Kearifan lokal dapat digunakan sebagai penanggulangan bencana tanah longsor adalah

Tugujatim.id – Akhir-akhir ini, beberapa wilayah di Indonesia dilanda bencana banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung. Selain kehilangan harta benda, juga mengakibatkan korban jiwa. Meski bencana alam tidak dapat dicegah, tapi kita bisa meminimalisasinya dengan mitigasi bencana yang tepat. Salah satunya dengan mitigasi bencana yang unik berbasis kearifan lokal.

Kearifan lokal merupakan pengetahuan tradisional yang khas dari masyarakat tertentu sebagai hasil proses interaksi manusia dengan lingkungannya. Hal itu dijadikan pedoman berperilaku dan berinteraksi antara manusia dengan alam melalui tabu, mitos, dan ritual adat.

Kearifan lokal sendiri diwujudkan dalam perilaku adaptif terhadap lingkungan berperan penting dalam mengurangi risiko bencana. Yakni, memberikan pengaruh positif kepada masyarakat dalam menghadapi dan menyikapi potensi bencana. Lalu beberapa daerah-daerah mana sajakah di Indonesia telah menerapkan strategi mitigasi bencana berbasis kearifan lokal? Simak ya penjelasan Tugu Jatim berikut ini!

1. Nyanyian Nandong Smong dari Masyarakat Simeulue Aceh

Dilansir oleh artikel yang berjudul Merawat Tradisi Lokal sebagai Strategi Pengurangan Risiko Bencana di Dusun Brau, Jawa Timur, karya Megasari Noer Fatanti (Jurnal IPTEK-KOM, Vol. 21 No. 1, 2019), masyarakat Aceh Simeulue mempunyai nyanyian Nandong Smong yang mengisahkan tanda-tanda terjadinya tsunami. Mulai dari terjadinya gempa, terlihat ombak besar di lautan, kemudian terjadi lagi gempa yang kuat, dan surutnya air laut.

Untuk diketahui, smong berarti ombak besar atau tsunami. Narasi tersebut memperingatkan agar seluruh masyarakat pada kawasan tersebut berlari ke tempat yang lebih tinggi agar terhindar dari gelombang tsunami.

2. Tradisi Masyarakat Dusun Brau, Kota Batu, Jawa Timur

Masih dari sumber yang sama, masyarakat Dusun Brau, Desa Gunungsari, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, memiliki kearifan lokal berupa ritual Cok Bakal, tradisi bersih desa dan selametan, serta tahlilan sebagai upaya mitigasi bencana banjir dan tanah longsor.

Pertama, Cok Bakal merupakan ritual yang dilakukan saat mengawali musim tanam sebagai ungkapan syukur sekaligus doa menolak bala kepada Tuhan YME. Tujuannya agar kegiatan pertanian berjalan lancar tanpa gangguan serta terhindar dari malapetaka. Ritual ini pun memberi pesan agar tidak menebang pohon sembarangan dan mematuhi larangan menanam vegetasi sayur dan buah tertentu di daerah tersebut untuk mencegah tanah longsor.

Untuk tradisi bersih desa dan selametan sebagai penghormatan kepada Buyut Sarpin, sang cikal bakal Dusun Brau, dan ungkapan syukur di penghujung tahun. Selain itu, juga mengingatkan untuk menjalin hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan agar masyarakat aman dari bencana.

Sedangkan tradisi tahlilan di malam Jumat untuk memohon keselamatan dan perlindungan Tuhan supaya desa mereka dijauhkan dari bencana. Selain itu, tokoh agama yang memimpin juga mengingatkan agar masyarakat senantiasa menjaga kelestarian alam.

3. Pikukuh Karuhun Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leudimar, Kabupaten Lebak, Banten, terkenal dengan keteguhannya memegang adat yang disebut Pikukuh Karuhun. Kearifan lokal ini erat dengan upaya melestarikan alam dan mitigasi bencana alam.

Menurut artikel yang berjudul Mitigasi Bencana Berbasis Kearifan Lokal Masyarakat Baduy, karya Suparmini dkk, tentang isi ketentuan adat tersebut. Di antaranya, dilarang mengubah jalan air dan membuat irigasi, dilarang mengubah bentuk tanah misalnya menggali sumur, meratakan tanah untuk pemukiman, dan lain-lainnya.

Selain itu, dilarang masuk hutan titipan untuk menebang pohon, membuka ladang, atau mengambil hasil hutan, dilarang menggunakan teknologi kimia, seperti pestisida, detergen, dan sejenisnya. Dan juga dilarang berladang sembarangan dan harus menjaga kebersihan lingkungan sehingga dapat mencegah banjir dan tanah longsor.

Masyarakat Baduy juga membagi tata guna lahan menjadi tiga, yakni kawasan larangan, kawasan perlindungan, dan kawasan budi daya. Kawasan larangan dan perlindungan tidak dapat dialihfungsikan untuk kegiatan apa pun demi menjaga kelestarian alam.

Kearifan lokal tersebut ternyata mampu meminimalisasi risiko bencana di daerah masyarakat Baduy. Beberapa penelitian menyatakan, masyarakat Baduy jarang mengalami banjir dan tanah longsor, meski daerah mereka rawan bencana, dan tidak mengalami kerusakan parah ketika gempa.

4. Mitigasi Tradisional ala Kampung Naga Tasikmalaya

Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Melansir dari artikel karya Indarti Komala Dewi dan Yossa Istiadi dengan judul Mitigasi Bencana pada Masyarakat Tradisional dalam Menghadapi Perubahan Iklim di Kampung Naga Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, masyarakat Kampung Naga memiliki kearifan lokal sebagai strategi mitigasi bencana. Jadi, meski rawan banjir dan tanah longsor, kampung ini relatif aman.

Mitigasi berbasis kearifan lokal ini terdiri dari tiga aspek, yaitu hutan keramat, pola penataan ruang kampung, dan lorong drainase. Pertama, masyarakat sangat mensakralkan hutan keramat. Hutan ini berfungsi sebagai hutan lindung sekaligus daerah resapan air untuk mencegah banjir dan kekeringan. Adat melarang keras untuk memasuki apalagi menebang pohon di kawasan ini.

Kedua, penatan ruang kawasan pemukiman dan sawah. Masyarakat membuat terasering mengikuti kontur tanah dengan campuran batu dan tanah liat, serta ditanami bambu atau aren pada area sawah. Sedangkan rumah dibangun sesuai kontur tanah mengikuti pola grid dari barat ke timur dengan tapak bangunan setinggi kurang lebih 15 cm dari lorong drainase.

Ketiga, lorong drainase yang mengalirkan air dari dataran tinggi ke dataran daerah sehingga memperlancar aliran air. Uniknya, lorong drainase ini tidak disemen sehingga air dapat meresap dan mencegah genangan air. Kemudian, mereka juga membuat kolam yang memisahkan perumahan dengan sungai untuk mencegah banjir dari luapan sungai.

Itulah beberapa contoh mitigasi bencana yang unik berbasis kearifan lokal oleh masyarakat tradisional. Kira-kira mitigasi yang mana ya yang paling ampuh untuk mengatasi bencana?

Indonesia memiliki beragam suku dan budaya, yang sering disebut sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal dapat ditemui di berbagai pulau di Indonesia dan menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia. Secara geografis, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng besar yaitu Pasifik, Eurasia dan Indo-Australia sehingga berdampak terhadap tingginya potensi bencana. Pergeseran lempeng akan mengakibatkan pergerakan tanah dan berakibat pada bencana gempa bumi. Berdasarkan data BMKG, sepanjang tahun 2019 terjadi 11.573 gempa bumi di Indonesia. Tingginya potensi bencana ini memaksa nenek moyang kita untuk belajar bagaimana cara menghadapi atau memitigasi bencana. Cara tersebut menjadi satu budaya yang terbalut dalam kearifan lokal bangsa Indonesia yang hingga saat ini masih dipelihara oleh masyarakat lokal di Indonesia.

Mitigasi bencana berbasis kearifan lokal di Indonesia bisa dilihat dari arsitektur Rumah Gadang di Sumatera Barat yang dibuat sedemikian rupa tanpa menggunakan paku untuk meminimalisir dampak gempa bumi. Suku Baduy juga mempertahankan kearifan lokalnya dalam menghadapi gempa bumi yaitu dengan membuat aturan adat atau pikukuh dan larangan dalam membangun rumah. Dalam hal ini, bahan bangunan yang digunakan adalah bahan-bahan yang lentur, seperti bambu, ijuk, dan kiray supaya rumah tidak mudah rusak. Rumah juga tidak boleh didirikan langsung menyentuh tanah. Hal ini dilakukan supaya rumah tidak mudah roboh sehingga lingkungan suku baduy jarang mengalami kerusakan. Dalam pembuatannya, rumah tidak boleh menggunakan paku dan hanya menggunakan sasak dan tali ijuk (Suparmini dkk, 2014). Semua kearifan lokal untuk mitigasi bencana gempa tersebut merupakan khasanah bagi bangsa Indonesia yang harus dipertahankan. Kesiapsiagaan masyarakat adalah kunci dalam menghadapi bencana dan kesiapsiagaan itu biasanya terbentuk dari perilaku yang telah dijaga secara turun temurun.

Perubahan iklim membawa dampak yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Salah satu dampak akibat perubahan iklim tersebut adalah curah hujan yang tinggi dan tidak beraturan. Hal ini diperparah lagi dengan penebangan pohon yang dilakukan oleh manusia sehingga menyebabkan banjir bandang dan longsor. Salah satu desa yang masih mempertahankan kearifan lokal adalah Desa Kampung Naga di Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. Kondisi topografi desa yang dikelilingi perbukitan membuat Masyarakat sadar akan ancaman bencana longsor dan banjir (Dewi dan Istiadi, 2015) yang bisa menimpa kapan saja.

Kearifan lokal sudah dipertahankan secara turun temurun dan perlu diikuti oleh desa-desa yang langsung berbatasan dengan hutan di Indonesia. Oleh sebab itu, diskusi Pojok Iklim bermaksud membahas kearifan lokal dari daerah lainnya yang juga dapat dijadikan sumber pembelajaran khususnya dalam pengelolaan lingkungan. Kearifan lokal yang ada di Indonesia menjadi sebuah kekayaan yang harus di pertahankan di era modernisasi ini, karena perpaduan antara modernisasi dan kearifan lokal mungkin akan menjadi langkah efektif untuk meminimalisir dampak bencana yang terjadi di Indonesia (BPBD Kabupaten Bogor, 2020).

Pengantar:
Sarwono Kusumaatmadja - Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim

Narasumber:
"Mengelola dengan Bijak Titipan yang Masih Tersisa"
, Unduh Materi
Maman Suparman - Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

"Menjaga Hutan dan Alam Bali dengan “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” Menuju Bali Bebas Banjir Melalui Implementasi Peraturan Gubernur Bali No.24 Tahun 2020 Tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai dan Laut", Unduh Materi
Made Maha Widyartha, S.Hut - Penyuluh Kehutanan Muda Provinsi Bali

"Melaksanakan Pesan Leluhur Bersinergi dengan Masa Kini", Unduh Materi
Eyang Memet -Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat

"Konservasi di Lereng Sumbing Sindoro", Unduh Materi
Agus Romadhon, S.Hut - Penyuluh Kehutanan Kabupaten Temanggung, Provinsi Jawa Tengah

Moderator:
Ir. Sri Handayaningsih, M.Sc - Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat, Direktorat Jenderal PDASHL, Kementerian LHK

Penutup:
Dr. Eka Widodo Soegiri - 
Tenaga Ahli Menteri Bidang Analisa Strategis Akuntabilitas Politik dan Publikasi

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA