Menentukan judul permainan peran dapat dilakukan sebelum atau sesudah penyusunan skenario

Oleh Muchlisin Riadi Mei 02, 2019

Bermain peran atau role playing adalah metode pembelajaran yang di dalamnya terdapat perilaku pura-pura (berakting) dari siswa sesuai dengan peran yang telah ditentukan, dimana siswa menirukan situasi dari tokoh-tokoh sedemikian rupa dengan tujuan mendramatisasikan dan mengekspresikan tingkah laku, ungkapan, gerak-gerik seseorang dalam hubungan sosial antar manusia.

Metode bermain peran dapat menimbulkan pengalaman belajar, seperti kemampuan kerjasama, komunikatif, dan menginterpretasikan suatu kejadian. Melalui bermain peran, siswa mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antar manusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para siswa dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan strategi pemecahan masalah. Model pembelajaran bermain peran penekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Berikut definisi dan pengertian metode pembelajaran bermain peran dari beberapa sumber buku:
  • Menurut Santoso (2011), bermain peran adalah mendramatisasikan dan mengekspresikan tingkah laku, ungkapan, gerak-gerik seseorang dalam hubungan sosial antar manusia. Dengan metode Role Playing (bermain peran) siswa berperan atau memainkan peranan dalam dramatisasi masalah/psikologis itu. 
  • Menurut Wahab (2009), bermain peran adalah berakting sesuai dengan peran yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk tujuan-tujuan tertentu. Bermain peran dapat menciptakan situasi belajar yang berdasarkan pada pengalaman dan menekankan dimensi tempat dan waktu sebagai bagian dari materi pelajaran. 
  • Menurut Mulyono (2012), role playing atau bermain peran adalah metode pembelajaran yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa sejarah, peristiwa aktual, atau kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang. 
  • Menurut Yamin (2007), bermain peran adalah metode yang meletakkan interalisasi antara dua siswa atau lebih tentang suatu topik atau situasi. Siswa melakukan peran masing-masing sesuai dengan pokok yang ia yakini. Mereka berinteraksi dengan sesama peran secara terbuka. Metode ini dapat dipergunakan dalam mempraktikan pelajaran yang baru.
Menurut Zaini (2008), terdapat tiga aspek bermain peran yaitu:
  1. Mengambil peran (Role Playing), yaitu tekanan ekspektasi-ekspektasi sosial terhadap pemeran peran. Contohnya adalah pada hubungan keluarga (apa yang harus dikerjakan anak perempuan), atau berdasarkan tugas (bagaimana seorang agen polisi bertindak dalam situasi sosial). 
  2. Membuat peran (Role Marking), yaitu kemampuan pemegang peran untuk berubah secara dramatis dari satu peran ke peran yang lain dan menciptakan serta memodifikasi peran sewaktu-waktu diperlukan. 
  3. Tawar-menawar peran (Role Negotitation), yaitu tingkat dimana peran-peran dinegosiasikan dengan pemegang-pemegang peran yang lain dalam parameter dan hambatan interaksi sosial.
Metode bermain peran dalam proses pembelajaran bertujuan agar siswa dapat mendramatisasikan tingkah laku, atau ungkapan gerak-gerik wajah seseorang dalam hubungan sosial atau manusia. Menurut Saefuddin dan Berdiati (2014), metode pembelajaran bermain peran memiliki tujuan sebagai berikut:
  1. Memberikan pengalaman konkret dari apa yang telah dipelajari. 
  2. Mengilustrasikan prinsip-prinsip dari materi pembelajaran. 
  3. Menumbuhkan kepekaan terhadap masalah-masalah hubungan sosial.
  4. Menumbuhkan minat dan motivasi belajar siswa. 
  5. Menyediakan sarana untuk mengekspresikan perasaan yang tersembunyi dibalik suatu keinginan.
Metode bermain peran dalam proses belajar memiliki tujuan agar siswa dapat menghayati peranan apa yang dimainkan, mampu menempatkan diri dalam situasi orang lain yang dikehendaki guru. Menurut Santoso (2011), tujuan bermain peran adalah agar siswa dapat:
  1. Memahami perasaan orang lain. 
  2. Menempatkan diri dari situasi orang lain. 
  3. Mengerti dan menghargai perbedaan pendapat.
Menurut Uno (2007), terdapat tujuh langkah dalam pelaksanaan model pembelajaran bermain peran, yaitu sebagai berikut:
  1. Menghangatkan Suasana dan Memotivasi Peserta Didik. Motivasi merupakan dorongan yang terdapat dalam diri seseorang untuk mengadakan perubahan demi mencapai tujuan tertentu. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan keberhasilan. 
  2. Memilih Peran. Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru mendiskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran. 
  3. Menyusun Tahap-Tahap Peran. Menyusun tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. 
  4. Menyiapkan Pengamat. Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya. 
  5. Pemeran. Pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing, pemeran dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup.
  6. Diskusi dan Evaluasi. Setelah melakukan peran, langkah berikut adalah analisis dari bermain peran tersebut. Para pemain diminta untuk mengemukakan perasaan mereka tentang peran yang dimainkan, demikian pula dengan peserta yang lain. Diskusi dimulai dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. 
  7. Membagi Pengalaman dan Mengambil Kesimpulan. Pada tahap ini peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.
Menurut Djamarah dan Zain (2008), metode pembelajaran bermain peran memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu sebagai berikut:
Kelebihan atau keunggulan menggunakan metode bermain peran adalah sebagai berikut:
  1. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa, di samping menjadi pengalaman yang menyenangkan juga memberi pengetahuan yang melekat dalam memori otak.
  2. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan membuat kelas menjadi dinamis dan antusias.
  3. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan. 
  4. Siswa dapat terjun langsung untuk memerankan sesuatu yang akan dibahas dalam proses belajar.
Kelemahan atau kekurangan metode bermain peran adalah sebagai berikut:
  1. Role playing memerlukan waktu yang relatif panjang/banyak.
  2. Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun siswa dan ini tidak semua guru memilikinya.
  3. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerankan suatu adegan tertentu.
  4. Apabila pelaksanaan role playing atau bermain peran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pembelajaran tidak tercapai.
  5. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.
  • Santoso, Agus. 2010. Studi Deskriptif Effect Size Penelitian-Penelitian di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Jurnal Penelitian.
  • Wahab, Abdul Aziz. 2007. Metode dan Model-Model Mengajar Ilmu PengetahuanSosial (IPS). Bandung: Alfabata.
  • Mulyono. 2012. Strategi Pembelajaran (Menuju Efektivitas Pembelajaran di Abad Global). Malang: UIN Maliki Press.
  • Yamin, Maritnis. 2007. Profesionalisme Guru dan Implementasi KTSP. Jakarta: Gaung Persada Press.
  • Saefuddin, Asis dan Berdiati, Ika. 2014. Pembelajaran Efektif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
  • Zaini, Hisyam, Dkk. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Jakarta: Insan Madani.
  • Uno, Hamzah B. 2007. Teori Motivasi & Pengukurannya. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Pengertian Model pembelajaran Role Playing :

Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000).

Model Pebelajaran Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan.

Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran memahami kebebasan berorganisasi, dan menghargai keputusan bersama, murid akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan memainkan peran dalam bermusyawarah, melakukan pemungutan suara terbanyak dan bersikap mau menerima kekalahan sehingga dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut dan secara aktif berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari (Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran murid harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi. Model pembelajaran Role Playing juga dikenal dengan nama model pembelajaran Bermain Peran. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok memperagakan/menampilkan scenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprofisasi namun masih dalam batas-batas scenario dari guru.

2.  Langkah-Langkah Model Role Playing


Langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut :

  1. Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.
  2. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar.
  3. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang.
  4. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.
  5. Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan.
  6. Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan.
  7. Setelah selesai ditampilkan, masing-masing siswa diberikan lembar kerja untuk membahas/memberi penilaian atas penampilan masing-masing kelompok.
  8. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya.
  9. Guru memberikan kesimpulan secara umum.
  10. Evaluasi.
  11. Penutup.


3.  Keunggulan Metode Role Playing

Keunggulan Model Role Playing


 Ada beberapa keunggulan dengan menggunakan metode role playing, di antaranya adalah:

  1. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan.
  2. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias.
  3. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan.
  4. Siswa dapat terjun langsung untuk memerankan sesuatu yang akan di bahas dalam proses belajar.

Kelemahan Metode Role Playing
Disamping memiliki keunggulan, metode role playing juga mempunyai kelemahan, di antaranya adalah :

  1. Bermain peran memakan waktu yang banyak.
  2. Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik. Siswa perlu mengenal dengan baik apa yang akan diperankannya.
  3. Bermain peran tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas tidak mendukung.
  4. Jika siswa tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak akan melakukan secara sungguh-sungguh.
  5. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.

TARBIYAH MATEMATIKA C / V

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SYEKH NURJATI CIREBON

2012

KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan karunia nikmat bagi umat-Nya. Atas Ridho-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

             Dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai Penerapan Metode Pembelajaran Demonstrasi dan Cooperative Learning Tipe Zig Shaw Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Pada Materi Transformasi  Pokok Bahasan Pencerminan” yang telah kami susun secara sistematis dan materi yang di sajikan kami ambil dari sumber-sumber terpercaya.

            Makalah ini tidak akan terwujud, jika tidak ada dorongan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah memberikan arahan serta bimbingannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Besar harapan kami makalah ini dapat membantu meningkatkan profesi belajar mahasiswa dan dapat bermanfaat bagi  mahasiswa, khususnya dalam masalah disajikan dalam makalah ini.

            Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik dan saran yang membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik di masa mendatang. Terima kasih.

                                                                                    Cirebon, Februari 2013

                                                                                                Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu komponen penting yang berpengaruh terhadap perkembangan dan pembangunan suatu bangsa. Pendidikan juga merupakan agen perubahan, agen sosial kontrol dan  pembaharuan. Zaman yang semakin berkembang dan maju menuntut perubahan–perubahan pada sistem pendidikan.Sistem pendidikan di Indonesia yang telah di rancang sedemikian rupa demi terciptanya pendidikan yang berkualitas harusnya di dukung pula oleh komponen – komponen  penting yang ada di dalamnya, yang memang sangat berpengaruh terhadap berjalan atau tidaknya sistem pendidikan tersebut, diantaranya pendidik (guru, dosen), peserta didik, sarana dan prasarana, dan lain – lain.

Berbicara tentang komponen pendidikan seperti pendidik, peserta didik, sarana dan prasarana dan hal – hal lainnya mengingatkan kita bahwa komponen tersebut merupakan faktor yang sangat berpengaruh sekali terhadap berjalan atau tidaknya, maju atau tidaknya suatu pendidikan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ngalim Purwanto (1986:106) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan diantaranya kematangan, intelejensi (kecerdasan), latihan dan ulangan, motivasi, sifat-sifat pribadi seseorang, keadaan keluarga, guru dan cara mengajar, alat-alat pelajaran,motivasi sosial dan lingkungan.

Berdasarkan pernyataan diatas, salah satu faktor yang juga berpengaruh terhadap keberhasilan suatu pembelajaran adalah cara pengajaran yang diterapkan oleh guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.

Salah satu hal yang banyak disoroti saat ini dalam dunia pendidikan adalah penggunaan metode-metode belajar yang digunakan guru dalam penyampaian materi saat pembelajaran, karena tuntutan guru untuk tepat waktu dalam menyampaikan materi dan kewajiban guru untuk bisa menjadikan siswanya mengerti dan menguasai materi yang disampaikan menjadikan hal tersebut menjadi sebuah permasalahan yang harus dicari solusinya.

Penerapan model–model pembelajaran dalam proses belajar mengajar harus dapat di sesuaikan dengan materi yang akan di sampaikan serta tujuan apa yang hendak di capai. Ada beberapa materi misalnya dalam mata pelajaran Matematika mendapatkan materi aritmatika sosial pada jenjang SMP, konsep-konsep dalam materi pokok aritmatika sosial misalnya konsep harga jual, harga beli, untung, rugi, bruto, netto, tara, disajikan dengan metode ceramah. Sehingga tidak terjadi interaksi timbal balik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa, akibatnya pemahaman konsep-konsep aritmatika yang penulis terima tidak terlalu mendalam. Padahal materi aritmatika sosial merupakan salah satu materi yang sangat berkaitan dengan aktivitas siswa sehari-hari.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin membahas mengenai suatu metode pembelajaran untuk materi aritmatika sosial, sedemikian hingga akan terjadi interaksi timbal balik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa dan siswa lebih memahami konsep materi yang sedang dipelajari. Salah satu metode yang penulis anggap sesuai jika digunakan untuk mengajar materi aritmatika sosial adalah metode simulasi dengan menggunakan teknik pembelajaran Role Playing (bermain peran).

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian dari model pembelajaran Role playing (bermain peran)?

2.      Bagaimana karakteristik, prinsip, dan prosedur pembelajaran role playing?

3.      Apa kelemahan dan kelebihan dari model pembelajaran role playing?

4.      Bagaimana model pembelajaran role playing ini di terapkan dalam mata pelajaran Matematika?

BAB II

PEMBAHASAN

MODEL PEMBELAJARAN

ROLE PLAYING (BERMAIN PERAN)

A.    Pengertian Model  Pembelajaran Role Playing

Dalam buku Pembelajaran Kontekstual (Komalasari : 2010) Model Pembelajaran Role Playing adalah suatu tipe Model pembelajaran Pelayanan (Sercvice Learning). Model pembelajaran ini adalah suatu model penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan murid. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan murid dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benada mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal ini bergantung kepada apa yang di perankan. Sedangkan menurut Jill Hadfield Role playing atau bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang  Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain. Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Adanya model pembelajaran Role Playing dalam buku Model Pembelajaran  (2008:25) didasarkan pada: pertama, dibuat berdasarkan asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan analogi otentik kedalam situasi permasalahan kehidupan nyata. Kedua, bahwa bermain peran dapat mendorong siswa mengekspresikan perasaannya dan bahkan melepaskan perasaannya. Ketiga, bahwa proses psikologis melibatkan sikap, niali dan keyakinan (belief) kita serta mengarahkan pada kesadaran melalui keterlibatan spontan yang disertai analisis . model pembelajaran ini dipelopori oleh George Shafel.

Model pembelajaran role playing atau bermain peran ini merupakan pembelajaran yang lebih menekankan pada permainan gerak dan siswa biasanya di latih untuk memahami, memperagakan setiap peran – peran yang di perankan nya untuk selanjutnya biasanya siswa di tugaskan untuk memberikan penilaian baik kekurangan atau kelebihan dari peran yang dimainkan ataupun juga jalan cerita yang di perankannya. Selain penialaian terhadap peran, penilaaian terhadap jalan cerita dalam role playing tersebut biasanya di jadikan bahan refleksi dalam model pembelajaran role playing misalnya menentukan apa isi dari cerita tersebut, hikmah yang di dapat dalam ceritanya dan lain- lain.

Menurut Miftahul A’la dalam bukunya Quantum Teaching (2011:49) metode pembelajaran Role playing (bermain peran) adalah merupakan cara penguasaan bahan–bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan yang dimiliki oleh setiap siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankan memerankan sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini umumnya dilakukan lebih dari satu orang, itu bergantung kepada apa yang di perankan.

Nama lain dari pembelajaran role playing ini adalah Sosiodrama. Sosiodrama (Role playing) oleh Syaiful (2011:213)  berasal dari kata Sosio dan drama. Sosio berarti sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat menunjukan pada kegiatan–kegiatan sosial, dan drama berarti mempertunjukan, mempertontonkan atau memperlihatkan. Jadi sosiodrama adalah metode mengajar yang dalam pelaksanaannya peserta didik mendapat tugas dari guru untuk mendramatisasikan suatu situasi sosial yang mengandung suatu problem, agar peserta didik dapat memecahkan suatu masalah yang muncul dari suatu situasi sosial. Dalam buku Dasar-Dasar proses belajar mengajar (1987: 84) sosiodrama dan role playing dapat dikatakan sama artinya dan dalam proses pemakaiannya sering disilih gantikan. Sosiodrama pada dasarnya mendramatisasikan tingkah laku dalam hubungannya dengan masalah sosial.

Dalam teknik pengajaran berbahasa (1986:122) teknik bermain peran sangat baik untuk mendidik siswa dalam menggunakan ragam-ragam bahasa. Cara berbicara orang tua tentu berbeda dengan cara berbicara anak-anak. Cara berbicara penjual berbeda pula dengan cara berbicara pembeli. Fungsi dan peranan seseorang menuntut cara berbicara dan berbahasa tertentu pula. Dalam bermain peran, siswa bertindak, berlaku, dan berbahasa sesuai dengan peranan orang yang diperankannya. Misalnya sebagai guru, orang tua, polisi, hakim, dan sebagainya. Setiap tokoh yang di perankan menuntut karakteristik tertentu pula.

Tujuan dari metode pembelajaran bermain peran ini menurut Oemar Hamalik (2001:198) disesuaikan dengan jenis belajar, diantaranya sebagai berikut :

1.      Belajar dengan berbuat. Para siswa melakukan peranan tertrentu sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Tujuannya adalah untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif atau keterampilan-keterampilan reaktif.

2.      Belajar melalui peniruan (imitasi). Para siswa pengamat drama menyamakan diri dengan pelaku (aktor) dan tingkah laku mereka.

3.      Belajar melalui balikan. Para pengamat mengomentari (menanggapi) prilaku para pemain atau pemegang peeran yang telah ditampilkan. Tujuannya adalah untuk mngembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari perilaku keterampilan yang telah didramatisasikan.

4.      Belajar melalui pemgkajian, penilaian dan pengulangan. Para peserta dapat memperbaiki keterampilan-keterampilan mereka dengan mengulanginya dalam penampilan berikutnya.

Menurut Wina Sanjaya (2006:161) metode role playing ini merupakan sebagian dari simulasi yang diarahkan utuk mengkreasikan peristiwa- peristiwa aktual atau kejadian- kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang.

B.     Karakteristik, Prinsip, Prosedur  dan pola pembelajaran Role Playing

Pada (//ras-eko.blogspot.com) Bermain peran pada prinsipnya merupakan pembelajaran untuk ‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu ‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap. Misalnya: menilai keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian memberikan saran/ alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Pembelajaran ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran.

Langkah–langkah atau prosedur dalam pelaksanaan model pembelajaran role playing ini adalah :

1.      Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan

2.      Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dua hari atau beberapa hari  sebelum KBM (kegiatan belajar mengajar) guna mempersiapkan peran yang terdapat dalam skenario tersebut.

3.      Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang atau sesuai dengan kebutuhan.

4.      Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai dalam materi tersebut.

5.      Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

6.      Masing-masing siswa duduk di kelompoknya, masing-masing sambil memperhatikan mengamati skenario yang sedang diperagakan.

7.      Setelah selesai dipentaskan, masing-masing siswa diberikan kertas sebagai lembar kerja untuk membahas skenario tersebut. Misalnya menilai peran yang dilakonkan, mencari kelemahan dan kelebihan dari peran tersebut atau pun alur/ jalan ceritanya.

8.      Masing-masing kelompok menyampaikan hasil dan  kesimpulannya.

9.      Guru memberikan kesimpulan secara umum atau menjgevalusi seluruh kegiatan.

10.  Evaluasi/ refleksi.

11.  Penutup

Tahapan pembelajaran Role Playing atau bermain peran seperti yang penulis kutip dari Shaftel dan Shaftel, (dalam E. Mulyasa, 2003) meliputi :

1.      menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik;

2.      memilih peran;

3.      menyusun tahap-tahap peran;

4.      menyiapkan pengamat;

5.      tahap pemeranan;

6.      diskusi dan evaluasi tahap I ;

7.      pemeranan ulang; dan

8.      diskusi dan evaluasi tahap II; dan

9.      membagi pengalaman dan pengambilan keputusan.

Berdasarkan tahapan tersebut, terlihat bahwa terdapat dua tahap pemeranan dalam Role Playing. Namun, tahapan ini masih dapat dimodifikasi. Dua diantara kemungkinan modifikasi yang dapat digunakan adalah

1)      Role playing dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga untuk sub materi pertama dapat diperankan oleh kelompok pertama, untuk sub materi kedua dapat diperankan oleh kelompok kedua, dan seterusnya. Hal ini berarti Role Playing dengan modifikasi seperti ini, hanya terdapat satu tahapan pemeranan untuk setiap kelompok.

2)      Role Playing dilakukan oleh sekelompok pemeran yang telah dibentuk bersama oleh guru dan siswa. Tahapan pemeranan untuk sub-sub materi yang akan dipelajari dapat sepenuhnya diperankan oleh pemeran yang ditunjuk atau satu sub materi diperankan oleh pemeran yang ditunjuk sebagai contoh dan sub materi yang lain diperankan oleh kelompok pemeran yang lain yang telah disusun oleh siswa sendiri.

Menurut Israni (36: 2012) penggunaan metode sosiodrama atau bermain peran dilakukan :

1.      Apabila ingin melatih para siswa agar mereka dapat menyelesaikan masalah yang bersifat sosial psikologis.

2.      Apabila ingin melatih para siswa agar mereka dapat bergaul dan memeberi pemahaman terhadap orang lain serta masalahnya.

3.      Apabila ingin mneerangkan suatu peristiwa yang didalamnya menyangkut banyak orang.

Adapun pola dalam pembelaran role playing ini disesuaikan dengan tujuan-tujuan yang menuntut bentuk partisipasi tertentu, yaitu pemain,pengamat dan pengkaji.

      Tiga pola organisasi yaitu sebagai berikut:

1)      Bermain peran tunggal ( single role-play) mayoritas siswa bertindak sebagai pengamat terhadap permainan yang sedang dipertunjukan (sosiodrama). Tujuannya adalah untuk membentuk sikap dan nilai.

2)      Bermain peran jamak (multiple role-play) para siswa di bagi-bagi menjadi beberapa kelompok dengan banyak anggota yang sama dan penentunya disesuaikan dengan banyaknya peran yang dibutuhkan. Tiap peserta memegang dan memainkan peran tertentu dalam kelompoknya masing-masing. Tujuannya juga untuk mengembangkan sikap.

3)      Peran ulangan(role repetition) peran utama suatu drama –atau simmulasi dapat dilakukan oleh setiap siswa secara bergiliran. Dalam situasi seperti itu setiap siswa belajar melakukan, mengamati dan membandingkan, perilaku yang ditampilkan oleh pemeran sebelumnya. Pendekatan itu banyak dilaksanakan dalamm rangka mengembangkan keterampilan-keterampilan interaktif.

Pada role playing ini meski pembelajaran melibatkan seluruh siswa dan guru tidak menjadi satu-satunya sumber informasi. Disini guru tetap memiliki peran penting.  Guru/ pimpinan memberikan penjelasan tentag peran-peran yang akan ditampilkan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh latihan itu. Guru juga perlu mengusahakan suasana bermain yang menyenangkan dan mencegah timbulnya kecemasan atau praduga yang jelek. Selain itu pada akhir latihan guru atau pimpinan perlu melakukan umpan balik dan menarik kesimpulan-kesimpulan umum. Kritik-kritik yang bersifat merusak hendaknya dihindari, dalam hal ini guru bertindak sebagai wasit. 

C.    Kelemahan dan kelebihan model pembelajaran Role Playing

Setiap metode pembelajaran tidak ada yang sempurna, karena masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihannya tersendiri. Oleh karena itu peran pendidik penting dalam menyesuaikan metode mana yang sesuai untuk di terapkan dalam menyampaikan materi tertentu. Adapun kelemahan dan kelebihan dari metode pembelajaran Role Playing ini diantaranya adalah :

Ø  Kelebihan Metode Pembelajaran Role Playing:

1.      Melibatkan seluruh siswa berpartisipasi, mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerja sama.

2.      Siswa juga dapat belajar menggunakan bahasa dengan baik dan benar.

3.       Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.

4.       Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.

5.       Guru dapat mengevaluasi pengalaman siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.

6.       Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan.

7.       Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias.

8.       Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi.

9.       Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri.

10.   Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan kerja.

Selain itu menurut Miftahul A’la (2011:93) metode pembelajaran Role playing selain memiliki kelebihan yaitu melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi dan mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam kerja sama, kelebihan lainnya yaitu guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.

Ø  Kelemahan Metode Pembelajaran Role Playing

1.       Metode bermain peranan memerlukan waktu yang relatif panjang/banyak.

2.      Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun murid. Dan ini tidak semua guru memilikinya.

3.       Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu.

4.       Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain pemeran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai.

5.      Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.

6.      Sebagian besar anak yang tidak ikut drama mereka menjadi kurang aktif.

7.      Memerlukan tempat yag cukup luas, jika tempat bermain sempit menyebabkan gerak para pemain kurang bebas.

8.      Kelas lain sering terganggu oleh suara pemain dan penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan.

Menurut Syaiful (2011:214) ada beberapa cara untuk mengatasi kelemahan – kelemahan pada metode pembelajaran sosio drama atau role playing ini diantaranya:

1.      Guru harus menerangkan kepada siswa, untuk dapat memecahkan masalah hubungan sosialyang aktual ada di masyarakat.

2.      Guru harus dapat memilih masalah yang urgent sehingga menarik minat anak. Ia dapat menjelaskan dengan baik dan menarik, sehingga menarik minat anak.

3.      Agar siswa memahami peristiwanya maka guru harus bisa menceritakansambil mengatur adegan pertama

4.      Bobot atau luasnya bahan pelajaran yang akan di dramakan harus sesuai dengan waktu yang tersedia.

D.    PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING DALAM PELAJARAN MATEMATIKA

Dalam pelajaran matematika, biasanya proses belajar mengajar yang berlangsung kurang menarik, menjenuhkan dan membosankan. Hal ini membuat pelajaran matematika menjadi jarang disukai pesertya didik. Metode pembelajaran yang biasa di pakai saat proses pembelajaran di dominasi oleh metode ceramah, sehingga pembelajaran kurang menarik. Oleh karena itu, seorang guru harus dapat lebih kreatif lagi untuk menerapkan metode pembelajaran yang menarik dan sesuai dengan materi yang disampaikan, sehingga selain tujuan pembelajaran yang tersampaikan dengan baik pembelajaran pun menjadi tidak membosankan. Misalnya pada mata pelajaran matematika dengan materi aritmatika sosial, pembelajaran ini dapat di terapkan dengan beberapa metode pembelajaran, salah satu diantaranya yaitu metode pembelajarn role playing.

Penerapan metode role playing pada materi aritmatika sosial ini bertujuan agar selain siswa memahami dan mengerti mengenai bahasan-bahasan pada materi ini seperti harga jual, harga beli, untung, rugi, dan lain-lain, tetapi pembelajaran juga akan lebih menarik dan lebih bermakna karena siswa dapat mempraktekan langsung proses jual beli tersebut. Proses pembelajaran role playing pada pembahasan materi aritmatika ini akan lebih membantu siswa dan guru dalam mencapai standar kompetensi yang memang di harapkan.

Ø  Pembelajaran materi Aritmatika Sosial dengan menggunakan teknik pembelajaran Role Playing.

Tahapan kegiatan pembelajaran Role Playing pada tulisan ini merupakan modifikasi dari tahapan-tahapan yang disampaikan oleh Shaftel dan Shaftel (dalam E. Mulyasa, 2003), yaitu tahapan pemeranan dilakukan oleh sekelompok pemeran untuk satu sub materi sebagai contoh, dan sub materi lainnya diperankan oleh kelompok lain yang telah disusun oleh siswa sendiri.

Langkah- langkah Role Playing dalam pembelajaran aritmatika sosial:

§  Persiapan

a)      Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran, yaitu topik harga jual, harga beli, untung dan rugi. Sehingga tujuan dalam pembelajaran yang ingin dicapai adalah siswa mendeskripsikan harga jual, harga beli, untung, persentase untung, rugi dan persentase rugi.

b)      Memotivasi peserta didik dan memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan diperankan, misalnya seorang pembeli akan melakukan transaksi jual beli di sebuah pertokoan, maka siswa diberikan gambaran apa yang dilakukan oleh pembeli dan penjual dalam transaksi tersebut.

c)      Menetapkan pemain yang akan terlibat dalam Role Playing, peranan yang harus diperankan oleh pemeran dan waktu yang disediakan untuk melakukan kegiatan Role Playing.

d)     Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam pemeranan Role Playing.

§  Pelaksanaan

a)      Role Playing mulai dimainkan oleh kelompok pemeran.

b)      Siswa lainnya sebagai pengamat mengikut dengan penuh perhatian.

c)      Guru memberikan bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan.

§  Penutup.

a)      Melakukan diskusi tentang kegiatan Role Playing yang baru saja dilakukan khususnya pada kegiatan yang mengarah pada konsep harga jual, harga beli, untung, persentase untung, rugi, dan persentase rugi.

b)      Siswa yang memainkan peran dapat membagi pengalamannya pada siswa yang tidak memainkan peran.

c)      Guru bersama siswa merumuskan kesimpulan.

d)     Menyuruh siswa membentuk kelompok untuk memerankan situasi yang berkaitan dengan sub materi pokok selanjutnya.

Ø  Materi aritmatika sosial pada sub materi pokok uang dalam perdagangan (harga jual, harga beli, untung, persentase untung, rugi, dan persentase rugi)

1.      Harga jual adalah nilai uang dari suatu barang yang dijual.

2.      Harga beli adalah nilai uang dari suatu barang yang dibeli.

3.      Untung, jika harga penjualan lebih besar daripada harga pembelian.

Besar untung = harga penjualan – harga pembelian

4.      Persentase untung adalah besar keuntungan yang diperoleh dalam satuan persen berdasarkan harga pembelian

5.      Rugi, jika harga penjualan lebih kecil daripada harga pembelian.

Besar rugi = harga pembelian – harga penjualan

6.      Presentase rugi adalah besar kerugian yang diderita dalam satuan persen berdasarkan harga pembelian

Sebelum menerapkan metode pembelajaran role playing ini guru tentu harus mempersiapkan skenario yang akan di perankan siswa. Contoh skenario yang dapat dipakai untuk pembelajaran dengan metode role playing pada materi aritmatika sosial ini adalah :

Tokoh:

1.      Pak Rian  sebagai pembeli dari toko grosir.

2.      Bu Rian, istri pak Rian yang membantu pak Rian berjualan di toko.

3.      Bu Ade sebagai karyawan toko gorsir “SERBA ADA”.

4.      Yayu  sebagai pembeli pertama.

5.      Evi sebagai pembeli terakhir.

Suatu hari pak Rian pergi ke toko grosir ‘SERBA ADA untuk membeli 20 potong busana muslim.

Pak Rian          : “Selamat siang Bu”

Bu Ade           : “Selamat siang Bapak, ada yang bisa saya Bantu?

Pak Rian          : “Apa ada busana muslim model baru Bu”

Bu Ade           :”oh ada Bapak, Bapak mau yang harga berapa?”

Pak Rian memilih beberapa odel baju. Akhirnya setelah sekian lama memilih, pak Rian menemukan model busana yang diinginkan.

Pak Rian          :”Saya pilih yang model ini saja bu, berapa harganya?”

Bu Ade           :”Oh kalau itu, memang model yang paling digemari remaja-remaja muslim akhir-akhir ini Bapak.bagus sekali pilihan bapak. Kalau model yang ini satu kemasan terdiri dari ukuran M, L dan XL. Setiap kemasannya kami beri harga Rp 120.000,00. Nanti ada beberapa pilihan warna Bapak. Bapak mau ambil berapa kemasan?”

Pak Rian          : “Ehm, kalu begitu saya ambil 10 kemasan”

Bu Ade           :”Oh iya bapak, warna apa saja bapak?”

Bu Ade           :”Warna merahnya 2, warna putihnya 3, warna hijaunya 2, warna ungunya 1, dan warna jingganya 2”

Setelah menunggu beberapa saat,Bu Ade datang membawa barang yang dibeli pak Rian dan nota pembelian pak Rian.

Bu Ade           :”Ini bapak barangnya, dan ini nota pembeliannya”

Pak Rian          :”jadi semuanya Rp. 1.200.000,00 Bu ya?, ini uangnya.”

Setelah pak Rian membayar busana yang dibelinya, pak Rian langsung pulang ke tokonya dan menata busana yang baru saja dibelinya di etalase. Selang beberapa menit, seorang pembeli datang ingin membeli busana muslim itu.

Pembeli 1        :”Berapa harga busana muslim ini, Pak?”

Pak Rian          :”Kalau yang itu Rp. 65.000,00, Mbak”

Pembeli 1        :”Apa tidak boleh kurang, Pak?”

Bu Rian           :”Mbak nawarnya berapa?”

Pembeli 1        :”Rp 50.000,00 boleh?”

Pak Rian          :”Ya dinaikkan lagi to Mbak”

Pembeli 1        :”Pasnya berapa sih Bu?”

Bu Rian           :”Ya sudah, saya kasihkan Rp 60.000,00 saja buat mbak, gimana?”

Pembeli 1        :” Tidak bisa kurang lagi ya Bu?”

Pak Rian              :”Kan sudah dikurangi sama ibunya, pasnya ya segitu mbak, gimana mbak, kalau jadi saya bungkuskan, saya beri bonus tas plastic nanti.”

Pembeli 1        :”Ya sudah pak, saya jadi beli”

Akhirnya pembeli 1 membeli busana tersebut dengan harga Rp. 60.000,00.

Bu Rian             :”Alhamdulillah ya Bapak, busana yang kita beli dengan harga Rp 40.000,00 dapat kita jual dengan harga Rp. 60.000,00”

Pak Rian          :”Iya Bu, kita untung Rp. 20.000,00”

Akhirnya setelah beberapa hari, sisa dagangan busana muslim model baru pak Rian tinggal satu potong. Selang beberapa menit sebelum pak Rian hendak menutup tokonya, penjual yang terakhir datang.

Pak Rian          :”Mau cari apa Mbak?”

Yayu                 :”Bapak, ada model busana muslim yang biasa digunakan artis Syahrini itu lo pak?”

Pak Rian            :”Oh yang ini, kebetulan sekali Mbak tinggal satu ini. Model ini banyak yang cari. Wah kebetulan ukurannya sesuai dengan ukuran badannya Mbak. Bagaimana Mbak, mau diambil?”

Yayu                 :”Ukurannya sih cocok Pak, tapi warnanya kok merah sih Pak, apa tidak ada yang lain?”

Pak Rian          :”Kan Bapak tadi sudah bilang, tinggal satu-satunya ini Mbak”

Yayu              :”Berapa Pak harganya?”

Pak Rian          :”Rp. 65.000,00 saja kok Mbak”

Yayu               :”Boleh kurang kan Pak?”

Pak Rian          :”Boleh, Mbak nawar berapa?”

Yayu               :”Rp. 30.000,00 ya Pak?”

Pak Rian              :”Waduh ya dinaikkan to Mbak, masa harga Rp. 65.000,00 Mbak tawar Rp.30.000,00?”

Yayu                           :”Kalau ada warna yang lain saya mau Pak menaikkan agak banyak, tapi yang ini saya agak tidak suka warnanya. Begini saja Pak, saya tawar Rp.35.000,00. Bagaimana? Kalau tidak boleh ya sudah.”

Pak Rian     :”Ya sudah Mbak, saya kasihkan Rp.35.000,00, lagian saya juga sudah mau tutup.”

Yayu               :”terima kasih pak, ini uangnya 35.000,00”

Akhirnya busana muslim model baru tersebut terjual habis. Di rumah pak katiin bercerita kepada istrinya mengenai pembeli terakhir.

Pak Rian          :”Bu, maaf ya, busana terakhir terjual hanya Rp.35.000,00”

Bu Rian           :” Ya sudahlah Pak, tidak apa-apa, meskipun begitu, uang yang kita dapat dari penjualan busana muslim itu saja sudah mencapai Rp. 1.635.000,00, kita sudah punya kelebihan dari biaya yang kita keluarkan untuk membeli busana itu.”

Dalam skenario diatas selain hanya siswa diajak bermain peran tapi ia juga dapat mengerti dan faham mengenai materi aritmatika sosial. Untuk mengatasi hal-hal sepeti banyaknya waktu terbuang ataupun kekurangan waktu, maka seorang guru harus dapat menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dengan sebaik mungkin. Misalnya:

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

(RPP)

Mata Pelajaran          : Matematika

Kelas / Semester        : Vll/1

Standar Kompetensi : Menggunakan bentuk aljabar, persamaan, pertidaksamaan linear satu variable dan perbandingan dalam pemecahan masalah.

Kompetensi Dasar : Menggunakan konsep aljabar dalam pemecahan masalah aritmetika sosial yang sederhana.

Alokasi Waktu : 1× pertemuan (3 × 45 menit)

  1. Memberikan contoh kegiatan jual beli.
  2. Mendiskripsikan keadaan untung dan rugi
  3. Menentukan harga pembelian dan harga penjualan.
  4. Mendiskripsikan keadaan untung dan rugi
  5. Menentukan besar untung dan rugi serta besar persentasenya.

1. Pembelajaran : Harga pembelian, harga penjualan, untung dan rugi persentase untung dan rugi

2. Materi Prasyarat : Operasi bilangan bulat

Role Playing (Bermain Peran).

Kegiatan pembelajaran

Kegiatan guru

Kegiatan siswa

Waktu

Pendahuluan

1.

Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran, yaitu topik harga jual, harga beli, untung dan rugi, persentase untung dan rugi.

Memperhatikan penjelasan dari guru tentang topik yang akan dibahas, yaitu topik harga jual, harga beli, untung dan rugi, persentase untung dan rugi. Sehingga siswa tahu bahwa tujuan dalam pembelajaran yang ingin dicapai adalah mereka dapat mendeskripsikan harga jual, harga beli, untung, persentase untung, rugi dan persentase rugi

10 menit

2.

Mengajak siswa mengingat kembali materi operasi bilangan bulat sebagai materi prasyarat materi pelajaran yang akan dibahas hari ini.

Memberi respon guru dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengenai operasi bilangan bulat.

12 menit

3.

Menyampaikan pada siswa bahwa untuk kegiatan pembelajaran hari ini siswa akan berpura-pura sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam kegiatan jual beli.

Memperhatikan penjelasan dari guru. Diharapkan siswa akan bertanya mengenai kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan.

8 menit

Kegiatan inti

1.

Memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan diperankan, misalnya seorang pembeli akan melakukan transaksi jual beli di sebuah pertokoan, maka siswa diberikan gambaran apa yang dilakukan oleh pembeli dan penjual dalam transaksi tersebut.

Memperhatikan penjelasan dari guru agar tidak mengalami kesulitan ketika melaksanakan kegiatan bermain peran.

10 menit

2.

Menetapkan pemain yang akan terlibat dalam Role Playing, peranan yang harus diperankan oleh pemeran dan waktu yang disediakan untuk melakukan kegiatan Role Playing

Menentukan pemain yang akan terlibat berdasarkan kesepakatan semua siswa dan persetujuan guru.

Menentukan peranan yang dimainkan oleh setiap pemain berdasarkan kesepakatan semua siswa dan persetujuan guru.

Memperhatikan penjelasan dari guru mengenai waktu yang diberikan kepada pemain untuk memainkan perannya.

5 menit

3.

Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam pemeranan Role Playing

Bertanya mengenai semua yang berkaitan dengan kegiatan bermain peran yang akan dilakukan.

5 menit

4.

Guru beserta siswa yang tidak terlibat dalam pemeranan Role Playing memperhatikan kelompok pemeran yang sedang melakukan tugasnya.

Apabila ketika role playing sedang berlangsung ada pemeran yang kesulitan, guru dapat memberikan bantuan.

Melaksanakan pemeranan Role Playing.

30 menit

5.

Melakukan diskusi tentang kegiatan Role Playing yang baru saja dilakukan khususnya pada kegiatan yang mengarah pada konsep harga jual, harga beli, untung, persentase untung, rugi, dan persentase rugi.

Siswa yang memainkan peran dapat membagi pengalamannya pada siswa yang tidak memainkan peran.

Siswa menjawab pertanyaan guru mengenai konsep harga jual, harga beli, untung, persentase untung, rugi, dan persentase rugi dengan menceritakan kejadian-kejadian dalam Role Playing yang berhubungan dengan konsep-konsep tersebut.

20 menit

6.

Memberikan tes secara individu kepada siswa untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap materi pelajaran

Mengerjakan tes secara individu

15 menit

Kegiatan penutup

1.

Membimbing siswa membuat rangkuman tentang materi pembelajaran hari ini

Membuat rangkuman tentang materi pembelajaran hari ini dengan bimbingan dari guru.

10 menit

2.

Melakukan refleksi kegiatan pembelajaran

melakukan refleksi kegiatan pembelajaran

5 menit

3.

Memberikan PR.

Menyuruh siswa untuk membuat kelompok peran yang terdiri dari 4 orang untuk melakukan kegiatan role playing pada sub materi selanjutnya yang dilaksanakan pada pertemuan selanjutnya.

Mencatat PR yang diberikan oleh guru.

Mendengarkan informasi tugas kelompok yang diberikan oleh guru

5 menit

Dari gambaran pelaksanaan pembelajaran tersebut dapat terlihat bahwa model pembelajaran role playing ini dapat di terapkan dalam matematika, tidak hanya dalam materi aritmatika saja, tetapi dalam materi lain pun guru harus kreatif untuk dapat memodivikasi dan mengkombinasi model pembelajaran agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar, menyenangkan dan yang paling penting adalah tujuan dari proses belajar tersebut tercapai.

BAB III

PENUTUP

A.  KESIMPULAN

Metode pembelajaran role playing ini merupakan metode pembelajaran yang melibatkan siswa untuk aktif dan siswa ikut berperan penting dalam pembelajaran. Penggunaan metode pembelajaran role playing ini dapat membuat suasana belajar menjadi lebih menyenangkan sehingga memotivasi siswa dan siswa menjadi antusias saat pembelajaran.

Setiap metode tentu memiliki kelemahan dan kelebihannya asing-masing begitupun dengan metode pembelajaran role playing ini, oleh karena itu seorang guru atau pendidik perlu memadukan pembelajaran role playing ini dengan metode-metode lain sesuai dengan materi atau standar kompetensi yang hendak dicapai siswa. Dengan demikia selain dari siswa yang termotivasi untuk belajar, proses pembelajaran berlangsung sesuai dengan yang di harapkan guru pun akan terbantu dengan hasil pembelajaran yang memang sesuai.

B.       Saran

Pemaparan mengenai  metode pembelajaran role playing dalam makalah ini tentu jauh dari sempurna, dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

            Hardini, Israni dan Dewi Puspiasari. 2012. Strategi Pembelajaran Terpadu. Yogyakarta: Familia.

            A’la, Miftahun. 2011. Quantum Teaching. Yogjakarta: Diva Press.

            Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

            Tim Edukatif. 2006. Kompeten Berbahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

            Tarigan, Djago. 1986. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

            Hamalik, Oemar. 2001. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bandung: Bumi Aksara

            Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembalajaran. Jakarta ; Media Grup

            Sudiana, Nana. 1987.Dasar-dasar Prses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo

//ras-eko.blogspot.com/2011/05/model-pembelajaran-role-playing.html

Posted: January 14, 2013 in Artikel Publik

I.            PENDAHULUAN

            Sebagai seorang guru, guru haru jelih melihat keadaaan para siswa-siswanya baik di dalam pembelajaran atau pun diluar pembelajaran. Begitu pula ketika proses belajar-mengajar di mulai, guru harus mampu menyusun strategi pembelajaran yang ampuh untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.   Seorang guru tidak selayaknya masuk ke dalam kelas dan mengajar seadanya tanpa persiapan sama sekali. Karena setiap bahan pembelajaran butuh strategi yang dijabarkan lewat model pembelajaran agar sbsatnsi pembelajaran tercapai secara maksimal. Djumungin (2011: 43) dalam  bukunya menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah keseluruhan pola umum kegiatan guru-siswa dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan. Beliau menambahkan bahwa Strategi pembelajaran bahasa tersebut memilki variasi penyajian yang disebut model-model pembelajaran bahasa Indonesia. Sehubungan denga itu, Amadi juga mengerucutkan bahwa strategi belajar-mengajar keterampilan berbahasa Indonesia adalah pola KBM yang dipilih oleh tenaga pengajar untuk melaksanakan program belajar-mengajar keterampilan berbahasa Indonesia. Dalam model-model ini, seorang guru akan mendisain dan melaksanakan proses belajar-mengajar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, serta situasi dan kodisi pembelajaran berlangsung. Artinya, guru dapat saja mengubah model pembelajaran apabila situasi dan kondisi pembelajaran tidak memungkinkan. Menurut Djumungin (2011: 121), model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang sistematis untuk mengorganisasikan pembelajaran. Model dapat diartikan sebagai perangkat rencana atau pola yang digunakan oleh guru untuk merancang bahan-bahan pembelajaran. Model dapat juga diartikan sebagai perangkat rencana atau pola yang digunakan oleh guru untuk merancang bahan-bahan pembelajaran. Beliau menambahkan bahwa tidak satu pun model yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada model lainnya. Begitu pula tidak ada satu pun model yang paling ampuh untuk segala situasi.

Makalah ini akan membahas model pembelajaran inovatif bahasa dan sastra, khususnya model role playing atau sosiodrama. Tentu tidak semua bahan ajar harus menggunakan model tersebut. Namun makalah ini menyajikan secara lengkap mengenai model pembelajaran role playing sebagai model pembelajaran inovatif yang akan dibutuhkan pada bahan-bahan ajar tertentu nantinya pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Berikut penjelasan lengkapnya:


   II.            PEMBAHASAN

A.    Pengertian
            Wikipedia (2012) menyebutkan bahwa role playing adalah sebuah permainan yang para pemainnya memainkan peran tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama. Jill Hadfield (dalam Santoso, 2011) menyatakan bahwa role playing adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang. Hadari Nawawi (dalam Kartini, 2007) menyatakan bahwa bermain peran (role playing) adalah mendramatisasikan cara bertingkah laku orang-orang tertentu dalam  posisi yang membedakan peranan masing-masing dalam suatu organisasi atau kelompok di masyarakat. Sehubungan dengan itu, Santoso (2011) mengatakan bahwa model role playing adalah adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa.  Dengan kata lain bahwa model pembelajaran role playing adalah suatu model pembelajaran dengan melakukan permainan peran yang di dalamnya terdapat aturan, tujuan, dan unsur senang dalam melakukan proses belajar-mengajar.
B.    Karakteristik
            Hapidin (dalam Kartini, 2007) menyatakan bahwa dalam metode ini anak diberi kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya dalam memerankan seorang tokoh atau benda-benda tertentu dengan mendapat ulasan dari guru agar mereka menghayati sifat-sifat dari tokoh atau benda tersebut. Dalam bermain peran, anak diberi kebebasan untuk menggunakan benda-benda sekitarnya dan mengkhayalkannya jika benda tersebut diperlukan dalam memerankan tokoh yang dibawakan. Contoh kegiatan ini misalnya anak memerankan bagaimana Bapak Tani mencangkul sawahnya, bagaimana kupu-kupu yang menghisap madu bunga, bagaimana gerakan pohon yang ditiup angin, dan sebagainya. Baroro (2011) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa dalam role playing peserta didik dituntut dapat menjadi pribadi yang imajinatif, mempunyai prakarsa, mempunyai minat luas, mandiri dalam berfikir, ingin tahu, penuh energi dan percaya diri.
Sehubungan dengan itu, Nursid Sumaatmadja (dalam Kartini, 2007) juga menyatakan bahwa metode bermain peran sangat difokuskan pada kenyataankenyataan yang terjadi di lingkungan masyarakat. metode ini berhubungan dengan penghayatan suatu peranan sosial yang dimainkan anak di masyarakat. Basri Syamsu (dalam Santoso, 2011) menyatakan bahwa dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas, dengan menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Santoso, 2011).
C.    Tujuan Menurut Zuhaerini (dalam Santoso, 2011), model ini digunakan apabila pelajaran dimaksudkan untuk: 1) menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak, dan berdasarkan pertimbangan didaktik lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak; 2) melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial-psikologis; dan 3) melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya. Sementara itu, Davies (dalam Sadali) mengemukakan bahwa penggunaan role playing dapat membantu siswa dalam mencapai tujuan-tujuan afektif.

D.    Manfaat


            Bobby DePorter (Santoso: 2011) mengatakan manfaat yang dapat diambil dari role playing adalah: 1) role playing dapat memberikan semacam hidden practise yaitu murid tanpa sadar menggunakan ungkapan-ungkapan terhadap materi yang telah dan sedang mereka pelajari; 2) role playing melibatkan jumlah murid yang cukup banyak, cocok untuk kelas besar; 3) role playing dapat memberikan kepada murid kesenangan karena role playing pada dasarnya adalah permainan. Dengan bermain murid akan merasa senang karena bermain adalah dunia siswa.
Di sisi lain, Sadali dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada empat asumsi yang mendasari model mengajar ini yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: 1), secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menekankan dimensi “di sini dan kini” (here and now) sebagai isi pengajaran. 2), bermain peran memberikan kemungkinan kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain.3), model ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. 4) model mengajar ini mengasumsikan bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya.
E.     Sintak/Langkah-Langkah Model Pembelajaran Role Playing Djumingin (2011: 174) menyatakan bahwa sintak dari model pembelajaran ini adalah: guru menyiapkan skenario pembelajaran; menunjuk beberapa siswa untuk memelajari skenario tersebut; pembentukan kelompok siswa; penyampaian kompetensi; menunjuk siswa untuk melakonkan skenario yang telah dipelajari; kelompok siswa membahas peran yang dilakukan oleh pelakon; presentasi hasil kelompok; bimbingan penyimpulan; dan refleksi. Secara lebih lengkap, berikut langkah-langkah sistematisnya:
  1. Guru menyuruh menyiapkan skenario yang akan ditampilkan;
  2. Guru menunjuk beberapa siswa untuk memelajari skenario yang sudah dipersiapkan dalam beberapa hari sebelum kegiatan belajar-mengajar;
  3. Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya lima orang;
  4. Guru memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai;
  5. Guru memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan;
  6. Setiap siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan;
  7. Setelah selesai ditampilkan, setiap siswa diberikan lembar kerja untuk membahas penampilan kelompok masing-masing;
  8. Setiap kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya;
  9. Guru memberikan kesimpulan secara umum;
  10. Evaluasi;
  11. Penutup.
F.     Kelebihan dan Kekurangan
Banyak kelebihan yang dimiliki model pembelajaran role playing. Kelebihan-kelebihan tersebut di antaranya:
  1. Menarik perhatian siswa karena masalah-masalah sosial berguna bagi mereka;
  2. Bagi siswa; berperan seperti orang lain, ia dapat merasakan perasaan orang lain; mengakui pendapat orang lain itu; saling pengertian; tenggang rasa; toleransi;
  3. Melatih siswa untuk mendesain penemuan;
  4. Berpikir dan bertindak kreatif;
  5. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis karena siswa dapat menghayatinya;
  6. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan;
  7. Menafsirkan dan mengevaluasi hadil pengamatan;
  8. Merangsang perkembangan kemajuan berpikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat;
  9. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja (Djumingin, 2011: 175-176)..
  10. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh;
  11. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan;
  12. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias;
  13. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi (Santoso, 2011).
Selain memiliki kelebihan, model pembelajaran role playing pun bukanlah model pembelajaran yang sempurna dan tentu memiliki kekurangan seperti halnya model pembelajaran lainnya. Kekurangan-kekurangan tersebut di antaranya:
    1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misalnya, terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut;
    2. Guru harus memahami betul langkah-langkah pelaksanaannya, jika tidak dapat mengacaukan pembelajaran;
    3. Memerlukan alokasi waktu yang lebih lama (Djumingin, 2011: 175-176).
    4. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu;
Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain pemeran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai (Santoso, 2011).
G.    Penelitian Role Playing
Model Pembelajaran role playing telah banyak digunakan oleh orang-orang termasuk para ahli pendidikan dalam melakukan penelitian. Bukan hanya dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia namun metode pembelajaran ini dapat dipakai sebagai penelitian di mata pelajaran yang lain. Berikut penelitian-penelitian yang memakai model pembelajaran role playing:
  1. Penerapan role playing untuk meningkatkan pemahaman teks cerita rakyat pada pembelajaran bahasa indonesia siswa kelas V SDN Tegalweru Kabupaten Malang oleh Rika Evalia Ariyanti (2010).
  2. Penerapan model pembelajaran role playing pada mata pelajaran menemukan peluang baru pelanggan untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar (studi pada siswa kelas X Pemasaran di SMK Islam Batu Malang) oleh Franu Wijaya (2011).
  3. Upaya meningkatkan nilai-nilai karakter peserta didik melalui penerapan metode role playing oleh Kiromim Baroro (2010/2011).
  4. Penggunaan metode role playing untuk meningkatkan minat siswa dalam pembelajaran pengetahuan sosial di kelas V SDN Cileunyi I Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung oleh Tien Kartini (2007).
  5. Pengaruh penerapan model pembelajaran role playing terhadap aktifitas guru dan hasil belajar dalam mata pelajaran pendidikan ips di sekolah dasar (penelitian tindakan kelas di sd negeri lemah abang 2 tanjung, kabupaten brebes) oleh Sadali.
Penelitian-penelitian tersebut terbukti meningkatkan kemampuan belajar siswa dengan signifikan. Dengan menggunakan model pembelajaran role playing, siswa-siswa tidak merasakan kebosanan sepeti sebelum mereka melangsungkan proses belajar-mengajar tanpa menggunakan model tersebut. Model pembelejaran tersebut membuat semua siswa aktif dalam pembelajaran sehingga kemampuan mereka pun meningkat dari keadaan sebelumnya. Oleh karena itu, memang selayaknya model pembelajaran role playing untuk diteliti lebih jauh baik penggunaan dan manfaat lainnya.

III PENUTUP

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Kedisiplinan Belajar dapat ditanamkan kepada siswa-siswi melalui beberapa pembelajaran di kelas. Pilihan pembelajaran atau model pembelajaran merupakan bagian yang penting dan membutuhkan kejelian serta inovasi guru dalam proses transformasi ilmu pengetahuan atau nilai-nilai.  Pada dasarnya manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal, agar dengan pendidikan potensi dirinya dapat berkembang melalui proses pembelajaran atau cara lain yang dikenal dan dilakukan oleh masyarakat. Lahirnya generasi baru yang cerdas dan handal adalah suatu keharusan bagi suatu bangsa, para pendidik (guru) serta orang tua.

Upaya meningkatkan aktivitas belajar murid merupakan tantangan yang selalu dihadapi oleh setiap orang yang berkecimpung dalam propesi keguruan dan pendidikan. Banyak upaya yang telah dilakukan dan banyak pula keberhasilan yang telah dicapai, meslipun keberhasilan itu belum sepenuhnya memberuikan kepuasan bagi masyarakat dan para pendidik, sehingga sangat menuntut renungan, pemikiran dan kerja keras orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidkan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Proses dan pemecahan masalah pembelajaran di kelas dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya melalui diskusi kelas, tanya jawab antara guru dan peserta didik, Inquiry dan metode-pembelajaran lain. Oleh karena itu seorang guru dituntut untuk dapat membawa dirinya sebagai agen pembawa informasi dengan baik. Guru yang kreatif selalu mencari pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton. Untuk melaksanakan proses pebelajaran perlu dipikirkan pembelajaran pembelajaran yang tepat. Pemilihan pembelajaran disamping harus disesuaikan dengan materi dan tujuan pembelajaran juga ditetapkan dengan melihat kegiatan yang akan dilakukan, pembelajaran pembelajaran sangat beraneka ragam, guru dapat memilih pembelajaran pembelajaran yang efektif untuk mengantarkan murid mencapai tujuan.

Bermain peran pada prinsipnya merupakan pembelajaran untuk menghadirkan peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu pertunjukan peran di dalam kelas atau pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap. Misalnya: menilai keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian memberikan saran atau alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Pembelajaran ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam pertunjukan, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran.

Karena fenomena itulah maka perlu adanya pengkajian lebih lanjut yang bertujuan untuk membahas apa dan bagaiman metode pembelajaran role play atau bermain peran, serta aplikasinya jika diterapkan dalam pembelajaran sejarah. Agar lebih memahami tentang metode pembelajaran role play atau bermain peran, maka pemberian judul makalah ini adalah “Metode Pembelajaran Role Play”.

1.2          Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini, terdapat  beberapa rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan. Adapun rumusan masalah yang telah  ditetapkan adalah :

1.      Bagaimana pengertian dari metode pembelajaran Role Play?

2.      Bagaimana kelebihan dan kekurangan metode pembelajaran Role Play secara umum?

3.      Bagaimana kelebihan dan kekurangan metode pembelajaran Role play jika diterapkan pada pembelajaran sejarah?

1.3          Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin di capai dari penulisan makalah ini adalah untuk menjawab rumusan masalah diatas, yakni:

1.      Mendiskripsikan pengertian dari metode pembelajaran Role Play.

2.      Mendiskripsikan kelebihan dan kekurangan metode pembelajaran Role Play secara umum.

3.      Mendeskripsikan kelebihan dan kekurangan metode pembelajaran Role play jika diterapkan pada pembelajaran sejarah.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembelajaran Role Play

2.1.1 Pengertian Metode Pembelajaran Role Play

Role playing  adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang. Dalam role playing  murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas, dengan menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, role Playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain. Dalam role playing murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (//www.dedenbinladen.web.id).

Sementara itu, sesuai dengan pengalaman penelitian sejenis yang telah dilakukan, manfaat yang dapat diambil dari role playing  adalah: Pertama, role playing  dapat memberikan semacam hidden practise, dimana murid tanpa sadar menggunakan ungkapan-ungkapan terhadap materi yang telah dan sedang mereka pelajari. Kedua, role playing  melibatkan jumlah murid yang cukup banyak, cocok untuk kelas besar. Ketiga, role playing  dapat memberikan kepada murid kesenangan karena role playing  pada dasarnya adalah permainan. Dengan bermain murid akan merasa senang karena bermain adalah dunia siswa.

2.1.2  Langkah-langkah Pembelajaran Role Play

Syaiful Imran (2009) www.ipotes.com, menjelaskan langkah-langkah role playing atau bermain peran, yaitu : (1) Guru menyusun atau menyiapkan skenario yang akan ditampilkan, (2) menunjuk beberapa murid untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum kegiatan belajar, (3) guru membentuk kelompok murid yang anggotanya 5 orang, (4) memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai, (5) memanggil para murid yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan, (6) masing-masing murid berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan, (7) setelah selesai ditampilkan, masing-masing murid diberikan lembar kerja untuk membahas penampilan masing-masing kelompok, (8) masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya, dan (9) guru memberikan kesimpulan secara umum.

2.1.3 Tujuan Pembelajaran Role Play

Menurut Zuhaerini (1983:56), model ini digunakan apabila pelajaran dimaksudkan untuk: (a) menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya menyangkut orang banyak, dan berdasarkan pertimbangan didaktik lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak; (b) melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial-psikologis; dan (c) melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa penggunaan model ini dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Ada empat asumsi yang mendasari model ini memiliki kedudukan yang sejajar dengan model-model pengajaran lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: Pertama, secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menekankan dimensi “di sini dan kini” sebagai isi pengajaran. Kedua, bermain peran memberikan kemungkinan kepada para murid untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain. Ketiga, model ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Keempat, model mengajar ini mengasumsikan bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi berupa sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya.

Mudairin (2009: 4) menjelaskan bahwa untuk dapat mengukur sejauh mana bermain peran memberikan manfaat kepada pemeran dan pengamatnya ditentukan oleh tiga hal, yakni (1) kualitas pemeranan; (2) analisis yang dilakukan melalui diskusi setelah pemeranan; (3) persepsi murid terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi nyata dalam kehidupan. Pembelajaran dengan model role play dilaksanakan menjadi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut: (1) tahap memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran; (3) menyiapkan pengamat; (4) menyiapkan tahap-tahap permainan peran; (5) pemeranan; (6) diskusi dan evaluasi; (7) pemeranan ulang; (8) diskusi dan evaluasi kedua; (9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi.

2.2. Kelebihan dan Kekurangan Metode Pembelajaran Role Play Secara Umum

2.2.1. Kelebihan dari Metode Pembelajaran Role Play Secara Umum

Metode role playing atau bermain peran, banyak melibatkan siswa dan membuat siswa menjadi senang belajar. Menurut Adorn dan Mbirirnujo, metode bermain peran mempunyai nilai tambah, yang pertama, dapat menjamin jika seluruh siswa dapat berpartisipasi dan mempunyai kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerja sama hingga berhasil, dan kedua , permahaman merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak. Butir yang kedua inilah yang menjadi dasar dalam bermain peran, yang menyatakan bahwa anak-anak dapat belajar dengan baik pada saat pelajaran tersebut dapat menyenangkan. Menurut Kristiani, dengan menerapkan metode bermain peran akan terjadi suasana yang menggembirakan bagi siswa selama mereka belajar metode role playing dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang sedang dipelajari (Marrah, 2010).

Selain memiliki nilai tamabah, metode role playing ini juga memiliki banyak kelebihan. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda. Guru dapat mengevaluasi pengalaman siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa. Disamping merupakan pengalaman yang menyenangkan yang sulit untuk dilupakan, metode role playing juga sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat menumbuhkan atau membuka kesempatan bagi lapangan kerja (Widyatun, 2012).

Selain itu, metode role playing juga dapat melatih daya imajinasi siswa (wordpress, 2011). Memberikan kesempatan kepada anak didik untuk berlatih kemampuan verbal dengan mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari. Mempelajari perasaan baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat terhadap sebuah peristiwa yang terjadi dalam sebuah tatanan sosial. Belajar memberikan pandangan terhadap suatu tingkah laku dan nilai utamanya yang berkenaan dengan hubungan antar manusia. Mengembangkan keberanian dan percaya diri peserta didik dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah. Meningkatkan gairah peserta didik dalam pembelajaran (Khoiri, 2011).

2.3.1. Bagaimana Kelemahan dari Metode Pembelajaran Role Play Secara Umum

Hakekatnya sebuah ilmu yang tercipta oleh manusia tidak ada yang sempurna,semua ilmu ada kelebihan dan kekurangan. Jika kita melihat metode Role Playing dalam dalam cakupan cara dalam prooses mengajar dan belajar dalam lingkup pendidikan tentunya selain kelebihan terdapat kelemahan. Kelemahan metode role palying antara lain, metode bermain peranan memerlukan waktu yang relatif panjang/banyak. Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun murid. Dan ini tidak semua guru memilikinya. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu. Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain pemeran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini (Widyatun, 2012).

Metode role playing juga menimbulkan kegaduhan sehingga terkadang menyebabkan kelas yang lain merasa terganggu, dibutuhkan keteampilan guru dalam mengelolah permainan, siswa kurang maksimal atau menghayati peran yang dilakoninya, membutuhkan banyak waktu untuk melakukan persiapan danam bermain peran, dan dibutuhkan kecakapan bahasa yang baik dari siswa (Marrah, 2010). Pengalaman pembelajaran yang dicapai terkadang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Apabila pengelolaan kelas kurang baik maka metode ini sering menjadi hiburan sehingga tujuan pembelajaran tidak tercapai. Memakan banyak waktu. Faktor psikilogis seperti takut dan malu sering mempengaruhi peserta didik dalam menjalankan peran mereka (Khoiri, 2011).

Diposkan oleh kanjeng suga di 19.49

sebelum kita melangkah mari kita pertimbangkang secara matang atas apa yang akan kita perbuat, apakah yang kita perbuat ada dampak positifnya bagi kita ataupun orang lain, ataupun malah sebaliknya yaitu berdampak negatif bagi diri kita ataupun orang lain. maka dari itu setiap perbuatan yang akan kita lakukan harus ada perencanaan yang matang dan ada nilai positifnya...

Diposkan oleh novi ariyaniasparagus di 00.44

    PENGENALAN MODEL JURISPRUDENSIAL

1 Model Jurisprudensial

Model Penelitian Jurisprudensial dipelopori oleh Donal Oliver dan James P. Shaver dari Harvard yang didasari pada pemahaman bahwa setiap orang berbeda pandangan dan prioritas satu sama lain dengan nilai sosial saling berhadapan. Untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan pandangan masyarakat, setiap anggota masyarakat dituntut untuk mampu berbicara dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan.

Pendidikan harus mampu menghasilkan individu yang mampu mengatasi konflik perbedaan dalam berbagai hal. Model pembelajaran ini membantu siswa untuk belajar berpikir sistematis tentang isu-isu sosial membantu siswa berpartisipasi dalam mendefinisikan ulang nilai-nilai sosial tersebut, sehingga siswa peka terhadap permasalahan sosial, berani mengambil sikap, mempertahankan sikap tersebut dengan argumentasi yang relevan dan valid. Siswa juga dituntut bisa menerima atau menghargai sikap orang lain yang mungkin berbeda dan bertentangan dengan sikapnya.

Sebelum mengambil sikap siswa harus mempunyai pengetahuan dibidang sejarah, sosiologi, ekonomi dan politik. Sehingga bidang kajian yang tepat untuk model pembelajaran Penelitian Jurisprudensial adalah konflik rasial, etnis, ideologi, keagamaan, keamanan, konflik antar golongan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan keamanan nasional.

Variable pembelajaran model ini terukur dari: (1) kemampuan siswa dalam menelaah berbagaipermasalahan public, dengan cara memaparkan kesalahan/pelanggaran yang terjadi, menganalisa posisi hokum dari dua sisi. (2) Sikap demokratis, hal ini ditandai dengan siswa berdialog, yaitu menghargai pendapat orang lain. (3) Pengetahuan guru yang luas, ditandai dengan penguasaan guru terhadap permasalahan pokok yang terjadi di dalam masyarakat.

Dapat disimpulakan pembelajaran model Jurisprudru terhadap ensial adalah pembelajaran dengan cara penelitian demokratis terhadap permasalahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan cara berfikir kritis berdasarkan nilai-nilai sosial yang terdapat dimasyarakat

2   Prinsip-prinsip Model Jurisprudensial

Prinsip-prinsip Model Jurisprudensial adalah sebagai berikut:

a.         Mengabstraksikan nilai-nilai umum dari situasi-situasi nyata. Jadi pebelajar mencoba melihat dan meletakkan masalah/situasi-situasi konkrit kedalam kerangka etik yang berlaku umum.

b.         Penggunaan konsep-konsep nilai umum. Ini berarti pebelajar melihat kemungkinan dari konsep nilai yang dapat dipergunakan.

c.         Identifikasi pertentangan/perbedaan antara nilai. Dengan kata lain menentukan lebih dari satu nilai yang dapat diabstraksi pada suatu situasi.

d.        Identifikasi kelompok nilai dari situasi-situasi yang bertentangan. Dalam hal ini pebelajar belajar mengidentifikasikan masalah-masalah nyata daripada melihat persamaan dan perbedaannya, serta mengembangkan kosep daripada situasi yang kontro-versial.

e.         Mengembangkan analogi bagi masalah-masalah. Dalam hal ini pebelajar melihat konsistensi dan ketidak konsistensiannya. Misalnya bila kita mengidentifikasi 5 (lima) situasi yang berkaitan dengan nilai yang sama, maka kita akan menentukan posisi kita atas nilai yang konsisten dengan membuat analogi-analogi dan membandingkannya dengan nilai tiap situasi itu.

f.          Melangkah kepada posisi umum yang qualified. Dalam hal ini pebelajar akan mengambil keputusan atas dua nilai yang bertentangan. Keputusan tersebut menuju kepada hal yang dapat diterima secara umum dalam masyarakat.

g.         Menguji keputusan-keputusan nilai yang telah diambil. Dalam hal ini pebelajar menguji sejauh mana efektifnya asumsi-asumsi atau keputusan yang telah diambil itu.

h.         Menguji relevansinya keputusan itu untuk situasi khusus. Di sini pebelajar menguji untuk situasi sosial mana saja keputusan nilai yang telah diambil dapat berlaku.

       Hakekat daripada model pembelajaran ini adalah mengembangkan kegiatan-kegiatan intelektual lewat dialog menurut prinsip di atas. Dialog pada model ini dikenal dengan dialog Socrates, siswa memposisikan diri dengan pendapatnya dan guru aktif memberikan pertanyaan. Pertanyaan dari guru mendorong siswa aktif untuk mengkritisi permasalahan  

3 Gambaran Karakteristik Model Penelitian Jurisprudensial

Oliver and Shaver, (1966/1974, hal. 89) membagi tiga macam jenis masalah yang dapat dipresentasikan dalam pembelajaran menggunakan model Jurisprudensial: (1) Value Problem, menjelaskan dengan memberikan penilaian berdasarkan prinsip-prinsip umum pada permasalahan tersebut. (2) Factual Problem, menjelaskan fakta kejadian yang sedang terjadi saat ini/hot issue. (3)  Defenition problem, menjelaskan makna yang sesungguhnya menjadi kontroversi

Gambaran karakteristik model Jurisprudensial ini adalah sebagai berikut (menurut Joyce dan weil 1986):

(1)   Sintakmatik.

Tahap ini mengidentifikasi isu-isu sosial. Guru menyajikan beberapa isu-isu sosial yang bersumber baik pada bahan pelajaran atau situasi sosial yang ada dalam masyarakat. Lalu melakukan dialog menurut langkah-langkah kegiatan intelektual. Guru membimbing dan memimpin diskusi. Tahap sintak matik secara rinci adalah:

a.       Pengenalan terhadap kasus.

- Guru memperkenalkan kasus kepada siswa atau isu terbaru dengan bercerita, memutar film atau menggambarkan kejadian hangat yang terjadi dalam masyarakat.

- Guru mengkaji ulang data yang menggambarkan kasus.

b.      Mengidentifikasi kasus/memecahkan masalah. Siswa memsisntesis fakta kedalam isu yang dihadapi, mengaitkan dengan isu umum dan mengidentifikasi nilai-nilai yang terlibat. Siswa juga memiliki keterampilam untuk mengkaji. Tingkat kerumitan pada tiapkajian harus di sesuaikan dengan tingkat usia dan lingkungan siswa.

c.       Menetapkan posisi. Siswa diminta untuk mengambil posisi mengenai isu tersebut dan menyatakan sikap menerima atau menolak.

d.      Mengeksplorasi contoh dan argumentasi terhadap sikap. Siswa diminta menggali lebih dalam sikapnya dengan meneksplorasi contoh dengan memberikan argumen logis dan rasional. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan konfrontatif kepada siswa tentang sikapnya. Siswa diuji konsistensi sikapnya dengan mempertahankan sikap dengan argumennya.

e.       Menguji posisi. Jika argumen kuat, logis dan rasional maka siswa akan mempertahankan sikapnya (konsisten) dan posisi siswa dapat berubah (inkonsisten) jika argumen tidak kuat.

f.       Menguji asumsi. Guru mendiskusikan apakah argumentasi yang digunakan untuk mendukung sikap relevan atau valid.

(2)   Prinsip Reaksi

Guru menjaga suasana intelektual dimana semua pendapat dihargai, mengarahkan debat kepada potensi-potensi yang benar. Guru menjamin iklim intelektual dalam diskusi sehingga semua pandangan yang diungkapkan siswa dihormati oleh siswa lain. Guru memelihara kekuatan intelektual dalam debat secara kontinu yang menekankan pada enam langkah kerangka Jurisprudensial.

(3)  Sistem Sosial

Guru sebagai moderator mengambil inisiatif dan mengontrol diskusi dalam suasana keterbukaan intelektual. Kerangka kerja Jurisprudensial dibangun dengan asumsi akan ada dialog hangat, membuat situasi kurang dan lebih demokratis dengan pandangan kritis masing-masing dan pemikiran yang setara dan juga subjek sama-sama teliti. Iklim sosial akan terjadi untuk analisis kritis terhadap nilai yang hanya mungkin terbuka. Disinilah peran guru untuk menekankan jalannya dialog dengan memainkan peran memimpin dan bertanggungjawab menjadikan debat solid dan isu dieksplorasi secara baik.

(4)  Sitem Pendukung

Dua jenis pendukung diperlukan dalam model pembelajaran Jurisprudensial. (1) Guru meminta siswa untuk mengidentifikasi informasi yang difokuskan pada situasi masalah yang dibahas. (2) Akses/sumber-sumber lain mengkondisikan siswa belajar nilai dan memiliki identifikasi etika dan posisi hukum yang dapat dibawa untuk mendukung dalam diskusi.

(5)  Dampak Instruksional dan dampak Pengiring

Model pembelajaran Jurisprudensial dirancang untuk mengajarkan secara langsung, Komitmen terhadap peranan orang lain dan kemampuan untuk berdialog. Secara tidak langsung mempunyai kemampuan menganalisis isu-isu sosial, menghargai pluralisme, memahami fakta-fakta masalah sosial dan kemampuan berpartisipasi dan kesediaan melakukan tindakan sosial.

Penggunaan model Juresprudensial diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan instructional effects dan nurturant effects seperti terlihat pada diagram berikut ini:

Gambar 1.9. Model Pembelajaran Penelitian  Juresprudensial

Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

(1) Orientasi kasus, pada tahapan ini pengajar memperkenalkan materi pelajaran dan mereviu data yang ada.

(2) Mengidentifikasi kasus, pada tahapan ini, siswa mensintesiskan fakta-fakta ke dalam suatu kasus yang dihadapi, memilih salah satu kasus kebijaksanaan pemerintah untuk didiskuskan, mengidentifikasi nilai-nilai dan konflik yangterjadi, mengenali fakta yang melatarbelakangi kasus dan pertanyaan yang terdefinisikan.

(3) Menetapkan posisi, pada tahapan ini siswa menimbang-menimbang posisi atau kedudukannya, kemudian menyatakan kedudukannya dalam konflik nilai tersebut dan dalam hubungannya dengan konsekuensi dari kedudukan itu.

(4) Mengeksplorasi contoh-contoh dan pola-pola argumentasi, pada tahapan ini siswa menetapkan titik di mana tampak adanya perusakan nilai atas dasar data yang diperoleh, membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dari posisi yang dipilih, menjernihkan konflik nilai dengan melakukan proses analogi, menetapkan prioritas dengan cara membandingkan nilai yang satu dengan yang lainnya dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu nilai.

(5) Menjernihkan dan menguji posisi, pada tahapan ini siswa menyatakan posisinya dan memberikan rasional mengenai posisinya tersebut, dan kemudian menguji sejumlah situasi yang serupa, siswa meluruskan posisinya.

(6) Menguji asumsi faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluruskannya, pada tahapan ini siswa mengidentifikasi asumsi faktual dan menetapkan sesuai atau tidaknya, menetapkan konsekuensi yang diperkirakan dan menguji kesahihan faktual dari konsekuensi tersebut.

   APLIKASI MODEL PENELITIAN JURISPRUDENSIAL DALAM PEMBELAJARAN

Model Penelitian Jurisprudensial termasuk pada pembelajaran inovatif. Karena pembelajaran dengan menggunakan model ini berhubungan dengan sosial. Model ini menuntut guru agar kreatif dan inovatif terhadap isu yang berkembang dalam masyarakat dan mengaitkannya kedalam proses belajar. Seseorang guru harus menggali wawasan yang cukup dan mengambil posisi terlebih dahulu dengan argumentasi yang cukup. Pada saat dikelas dia akan mudah memberikan pertanyaan konfrontatif begitu posisi siswa telah ditetapkan.

Seorang guru seharusnya mempersiapkan pertanyaan konfrotatif sesuai dengan isu yang akan didialogkan dalam kelas sehingga dialog terjadi secara alami dan tidak terkesan kaku. Strategi belajar ini menuntut dialog interaktif antara guru dengan siswa untuk mengeksplorasi ranah publik yang kontroversial sehingga dimungkinkan terjadi dialog hangat yang bisa mengarah ke debat kusir. Disinilah peran guru dituntut untuk mengembangkan iklim intelektual dalam debat.

Untuk mengubah model pembelajaran dari ceramah yang tidak menuntut keaktifan siswa ke model Jurisprudensial yang menuntut siswa aktif, akan menyulitkan guru pada awalnya karena tidak biasa dalam menyusun persiapan dan tindakan di kelas. Siswa juga sulit mengutarakan pendapat pada awalnya, dan akan menjadi kebiasaan berpendapat jika diterapkan setiap kali berkembang isu hangat didalam proses belajar. Terlihat jelas dalam prosesnya terdapat proses berfikir kritis, peka dan kreatif. Setiap siswa yang memberikan pendapat disertakan dengan jalan keluar menurut mereka masing-masing.


IV.             KELEBIHAN DAN KEKURANGAN MODEL JURISPRUDENSIAL DALAM PEMBELAJARAN

Kelebihan model Penelitian Jurisprudensial

1.    Memotivasi siswa untuk aktif menganalisis sebuah kasus sehingga tidak mudah menentukan sikap dan menyimpulkan tanpa dasar.

2.    Memotivasi siswa untuk berdebat secara aktif dan memberi argumen logis dan rasional, sehingga meningkatkan kemampuan verbal siswa.

3.    Mengembangkan keterbukaan dan menghargai perbedaan pendapat.

4.    Mengembangkan pengetahuan dan wawasan siswa tentang sebuah kasus.

5.    Banyak isu sosial yang berkembang dalam masyarakat sehingga model ini mudah diterapkan untuk setiap kompetensi dasar.

Kelemahan model Penelitian Jurisprudensial

1.    Membutuhkan implementasi yang cukup lama karena perubahan metode pembelajaran sebelumnya yang tidak menuntut keaktifan siswa.

2.    Sulit untuk mengarahkan argumentasi siswa pada awalnya karena tidak semua siswa mempunyai pengetahuan yang cukup sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi debat kusir.


V.                PENUTUP

Pembelajaran dengan menggunakan model penelitian Jurisprudensial sangat cocok belajar ilmu-ilmu sosial yang selalu mengimplementasikan isu-isu terkini. Pelaksanaannya dapat dipadukan dengan model lain seperti ceramah, agar lebih efektif dalam mencapai tujuan belajar.

Dalam pengembangan model ini ada beberapa prinsip-prinsip yang harus diperhatikan. Dalam pelaksanaannya, model ini termasuk dalam pembelajaran inovatif. Karakteristik Model Penelitian Jurisprudensial adalah memiliki sintakmatik, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung dan dampak intruksional dan pengiring.

            Model Penelitian Jurisprudensial memotivasi siswa untuk aktif, berani berdialog, berpendapat, bersikap, menganalisis sikap, berargumentasi dan menghargai perbedaan pendapat.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas  dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :

1.                  Bagaimana tujuan dan asumsi pembelajaran model jurisprudensial ?

2.                  Apa saja tahapan model pembelajaran jurisprudensial  ?

3.                  Bagaimana struktur dari model pembelajaran jurisprudensial ?

4.                  Bagaimana reaksi pengajar dari pembelajaran jurisprudensial ?

5.                  Apa bahan utama yang diperlukan dalam model pembelajaran jurisprudensial ?

6.                  Apa dampak instruksional dan pengiring dari model pembelajaran jurisprudensial ?

MODEL PEMBELAJARAN JURISPRUDENSIAL

A.    TUJUAN DAN ASUMSI

Sebagaimana dijelaskan oleh Joyce dan Weil (1986:260-267) model ini memiliki sejumlah karakteristik. Dasar pemikiran model ini adalah konsepsi tentang masyarakat yang memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda mengenai nilai sosial yang secara hukum saling bertentangan satu dengan yang lain untuk memecahkan masalah yang kontrovensional dalam konteks sosial yang produktif.  Setiap warga negara perlu mempunyai kemampuan untuk dapat berbicara kepada orang lain dan berhasil dengan baik melakukan kesempatan dengan orang lain.

Setiap warga negara harus mampu menganalisis secara cerdas dan mengambil contoh masalah sosial yang paling tepat, yang pada hakikatnya berkenaan dengan dengan konsep keadilan, hak asasi manusia yang memang menjadi inti dari kehidupan demokrasi. Untuk dapat melakukan aktivitas tersebut harus diperlukan tiga kemampuan, yakni:

a) mengenal dengan baik nilai yang berlaku dalam sistem hukum dan politik yang ada di lingkungan negaranya.

b) memiliki seprangkat keterampilan untuk dapat digunakan dalam menjernihkan dan memecahkan masalah nilai; dan

c)   menguasai atau memiliki pengetahuan tentang masalah politik yang bersifat kontemporer yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan negaranya.

            Hal yang paling tepat digunakan sebagai bidang kajian dalam model ini ialah: konflik antargolongan, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan serta keamanan nasional. Lingkup dan tingkat kemampuan dari masing-masing bidang kajian tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan tingkat usia dan lingkungan siswa.

B.     SINTAKMATIK

Model jurisprudensial ini memiliki enam tahap, di antaranya sebagai berikut.

Tahap Pertama: Orientasi Terhadap Kasus.

a)      pengajaran mengenalkan bahan-bahan ; dan

b)      pengajaran melihat ulang data yang tersedia.

Tahap Kedua: Mengidentifikasi Isu atau Kasus.

a)      Siswa mensintesiskan fakta-fakta ke dalam isu yang dihadapi;

b)      Siswa memilih salah satu isu kebijakan pemerintah untuk didiskusikan;

c)      Siswa mengidentifikasikan nilai-nilai dan konflik nilai; dan

d)     Siswa mengenali fakta yang melatarbelakangi isu dan pertanyaan yang didefinisikan.

Tahap Ketiga: Menetapkan Posisi

Siswa menimbang-nimbang posisi atau kedudukannya. Kemudian penyatakan kedudukannya dalam konflik nilai itu dalam hubungannya dengan konsekuensi dari kedudukan itu.

Tahap Keempat:Mengeksplorasi Contoh-contoh dan Pola Argumentasi.

Menetapkan titik di tempat terlihat adanya perusakan nilai atas dasar data yang diperoleh;

a)      Membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan tidak diinginkan dari posisi yang dipilih;

b)      Menjernihkan konflik nilai dengan melakukan proses analogai; dan

c)      menetapkan prioritas dengan cara membandingkan nilai yang satu dengan yang lain dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu nilai.

Tahap Kelima: Menjernihkan dan menguji posisi .

a)      Siswa menyatakan posisinya dan memberikan rasioanal mengenai posisinya dan kemudian menguji sejumlah situasi yang serupa ; dan

b)      Siswa meluruskan posisinya

Tahap Keenam: Mengetes asumsi Faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluluskan.

a)      mengidentifikasi asumsi faktual dan menetapkan sesuai tindakannya;dan

b)      menetapakan kosekuensi yang diperkirakan dan menguji kesahihan faktual dan kosekuensi  itu.

C.    SISTEM SOSIAL

Struktur dari model ini bervariasi mulai dari yang berstruktur sederhana sampai yang kompleks. Secara umum, pengajar mulai membuka tahapan dan bergerak dari tahap satu ke tahap yang lainnya tergantung pada kemampuan para siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya untuk setiap tahapan. Setelah siswa mengalami satu kali proses jurisprudensial, diharapakn masing-masing akan dapat melakukannya tanpa bantuan dari orang lain.

D.    PRINSIP REAKSI

Reaksi pengajar, terutama terjadi pada tahap keempat dan kelima tidak bersifat evaluatif dan tidak menyetujui. Apa yang dilakukan oleh pengajar dalam hal ini hanyalah berupa reaksi terhadap komentar siswa dengan cara memberikan pertanyaan mengenai relevansi, keajegan, kekhususan, atau keumuman dan kejelasan secara definisi. Untuk dapat mengatisipasi nilai yang dianjurkan untuk melacaknya lebih jauh. Peranan pengajar dalam model ini lebih mendekati pada metode dialog gaya Socrates yang memiliki ciri dialektis.

E.     SISTEM PENDUKUNG

Bahan utama yang diperlukan dalam model ini adalah sumber-sumber dokumen yang relavan dengan masalah. Seyognya disediakan sumber-sumber yang dipublikasikan secara resmi mengenai kasus-kasus faktual. Atau dapat pula pengajar mengembangkan dengan cara merangkum informasi mengenai kasus-kasus dari berbagai sumber informasi yang sangat langka, atau yang memang sukar diperoleh oleh siswa. Di dalam menerangkan model ini perlu diperhatikan hal-hal, seperti tingkat usia siswa dan lingkungan belajar yang ada.

F.     DAMPAK INSTRUKSIONAL DAN PENGIRING

Model jurisprudensial ini memiliki dampak instruksional dan pengiring, sebagaimana terlihat dengan gambar berikut:

NO

MODEL  JURISPRUDENSIAL

DAMPAK INSTRUKSIONAL

DAMPAK PENGIRING

1

Kerangka untuk menganalisis isu-isu Sosial

Empathy/pluralisme

2

Kemampuan Mengasumsikan Peranan Orang lain

Fakta tentang Masalah Sosial

3

Kemampuan dalam Berdialog

Kemampuan untuk berpartisipasi dan kesediaan untuk melakukan tindakan sosial

Untuk kepentingan praktis, para pembelajar dapat mengaplikasikan dengan menggunakan kerangka operasional  sebagai berikut:

No.

Model  Jurisprudensial

Kegiatan Pengajar

Langkah Pokok

Kegiatan Siswa

1.

Perkenalkan bahan-bahan ; dan

review data yang tersedia

Orientasi kasus

Temukan dan pilih suatu kasus

2.

Ciptakan suasana menantang

Identifikasi masalah

Kaitkan fakta dengan kasus;

rumuskan satu masalah; dan

identifikasi konflik nilai

3.

Ajukan pertanyaan nilai

Penetapan posisi

Jajaki berbagai posisi nilai; dan

antisipasi konsekuesi setiap posisi.

4.

Minta contoh dan alasannya

Contoh dan argumentasi

Cari variasi contoh yang mendukung, posisi yang dipilih; dan

5.

Minta satu pilihan nilai

Penguji posisi

Nyatakan satu posisi nilai; dan

beri penalaran atas posisi tersebut

6.

Ajukan variasi pelacakan

Pengetesan asumsi

Kaji kesahihan posisi nilai yang dipilih.

PEMBAHASAN

Sebagaimana dijelaskan oleh Joyce dan Weil (1986:260-267) model ini memiliki sejumlah karakteristik. Dasar pemikiran model ini adalah konsepsi tentang masyarakat yang memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda mengenai nilai sosial yang secara hukum saling bertentangan satu dengan yang lain untuk memecahkan masalah yang kontrovensional dalam konteks sosial yang produktif. 

Hal yang paling tepat digunakan sebagai bidang kajian dalam model ini ialah: konflik antargolongan, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan serta keamanan nasional. Lingkup dan tingkat kemampuan dari masing-masing bidang kajian tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan tingkat usia dan lingkungan siswa.

Model jurisprudensial ini memiliki enam tahap, di antaranya sebagai berikut.

1.       Orientasi Terhadap Kasus.

2.      Mengidentifikasi Isu atau Kasus.

3.      Menetapkan Posisi

4.      Mengeksplorasi Contoh-contoh dan Pola Argumentasi.

5.      Menjernihkan dan menguji posisi .

6.      Mengetes asumsi Faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluluskan.

Secara umum, pengajar mulai membuka tahapan dan bergerak dari tahap satu ke tahap yang lainnya tergantung pada kemampuan para siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya untuk setiap tahapan. Setelah siswa mengalami satu kali proses jurisprudensial, diharapakn masing-masing akan dapat melakukannya tanpa bantuan dari orang lain.

Reaksi pengajar, terutama terjadi pada tahap keempat dan kelima tidak bersifat evaluatif dan tidak menyetujui. Apa yang dilakukan oleh pengajar dalam hal ini hanyalah berupa reaksi terhadap komentar siswa dengan cara memberikan pertanyaan mengenai relevansi, keajegan, kekhususan, atau keumuman dan kejelasan secara definisi. Untuk dapat mengatisipasi nilai yang dianjurkan untuk melacaknya lebih jauh. Peranan pengajar dalam model ini lebih mendekati pada metode dialog gaya Socrates yang memiliki ciri dialektis.

Model jurisprudensial ini memiliki dampak instruksional dan pengiring.

Dampak instruksional :

1.      Kerangka untuk menganalisis isu-isu Sosial

2.      Kemampuan Mengasumsikan Peranan Orang lain

3.      Kemampuan dalam Berdialog

Dampak pengiring :

1.      Empathy/pluralism

2.      Fakta tentang Masalah Sosial

3.      Kemampuan untuk berpartisipasi dan kesediaan untuk melakukan tindakan sosial

Untuk kepentingan praktis, para pembelajar dapat mengaplikasikan dengan menggunakan kerangka   operasional  sebagai berikut:

Kegiatan Pengajar :

(1)      Perkenalkan bahan-bahan dan review data yang tersedia (2) Ciptakan suasana menantang (3) Ajukan pertanyaan nilai (4) Minta contoh dan alasannya (5) Minta satu pilihan nilai (6) Ajukan variasi pelacakan

Langkah – langkah pokok

(1)      Orientasi kasus (2) Identifikasi masalah, (3) Penetapan posisi (4) Contoh dan argumentasi (5) Penguji posisi (6) Pengetesan asumsi

Kegiatan siswa :

(1)      Temukan dan pilih suatu kasus (2) Kaitkan fakta dengan kasus; rumuskan satu masalah; dan identifikasi konflik nilai (3) Jajaki berbagai posisi nilai; dan antisipasi konsekuesi setiap posisi.(4) Cari variasi contoh yang mendukung, posisi yang dipilih; (5) Nyatakan satu posisi nilai; dan beri penalaran atas posisi tersebut (6) Kaji kesahihan posisi nilai yang dipilih.

PENUTUP

Model pembelajaran jurispudensial ini melatih siswa untuk peka termadap permasalahan sosial, mengambil posisi/sikap terhadap permasalahan tersebut, serta mempertahankan sikap tersebut dengan argumentasi-argumentasi yang relevan dan valid.

Hal yang paling tepat digunakan sebagai bidang kajian dalam model ini ialah: konflik antargolongan, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan serta keamanan nasional. Lingkup dan tingkat kemampuan dari masing-masing bidang kajian tersebut, tentu saja harus disesuaikan dengan tingkat usia dan lingkungan siswa.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Model Penelitian Jurisprudensial

Model Jurisprudensial dipelopori oleh Donal Oliver dan James P. Shaver dari Harvard (Winataputra,2001) yang disadari pada pemahaman bahwa setiap orang berbeda pandangan dan prioritas satu sama lain dengan nilai sosial saling berhadapan. Untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan pandangan masyarakat dituntut untuk mampu berbicara dan bernogasiasi untuk mampu berbicara dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan.

Pendidikan harus mampu menghasilkan individu yang mampu mengatasi konflik perbedaan dalam berbagai hal. Model pembelajaran ini membantu siswa untuk belajar berpikir sistematis tentang isu-isu sosial mambantu siswa berpartisipasi dalam mendefenisikan ulang nilai-nilai sosial tersebut sehingga siswa berpatisipasi dalam mendefenisikan ulang nilai-nilai sosial tersebut dengan argumentasi yang relevan dan valid. Siswa juga dituntut bisa menerima atau menghargai sikap orang lain yang mungkin berbeda dan bertentangan dengan sikapnya.

Sebelum mengambil sikap siswa harus mempunyai pengetahuan dibandingkan sejarah sosialogi ekonomi dan politik. Sehingga bidang kajian yang tepat untuk model pembelajaran Jurisprudensial adalah konflik antar golongan ekonomi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan dan keamanan nasional.

2.2. Sintakmatik

          Model Jurisprudensial memiliki enam tahap dalam pembelajaran (Joyce dan Weil, 1986) yaitu :

1. Pengenalan terhadap kasus :

a. Guru memperkenalkan kasus kepada siswa atau isu terbaru dengan bercerita memutar film atau mengembangkan kejadian hangat yang terjadi dalam masyarakat.

b. Guru mengkaji ulang data yang menggambarkan kasus.

2. Mengidentifikasi kasus siswa memsistensis fakta kedalam isu yang dihadapi mengaitkan dengan isu umum dan mengidentifikasi nilai-nilai yang terlibat.

3. Menetapkan posisi siswa diminta untuk mengambil posisi mengenal isu tersebut dan menyatakan sikap menerima atau menolak.

4. Mengeksplorasi contoh dan argumentasi terhadap sikap siswa diminta lebih dalam sikapnya dengan memberikan argumentasi logis dan rasional. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan kontrontatif kepada sikapnya. Siswa diuji konsisten sikapnya dengan mempertahankan sikap dengan argumentasi.

5. Menguji posisi. Jika argument kuat, logis dan rasional maka siswa akan mempertahankan sikapnya (konsisten) dan posisi siswa dapat berubah (inkonsisten) jika argument tidak kuat.

6. Menguji asumsi. Guru mendiskusikan apakah argumentasi yang digunakan untuk mendukung sikap relevan atau valid.

2.3. Sistem Sosial

Kerangka kerja Jurisprudensial dibangun dengan asumsi akan ada dialog hangat dan lebih demokrasi dengan adanya pandangan kritis masing-masing siswa dan pemikiran yang setara dan juga subjek yang sama. Iklim sosial akan terjadi untuk analisis kritis terhadap nilai yang hanya mungkin terbuka. Disinilah peran guru untuk menekankan jalannya dialog dengan enam operasional yang memainkan peran memimpin dan bertanggung jawab menjadikan debat solid dan isu dieksplorasi secara baik.

2.4. Prinsip Reaksi

Guru menjamin iklim intelektual dalam diskusi sehingga semua pandangan yang diungkapkan siswa dihormati oleh siswa lain. guru memelihara kekuatan intelektual dalam debat secara kontinu yang menekankan pada enam langkah kerangka Jurisprudensial.

2.5. Sistem Pendukung

          Sistem pendukung dalam model Jurisprudensial diperlukan dua jenis. Pertama, guru meminta siswa untuk mengidentifikasi informasi yang difokuskan pada situasi masalah. Kedua, guru mengkondisikan siswa belajar nilai dan memiliki identifikasi etika dan posisi hukum yang dapat dibawa untuk mendukung dalam diskusi.

2.6. Dampak Instruksional dan Pengiring

          Model pembelajaran Jurisprudensial dirancang untuk mengajarkan siswa secara langsung berkomitmen terhadap peranan orang lain dan kemampuan untuk berdialog. Secara tidak langsung mempunyai kemampuan menganalisis isu-isu sosial, menghargai pluralism, memahami fakta-fakta masalah sosial dan kemampuan berpartisipasi serta kesediaan melakukan tindakan sosial.

2.7. Analisis Kritis                                                         

          Model Jurisprudensial menuntut guru agar kreatif dan inovatif terhadap isu yang berkembang dalam masyarakat dan mengaitkannya kedalam proses belajar. Seseorang guru harus menggali wawasan yang cukup dan mengambil posisi terlebih dahulu dengan argumentasi yang cukup. Pada saat dikelas siswa akan mudah memberikan pertanyaan konfrontatif begitu masalah telah ditetapkan.

          Seorang guru harus mempersiapkan pertanyaan konfrontatif sesuai dengan isu yang akan di dialogkan dalam kelas sehingga dialog terjadi secara alami dan tidak terkesan kaku. Strategi belajar ini menuntut dialog interaktif antara guru dengan siswa untuk mengeksplorasi ranah public yang kontroversi sehingga dimungkinkan terjadi dialog hangat yang bisa mengarah ke debat kusir. Disinilah peran guru dituntut untuk mengembangkan iklim intelektual dalam debat. Untuk mengubah model pembelajaran dari ceramah yang tidak menuntut keaktifan siswa ke model Jurisprudensial yang menuntut siswa aktif. Model ini akan menyulitkan guru pada awalnya karena tidak biasa dalam menyusun persiapan dan tindakan di kelas. Siswa juga sulit mengutarakan pendapat pada awalnya dan akan menjadi kebiasaan berpendapat jika diterapkan setiap kali berkembang isu hangat di dalam proses belajar.

2.8. Kelebihan dan Kekurangan

          Kelebihan model Jurisprudensial yaitu :

                   1. memotivasi siswa untuk aktif menganalisis sebuah kasus sehingga tidak mudah menentukan sikap dan menyimpulkan tanpa dasar.

2. Memotivasi siswa untuk berdebat secara aktif dan memberikan argument logis dan rasional.

3. Mengembangkan keterbukaan dan menghargai perbedaan pendapat.

4. Mengembangkan pengetahuan dan wawasan siswa.

5. Banyak isu sosial dalam masyarakat sehingga model ini mudah diterapkan.

Kelemahan model Jurisprudensial yaitu:

1. Membutuhkan implementasi yang cukup lama karena perubahan metode pembelajaran sebelumnya yang tidak menuntut keaktifan siswa.

2. Sulit untuk mengarahkan argumentasi siswa pada awalnya karena tidak semua siswa mempunyai pengetahuan yang cukup sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi debat kusir.

Contoh RPP Menggunakan Model Jurisprudensial

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP)

I. Identitas

          Nama Sekolah                : SMA YPMM

          Mata Pelajaran               : Sosiologi

          Kelas/semester              : XII IPS/ II

          Alokasi Waktu                : 40 x 3 ( 1x Pertemuan)

          Pertemuan ke                : ……….

          Hari/ tanggal                 : ……….

II. Standar Kompetensi         : Memahami fenomena remaja masa kini yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

III. Kompetensi Dasar           :

1. Mendeskripsikan Penyebab Fenomena yang terjadi di kalangan remaja.

2. Menganalisis fenomena remaja di sekitarnya

3. Menghargai Perbedaan Pendapat.

4. Mengidentifikasi peran pemerintah.

IV. Tujuan Pembelajaran      :

1. Siswa dapat mengidentifikasi fenomena sosial yang sering terjadi di kalangan remaja.

2. Siswa dapat mendiskripsikan faktor penyebab terjadinya fenomena sosial di kalangan remaja.

3. Siswa mampu memecahkan masalah-masalah yang terjadi di dalam kehidupannya.

4. Siswa mampu beragumentasi dengan data dan fakta yang valid

V. Indikator Pencapaian

          1. Menjelaskan secara sederhana pengertian fenomena anak remaja

          2. Memberikan contoh fenomena anak remaja masa kini

          3. Memilih salah satu contoh fenomena sosial

          4. Memecahkan masalah bersama

          5. Mengemukakan pendapat siswa

          6. Menghargai pendapat siswa

          7. Memberi kesimpulan

VI. Materi Pembelajaran

1. Pola kehidupan remaja masa kini.

2. Faktor-faktor penyebab terjadinya fenomena anak remaja.

3. Peran Pemerintah untuk mengatasi fenomena anak remaja.

VII. Metode

          Debat individu

VIII. Langkah-langkah pembelajaran

          A. Kegiatan Pendahuluan (15 menit)

            Apersepsi    : Guru membuka pelajaran dengan mengucapkan salam, mengabsen kehadiran.

- Motivasi  : Guru menjelaskan tentang indikator yang diharapkan dalam mencapai kegiatan pembelajaran.

            - Guru menerangkan topik permasalahan

            - Guru meminta siswa memperhatikan video yang akan diputar

          B. Kegiatan Inti (80 menit)

            - Guru memulai dengan pemutaran video fenomena anak remaja

            - Siswa megamati peristiwa apa yang terjadi

            - Siswa diminta untuk mengeluarkan pendapatnya di buku

- Guru memulai dengan argumentasinya mengenai peristiwa yang terjadi.

            - Guru meminta satu orang siswa mengeluarkan argumentasi

- Guru meminta siswa lain menaggapi dan melakukan perdebatan sesuai dengan pendapatnya masing-masing.

C. Penutup

- Memberikan kesimpulan materi pembelajaran

- Memberikan manfaat dari model yurisprudensial

- Memberikan Apresiasi terhadap proses pembelajaran siswa.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari apa yang telah dijelaskan di atas mengenai model pembelajaran Jurisprudensial, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Karakteristik model Jurisprudensial adalah memiliki sintakmatik, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dampak intruksional dan pengiring.

2. Dibutuhkan wawasan dan pengetahuan yang cukup untuk menganalisis isu baik oleh guru maupun siswa.

3. Dibutuhkan kreatifitas guru dalam membuat perencanaan dan tindakan dalam kelas.

4. Model Jurisprudensial memotivasi siswa untuk aktif, berani berdialog, berpendapat, bersikap menganalisis, beragumentasi, dan menghargai perbedaan pendapat.

BAB II

PEMBAHASAN

Model ini dirancang untuk siswa dalam studi sosial dan menyiratkan metode kasus sebuah studi, mengingatkan pendidikan hukum. Studi kasus yang melibatkan masalah sosial di daerah-daerah di mana kebijakan publik harus dilakukan (keadilan dan kesetaraan, kemiskinan dan kekuasaan dll) Mereka dituntun untuk mengidentifikasi kebijakan publik isu-isu serta pilihan yang tersedia untuk berhubungan dengan mereka dan nilai-nilai yang mendasari orang-orang pilihan. Model ini dapat digunakan di daerah manapun di mana ada isu-isu kebijakan publik, karena etika misalnya dalam ilmu pengetahuan, bisnis dan olahraga dan lain-lain Keterangan dari sumber lain: Model ini didasarkan pada konsepsi masyarakat di mana orang berbeda pandangan dan prioritas dan nilai-nilai sosial yang sah bertentangan dengan satu lain. Menyelesaikan kompleks, isu-isu kontroversial dalam konteks tatanan sosial yang produktif membutuhkan warga negara yang dapat berbicara satu sama lain dan berhasil bernegosiasi tentang perbedaan mereka. Daerah Umum Masalah Ras dan etnis konflik Keagamaan dan ideologis konflik Keamanan individu Konflik antara kelompok-kelompok ekonomi Kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan Keamanan bangsa

Lainnya

Model pembelajaran

B.                 SINTAKS Meskipun eksplorasi dialog sikap konfrontatif siswa 'adalah jantung dari model inguiry yurisprudensi, beberapa kegiatan lainnya sangat penting, seperti membantu para siswa merumuskan sikap mereka akhirnya membela dan membantu mereka merevisi posisi mereka setelah argumentasi tersebut. model dasar meliputi enam fase

Dalam fase satu, guru memperkenalkan siswa untuk bahan kasus dengan membaca sebuah cerita atau narasi sejarah keras-keras, menonton film yang menggambarkan insiden kontroversi nilai, atau disscusing sebuah insiden dalam kehidupan para siswa, sekolah, atau masyarakat. langkah kedua dalam mengorientasikan siswa untuk kasus ini untuk meninjau fakta-fakta dengan menguraikan peristiwa dalam kasus ini, menganalisis siapa melakukan apa dan mengapa, atau bertindak keluar kontroversi
Dalam fase dua, studens mensintesis fakta menjadi isu publik, mencirikan nilai yang terlibat (misalnya, kebebasan berbicara, melindungi kesejahteraan umum, otonomi daerah, atau kesempatan yang sama), dan mengidentifikasi konflik antara nilai-nilai. pada fase dua yang pertama, para siswa belum diminta untuk mengekspresikan pendapat mereka atau mengambil sikap.
Dalam fase tiga, mereka diminta untuk mengartikulasikan posisi tentang masalah ini dan negara dasar untuk posisi mereka. Dalam kasus keuangan sekolah, misalnya, siswa mungkin mengambil posisi bahwa negara seharusnya tidak mengatur berapa banyak setiap distrik sekolah dapat dibelanjakan pada masing-masing anak karena ini akan merupakan suatu pelanggaran tidak dapat diterima otonomi daerah.
Dalam fase empat, posisi dieksplorasi. guru sekarang bergeser ke gaya konfrontatif karena ia probe posisi siswa. dalam memberlakukan peran Socrates, guru (atau mahasiswa) dapat menggunakan salah satu dari empat pola argumentasion.

Fase lima terdiri dari penyulingan dan kualifikasi posisi. fase ini sering mengalir secara alami dari dialog di fase empat, namun sometmes guru mungkin perlu meminta siswa untuk menyatakan kembali posisi mereka. Sementara fase lima menjelaskan penalaran dalam posisi nilai, fase enam tes lebih lanjut posisi dengan mengidentifikasi asumsi-asumsi faktual di balik itu dan memeriksa dengan hati-hati. guru membantu siswa memeriksa apakah posisi mereka terus di bawah kondisi yang paling ekstrim yang bisa dibayangkan.

Enam tahap dari model penyelidikan yurisprudensi dapat dibagi menjadi anaslysis (fase satu, dua, dan tiga) dan argumentasi (fase empat, lima, dan enam). kegiatan analisis, yang terjadi dalam bentuk diskusi hati-hati nilai dan isu-isu, mempersiapkan materi untuk eksplorasi. argumentasi, dilakukan dalam gaya konfrontatif, berusaha untuk menghasilkan sikap yang mungkin paling kuat

Sintaks Model yurisprudensi 1. Orientasi untuk kasus 2. Mengidentifikasi masalah 3. Mengambil posisi 4. Menjelajahi sikap yang mendasari posisi yang diambil 5. Refining dan kualifikasi posisi 6. Pengujian asumsi tentang fakta, definisi, dan konsekuensi. Reaksi • Mempertahankan iklim intelektual yang kuat di mana semua pandangan dihormati; menghindari evaluasi langsung pendapat siswa. • Lihat bahwa isu-isu yang benar-benar dieksplorasi

• Substansi berpikir siswa melalui pertanyaan relevansi, konsistensi, spesifisitas, umum, kejelasan definisi, dan kontinuitas.

C.      SISTEM SOSIAL

Struktur dalam model ini berkisar dari tinggi ke rendah, guru para inisiat fase; bergerak dari fase ke fase, bagaimanapun, adalah tergantung pada kemampuan siswa untuk menyelesaikan tugas. setelah exprerience dengan model siswa harus mampu melaksanakan proses tanpa bantuan. sehingga mendapatkan kontrol yang maksimum dari proses. iklim sosial yang kuat dan konfrontatif

D.                PRINSIP-PRINSIP REAKSI
Reaksi guru, terutama di fase empat dan lima, tidak evaluatif dalam arti yang menyetujui atau substansi disaproving.they probe: guru bereaksi terhadap komentar siswa dengan mempertanyakan relevansi, konsistensi, spesifisitas atau umum, dan kejelasan definisi '. guru juga memberlakukan kontinuitas pemikiran, sehingga satu melalui atau garis penalaran yang diupayakan untuk conclucions logis sebelum argumentasi lainnya dimulai.
Untuk memainkan peran ini dengan baik, guru harus mengantisipasi klaim mahasiswa nilai dan harus siap untuk menantang dan probe. dalam peran Socrates, guru probe pendapat satu mahasiswa di panjang sebelum menantang siswa lain. karena dialog Socrates dengan mudah dapat menjadi mengancam pemeriksaan silang atau permainan "menebak apa jawaban yang benar guru" guru harus menjelaskan bahwa klarifikasi masalah dan pengembangan posisi yang paling dipertahankan adalah tujuan. mempertanyakan tiang bukti dan diperkuat dengan assumtions supportiveness.the manfaat dari kasus tersebut, bukan dari siswa, merupakan dasar untuk evaluasi.

E.                 SISTEM PENDUKUNG
Bahan utama mendukung untuk model ini adalah dokumen sumber yang berfokus pada situasi masalah. ada beberapa bahan kasus dipublikasikan, namun relatif mudah untuk mengembangkan bahan sendiri kasus. fitur distiquishing dari pendekatan ini adalah bahwa kasus-kasus rekening nyata atau hipotetis situations.it adalah penting bahwa semua fakta partinent situasi harus dimasukkan dalam materi kasus sehingga kasus tersebut tidak akan kabur dan frustasi
Kasus kontroversial menggambarkan situasi tertentu yang memiliki etika yang saling bertentangan, kasus interpretations.the hukum, faktual, atau definisi dapat terdiri dari suatu situasi sejarah atau hukum klasik, seperti v.ferguson plessy dalam hubungan ras, atau Undang-Undang Wagner atau serangan Kohler dalam hubungan kerja, atau mungkin cerita pendek atau account fiksi dari kontroversi sosial, seperti Animal Farm karya Orwell. umumnya, setiap halaman surat kabar harian berisi tiga atau empat artikel yang baik secara eksplisit maupun implisit menyajikan pertanyaan-pertanyaan kebijakan publik penting. biasanya beberapa fakta situasi disajikan tetapi situasi asli yang memicu kontroversi ini tidak dijelaskan secara rinci penuh

F.                 PENGAJARAN MODEL YURISPRUDENSI • Menjaga gaya dialektis; Gunakan dialog konfrontatif, mempertanyakan asumsi siswa dan menggunakan contoh yang spesifik (analogi) untuk lebih berfariasi dengan laporan yang umum. • Hindari mengambil sikap keras kepala. Konteks untuk mengeksplorasi situasi dari peristiwa sejarah Untuk menjelajahi adanya nilai hukum. Peran Guru Peran guru selama latihan ini sangatlah penting. Siswa sebagai peneliti, juga mendiskusikan, dan berdebat, guru harus mendorong siswa untuk melibatkan diri ke satu sisi masalah ini, tapi akan mendukung jika mereka berubah pikiran ketika dihadapkan dengan bukti baru, dan mendorong mereka untuk mempertimbangkan sudut pandang lain. Pada tiap saat, guru harus tetap netral terhadap masalah ini, mendorong diferensiasi posisi, dan mempromosikan sintesis dari posisi yang berbeda yang disajikan di depan kelas.

G.                APLIKASI
Dalam mengembangkan kerangka alternatif mereka untuk mengajar kursus ilmu sosial di sekolah tinggi, akibatnya, model tersebut memberikan kerangka kerja untuk mengembangkan isi kursus kontemporer dalam urusan publik (kasus yang melibatkan isu-isu publik) dan untuk mengembangkan sebuah proses untuk menangani konflik dalam domain publik, yang menyebabkan siswa untuk suatu pemeriksaan nilai
Model disesuaikan dengan siswa yang lebih tua dan harus dimodifikasi cukup untuk digunakan di sekolah menengah pertama dan tingkat menengah sekolah, bahkan dengan siswa yang paling mampu. kita telah berhasil melaksanakan model dengan siswa tujuh dan kelas delapan yang sangat mampu, tetapi memiliki sedikit keberhasilan dengan anak muda.
dialog konfrontatif yang mengelilingi argumentasi masalah sosial cenderung akan mengancam pada awalnya, terutama untuk kurang verbal siswa. kami memiliki kelompok kecil (tiga atau empat siswa) merumuskan berdiri dan secara kolektif berpendapat berdiri dengan kelompok lain kecil. format memungkinkan untuk keluar waktu, mengevaluasi ulang sikap dengan satu kelompok, dan mendiskusikan masalah-masalah lagi, awalnya, kami mempresentasikan kasus tersebut, dan setelah siswa telah memilih isu kebijakan, kami meminta mereka untuk mengambil stand.on awal dasar ini kami dibagi mereka menjadi kelompok-kelompok kecil dan mengatakan kepada setiap kelompok untuk datang dengan kasus terkuat mungkin. siswa memahami bahwa terlepas dari kelompok mereka berada di pada awalnya, mereka mungkin memilih sikap yang berbeda pada akhir diskusi
baik keterampilan penalaran maupun kepercayaan diri untuk mengambil sikap dan diskusikan diperoleh dengan mudah atau dengan cepat. guru harus membiarkan kasus tunggal terus untuk jangka waktu yang panjang, memberikan siswa kesempatan untuk memperoleh informasi, merefleksikan ide-ide mereka, dan membangun keberanian mereka. itu adalah mengalahkan diri sendiri untuk mengatur pendek, satu kali sesi perdebatan lengkap instruksional questions.Formal mengajar siswa secara langsung tentang teknik analitik dan argumentatif mungkin berguna, tapi ini harus diperkenalkan secara alami dan bahan slowly.the kasus awal harus relatif sederhana dan memerlukan latar belakang sebelumnya sedikit. beberapa harus ditarik dari students'expriences, mungkin di kelas atau di home.there adalah sumber banyak sekali kasus yang telah diadaptasi untuk digunakan sekolah.
Pendidikan majalah sosial Sering berisi review. Konsorsium Ilmu Pendidikan Sosial telah mengembangkan sejumlah kasus bersejarah dengan materi latar belakang yang luas (Giese, 1988; Glade dan Giese, 1989; Greenawald, 1991). Banyak Jackdaws mengandung bahan yang cocok untuk kelas atas dan schools.At sekunder Ontario Institut studi di pendidikan. sejumlah anggota fakultas, terutama Malcolm Levin dan John isenberg, telah mengembangkan kasus yang menarik untuk digunakan dengan model inquiri yurisprudensi. Banyak dari kasus-kasus ini diatur dalam canada dan dapat cukup menarik bagi siswa tidak hanya karena masalah yang sangat baik tetapi karena konteks yang agak berbeda dan sistem hukum. di samping itu, publikasi mereka, etika dalam pendidikan, meliputi sejumlah besar isu yang dapat merangsang perkembangan kasus dan studi Insttitute Ontario publik issues.

APLIKASI AKHIR Tahap akhir dari model ini adalah fase yang paling penting. Dalam fase ini bahwa siswa mengambil apa yang telah dipelajari dan menerapkannya ke lingkungan mereka. Siswa harus mampu melihat nilai dalam ilmu yang telah mereka pelajari dan melihat bahwa dengan pengetahuan ini mereka dapat memiliki dampak yang muncul. Langkah pertama dari proses ini adalah untuk setiap siswa mengusulkan sebuah rencana aksi secara keseluruhan dengan resolusi. Beberapa cara siswa telah menerapkan apa yang telah mereka pelajari dan menjadi terlibat dalam kegiatan masyarakat meliputi: • Menulis surat kepada dewan kota, perwakilan negara, negara senator, gubernur, atau walikota. • Terkemuka atau berpartisipasi dalam kegiatan seperti pembersihan masyarakat, kegiatan daur ulang, atau petition drives. • Menghadiri pertemuan atau rapat dewan kota lingkungan lokal Apa pun tindakan siswa mengambil harus dinilai dalam keterangan laporan rencana aksi mereka. Kunci untuk model instruksi adalah bahwa siswa mendapat kesempatan untuk menerapkan keterampilan penyidikan dan strategi tindakan untuk masyarakat dimana mereka tinggal. Model ini diracang untuk siswa SLTP ke atas. Bagi siswa yang kelasnya lebih rendah harus dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadi perdebatan kritis yang seru. Perdebatan kritis pada awalnya sangat menakutkan bagi siswa, terutama bagi mereka yang pendiam. Untuk mengatasi hal ini, guru sebaiknya tidak melakukan perdebatan dengan dirinya. Sebaiknya siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil dan saling berargumentasi mempertahankan sikap masing-masing terhadap isu-isu sosial yang sedang dibahas. H.  ORIENTASI MODEL Model pembelajaran yang dipelopori oleh Donald Oliver dan James P. Shaver ini didasarkan atas pemahaman masyarakat di mana setiap orang berbeda pandangan dan prioritas satu sama lain, di mana nilai-nilai sosialnya saling berkonfrontasi satu sama lain. Memecahkan masalah kompleks dan kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang produktif membutuhkan warga negara yang mampu berbicara satu sama lain dan bernegosiasi tentang keberbedaan tersebut. I.  PROSEDUR PEMBELAJARAN

Biasanya, kunci utama keberhasilan model ini adalah melalui Metode Dialog Sokrates (debat konfrontatif). Langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi enam langkah yaitu, (1) orientasi terhadap kasus (2) mengidentifikasi isu (3) pengambilan posisi (sikap), (4) menggali argumentasi untuk mendukung posisi (sikap) yang telah diambil (5) memperjelas ulang dan memperkuat posisi (sikap), dan (6) menguji asumsi tentang fakta, definisi, dan konsekuensi.

Kali ini saya akan berbagi informasi mengenai salah satu strategi pembelajaran yang jarang sekali digunakan dan diterapkan di dalam proses pembelajaran si sekolah, yang menurut saya adalah salah satu strategi pembelajaran yang sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan berfikir (kognitif) peserta didik (siswa). Strategi pembelajaran yang saya maksud adalah strategi pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial. berikut penjelasannya.

1.         Pengertian Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial

Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi biasa diartikan sebagai pola umum perbuatan guru rnurid dalam perwujudan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang, digariskan” (Mansyur, 2002:3).

Oemar Hamalik (2003:12) mengatakan bahwa “pengertian strategi dalam proses belajar mengajar sudah tentu mengandung makna yang berbeda dengan pengertiannya dalam bidang kemiliteran karena dalam pengajaran, strategi mengandung makna sebagai suatu upaya untuk mengurangi sampai titik minimal penggunaan metode ceramah dengan siswa yang aktif seperti seminar kelompok- proyek kerja kelompok”.

Strartegi pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial (Jurisprudential inquiry) adalah strategi pembelajaran yang dipelopori dan dikembangkan oleh Donal Oliver dan James P.Shaver. Menurut Donal Oliver dan James P. Shaver (dalam Wena, 2009:71), strategi pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial mengajari siswa untuk menganalisis dan berfikir secara sistematis dan kritis terhadap isu-isu yang sedang hangat di masyarakat. Strategi pembeajaran ini didasarkan atas pemahaman masyarakat dimana setiap orang berbeda pandangan dari prioritas satu sama lain, dan nilai-nilai sosialnya saling berkronfrontasi satu sama lain. Memecahkan masalah kompleks dan kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang produktif membutuhkan warga negara yang mampu berbicara satu sama lain dan bernegosiasi tentang keberbedaan tersebut.

Strategi pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial mengajarkan siswa untuk berfikir kritis terhadap isu-isu sosial. Hitchcock (dalam Robert E. Slavin, 1994: 258) mengatakan bahwa  “one key objective of schooling is enhancing students abilities to think critically, to make rational decisions about what to believe.” Salah satu tujuan utama dari pendidikan adalah meningkatkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis, untuk membuat keputusan yang rasional tentang apa yang harus percaya. Allyn and Bacon (2009:243) menjelaskan bahwa strategi-strategi pembelajaran inkuiri menggunakan proses-proses dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan masalah-masalah berdasarkan pada pengujian logis atas fakta-fakta dan observasi-observasi untuk mengajarkan konten dan untuk membantu siswa berfikir secara analitis. Pembelajaran inkuiri dimulai dengan memberi siswa masalah-masalah yang berhubungan dengan konten yang nantinya menjadi fokus untuk aktifitas-aktifitas penelitian kelas. Dalam menyelesaikan masalah siswa menghasilkan hipotesis atau solusi tentatif untuk masalah tersebut, mengumpulkan data yang relevan dengan hipotesis yang telah dibuat, dan mengevaluasi data tersebut untuk sampai kepada kesimpulan. Melalui pembelajaran inkuiri, siswa mempelajari konten yang berhubungan dengan masalah tersebut sekaligus strategi-strategi untuk memecahkan masalah-masalah di masa yang akan datang.

Hamzah B. Uno (2007:31) mengemukakan bahwa “strategi pembelajaran inkuiri jurisprudensial membantu siswa untuk belajar berpikir secara sistematis tentang isu-isu kontemporer yang sedang terjadi dalam masyarakat”. Dengan memberikan mereka cara-cara menganalisis dan mendiskusikan isu-isu sosial, strategi pembelajaran ini membantu siswa untuk berpartisipasi dalam mendefinisikan ulang nilai-nilai sosial. Selain itu, strategi pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial melatih siswa untuk peka terhadap permasalahan sosial, mengambil posisi (sikap) terhadap permasalahan tersebut, serta mempertahankan sikap tersebut dengan argumentasi yang relevan dan valid. Strategi ini juga dapat mengajarkan siswa untuk dapat menerima atau menghargai sikap orang lain terhadap suatu masalah yang mungkin bertentangan dengan sikap yang ada pada dirinya. Atau sebaliknya, ia bahkan menerima dan mengakui kebenaran sikap orang lain yang diambil terhadap suatu isu sosial tertentu.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial adalah strategi pembelajaran yang mengajari siswa untuk menganalisis dan berfikir secara sistematis dan kritis terhadap isu-isu yang sedang hangat di masyarakat serta mampu memecahkan masalah kompleks dan kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang produktif. Penerapan strategi pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial lebih cocok diterapakan pada siswa SMA maupun SMK yang memiliki perkembangan daya nalar yang lebih baik dibandingkan dengan usia anak dibawahnya. Pelaksanaan Strategi Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial hendaknya diterapkan pada materi-materi yang relevan dan aktual , atau kasus-kasus yang masih hangat terjadi .

2.         Langkah-Langkah Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial

Strategi pembelajaran yang dipelopori oleh Donal Oliver dan James P. Shaver ini didasarkan atas pemahaman masyarakat dimana setiap orang berbeda pandangan dari prioritas satu sama lain, dan nilai-nilai sosialnya saling berkronfrontasi satu sama lain. Memecahkan masalah kompleks dan kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang produktif membutuhkan warga negara yang mampu berbicara satu sama lain dan bernegosiasi tentang keberbedaan tersebut.

Made Wena (2009:132) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial meliputi:

a.    orientasi terhadap kasus;

b.    mengidentifikasi isu;

c.    pengambilan posisi (sikap);

d.   menggali argumentasi untuk mendukung posisi (sikap) yang telah diambil;

e.    memperjelas ulang dan memperkuat posisi (sikap); dan

f.     menguji asumsi tentang fakta, definisi, dan konsekuensi.

Untuk lebih memahami langkah-langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.              Orientasi Kasus/Permasalahan

Pada tahap ini guru mengajukan kasus dengan membacakan kasus yang terjadi, memperlihatkan film/video kasus, atau mendiskusikan suatu kasus yang sedang hangat di masyarakat atau kasus di sekolah. Langkah berikutnya adalah meninjau fakta –fakta dengan jalan melakukan analisis, siapa yang terlibat, mengapa bisa terjadi, dan sebagainya.

Guru memperkenalkan kepada siswa materi-materi kasus dengan cara membaca berita, menonton film yang menggambarkan konflik nilai, atau mendiskusikan kejadian-kejadian hangat dalam kehidupan sekitar, kehidupan sekolah atau suatu komunitas masyarakat. Langkah kedua yang termasuk ke dalam tahap orientasi adalah mengkaji ulang fakta-fakta dengan menggambarkan peristiwa dalam kasus, menganalisiss siapa yang melakukan apa, dan mengapa terjadi seperti demikian.

b.             Identifikasi Isu

Pada tahap ini siswa dibimbing untuk mensintesis fakta-fakta yang ada kedalam sebuah isu yang sedang dibahas, kaitannya dengan kebijakan publik, dan munculnya kontroversi di masyarakat, dan sebagainya, karekteristik nilai-nilai yang terkait (seperti kemerdekaan berbicara, perlindungan terhadap kesejahteraan umum, otonomi daerah/local, atau kesamaan memperoleh kesempatan), melakukan identifikasi konflik terhadap nilai-nilai yang ada. Dalam tahap ini siswa belum diminta untuk menentukan pendapatnya terhadap kasus yang dibahas.

Siswa mensintesis fakta, mengakitkannya dengan isu-isu umum dan mengidentifikasi nilai-nilai yang terlibat dalam kasus tersebut (misalnya, isu tersebut berkaitan dengan kebebasan mengemukakan pendapat, otonomi daerah, persamaan hak dan lain-lain). siswa belum diminta mengekspresikan pendapat terhadap kasus tersebut.

c.              Penetapan Posisi /Pendapat

Dalam tahap ini siswa mengartikulasikan/mengambil posisi terhadap kasus yang ada. Siswa menyatakan posisinya terkait dengan nilai sosial atau konsekuensi dari keputusannya. Siswa diminta untuk mengambil posisi (sikap/pendapat) terhadap isu tersebut dan menyatakan sikapnya. Misalnya dalam kasus bayaran uang sekolah, siswa menyatakan sikapnya bahwa seharusnya pemerintah tidak menetukan besarnya biaya sekolah yang harus diberlakukan untuk tiap sekolah karena hal itu melanggar hak otonomi sekolah.

d.             Menyelidiki Cara Berpendirian, Pola Argumentasi

Menetapkan keputusan pada bagian mana yang terjadi pelanggaran nilai-nilai secara faktual. Ajukan bukti-bukti yang diinginkan/tidak diinginkan (mendukung/tidak mendukng) sebagai konsekuensi dari pandangan/pendapat yang diajukan. Berikan klarifikasi terhadap nilai-nilai konflik dengan menggunakan analogi. Menetapkan prioritas dari satu nilai (keputusan) di antara keputusan/nilai-nilai lainnya dan mengevaluasi kekurangan-kekurangan dari nilai/keputusan yang lainnya.

e.              Memperbaiki dan Mengkualifikasi Jelas Posisi

Siswa menyatakan posisinya dan alasannya terhadap masalah, dan menguji sejumlah situasi/kondisi yang mirip terhadap permasalahannya. Siswa mengkualifikasi (terhadap standar) posisinya. sikap (posisi/pendapat) siswa digali lebih dalam. Sikap (posisi) yang telah diambil siswa mungkin konsisten (tetap bertahan) atau berubah (tidak konsisten), tergantung dari hasil atau argumentasi yang terjadi pada tahap keempat. Jika argumen siswa kuat, mungkin konsisten. Jika tidak, mungkin siswa mengubah sikapnya (posisinya).

f.              Melakukan Pengujian Asumsi-Asumsi Terhadap Posisinya

Siswa melakukan identifikasi asumsi-asumsi faktual dan melihat relevansinya, serta menentukan konsekuensi yang diperkirakan dan melakukan pengujian validitas faktualnya. pengujian asumsi faktual yang mendasari sikap yang diambil siswa. Dalam tahap ini guru mendiskusikan apakah argumentasi yang digunakan untuk mendukung pernyataan sikap tersebut relevan dan sah (valid).

3.         Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial

a.             Keunggulan Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial

Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial merupakan strategi pembelajaran yang banyak dianjurkan oleh karena strategi ini memiliki keunggulan diantaranya :

1)        Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pada  pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui strategi ini dianggap lebih bermakna.

2)        Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka.

3)        Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial merupakan strategi pembelajaran yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.

4)        Keunggulan lain dari pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial adalah dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, yang artinya siswa yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.

b.           Kelemahan Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial

Disamping memiliki keunggulan, Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial juga memiliki kelemahan diantaranya :

1)        Jika Pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial digunakan sebagai strategi pembelajaran, maka akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.

2)        Strategi ini sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar.

3)        Terkadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikan dengan waktu yang telah ditentukan.

4)        Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pembelajaran, maka pembelajaran Inkuiri Jurisprudensial akan sulit diimplementasikan oleh guru.

Semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman dan pengetahuan serta wawasan para pembaca semuanya :)

Referensi :

  1. Allyn dan Bacon (2009). Methods For Teaching, New Jersey: Pearson Education 
  2.  Uno, Hamzah B. (2007), Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara 
  3. Wena, M. (2010), Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara
  4. Bootzin R. (1986). Study Guide to Accompany Psychology Today An Introduction, New York: McGraw-Hill Book Company

5.                       Sarbani. (2012). Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral. Yogyakarta: Aswajaya Pressindo

6.                  Sanjaya W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Stansar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA