Keterkaitan antara unsur yang satu dengan yang lainnya adalah prinsip…

Otonomi daerah ibarat sebuah keluarga menikahi anaknya untuk berkeluarga baru dalam suatu ikatan nikah yang sah. Anak yang sudah dinikahkan, biasanya diberi bimbingan sebelum mereka hidup terpisah dengan orang tua-mertuanya <p style="text-align: justify;">Anak bersama pasangannya sudah merencanakan segala sesuatu sebelum menempati rumah baru sebagai suami-istri. Orang tua-mertua bisa memberi motivasi atau kontribusi pemekiran dalam upaya membangun rumah tangga mawaddah warahmah hingga menjadi rumahku syurgaku.<br /><br />Bila sepasang suami-istri baru sukses membangun sebuah rumah tangga bahagia dan sejahtera, tentu orang tua-mertua ikut bahagia. Begitu juga sebaliknya. Tidak ada orang tua-mertua yang menginginkan anak-menantunya sengsara dalam membangun bahtera rumah tangga.<br /><br />Semua orang ingin maju dan berkembang dalam membangun kehidupan. Demikian juga dengan program otonomi daerah yang lahir berdasarkan Undang-Undang No.22/1999 tentang �Pemerintahan Daerah� diharapkan lebih cepat maju dan berkembang sesuai kekuatan daerah itu sendiri.<br /><br />Otonomi, seperti disebut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan pemerintahan sendiri, hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />Pemerintahan sendiri bukan berarti �merdeka�, karena merdeka itu sendiri adalah (1) bebas dari perhambaan, dan penjajahan, tapi berdiri sendiri, (2) tidak terkenan atau lepas dari tuntutan dan (3) tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu.<br /><br />Otonomi daerah bisa diartikan sebagai kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan sesuai aspirasi rakyat bagi peningkatan daya guna bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di daerah.<br /><br />Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.<br /><br />Tuntutan globalisasi Otonomi daerah dilaksanakan sebagai implementasi dan tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberi kewenangan luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi di daerah.<br /><br />Pengembangan suatu daerah dapat disesuaikan oleh pemerintah daerah dengan potensi dan kekhasan daerah masing-masing. Ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi pemerintah daerah untuk membuktikan kemampuannya dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak daerah.<br /><br />Maju atau tidaknya suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan dan kemauan melaksanakan. Pemerintah daerah bebas berkreasi dan berekspresi dalam rangka membangun daerahnya, tentu saja dengan tidak melanggar ketentuan hukum yaitu perundang-undangan.<br /><br />Otonomi daerah yang lahir pascareformasi pertengahan tahun 1999 berdasarkan UU No.22/1999 sejatinya dapat meningkatkan dan memperkuat semangat bangsa dalam bingkai NKRI, di samping mempercepat pembangunan di daerah bagi kesejahteraan masyarakat.<br /><br />Sebetulnya, otonomi daerah sudah satu dasawarsa lebih dilaksanakan di negeri ini, namun belum memperlihatkan hasil maksimal di daerah-daerah, kecuali implementasi demokrasi yang kini mulai dirasakan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di seluruh Indonesia.<br /><br />Jika diinterpretasi secara logika, otonomi itu adalah hak mengatur daerahnya sendiri seperti disebutkan Dr Agussalim Andi Gadjong yang dikutip Ketua Apeksi Isran Noor dan disampaikan dalam diskusi panel pada rapat regional Kalimantan Apeksi belum lama ini.<br /><br />Daerah mempunyai kebebasan inisiatif dalam penyelenggaraan rumah tangga dan pemerintahan di daerah. Otonomi daerah adalah kebebasan dan kemandirian (vrijheid dan zelfstandigheid) suatu pemerintahan yang lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintah.<br /><br />Hakikat otonomi Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu menjadi tanggung jawab satuan pemerintahan yang lebih rndah. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi, kata Isran Noor.<br /><br />Sementara Prof Dr M Ryaas Rasyid menyatakan bahwa visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama, yakni politik, ekonomi dan sosial budaya, kata Isran Noor yang mengutip pendapat �bidan� otonomi daerah tersebut.<br /><br />Karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka harus dipahami sebagai sebuah proses membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsive terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik.<br /><br />Di bidang ekonomi otonomi di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya.<br /><br />Isran Noor yang juga Bupati Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim) itu mengatakan, kecenderungan �konservatismen politik� dalam menafsirkan secara sempit otonomi daerah telah melahirkan kembali ‘policy’ dan regulasi bermuatan gagasan resentralisasi.<br /><br />Kebijakan resentralisasi terwujud dalam bentuk program pembangunan direncanakan secara terpusat oleh pemerintah pusat, disusun secara seragam tanpa memperhatikan kebutuhan, karakteristik dan spesifikasi masing-masing daerah, dan mengasumsikan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi setiap daerah adalah sama.<br /><br />Hal ini membawa dampak negatif bagi daerah, yang antara lain hilangnya kreativitas daerah, tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan tidak terlaksananya prioritas pembangunan sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat daerah.<br /><br />Kewenangan pemerintah daerah dalam mengembangkan dunia usaha juga sangat terbatas karena kebijakan dan regulasi berada pada pemerintah pusat. Berbagai produk perizinan masih diputuskan oleh pemerintah pusat, yang belum tentu sesuai dengan kondisi daerah.<br /><br />Sebuah solusi Sesungguhnya otonomi daerah sebuah solusi yang masih diperlukan penajaman implementasi dan bukan mengubah apa yang sudah ada. Tapi pembahasan mencari solusi untuk mempercepat gerak pembangunan dan sekaligus memperkuat semangat dalam bingkai NKRI.<br /><br />Jika otonomi daerah dinilai dapat memperkuat semangat NKRI, justru semua elemen masyatakat sejatinya ikut mendukung pelaksanakan UU yang mengatur mengenai pemberian kewenangan dan kewajiban bagi pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia tersebut.<br /><br />Pemerintah pusat bersama wakil rakyat di lembaga legislatif tingkat pusat sebagai pemberi hak dan kewajiban untuk mengimplementasikan kewenangan seharus secara serius mendorong pelaksanaan otonomi bagi percepatan pembangunan serta memperkuat NKRI.<br /><br />Kehadiran perangkat hukum yang mengatur tentang otonomi daerah itu juga dinilai terbuka ruang bagi terciptanya suasana harmonis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang justru menjadi pelaksana otonomi di tingkat rendah.<br /><br />Hubungan harmonis berkeadilan akan mewujudkan sebuah cita-cita bersama seperti dikemukakan Presiden pertama Indonesia Soekarno pada musyawarah dinas Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan para gubernur, 28 Juni 1960.<br /><br />Banyak perangkat hukum yang lahir untuk mengatur soal otonomi daerah di negeri ini, namun semua itu belum memberikan hasil optimal bagi mempercepat pembangunan, memperkuat NKRI, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kewenangan luas berkeadilan.<br /><br />Ketidakadilan dan ketikselarasan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjadi dalam pemanfaatn sumber daya alam. Materi dan muatan UU tentang mineral dan batu bara misalnya, jelas mereduksi kewenangan pemerintah daerah.<br /><br />Pengelolaan mineral dan batu bara yang tetap berada di tangan pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah hanya �diajak berkoordinasi� tidak sesuai dengan sistem desentralisasi yang menghendaki pemberian kewenangan secara utuh tidak terpecah belah.<br /><br />Hubungan harmonis Di samping itu, pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat di daerah tidak akan mencapai hasil yang diharapkan, tambah Isran Noor pada diskusi panel bertema �Keadilan dan Keselarasan dalam Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah .� Contoh lain, katanya, pelaksanaan UU tentang Kehutanan. UU ini dinilai membuka peluang adanya penafsiran penunjukan sama dengan penetapan kawasan hutan oleh pemerintah cq Kementerian Kehutanan, sehingga mengakibatkan kepala daerah tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya, bahkan berpotensi dipidana. Kriminalisasi para bupati terjadi dengan dikeluarkannya Surat Menteri Kehutanan pada 18 April 2011.<br /><br />Berkat langkah para bupati di Kalimantan Tengah untuk menempuh jalur hokum menguji konstitusionalitas pasal UU Kehutanan tersebut, telah ditetapkan putusan Mahkamah Konstitusi No.45/PUU-XI/2012 tanggal 21 Februari 2012.<br /><br />Nilai dan prinsip keadilan dan keselarasan pola hubungan pemerintah daerah seharusnya tercermin dalam pasal-pasal revisi UU pemerintah daerah sehingga tidak terwujud potensi hubungan yang bernuansa konfliktual yang berdampak buruk bagi penguatan NKRI.<br /><br />Gagasan, konsep serta pemikiran tentang hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah telah banyak dibahas dalam studi serta literatur ilmu politik, hukum tatanegara, administrasi Negara dan forum-forum pertemuan ilmiah di negeri ini.<br /><br />Perspektif dan paradigma mengenai pola hubungan tersebut dituangkan ke dalam bentuk ketentuan konstitusi, perundang-undangan, kebijakan dan regulasi yang mengalami sejumlah perubahan seiring dinamika sosial dan ekonomi yang terus mengalami perubahan.<br /><br />Bila dilihat sejarah pada waktu UUD 1945 ditetapkan, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum berkembang dengan kompleksitas permasalahan yang terjadi jauh setelah NKRI diproklamasikan, kata Isran Noor.<br /><br />Penjelasan pasal 18 UUD 1945 saat itu, misalnya hanya menegaskan �Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula ke dalam daerah yang lebih kecil��.<br /><br />Bukan Negara federal NKRI menurut kategori Negara konstitusional modern berbentuk Negara kesatuan (unitary state, eenheidstaat), bukan Negara federal (bundestaat), bukan juga Negara konfederasi (staatenbund), sehingga pembagian kekuasaan secara horizontal maupun vertikal berbeda dari Negara federasi dan Negara konfederasi.<br /><br />Setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, pengalaman serta perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara telah menuntut adanya landasan konstitusional yang lebih kokoh dalam mengatur hubungan pemerintah pusat dengan daerah, tambahnya.<br /><br />Perubahan kedua UUD 1945 pada tahun 2000 kemudian merekonstruksi landasan konstitusional yang mengatur pola hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang dirumuskan dalam tujuh ayat pasal 18 serta pasal 18A dan pasal 18B.<br /><br />Perspektif dan paradigma otonomi daerah ditegaskan dalam pasal 18 ayat (2) UUD 1945, serta pasal 18 ayat (5) yang mengatur pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, juga pasal 18 ayat (6).<br /><br />Hubungan wewenang ditegaskan dalam pasal 18A ayat (1) UUD 1945, sementara pasal 18 ayat (2) mengatur �hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pudat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.<br /><br />Realisasi keselarasan dan keadilan dalam hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dihadapkan pada sejumlah kendala strategis. Kendala strategis ini perlu dicari solusi, bukan mengubah apa yang sudah baik untuk dilaksanakan dan menguntungkan daerah.<br /><br />Sampai saat ini, masih kuat berkembang konsep, paradigma dan interpretasi mengenai pengertian serta prinsip pelaksanaan otonomi daerah baik di kalangan pemerintah maupun pembentuk undang-undang yang mengurangi atau bahkan menyimpang dari substansi otonomi daerah yang sesungguhnya.<br /><br />Bila semua roda pemerintah dilaksanakan sesuai kewenangan, ditambah lagi pemberi kewenangan serius mendorong pelaksanaan otonomi di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, tidak mustahil ikhwal kemajuan mempercepat pembangunan dan memperkuat semangat berbangsa dalam bingkai NKRI akan terwujud sesuai harapan.<br /><br />Otonomi luas Otonomi daerah diprediksi dapat mempertahankan dan memperkuat semangat berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI bila kewenangan diberikan secara luas dan dilaksanakan secara kaffah (menyeluruh) di seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia.<br /><br />Peraturan perundang-undangan yang lahir pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru itu sejatinya bisa membawa perubahan ke arah yang signifikan bila dilaksanakan dengan baik dan optimal sesuai anamah UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.<br /><br />UU tersebut diiberlakukan pada masa pemerintahan Habibie sebagai dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan UU No. 5/1974, dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.<br /><br />Sejumlah hal yang mendasar tentang otonomi daerah dalam UU No.22/1999 yang berbeda dengan prinsip UU No.5/1974. Pelaksanaan otonomi daerah dalam UU No.5/1974 lebih sebagai kewajiban dari hak, sedang dalam UU No.22/1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.<br /><br />Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam UU No.5/1974 tidak dipergunakan lagi, karena daerah otonom diberikan lebih luas, nyata dan bertanggung jawab.<br /><br />Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.<br /><br />Beberapa hal yang mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam UU No.22/1999 adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah.<br /><br />Oleh karena itu, dalam UU otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.<br /><br />Sistem otonomi Sistem otonomi yang dianut dalam UU No.22/1999 luas, nyata dan bertanggung jawab, di mana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang-bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.<br /><br />Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang Daerah Tingkat I, diganti menjadi propinsi sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan.<br /><br />Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota.<br /><br />Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.<br /><br />Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.<br /><br />Pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.<br /><br />Lebih jauh lagi bahwa peraturan daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.<br /><br />Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain.<br /><br />Wakil kepala daerah Menurut UU itu, daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan DPRD.<br /><br />Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.<br /><br />Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada provinsi otonomi terbatas. Kewenangan provinsi bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerja sama antarKabupaten/Kota.<br /><br />Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi, termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.<br /><br />Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerja sama antardaerah atau dengan pihak ketiga.<br /><br />Daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, yang menangani masalah perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah.<br /><br />Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga tersebut sepenuhnya diserahkan kepada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Wali Kota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus. Kecuali beberapa departemen yang masih bersifat vertikal, Depag, BPN dan Depkum HAM.s Kepala daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerah berhenti apabila pertanggung jawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.<br /><br />Rekomendasi Apeksi Para bupati yang terhimpun dalam Apkasi bertemu dalam rapat regional Kalimantan berhasil merumuskan rekomendasi yang akan disampaikan kepada Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR RI, Ketua DPD, Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan.<br /><br />Dalam rekomendasi yang dibacakan koordinator Apkasi regional Kalimantan H Muhammad Mawardi itu disebutkan, penyelenggaraan otonomi daerah dalam bingkai NKRI perlu dilakukan rekonstruksi dengan menyusun grand design mengenai konsep otonomi daerah.<br /><br />’Grand design’ otonomi daerah ini mengacu pada konsep �desentralisasi asimetrik�, yakni konsep pembagian kekuasaan/kewenangan (sharing of power) yang tidak seragam antarpemerintah daerah dengan membagi menjadi otonomi luas, otonomi terbatas dan otonomi khusus.<br /><br />Mawardi menyebutkan, dalam kerangka hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu dilakukan penataan kembali struktur hubungan pemerintah pusat-daerah, di mana titik berat otonomi daerah tetap pada daerah kabupaten/kota.<br /><br />Sementara pemerintah provinsi sebagai kewenangan administratif yang mendudukan fungsi sebagai perwakilan dan kepanjangan tangan pemerintah pusat yang menyelenggarakan tugas, fungsi dan kewenangan pemerintah pusat di daerah.<br /><br />Dalam rangka merekonstruktur kebijakan penyelenggaraan pemerintah daerah, kebijakan yang sifatnya nasional harus terkait satu sektor dengan sektor lainnya dan jangan ada pertentangan antara kebijakan sektor dengan kebijakan umum penyelenggaraan otonomi daerah.<br /><br />Selain itu juga jangan ada pertentangan implementasi kebijakan umum penyelenggaraan otonomi daerah dan kebijakan yang sifatnya sektoral harus memperhatikan karakteristik, potensi dan kekhususan yang dimiliki masing-masing daerah (pluralitas local).<br /><br />Untuk itu perlu diperhatikan pengaturan kebijakan tidak hanya terbatas pada pengaturan hubungan antarlembaga pemerintah semata, tapi hendaknya sesuai dengan prinsip �good governance�, kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah, selain juga harus mengatur hubungan antara pemerintah/negara (state) dengan swasta dan �civil society�.<br /><br />Demokrasi berkembang baik Pekembangan demokrasi pascareformasi terlihat semakin baik, meskipun masih ada pernak-pernik di sejumlah kabupaten/kota setelah dilakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Hal ini dinilai wajar bila dilihat perkembangan pemikiran demokrasi di tengah masyarakat yang satu dasawarsa.<br /><br />Oleh karena itu, penguasa legislasi sejatinya memberi dorongan untuk mempercepat pembangunan sesuai kewenangan yang diberikan melalui UU No.22/1999 tentang �Pemerintahan Daerah� sehingga cita-cita dan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat terwujud di masa mendatang.<br /><br />Syarif Hidayat mengatakan, reformasi desentralisasi dan otonomi daerah dalam suatu dasawarsa terakhir disertai adanya �anomaly� konsep dan kebijakan yang berimplikasi kontra produktif. Pemerintah terus menerus memproduksi kebijakan �pragmatis-parsialistik� yang dibangun atas �penggalan peristiwa� dengan tujuan merespon persoalan politik dan ekonomi sesaat.<br /><br />Di kalangan akademikus muncul gejala �bias diagnostik� dalam memaknai realitaesentralisasi dan otonomi daerah. Cari ini sulit menjawab persoalan bangsa. Solusi yang tepat adalah membangun pemahaman terhadap �rangkaian peristiwa� dan harus dikaitkan dengan dinamika pergeseran relasi Negara � masyarakat dalam konteks gesekan �reormasi�.<br /><br />Pencitraan �Era Otonomi Daerah�, disadari atau tidak, kata Syarif Hidayat, telah mengondisikan komponen bangsa untuk mencurahkan perhatian lebih paada persoalan memaknai �era� dan mengkritisi implementasi kebijakan secara parsial dari pa mempertenyakan hal-hal lebih substansial terkait dengan konsep dasar desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri.<br /><br />Sebuah contoh disebutkan revisi UU No.22 dan UU No.25/1999 menjadi UU No.32 dan UU No.33/2004 dapat diartikan sebagai salah satu bentuk kebijakan yang sangat bernuansa �pragmatis-parsialistik�. Hal ini karena revisi kedua UU tersebut cenderung didasarkan pada pemahaman atas �penggalan peristiwa� dan bermuatan politis, dengan tujuan membangun �citra Negara� dalam pusaran �erang sedang berlangsung.<br /><br />Kecenderungan itu tentu sangat tidak menguntungkan, baik bagi perkembangan konsep maupun implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Alasannya rekomendasi akademis dan kebijakan yang dihasilkan dari bias pemahaman atas realitas yang terjadi tidak hanya berimplekasi pada pelapukan konsep desentralisasi dan otonomi daerah, tetapi juga berimbas pada pembekalan pendekatan kebijakan pemerintah yang bersifat �pragmatis-parsialistik�.<br /><br />Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu mengatakan, sebenarnya, �bias pemahaman� dan �bias kebijakan� tersebut tidak perlu terjadi jika para analis dan penyelenggara Negara memiliki sensitivitas akademis yang tajam dalam mengartikan berbagai persoaan sosial, ekonomi, dan politik kontemporer di daerah.<br /><br />Secara substansial, tidak semua masalah sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di daerah tersebut merupakan implikasi langsung dari implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, tapi lebih sebagai akibat dari adanya pergeseran pola interaksi antara Negara (state) dan masyarakat (society) pada periode pascapemerintahan Soeharto.<br /><br />Dukung pemberantasan korupsi Muhammad Mawardi menyebutkan bahwa Apkasi regional Kalimantan mendukung sepenuhnya kebijakan nasional untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi dalam kerangka mewujudkan �good and clean governance�.<br /><br />Sehubungan dengan hal tersebut, prosedur hukum yang berlaku harus senantiasa ditaati dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, sehingga menjadi kepastian dan keadilan hukum bagi pejabat-pejabat daerah dalam menjalankan kebijakan serta kegiatan pembangunan daerah.<br /><br />�Kepala daerah memerlukan jaminan untuk tidak menjadi korban kriminalisasi saat menjalankan langkah inovatif dan diskretif dalam mencapai akselerasi pembangunan daerah,� kata Mawardi pada acara yang juga di hadiri Ketua Umum Apkasi Isran Noor.<br /><br />Terkait dengan proses revisi atau pembentukan Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah, pemerintah daerah dan desa oleh DPR RI, semestinya ikut dilibatkan dan menampung aspirasi politik masyarakat seluas mungkin.<br /><br />Ini dinilai penting dan perlu dilakukan agar perundang-undangan yang dilahirkan tidak menyimpang dari konstitusionalitas dan konsepsi nasional tentang otonomi daerah tetap dalam bingai NKRI. Dasar hukum lahir untuk memperkuat NKRI dan mempercepat kemakmuran rakyat.<br /><br />Terkait dengan lahirnya UU No.32 dan UU No.33/2004 pascarevisi UU No.22/1999 yang merupakan dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, tidak sepi pernyataan tanpa mempertajam dan mendorong tujuan dari otonomi daerah tersebut.<br /><br />Sejatinya, semua anak bangsa ikut mendorong kemajuan manakala ada kebijakan yang dipahami bisa memakmurkan kehidupan masyarakat, dan jangan justru terkesan �melemahkan� niat baik pembuat regulasi dan pemangku kebijakan bertujuan bagi kemakmuran.<br /><br />Tidak berlebihan bila masyarakat cerdas mendukung dan mendorong kebijakan berkualitas bijaksana bagi kemajuan pembangunan bangsa dan negara, tanpa menyalahkan atau memberi pernyataan kritik yang terkesan untuk kepentingan golongan, apalagi secara parsial dan jauh dari harapan memperkuat semangat dalam bingkai NKRI.<br /><br />Dikutip dari berbagai sumber sejarah otonomi daerah. <strong>(*)</strong></p>

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA