Hambatan apa yang dicapai sehingga penggunaan energi surya belum berkembang di indonesia.

Rio Indrawan | Selasa, 30/07/2019 21:13:23 | 3833 Tampilan

JAKARTA – Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) digadang-gadang menjadi salah satu energi alternatif andalan bagi Indonesia sejak tahun 80-an, tapi sampai sekarang pengembangannya jauh dari harapan.

Berdasarkan data Institute for Essential Service Reform (IESR), kapasitas terpasang PLTS di Indonesia baru sekitar 100 Mega Watt (MW) sangat jauh dari potensi yang ada mencapai 500 Giga Watt (GW). Realisasi tersebut juga sangat jauh dari target yang dicanangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2019 sebesar 6,5 GW pada 2025. Untuk PT PLN (Persero) menargetkan pada 2028 hanya 2 GW.

Pamela Simamora, Koordinator Peneliti Energi Terbarukan dan Spesialis Sistem Energi IESR, mengatakan kondisi jalan ditempatnya pengembangan PLTS akan terus berlangsung apabila pemerintah tidak bisa menghadapi beberapa tantangan yang tengah dihadapi dan hanya bisa diselesaikan melalui kebijakan pemerintah.

Tantangan pertama adalah tarif dari PLTS yang tidak menarik atau 85% dari Biaya Pokok Produksi (BPP). Selain itu suku bunga bank lokal ke pengembang masih tinggi antara 10% hingga 15%. Serta tingginya syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“Pengembang dilema karena tarif tidak menarik dengan 85% BPP, tapi harus menggunakan modul lokal dari pada impor,” kata Pamela di Jakarta, Selasa (30/7).

Selain itu,  skema build, own, operate, transfer (BOOT) juga masih menjadi isu utama. Serta adanya alokasi risiko yang tidak seimbang.

Semua risiko dalam pengembangan PLTS itu yang menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk penyediaan PLTS sangat tinggi di Indonesia.

Menurut Pamela, dari hasil survei yang dilakukan di empat negara, beberapa langkah bisa dicontoh oleh pemerintah Indonesia.

Di India misalnya tidak ada syarat TKDN untuk proyek yang dikerjakan perusahaan swasta atau selain perusahaan negara. Di Uni Emirat Arab, pemerintah menyediakan lahan PLTS secara gratis serta suku bunga yang ditawarkan perbankan sangat kompetitif 2,6% – 3,6%.

Brasil menjadi negara dengan tren pengembangan PLTS paling cepat karena berbagai insentif ditawarkan oleh pemerintah,  seperti diskon untuk transmisi dan distribusi listrik, pinjaman lunak untuk pengembangan yang memenuhi syarat TKDN serta suku bunga rendah mencapai 0,9%. Ini membuat harga listrik dari PLTS hanya sekitar US$1,75 sen per kWh.

Pemerintah Indonesia sudah sewajarnya memberikan beberapa insentif serupa jika ingin PLTS tumbuh seperti penyediaan lahan untuk proyek PLTS, menurunkan suku bunga serta relaksasi syarat TKDN.

“TKDN penting untuk manufaktur dalam negeri namun perlu menyesuaikan dengan kapasitas manufaktur Indonesia yang masih minim,” kata Pamela.(RI)

15 Dec 2020, 17:56 WIB - Oleh: Muhammad Ridwan

Bisnis/Feri Kristianto PLTS atap terpasang di sebuah gedung di Denpasar, Bali.

Bisnis.com, JAKARTA — Sebagai negara yang berada di garis khatulistiwa, Indonesia memiliki potensi sumber energi baru dan terbarukan yang melimpah, terutama dari energi surya. Sayangnya potensi tersebut masih terhambat untuk dimaksimalkan karena sulitnya fasilitas pembiayaan.

Ketua Bidang Advokasi dan Edukasi Asosiasi Energi Surya Indonesia Yonanes Bambang Sumaryo mengatakan bahwa potensi tenaga surya di Indonesia sebesar 163 GWp (gigawatt-peak) per tahun bisa hampir mencukupi kebutuhan listrik nasional. Total kebutuhan listrik nasional saat ini sebesar 270 Twh (Terrawatt-hour) per tahun.

Namun, dalam pelaksanaannya terdapat sejumlah tantangan dan hambatan dalam pengembangannya di Indonesia. Salah satu hambatan yang ditemui adalah masalah pembiayaan untuk investasi awal. Selain itu, tingkat suku bunga pinjaman yang tinggi relatif terhadap yield tahunan.

Baca Juga : Pengembangan Co-Firing Biomassa Masih Penuh Tantangan

Pasalnya, ketersediaan produk komponen PLTS saat ini mayoritas masih dipasok dari luar negeri sehingga masih membutuhkan biaya investasi yang besar.

"Pengembangan solar panel memerlukan dana yang besar di awal dan memerlukan pembiayaan dengan bunga rendah dan jangka pengembalian yang lama," katanya webinar Peran Serta IIF Menuju Pencapaian Transisi Energi 2050 yang diselenggarakan Bisnis Indonesia, Selasa (15/12/2020).

Di samping hambatan tersebut, Yohanes mengatakan bahwa pihaknya masih membutuhkan regulasi yang dapat mempercepat pengembangan pembangkit listrik tenaga surya.

Baca Juga : PLN Petakan Potensi Pengembangan PLTS di Lahan Bekas Tambang

Yohanes menuturkan bahwa harapannya dalam pengembangan energi tenaga surya di Indonesia masih memiliki jangka waktu pengembalian investasi yang relatif lama apabila merujuk dengan harga jual listrik yang ada saat ini.

"Harapan masyarakat kalau bisa investasi di bawah 3 tahun kembali modal, tapi kenyataan dengan harga listrik sekarang masih di atas 5 tahun rata-rata 6 tahun—8 tahun," tuturnya.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

08 May 2021, 14:24 WIB - Oleh: Feni Freycinetia Fitriani

meta Pembangkit Listrik Tenaga Air Lau Gunung, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Pembangkit ini dikelola oleh PT Inpola Meka Energi, anak usaha PT Nusantara Infrastructure Tbk.

Bisnis.com, JAKARTA - Semakin berkurangnya sumber energi fosil membuat pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) mulai menjadi pembahasan penting. Energi fosil seperti minyak bumi dan batu bara dapat habis. Sementara EBT akan terus diperbarui dan punya sisi berkelanjutan.

Indonesia sendiri telah berkomitmen mengedepankan EBT dalam bauran energi nasional dibanding energi fosil. Itu tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional yang menyebutkan pada 2025 Indonesia akan mencapai bauran EBT sebesar 23 persen.

Persentase ini merupakan ‘sasaran antara’ yang penting dicapai sebelum menuju ‘sasaran sesungguhnya’, yakni EBT 31 persen pada 2050. Sayangnya sejauh ini (2020) realisasi EBT masih sebesar 11,2 persen.

Baca Juga : Regulasi Aturan Jaringan Listrik Terbaru Optimalkan Potensi EBT

Jangankan untuk bicara 2050, untuk mengejar target 2025 saja rasanya masih cukup jauh. Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Dr. Surya Darma mengatakan Indonesia masih amat bergantung pada energi fosil. Porsi EBT 2020 masih kalah jauh dibanding energi lain di antaranya gas bumi 19,16 persen, minyak bumi 31,60 persen, dan batu bara 38,04 persen.

“Selama ini kita lihat pergerakan dari energi fosil ke energi terbarukan sangat lambat. Tentu saja yang jadi persoalan adalah karena pengembangan EBT membutuhkan waktu panjang. Bahkan mestinya dengan skala yang lebih besar dibanding saat ini.” Surya Darma dalam keterangan pers, Sabtu (8/5/2021).

Surya Darma juga menyitir ucapan Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, semestinya target EBT 31 persen pada 2050 bisa direalisasikan lebih cepat yakni pada 2045. Hal itu agar sesuai dengan visi Indonesia emas memperingati 100 tahun kemerdekaan republik.

Baca Juga : Presiden Harus Bangun Industri Energi Baru dan Terbarukan

Namun, dia menganggap masih perlu usaha keras untuk menuju ke sana. Sekurang-kurangnya, perlu ada upaya untuk mengurangi hambatan masuk ke pasar (market entry barriers) bagi produk-produk berbasis EBT.

Hambatan pasar itu, menurut Surya, di antaranya masih kuatnya kepentingan ekonomi terhadap batu bara sebagai sumber penerimaan utama negara dan sumber energi domestik. Hal itu didukung dengan masih digelontorannya subsidi bagi energi fosil.

Adapun hambatan lain yakni kebijakan tarif listrik serta ongkos EBT yang masih kurang kompetitif.

“Aspek-aspek ini memang harus dihilangkan kalau energi terbarukan ingin dikembangkan,” katanya.

Hambatan lain dari pengembangan EBT, kata Surya Darma, belum konklusifnya harga ekonomis dari produk berbasis EBT. Untuk menentukan harga ekonomis tidak mudah, karena bergantung pada banyak sekali aspek, di antaranya: jenis teknologi EBT apa yang dipakai, bagaimana infrastruktur penunjangnya, berapa investasinya, bagaimana kebijakan fiskalnya, dan termasuk bagaimana dukungan pemerintah pusat dan pemda dalam pengembangan EBT.

Menurutnya, harga ekonomis penting dirumuskan dengan baik sebelum pemerintah mendorong EBT agar dapat dimanfaatkan besar-besaran di tengah masyarakat.

Jika harga ekonomis sudah ditetapkan, lanjutnya, maka pemerintah akan lebih mudah menentukan berapa harga jual sebuah produk energi terbarukan. Harga jual di sini didapatkan dari harga ekonomi dikurangi stimulus dikurangi subsidi (Harga Jual = Harga Ekonomi – Stimulus – Subsisi).

“Jika stimulus dan subsidi tidak ada, maka harga jual akan sama dengan harga ekonomi, dan hal ini akan dirasakan berat oleh konsumen dan berdampak pada perekonomian. Apalagi kemampuan konsumen kita masih rendah” Kata Surya Darma.

Lebih lanjut, jika subsidi tidak ada, maka harga jual akan sama dengan harga ekonomi dikurangi stimulus. Dan jika stimulus tidak ada, maka harga jual sama dengan harga ekonomi dikurangi subsidi, yang mana ini akan memberatkan APBN.

Menurutnya, aspek paling utama untuk menggenjot pemanfaatan EBT terletak pada stimulus fiskal. Secara sederhana, harga jual akan rendah jika stimulus diperbesar.

“Di sinilah fungsi stimulus fiskal menjadi sangat penting untuk menurunkan harga jual kepada masyarakat. Akan tercapai affordable price, walaupun ini masih bisa diperdebatkan,” kata Surya Darma.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA