Walisongo merupakan contoh konkret keberhasilan dakwah di Pulau Jawa

Sejarah Walisongo

Istilah wali berasal dari bahasa Arab yaitu waliyullah (wali Allah) yang bisa juga diartikan sebagai orang yang dekat dengan Allah, pembantu, penolong dan pemimpin. Bentuk  pluralnya adalah auliya’. Al-Qur’an menyifati para wali Allah sebagai orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Tidak adak kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Walisongo disini diartikan sekumpulan orang (semacam dewan dakwah) yang dianggap memiliki hak untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Islam di bumi Nusantara pada zamannya. Walisongo dalam bahasa Jawa memiliki arti “sembilan wali”. Kata “wali” menurut istilah ialah sebutan bagi orang-orang Islam yang dianggap keramat, penyebar agama Islam, mereka dianggap “kekasih Allah”, orang-orang yang dekat dengan Allah, dikaruniai tenaga ghaib, mempunyai kekuatan-kekuatan batin yang sangat berlebih, mempunyai ilmu yang sangat tinggi, dan sakti.

Dari berbagai pendapat tersebut, yang paling kuat adalah berdasarkan istilah dan fakta sejarah, yaitu bahwa Walisongo adalah sebuah dewan dakwah, dewan mubaligh, organisasi ulama dalam bentuk lembaga dakwah para wali yang berjumlah sembilan. Para Walisongo merupakan pembaharu masyarakat pada masanya.

Pengaruh Walisongo sangat  terasa dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat jawa mulai dari perniagaan, pelayaran dan perikanan, bercocok tanam dan persawahan, pengobatan, kebudayaan, kesenian, pendidikan, kemasyarakatan, hingga kedalam masalah aqidah, politik, militer, hukum, dan pemerintahan di kerajaan-kerajaan Islam. Oleh sebab itu dalam tulisan ini akan membahas beberapa hal tentang bagaimana sejarah Walisongo, strategi dakwah yang digunakan, serta peninggalan-peninggalan mereka yang sampai saat ini masih terjaga.

Dengarkan versi audionya di Podcast Banawa Sekar Academia di sini.

Strategi Dakwah Walisongo

Keberhasilan dakwah para Walisongo tentu juga tidak terlepas dari strategi yang mereka aplikasikan dalam pelaksanaan di lapangan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa strategi dakwah para Walisongo tidak terlepas dari strategi dan metode yang digunakan oleh tokoh-tokoh khusus seperti pemimpin, orang terpandang dan terkemuka dalam masyarakat seperti para bupati, adipati, raja-raja ataupun para bangsaan lainnya. Berbagai strategi telah dilakukan, diantaranya adalah:

1. Pembagian Wilayah Daerah.

Para wali meskipun hidupnya tidak sezaman, tetapi dalam pemilihan dakwahnya tidak sembarangan. Penentuan tempat dakwahnya dipertimbangkan pula dengan faktor strategi yang sesuai dengan kondisi zamannya. Jika kita perhatikan dari kesembilan wali dalam pembagian wilayah kerjanya ternyata mempunyai dasar pertimbangan geostrategis yang mapan. Kesembilan wali tersebut membagi kerjanya dengan rasio 5:3:1. Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Disini ditempatkan 5 Wali, dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis mengambil wilayah dakwah Gresik. Setelah Maulana Malik Ibrahim wafat wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke Utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu. Jika diperhatikan posisi wilayah yang dijadikan basis dakwah kelima wali tersebut, kesemuanya mengambil tempat kota bandar perdagangan atau pelabuhan. Pengambilan posisi pantai ini adalah ciri Islam sebagai ajaran yang disampaikan oleh para da’i yang mempunyai profesi pedagang. Berkumpulnya lima wali di Jawa Timur adalah karena kekuasaan politik saat itu berpusat di wilayah ini. Kerajaan Kadiri di Kediri dan Majapahit di Mojokerto. Pengambilan posisi di pantai ini, sekaligus melayani atau berhubungan dengan pedagang rempah-rempah di Indonesia Timur. Sekaligus juga berhubungan dengan pedagang beras dan palawija lainnya, yang datang dari pedalaman wilayah kekuasaan Kediri dan Majapahit.

2. Pendekatan Kekeluargaan.

Pendekatan ini merupakan dakwah melalui jalur keluarga atau perkawinan. Sunan Ampel misalnya, putri beliau yang bernama Dewi Murthosiyah dikawinkan dengan Raden Patah (Bupati Demak), Putri Sunan Ampel yang bernama Alawiyah dikawinkan dengan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

3. Pendidikan.

Cara ini dilakukan untuk mengembangkan pendidikan pesantren yang mula-mula dirintis oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah suatu model pendidikan Islam yang mengambil bentuk pendidikan biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta dan biksu dalam mengajar dan belajar. Oleh sebab itu, pesantren di masa itu pengaruhnya masih terlihat sampai saat ini.

4. Melalui Jalur Politik.

Dalam mengembangkan dakwah islamiyah di tanah Jawa para wali menggunakan sarana politik untuk mencapai tujuannya. Berangkat dari pemikiran ini, maka kehadiran keraton Demak tidak mungkin diabaikan begitu saja peranannya dalam sejarah penyebaran Islam pada masa itu. Pentingnya kekuasan politik bagi kelangsungan dakwah ini tentunya didasari oleh para Walisongo, sehingga tidaklah mengherankan kalau mereka juga banyak terlibat dalam percaturan politik ini. Dimanfaatkannya jalur kekuasaan dalam dakwah dapat dilihat juga pada proses pendirian masjid Demak. Masjid ini adalah masjid yang didirikan bersama oleh para wali sebagai pusat dakwah mereka. Namun tidak seperti pada umumnya, masjid ini tidak dikelola oleh seorang wali. Masjid Demak merupakan masjid keraton yang pengelolaannya langsung di bawah penguasaan sultan bertahta. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pusat dakwah Walisongo tidak di tempat salah seorang wali atau pun masing-masing wali, tetapi di pusat kekuasaan politik yaitu keraton.

5. Menggunakan Pendekatan Humanis.

Hal pertama yang dilakukan Walisongo adalah memahami sosial budaya masyarakat Jawa. Walisongo membaur dengan masyarakat yang kala itu sebagian besar masih beragama Hindu Budha. Setelah tatanan sosial masyarakat dipahami, kemudian Walisongo mencari cara bagaimana caranya agar masyarakat dapat menerima agama Islam dengan ikhlas tanpa kekecewaan, tanpa menyimpan rasa dendam kepada penyebar agama Islam. Kalaupun ada masyarakat yang mau menerima Islam sebagai agamanya, orang tersebut tetap baik terhadap orang yang tidak masuk agama Islam. Agama merupakan hal yang fundamental bagi pribadi seorang manusia. Jika misi Walisongo tidak hati-hati dalam menyebarkan agama Islam, maka hasilnya justru masyarakat Hindu Budha berbalik menyerang atau memeranginya, karena merasa terusik dengan adanya agama baru yang datang. Peran Walisongo dalam menyebarkan agama Islam secara damai, tidak terlepas dari nilai-nilai toleransi yang dijunjung tinggi. Walisongo menyemai sikap-sikap toleransi masyarakat dengan media kreatif yang dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu contoh konkrit bentuk kreatifitas pendidikan Walisongo adalah inisiatif yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dalam menggunakan Wayang sebagai media dakwah. Pada awalnya, Wayang dianggap haram karena berbentuk gambar yang menyerupai manusia. Dengan kreatif, Sunan Kalijaga merubah bentuk Wayang dengan memodifikasinya agar tidak persis menyerupai manusia, seperti ukuran tangan yang lebih panjang dari ukuran kaki, kepalanya dibuat menyerupai binatang agar tidak serupa dengan manusia. Usulan Walisongo tersebut diterima oleh dewan Wali, yang akhirnya mendukung strategi pendidikan Sunan Kalijaga yang menggunakan pendekatan Seni Budaya, salah satunya adalah dengan seni pertunjukan Wayang yang alur ceritanya dimasukkan pokok-pokok akidah.

Profil Walisongo

1. Raden Rahmat (Sunan Ampel)

Raden Rahmat adalah putra Maulana Malik Ibrahim. Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan  pesantren di Ampel Denta, Surabaya. Diantara pemuda yang dididik disitu tercatat antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintara, Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri dan dikenal sebagai Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishak.

Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana. Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya (Raja Majapahit) menjadi murid Sunan Ampel. Sunan Ampel tercatat sebagai perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali lain.

2. Raden Paku (Sunan Giri)

Raden Paku merupakan putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Kebesaran Sunan Giri terlihat antara lain sebagai anggota dewan Walisongo. Nama Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Ia adalah wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya negara  serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit sebagai penasihat militer. Sunan Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan barang dagangan kepada rakyat Banjar yang sedang dilanda musibah. Beliau pernah bertafakkur di goa sunyi selama 40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah. Usai bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang dibawahi dari negeri Pasai melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang dinamakan pesantren Giri. Tidak berselang lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren tersebut terkenaldi seluruh Nusantara. Sunan Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik di Jawa atau nusantara baik dilakukannya sendiri waktu muda melalui berdagang bersama muridnya. Beliau juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang bernafas Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-lain.

3. Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Beliau merupakan putra Sunan Ampel. Beliau diperkirakan lahir tahun 1465 M di ampel dari seorang perempuan bernama Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid. Beliau dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam  rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah. Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan  masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat); gamelan yang mengirinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M.

4. Syarifuddin Hasyim (Sunan Drajat)

Nama lengkap beliau adalah Syarifuddin Hasyim, ada juga yang memanggilnya Raden Qosim. Beliau merupakan putra dari  Sunan Ampel. Sunan Drajat adalah seorang Waliyullah yang memiliki sifat sosial. Di dalam menjalankan agama dan dakwah Islamiah, beliau tidak segan-segan membantu rakyat yang sengsara, anak-anak yatim piatu, orang sakit dan membantu fakir dan miskin. Sikap hidup yang dicontohkan Sunan Drajat tidak ketinggalan Beliau adalah pencipta gending pengkur. Sikap hidup yang dicontohkan Sunan Drajat adalah agar pengikutnya dapat mengambil suri tauladan yang dilakukan oleh seorang Muslim, sebab Islam menganjurkan pengikutnya untuk berbuat serupa yaitu ajaran kolektifisme, yaitu ajaran untuk gotong royong, hidup rukun, saling tolong-menolong dimana yang kuat menolong yang lemah dan yang kaya menolong yang miskin. Demikian ajaran Islam yang sebenarnya. Sunan Drajat mendirikan tempat dakwah yang strategis, yaitu tempat yang tinggi. Tempat tersebut kemudian dikenal dengan Dalem Duwur yang kini didirikan museum yang cukup megah dekat makam beliau. Di tempat tersebut dakwah beliau lebih berhasil. Metode yang digunakan sebagaimana yang dilakukan Sunan Muria, yakni melalui lagu-lagu Jawa.

6. Ja’far Sadiq (Sunan Kudus)

Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Beliau memiliki keahlian khusus dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika. Karena itulah diantara Walisongo hanya beliau yang mendapat julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dikarenakan keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara. Ada cerita yang mengatakan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban di Palestina. Atas jasanya itu, oleh pemerintah Palestina ia diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah tersebut dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa setempat) permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa beliau mendirikan masjid di daerah Loran tahun 1549, masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan daerah sekitarnya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama sebuah kota di Palestina, al-Quds. Dalam melaksanakan dakwah dengan pendekatan kultural, Sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan. Yang paling terkenal adalah Gending Maskumambang dan Mijil.

7. Raden Umar Said (Sunan Muria)

Salah seorang Walisongo yang banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaaan Pulau Jawa adalah Sunan Muria. Beliau lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara Kota Kudus sekarang). Beliau adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat menganbil ikan tidak sampai keruh airnya. Muria dalam menyebarkan agama Islam. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pulalah yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanthi. Beliau banyak mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino, ngatus dino dan sebagainya. Lewat tembang-tembang yang diciptakannya, sunan Muria mengajak umatnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Karena itulan sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata daripada kaum bangsawan. Cara dakwah inilah yang menyebabkan suna Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah tapa ngeli yaitu menghanyutkan diri dalam masyarakat.

8. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)

Salah seorang dari Walisongo yang banyak berjasa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Barat; juga pendiri Kesultanan Cirebon. Nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dialah pendiri dinasti Raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Setelah selesai menuntut ilmu pasa tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Syarifah  Mudain minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif  gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil sunan gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.

9. Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)

Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki merupakan putra dari syekh Jumadil Kubra (Maulana Akbar), dia adalah seorang ahli irigasi dan tata negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M bertepatan dengan masa kepemimpinan khalifah Turki Utsmani. Jauh sebelum beliau datang, islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan adanya makam Fatimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082.

Syekh Maulana Malik Ibrahim memiliki tiga istri yaitu: Siti Fatimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil, dirinya memiliki 2 anak yaitu Mualana Moqfaro dan Syafirah Sarah.

Siti Maryam binti Syekh Subakir, darinya memiliki 4 putra, yaitu Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad. Wan Jamilah binti Ibrahim Zinuddin Al-Akbar Asmaraqandi, darinya memiliki 2 anak, yaitu Abbas dan Yusuf. Di kalangan rakyat jelata Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal sangat terkenal terutama di kalangan kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih tinggi. Sunan Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama sederajat hanya orang yang beriman dan bertaqwa tinggi kedudukannya di sisi Allah. Dia mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik dan menggenbleng para santri sebagai calon mubaligh. Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang wali songo yang dianggap sebagai ayah dari wali songo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.

Sejarah Kerajaan Demak Bintara

Kerajaan Demak Bintara merupakan kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah dibawah naungan dewan Walisongo dan pertama kali disultani oleh Raden Patah, putra Brawijaya V. Sebelum Demak menjadi pusat kerajaan, dulunya Demak merupakan kadipaten dibawah kekuasaan kerajaan Majapahit. Sebelum berstatus kadipaten, Demak lebih dikenal dengan nama “Bintara” yang menjadi wilayah kadipaten Jepara dan merupakan satu-satunya kadipaten yang adipatinya memeluk Islam.

Kerajaan Demak diperkirakan berdiri pada tahun 1478 M. Hal ini didasarkan atas jatuhnya Kerajaan Majapahit yang diberi tanda Candra Sengkala: “Sirna Ilang Kartaning Bumi” yang berarti tahun saka 1400 atau 1478 M. Secara geografis Kerajaan Demak terletak di Jawa Tengah. Kerajaan Demak berkembang dari sebuah daerah yang bernama Bintara yang merupakan daerah bawahan Majapahit.

Kerajaan Demak merupakan kerajaan teokrasi yaitu suatu kerajaan yang memiliki sistem pemerintahan yang menjunjung dan berpedoman pada Ilahi. Kerajaan Demak berdiri pada tahun 1478 M. Hal itu didasarkan jatuhnya Majapahit yang diperintah oleh Prabu Kertabumi. Para wali kemudian sepakat untuk menobatkan Raden Patah menjadi raja di Kerajaan Demak. Kerajaan Demak berkembang menjadi kerajaan besar di bawah kepemimpinan Raden Patah (1481-1518). Negeri-negeri di pantai utara Jawa yang sudah menganut Islam mengakui kedaulatan Demak. Kekuasaan Demak meluas ke Sukadana (Kalimamtan Selatan), Palembang, dan Jambi. Pada tahun 1512 dan 1513 di bawah pimpinan putranya yang bernama Adipati Unus, Demak dengan kekuatan 90 buah jung dan 12.000 tentara berusaha membebaskan Malaka dari kekuasaan Portugis dan menguasai perdagangan di Selat Malaka. Karena pernah menyerang ke Malaka, Adipati Unus diberi gelar Pangeran Sabrang Lor (pangeran yang pernah menyebrang ke utara).

Setelah Raden Patah wafat pada tahun 1518 M, Kerajaan Demak dipimpin oleh Adipati Unus (1518-1521). Kemudian ia digantikan oleh adiknya yang bernama Sultan Trenggana (1521-1546). Untuk memperluas daerah kekuasaannya, Sultan Trenggana menikahkan putra-putrinya antara lain dinikahkan dengan Pangeran Hadiri dari Kalinyamat (Jepara) dan Pangeran Adiwijaya dari Pajang. Sultan Trenggana berhasil meluaskan kekuasaannya ke daerah pedalaman. Ia berhasil menaklukkan Daha (Kediri), Madiun, dan Pasuruan. Pada masa Sultan Trenggana, wilayah kekuasaan Kerajaan Demak sangat luas meliputi Banten, Jayakarta, Cirebon (Jawa Barat), Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Wafatnya Sultan Trenggana (1546) menyebabkan kemunduran Kerajaan Demak. Terjadi perebutan kekuasaan antara Pangeran Prawato (putra Sultan Trenggana) dengan Aria Panangsang. Dalam perebutan kekuasaan itu, Aria Panangsang membunuh Pangeran Prawato dan putranya, Pangeran Hadiri. Ratu Kalinyamat dan Aria Pangiri memohon bantuan kepadan Adiwijaya di Pajang. Dalam pertempuran itu, Adiwijaya memindahkan ibu kota Kerajaan Demak ke Pajang pada tahun 1568.

Silsilah Raja:

1. Raden Patah (1481-1518)

2. Pati Unus (1518-1521)

3. Sultan Trenggono (1521-1546)

4. Sunan Prawoto

5. Arya Penangsang

6. Handiwijaya

Keadaan Kerajaan Demak di Era Walisongo

Keberadaan dan berdirinya Kerajaan Demak tidak lepas dari campur tangan dan dorongan Walisongo. Saat itu dibawah pimpinan Sunan Giri, Walisongo mengadakan musyawarah mengenai deklarasi Kerajaan Demak Bintara. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa berdirinya Kerajaan Demak bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang saat itu dipimpin oleh Prabu Brawijaya V. Raden Patah merupakan putra kesayangan Prabu Brawijaya, tentu saja ia  merasa tidak rela jika kerajaan ayahandanya diobrak-abrik oleh Raja Kadiri. Meskipun ia tidak dapat merebut kembali Kerajaan Majapahit, tetapi setidaknya ramandanya pernah berpesan agar ia membangun Demak Bintara menjadi kerajaan Islam. Para Walisongo bergotong royong dalam mewujudkan cita-cita besar itu. Mereka terus berkeliling dalam dakwah panjangnya. Pada hari yang ditentukan, Raden Patah dengan didampingi para Walisongo benar-benar mendeklarasikan Kesultanan Demak Bintara sebagai kerajaan Islam yang merdeka dan berdaulat penuh. Kesultanan Demak Bintara tidak ada yang menguasai sebagaimana kerajaan atau kadipaten yang masih berada di bawah kekuasaan Majapahit. Pendeklarasian mengenai kedaulatan atau kemerdekaan Kesultanan Demak oleh Raden Patah tersebut ditandai dengan sengkalan Geni mati siniraman janma (arti harfiahnya; api padam karena disiram manusia) yang berarti tahun 1404 Saka (1481 M). Pada saat itu Raden Patah yang menjadi raja Islam pertama di tanah Jawa bergelar Kanjeng Sultan Syah Alam Akbar I. Dalam kepemimpinan Raden Patah, ia menjadikan Dewan Walisongo yang dipimpin oleh mufti Sunan Giri sebagai lembaga yang memegang legitimasi kekuasaan tertinggi dalam urusan keagamaan di Demak Bintara. Raden Patah secara khusus mengangkat Sunan Kalijaga sebagai penasihat politik dan pemerintahan, sedang panglima perangnya dijabat oleh Sunan Kudus.

Sebagai bukti bahwa Kesultanan Demak Bintara merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, Raden Patah dalam kebijakannya menerapkan syariat Islam dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Tentu dalam hal ini Raden Patah mendapat dukungan penuh baik moral maupun spiritual dari para Walisongo, terutama mengenai dakwah Islami kepada rakyatnya. Dikarenakan para Walisongo lebih banyak berdomisili di kawasan pantai utara (pantura), tak ayal masyarakat Jawa yang pertama kalo tersentuh oleh gerakan dakwah Walisongo yaitu masyarakat pantura seperti di Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban dan lain-lain.

Para Walisongo mempromosikan agama Islam di tengah situasi rakyat Jawa yang mayoritas memeluk agama Hindu-Budha. Mereka dengan menguras energi dan keringat tentunya dilandasi cita-cita yang besar, mereka menjalankannya dengan senang hati. Dibalik itu, Sunan Kalijaga beserta putranya Sunan Muria menjalankan dakwahnya dengan mendalang, yakni memainkan wayang kulit dengan lakon tertentu yang diiringi gamelan musik Jawa. Kepiawaian Sunan Kalijaga ketika mementaskan pergelaran wayang kulit semalam suntuk memang penuh energi daya dan kreativitas, misalnya dengan menciptakan lakon carangan dalam pewayangan. Diantaranya lakon Jimat Kalimasada, Dewa Ruci, Bima Suci, Petruk, dan lain sebagainya. Selain mendalang Sunan Kalijaga juga menciptakan tembang dandang gula dan dandang gula Semarangan yang sangat indah, karena cengkoknya gabungan antara melodi Jawa dan Arab. Bahkan, untuk membuat daya tarik dalam dakwahnya, putra Tumenggung Wilatikta juga menciptakan tembang dolanan seperti Cublak-Cublak Suweng, Gundhul-Gundhul Pacul, Sluku-Sluku Bathok, dan lain-lain.

Bermula dari ide kreativitas Sunan Bonang yang menciptakan alat musik bonang serta seperangkat gamelan, maka kebanyakan para Walisongo pun juga menggunakan musik gamelan dan tembang sebagai wahana dalam dakwah mereka. Dalam hal ini Sunan Bonang menciptakan tembang maskumambang dan mijil, yang kemudian diikuti para Walisongo lainnya. Sunan Giri, selain menciptakan wayang kulit yaitu Bathara Guru alias Sang Hyang Giri Nata, juga menciptakan tembang asmarandana dan pucung. Sementara Sunan Muria juga mengikuti langkah ayahnya Sunan Kalijaga dalam mendalang. Selain itu ia juga menciptakan tembang sinom dan kinanti. Sedangkan Sunan Drajat menciptakan tembang pangkur. Sunan Kudus yang berdakwah di daerah Kudus pun menciptakan tembang mijil dan maskumambang. Semua itu mengisyaratkan bahwa dakwah Walisongo lebih kental kelenturan dan moderat, sehingga jauh dari kesan radikal.

Dalam segi strategi pemerintahan, Sunan Kalijaga yang ditunjuk sebagai penasihat politik Kerajaan Demak Bintata ia tak sekadar berdakwah kepada rakyat saja, tetapi juga merumuskan suatu konsep pemerintahan baru yakni pemerintahan Islam. Ia menciptakan tata ruang ibu kota Demak Bintara yang berbeda sama sekali dengan kerajaan yang berbasis agama Hindhu-Budha. Hasil rancangan Sunan Kalijaga mengenai suasana tata ruang ibu kota Demak Bintara tersebut berupa alun-alun di tengah jantung ibu kota Demak yang di depannya ditanami dua pohon beringin menghadap ke selatan atau di sebelah utara alun-alun serta membelakangi pegunungan. Bangunan Masjid Jami’ atau Masjid Agung Demak Bintara di sebelah barat alun-alun dan bangunan penjara di sebelah timur alun-alun atau menghadap ke barat. Sunan Kalijaga tidak sekadar menciptakannya begitu saja, melainkan tersirat makna falsafah yang melingkari rancangannya. Demikianlah kiranya kiprah Walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam d Nusantara, dibantu dengan adanya Kerajaan Demak yang menjadi pusat kajian dan musyawarah besar oleh dewan Walisongo. Beberapa bulan sekali mereka mengagendakan untuk berkumpul di Kerajaan Demak untuk meneruskan apa saja yang akan dilakukan dan mengatasi beberapa masalah dengan musyawarah bersama.

Peninggalan-Peninggalan Walisongo

Proses yang begitu lama yang dijalani Walisongo dalam menyebarluaskan ajaran Islam tentunya tak lepas dari peninggalan-peninggalan ajaran Walisongo itu sendiri. Nusantara tak pernah lupa dengan sejarah itu, pun banyak Ulama yang masih terus menerapkan bagaimana ajaran Walisongo yang mereka pakai untuk melaksanakan dakwah Islam hingga saat ini.

Beberapa peninggalan yang menjadi saksi atas perjuangan Walisongo dapat dilihat sebagai berikut:

1. Masjid

Masjid merupakan satu pilar penting yang dibutuhkan oleh Walisongo dalam menyiarkan Islam. Selain digunakan sebagai tempat sholat berjamaah, masjid juga dijadikan sebagai tempat mengajar oleh para Walisongo kepada murid atau santri-santrinya. Tiap Walisongo mendirikan masjid di tempat dakwahnya. Seperti Masjid Agung Tuban, Masjid Agung Demak, Masjid Muria, dan lain-lain.

2. Pesantren

Pesantren ranahnya lebih luas daripada masjid, pesantren ini didirikan sebagai tempat belajar para santri dari berbagai daerah. Sunan Ampel ketika pertama kali dakwah di daerah Ampel Denta, Surabaya beliau mendirikan pesantren sebagai media dakwahnya. Beberapa muridnya seperti Raden Patah dan anaknya sendiri yaitu Sunan Bonang pernah mengenyam pendidikan Islam disana. Seperti halnya masjid, para Walisongo lainnya juga mendirikan pesantren di tempatnya masing-masing.

3. Kesenian

Seni merupakan salah satu metode yang diterapkan oleh Walisongo dalam menarik perhatian masyarakat untuk masuk Islam. Diawali oleh Sunan Bonang yang membuat tembang-tembang yang memadukan budaya setempat. Kemudian diikuti oleh Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Drajat dan lain-lain.

Selain yang disebutkan di atas masih banyak lagi peninggalan-peninggalan Walisongo yang bisa ditemui dalam buku-buku sejarah hingga museum. Peninggalan tersebut masih terjaga rapi hingga saat ini meskipun tidak semuanya.

Penutup

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki mayoritas umat muslim terbesar di dunia. Saat ini populasi umat Islam di Indonesia sekitar 90%  dan sebagian besar berdomisili di pulau Jawa. Semua itu jika kita kaji adalah merupakan hasil kerja dakwah Walisongo pada zamannya. Bentuk metode dakwah Walisongo yang secara inspiratif adalah mencontoh gerakan dakwah Nabi Muhammad SAW, seperti berdakwah melalui jalur keluarga atau perkawinan. Jika dilihat dari geneologi kewalian, para wali di Jawa Timur ini dan Jawa pada umumnya memiliki kekerabatan. Seperti Sunan Ampel adalah putra dari Syekh Ibrahim Asmaraqandi. Sunan Giri adalah putera Syekh Maulana Ishaq. Maulana Ishaq adalah bersaudara dengan Sunan Ampel, sehingga Sunan Giri adalah keponakan Sunan Ampel. Sunan Bonang adalah putera Sunan Ampel, sehingga antara Sunan Bonang dan Sunan Giri adalah saudara sepupu. Sunan Drajat adalah putera Sunan Ampel, sehingga Sunan Bonang bersaudara dengan Sunan Drajat. Selanjutnya dengan cara mengembangkan pendidikan pesantren yang mula-mula dirintis oleh Syekh Maulana Ibrahim adalah suatu model pendidikan Islam yang mengambil bentuk pendididkan biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta biksu dalam mengajar dan belajar. Demikian halnya dengan Sunan Giri, dimana pesantren Giri sejak abad ke 15 sampai 16 M telah menerima para santri yang berasal dari wilayah timur Indonesia seperti Ternate, Tidore dan sebagainya.

Proses Islamisasi yang berlangsung di Nusantara pada dasarnya berada dalam kerangka proses akulturasi. Para wali berusaha mengembangkan kebudayaan Jawa. Walisongo dalam perkembangan budaya Jawa memberikan andil yang sangat besar. Bukan hanya pendidikan dan pengajaran tetapi juga pada kesenian dan aspek-aspek kebudayaan pada umumnya. Peradaban Islam yang diturunkan oleh para Wali di Jawa memberikan tuntunan dan panutan yang sangat bernilai dan juga sangat Islami, yakni dalah ukhuwah serta konsep imamah di kalangan para pemimpin umat. Di antara Wali muncul hubungan antar personal dan kelompok yang erat, yang ditandai saling menghargai, mufakat, menyesuaikan diri, dan menghormati senioritas. Seperti ketika Sunan Ampel wafat, kepemimpinan beralih ke Sunan Giri dan Sunan Bonang.

Kelemahan dari dakwah Walisongo ini adalah dimana praktik dan metode yang dilakukan oleh Walisongo ini sudah tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang. Tapi sebagai fakta sejarah, terutama untuk ahli-ahli dakwah masih tetap ada harganya. Sayangnya selama ini sejarah Walisongo hampir lenyap di balik legenda beraneka warna. Padahal banyak pelajaran dan hikmah yang dapat dipetik dari kiprah dakwah mereka. 

Eva Umatul Farihah, Lamongan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA