Ibadah haji hubungannya dengan PEMBENTUKAN karakter dan pembangunan peradaban Islam

Oleh: Prof Kamrani BuseriSetiap ibadah mempunyai penekanan sendiri-sendiri, ada yang lebih menekankan aspek individual seperti syahadat, salat dan puasa, ada yang lebih kepada aspek sosial seperti zakat dan haji.
Syahadat, salat dan puasa akan terlaksana tanpa banyak melibatkan orang lain, tetapi zakat dan haji tidak mungkin tanpa melibatkan orang lain. Bagi zakat harus ada yang berzakat (muzakki) dan yang menerima.Bagi haji harus ada tim pelaksana, penyedia alat transportasi, penyedia akomudasi atau pemondokan bahkan konsumsi. Minimal kita pasti bergabung dengan masyarakat luas misalnya pada saat wukup di padang Arafah, melempar di Mina, saat tawaf dan sai.Dalam konteks pergaulan antarjemaah haji itulah, kewajiban haji dalam Alquran diiringi dengan panduan berperilaku yang terpuji.Haji sebagai wahana  pergaulan antarumat Islam se dunia membutuhkan sikap positif dan menjauhi sikap negatif sehingga melahirkan suasana kekeluargaan, persaudaraan bahkan rasa bersatu sebagai satu keluarga besar muslim yang diikat oleh tali Allah.

Allah menegaskan dalam Alquran surah Ali Imran ayat 103: “Berpeganglah kamu sekalian dengan tali (agama) Allah serta janganlah kamu bercerai berai”.

Orang yang haji selama dia berperilaku positif, maka dia sangat beruntung karena sekembalinya tidak membawa dosa dan noda lagi seperti layaknya seorang yang baru dilahirkan dari ibunya. Nabi menegaskan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim:

“Duta Allah itu ada tiga, orang yang berhaji, umrah dan berperang di jalan Allah. Siapa yang berhaji dan dia tidak melakukan rafats dan fasik, dia kembali sebagaimana baru dilahirkan dari ibunya”

Perilaku positif seperti itu harus terbawa pula sekembalinya dari tanah suci dan perilaku seperti itulah yang menunjukkan seseorang memperoleh haji mabrur yakni haji yang paling tinggi derajatnya, dan ciri seorang yang memperoleh haji mabrur adalah bilamana perilaku sesudah berhaji jauh lebih baik dari perilaku sebelumnya.Pengalaman selama berhaji, bergaul antarsuku bangsa kita menyaksikan perbedaan adat istiadat, kebiasaan, maupun corak keberagamaan akan menjadikannya menjadi manusia kosmopolit. Manusia kosmopolit dikategorikan sebagai seorang yang moderen, karena dia mampu melihat kenyataan adanya perbedaan dalam berbagai segi kehidupan dan mampu menerima perbedaan tersebut sebagai sebuah sunnah Allah.Sikap seperti itulah yang mampu menciptakan keharmonisan dalam pergaulan, menumbuhkan keterbukaan dan persaudaraan sesama.

Perbedaan-perbedaan yang dia saksikan selama menunaikan ibadah haji dijadikannya khazanah untuk lebih mematangkan kepribadiannya. Sebagai contoh, imam salat di masjid Madinah maupun di Masjid Al Haram Mekkah umumnya ketika membaca surah al-Fatihah, tidak terdengar oleh kita memulainya dengan basmalah.

Begitupula perilaku beribadah dari berbagai jemaah kaum muslimin ketika berdiri dalam salat, ada yang meletakkan tangan di antara dada dan perut, ada yang di luruskan saja, ada yang bergerak seenaknya menengok  ke sana ke mari. Berbagai perbedaan tersebut harus kita sikapi dengan husnuz zhan (perasangka baik).

Perbedaan perilaku beragama seperti contoh tersebut itu hanya sebagian kecil dari banyaknya perbedaan-perbedaan perilaku beragama yang tersebar di seluruh pelosok bumi ini. Begitupula mengenai wacana keagamaan sangat beragam karena banyaknya perbedaan pendapat maupun pandangan masing-masing pemuka agama atau umat sendiri.Untuk itu semua, latihan toleransi beragama di saat dan selama menunaikan ibadah haji  harus diterapkan pula sekembalinya kita ke tanah air, sebab di tanah air kita, juga tidak sedikit perbedaan perilaku beragama kita saksikan, lebih-lebih terakhir ini sangat banyak bermunculan berbagai aliran dan kelompok keagamaan.

Perbedaan perilaku beragama akan terus kita temui, karena Allah telah menciptakan manusia berbeda-beda antara satu dan lainnya, manusia diciptakan bersuku-suku, aliran atau kelompok keagamaan. Tetapi janganlah perbedaan tersebut menghilangkan ukhuwah/persaudaraan baik persaudaraan sesama manusia, persaudaraan sebangsa maupun persaudaraan seagama.

Adalah keliru dan berarti menentang kehendak  Allah bilamana manusia menjadi serakah, merasa benar sendiri sehingga berupaya untuk mengekploitasi alam bahkan mengekpoloitasi sesamanya demi mencapai tujuan pribadinya semata.

Alam dan segala isinya yang telah  diserahkan Allah kepada manusia harus dikelola untuk kemakmuran bersama. Manusia yang diberi kedudukan utama sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifatullah) bertugas untuk menyebarluaskan kebenaran, kebaikan, dan keindahan, bahkan mengimplementasikan usaha kemakmuran dan kesejahteraan bersama serta menjaga keutuhan  umat  lebih-lebih  keutuhan sebagai umat Islam.

Khusus untuk memperkokoh sikap toleransi, persaudaraan serta kebersamaan seagama sebenarnya ada beberapa paradigma/kerangka pikir yang harus dikembangkan oleh kita kaum muslimin. Inilah yang disebut paradigama/kerangka pikir internal umat beragama, yaitu:Mengembangkan kesadaran terhadap kenyataan faktual, adanya perbedaan dan keragaman/pluralis, baik internal maupun eksternal. Adanya perbedaan dan keragamaan adalah kehendak Allah sendiri.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (Ruum:22).

Atas dasar keragaman/pluralis sebagai kenyataan, maka harus ditumbuhkan budaya pluralis, yakni budaya menerima kenyataan akan adanya keragaman, keterbukaan, saling menghormati, kesabaran dalam kehidupan berbangsa, mengambil yang positif darimanapun datangnya dan untuk saling mengenal.Paradigma kebenaran minimal, misalnya bilamana setiap aliran/kelompok keagamaan telah bersyahadat yakni mengakui Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Rasul-Nya, walaupun dalam aspek lainnya terjadi perbedaan, harus diakui tetap sebagai saudara.Paradigma mencari kebenaran, pengukurnya adalah Allah bukan kita. Secara individu upayakan menahan diri dari memvonis, kecuali atas nama lembaga MUI sebagi pemberi fatwa. Mari kita berdoa, semoga orang yang berbeda dengan kita itu memperoleh nilai 100, dan semoga kita memperoleh nilai sama.Kemudian, paradigma berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan berlomba-lomba dalam hal mencari kesalahan atau kekeliruan orang lain.Paradigma kesalehan individual adalah hak asasi yang harus dihormati, sementara kesalehan sosial harus terus ditingkatkan bersama dan merupakan wacana bersama seperti bagaimana upaya peningkatan kesejahteraan, pembinaan kualitas SDM atau pendidikan, kesehatan dan keamanan.

Mari kita pupuk terus menerus perilaku kosmopolit bukan lokalit. Semoga. (*)

Sumber: Banjarmasin Post Edisi Cetak



Haji merupakan ibadah yang mempersatukan umat Islam dalam satu poros yang terpusat: Kabah. Kabah menjadi simbol bersatunya ragam etnis, budaya, negara, yang selama ini terpencar. Dalam Kabah inilah umat Islam mencipta satu komitmen untuk beribadah kepada Allah yang Esa, dan yang lain dianggap tiada. Bersatunya visi, misi, dan komitmen dalam ritual haji menjadi bukti bahwa peradaban Islam dilihat secara fisikal saja telah membuktikan kosmopolitanisme peradabannya di dunia. Dan pasti, kosmopolitanisme peradaban dicetak dalam universalitas ajaran yang tertancap dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Spirit kosmopolitanisme peradaban merupakan pemantik bagi umat Islam untuk menjadi pemain inti dalam penciptaan peradaban sebagaimana telah dijalankan para tokoh Islam di masa keemasan. Dan, haji merupakan pertemuan kosmopolit yang menggugah spirit tersebut. Bagi Gus Dur, untuk menjadi pemain inti tersebut, umat Islam harus memahami dan menghayati watak universalisme Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam. Dalam memahami universalisme Islam, ada lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada individu dan kelompok masyarakat. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum Islam (al-kutub al-fiqhiyyah), yakni jaminan dasar akan beberapa hal. Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum. Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama. Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan. Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum. Kelima, keselamatan profesi. Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar tersebut menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintah berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, kelima jaminan dasar tersebut hanya tercipta dalam kerangka teoritis belaka. Belum bisa berfungsi kalau tidak didukung dengan spirit kosmopolitanisme peradaban Islam. Watak kosmopolitanisme peradaban Islam dapat kita baca dari spirit peradaban Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Di Madinah inilah Muhammad menjadikan Madinah sebagai kota kosmopolitan yang serba leluasa menyerap unsur peradaban lain yang bisa membuka cakrawala pemikiran Islam. Islam begitu berani menyerap sisa-sisa warisan peradaban Yunani Kuno yang berupa Hellenisme, peradaban Romawi, peradaban Mesir, peradaban Persia, dan bahkan peradaban anak benua India dan peradaban China. Kosmopolitanisme peradaban Islam muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heteroginitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yakni kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Dalam konteks inilah, warisan nabi dalam penciptaan peradaban Madinah menjadi dasar utama lahirnya kosmopolitanisme peradaban Islam. Tak salah bila kemudian Robert N Bellah, sosiolog Barat terkemuka, menyebut Madinah sebagai kota modern, bahkan sangat modern untuk ukuran zaman waktu itu. Karena kondisi sosiologis-geografis waktu itu, struktur Timur Tengah belum mampu menopang struktur kosmopolitan Madinah yang ditampilkan Muhammad. Tak salah juga kalau sejarawan agung Arnold J. Toynbee menyebut peradaban Islam sebagai oikumene (peradilan dunia) Islam. Oikumene Islam ini, lanjut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Jejak kosmopolitanisme peradaban Islam dalam membentuk pencerahan di dunia Timur Tengah menjadi jejak utama lahirnya pencerahan di Barat. Watak-watak Islam yang terbuka, toleran, moderat, dan menghargai keragaman umat manusia, menjadi ciri utama umat Islam dalam merumuskan sebuah peradaban agung. Minoritas kreatif Lahirlah para arsitek masa depan Islam yang mencipta ragam keilmuan yang terbentang lebar: ada fisikawan, astronom, dokter, filsuf, dan sebagainya. Uniknya, disamping mereka menguasai ragam keilmuan yang terbentang luas, para intelegensia Muslim juga menjadi agamawan yang hafal Al-Quran dan Al-Hadis, ahli tafsir, ahli fiqih, dan bahkan ahli tasawuf. Lihat saja di sana ada Al-Ghazali, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Rusd, dan sebagainya. Jalan kosmopolitanisme peradaban Islam yang diwariskan Nabi Muhammad dan para pemikir Islam harus diteruskan sepanjang masa. Umat Islam Indonesia harus berperan aktif mewujudkan jejak tersebut, yakni dengan mengusung spirit keterbukaan lintas peradaban. Dalam spirit inilah kita bisa menjadikan momentum dan makna haji dalam penciptaan peradaban baru yang membuka lembaran pencerahan di dunia Islam. Sejak ihram, tawaf, sai, melontar jumrah, mabit di Mina dan Muzdalifah, dan wukuf di Arafah, adalah jejak-jejak kosmopolitanisme peradaban Islam yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Warisan ini kemudian disempurnakan oleh Nabi Muhammad. Dalam latar sejarah intelegensia Muslim Indonesia, dalam pengamatan Yudi Latif (2006), para haji Nusantara mampu membentuk koloni-koloni politik yang dikomandoni oleh Syekh Khotib Minangkabau. Syekh Khotib inilah yang mengilhami gerakan Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, Agus Salim (keponakannya sendiri), Haji Djambek, dan para agamawan di Padang. Berdasarkan jejak-jejak keilmuan di Tanah Suci, para haji mampu mencipta peradaban kosmopolitan baru di Indonesia. Dari tangan dingin para haji itu, lahirlah para intelektual kritis yang mencipta tatanan baru ke-Indonesia-an. Sehingga pelan tapi pasti, Indonesia mampu keluar dari jeratan kolonialisme dan imprialisme Belanda dan Jepang. Jejak kosmopolitanisme dalam ritualitas ajaran haji, dapat dijadikan sebagai starting point dalam penciptaan pencerahan baru yang kritis, progresif, dan visioner. Dari pencerahan inilah akan lahir sosok-sosok masa depan, yang dalam bahasa Arnold J. Toynbee dikatakan sebagai minoritas kreatif. Kaum minoritas kreatif inilah, lanjut Toynbee, yang nantinya bisa mengubah jarum sejarah peradaban dunia. Di balik jejak-jejak hati itulah, umat Islam akan mampu menangkap pesan pencerahan yang bisa mengubah peradaban yang suram dan kelam menuju peradaban yang penuh nuansa dan bernilai kebajikan.• Muhammadun Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Editor: Tri Adi


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA