yaitu komunisme dan ateisme.
“Padahal, banyak sekarang kelompok yang bertentangan dengan Pancasila, yang berdasarkan ideologi agama-agama tertentu, tidak hanya ateisme atau komunisme,” imbuh dia.

Sementara langkah jangka panjang, menurut dia adalah pendidikan Pancasila dan kebangsaan yang ditanamkan, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal. “Pendidikan Pancasila dan kebangsaan harus mendapat tempat utama di sekolah-sekolah atau kampus sehingga siswa dan mahasiswa bisa mengetahui apa itu dasar atau bentuk negara kita, nilai-nilai terkandung di dalamnya dan bisa menghargai keberagaman,” terang dia.

Yudi juga berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, harus bisa memastikan sekolah dan kampus-kampus tidak menjadi tempat pembibitan gerakan atau kelompok radikal atau yang mengkampanye ganti bentuk negara. “Gerakan semacam ini tidak muncul seketika, tetapi melalui proses yang panjang yang diawali dengan pembibitan. Dan sayangnya, pembibitan ini dilakukan juga di kampus-kampus bahkan kampus-kampus negeri. Ini perlu tindak tegas terhadap kampus yang bersangkutan dan juga mahasiswa yang terlibat dalam gerakan-gerakan seperti itu,” tutur dia.

Yudi juga berharap NU dan Muhammadiyah sebagai representasi ormas Islam di Indonesia, untuk “mengambil alih” masjid-masjid, khususnya di kampus dan kampung-kampung yang dikuasai kelompok radikal. “Mereka harus mampu mengendalikan dan menggembalakan umat melalui nilai-nilai Islam yang menyejukkan, mendamaikan dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dari Fraksi PDI-P, Hamka Haq. Menurutnya, gerakan yang ingin membentuk khilafah jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila.

Dia menyayangkan belum semua daerah aparat keamanan bertindak tegas terhadap kehadiran dan kegiatan ormas-ormas yang mengusung gagasan khilafah. “Sekarang, mereka berani berkoar di depan aparat, dan dibiarkan. Saya tak habis pikir itu kenapa bisa,” kata Hamka.

Dijelaskan, kelompok ini memanfaatkan demokrasi, khususnya soal kebebasan berpendapat. Sayangnya, mereka memanfaatkan demokrasi untuk tujuan menghancurkan negara.

Secara khusus, dia meminta ormas keagamaan yang memegang teguh NKRI dan Pancasila untuk bersama-sama menghadapi ancaman kelompok yang ingin mendirikan negara khilafah.

Sedangkan, Presidium Nasional PENA'98 (Persatuan Nasional Aktivis 1998) Yahdi Basma menegaskan, Indonesia telah kokoh dengan fondasi Pancasila sebagai penopang kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Karena itu, aksi-aksi radikalisme dan ekstremisme yang kembali menggejala, bahkan merangsek ke segmen generasi muda dan mahasiswa, patut kita cermati bersama dan secara komprehensif mengantisipasinya,” tegas Yahdi, yang juga anggota Komisi III DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) ini.

Dikatakan, sentimen agama, ras dan antargolongan (SARA) kerap dijadikan jubah politik para kelompok radikalis. Oleh karenanya, negara dan semua kekuatan masyarakat sipil, wajib melawan dan menindak tegas kelompok yg mengkampanyekan isu khilafah di Indonesia.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini

Sumber: Suara Pembaruan


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA