Bagaimanakah perhatian dinasti ayyubiyah terhadap bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan

Lihat Foto

New World Encyclopedia

Fransiskus dari Assisi di hadapan Sultan Al-Kamil dari Dinasti Ayyubiyah.

KOMPAS.com - Dinasti Ayyubiyah atau Bani Ayyubiyah adalah dinasti Muslim Sunni keturunan etnis Kurdi yang pernah berkuasa sejak abad ke-12.

Pada masa jayanya, dinasti yang pusat pemerintahannya berada di Mesir ini pernah menguasai hampir seluruh wilayah Timur Tengah.

Pendiri Dinasti Ayyubiyah adalah Salahuddin Al-Ayubi, yang sebelumnya menjadi wazir (setara perdana menteri) di Mesir, di bawah Dinasti Fatimiyah.

Dinasti Ayyubiyah berkuasa selama kurang lebih satu abad, hingga pertengahan abad ke-13.

Baca juga: Latar Belakang Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Sejarah berdirinya

Sejarah berdirinya Daulah Ayyubiyah dapat ditelusuri sejak melemahnya Dinasti Fatimiyah (909-1172).

Pada pertengahan abad ke-12, Dinasti Fatimiyah semakin melemah karena beberapa faktor. Salah satunya disebabkan oleh permasalahan internal, khususnya perebutan posisi Wazir.

Wazir adalah seorang penasihat atau menteri berkedudukan tinggi, yang biasanya ditemukan dalam sistem monarki Islam.

Selain itu, serangan pasukan Salib ke Mesir juga menjadi salah satu penyebab melemahnya Dinasti Fatimiyah.

Pada 1164, Salahuddin Al-Ayyubi dan pamannya, Syirkuh, dikirim oleh penguasa Damaskus, Nuruddin Zanki, ke Mesir untuk membantu Fatimiyah melawan serangan pasukan Salib.

Dalam pertempuran itu, pasukan Salahuddin dan Syirkuh berhasil mempertahankan Mesir setelah mengalahkan pasukan Salib.

Puncak kejayaan Dinasti Ayyubiyah berlangsung di masa kekhalifahan Salahuddin al-Ayyubi. Ia dikenal sebagai panglima perang yang gagah berani dan disegani, juga seorang yang sangat memperhatikan kemajuan pendidikan. Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan dalam bidang perdagangan dan perindustrian. Lebih jelasnya kita simak berikut ini.

Pemerintahan Dinasti Ayyubiyah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan, terutama pada masa kekuasaan Nuruddin dan Salahuddin. Damaskus, ibu kota Suriah, masih menyimpan jejak arsitektur dan pendidikan yang dikembangkan kedua tokoh tersebut.

Nuruddin berhasil merenovasi dinding-dinding pertahanan kota, menambahkan beberapa pintu gerbang dan menara, membangun gedung-gedung pemerintahan yang masih bias digunakan hingga kini, juga mendirikan madrasah pertama di Damaskus terutama untuk pengembangan Ilmu Hadis. Madrasah ini terus berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok Suriah.

Madrasah yang didirikan Nuruddin di Aleppo (Halb), Emessa, Hamah, dan Ba’labak mengikuti mazhab Syafi’i. Madrsah tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masjid atau disebut sekolah masjid. Namun demikian, madrasah ini secara formal, yaitu menerima murid-murid dan mengikuti model madrasah yang dikembangkan masa Dinastu Nizamiyah.

Nuruddin juga membangun rumah sakit yang terkenal dengan memakai namanya sendiri, yaitu Rumah Sakit al-Nuri. Ini menjadi rumah sakit kedua di Damaskus setelah Rumah Sakit al-Walid. Fungsinya pun tidak hanya sebagai tempat pengobatan, tetapi juga sebagai sekolah kedokteran.

Pada bangunan monumen-monumen, Nuruddin menorehkan seni menulis indah (kaligrafi). Prasasti-prasasti yang ditulisnya menjadi daya tarik para ahli paleografi (ilmu tulisan kuno) Arab. Sejak saat itu, diperkirakan seni kaligrafi Arab bergaya Kufi muncul dan berkembang. Kaligrafi gaya Kufi kemudian diperbaharui dan melahirkan gaya kaligrafi Naskhi.

Salah satu Prasasti yang masih biasa dilihat dan dibaca sampai saat ini terdapat ddi menara Benteng Aleppo. Menurut catatan orang Suriah dan Hittiyah, benteng pertahanan tersebut merupakan mahakarya arsitektur Arab kuno. Berkat jasa Nuruddin, keberadaannya terus dipertahankan, dipelihara, dan direnovasi hingga sekarang. Makam Nuruddin sendiri yang terletak di akademi Damaskus al-Nuriyah, hingga kini juga masih dihormati dan diziarahi.

Pada masa Nuruddin, fungsi masjid dikembangkan sebagai lembaga pendidikan atau sekolah di Suriah. Bahkan pada pemerintahan selanjutnya, lahir suatu tradisi baru yaitu pemakaman para pendiri sekolah masjid di bawah kubah kuburan yang mereka dirikan, baik masa Dinasti Ayyubiah maupun masa Pemerintahan Dinasti Mamluk.

Salahuddin al-Ayyubi juga mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan dan arsitektur. Ia memperkenalkan pendidikan madrasah ke berbagai wilayah yang dikuasainya, seperti ke Yerusalem, Mesir dan lain-lain. Ibnu Jubayr (1145-1217 M), seorang ahli geografi menyebutkan bahwa terdapat beberapa madrasah di kota Iskandariah. Madrasah terkemuka dan terbesar berada di Kairo yang memakai namanya sendiri, yaitu Madrasah al-Salahiyah.

Hanya saja, madrasah bersejarah tersebut tidak bisa ditemukan lagi saat ini, namun sisa-sisa arsitekturnya masih bisa dilihat. Pada tahun-tahun berikutnya, gaya arsitektur Arab ini melahirkan beberapa  monumen bersejarah di Mesir. Salah satunya yang terindah adalah Madrsah Sultan Hasan di Kairo.

Di samping mendirikan sejumlah madrasah, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga membangun dua rumah sakit di Kairo. Rancangan bangunannya mengikuti model Rumah Sakit Nuriyah di Damaskus. Ciri khasnya adalah tempat pengobatan yang sekaligus dijadikan sekolah kedokteran. Salah seorang dokter terkenal yang menjadi dokter pribadi Salahuddin bernama Ibnu Maymun, meskipun ia beragama Yahudi.

Pada masa Salahuddin Al-Ayyubi, umat Islam mulai mengenal perayaan hari lahir Nabi Muhammad Saw. Di Indonseia, perayaan tersebut dikenal dengan istilah Maulid Nabi.

Dalam hal perekonomian, Dinasti Ayyubiah bekerja sama dengan penguasa Muslim di wilayah lain, membangun perdagangan dengan kota-kota di Laut Tengah dan Laut Hindia, juga menyempurnakan sistem perpajakan. Saat itu, jalur perdagangan Islam dengan dunia internasional semakin ramai, baik melalui jalur darat maupun jalur laut. Hal itu juga membawa pengaruh bagi negara Eropa dan negara-negara yang dikuasainya.

Selain itu, dunia perdagangan sudah menggunakan mata uang yang terbuat dari emas dan perak (dinar dan dirham), termasuk pengenalan mata uang dari tembaga yang disebut fulus. Percetakan fulus dimulai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad al-Kamil bin al-'Adil al-Ayyubi. Fulus disediakan sebagai alat tukar untuk barang yang nilainya kecil. Ketika itu, setiap 1 dirham setara dengan 48 fulus.

Dalam bidang industri, masa Ayyubiyah sudah membuat kincir hasil ciptaan orang Syiria. Kincir tersebut lebih canggih dibanding buatan orang Barat saat itu. Di zaman Ayyubiyah juga sudah dibangun pabrik karpet, pabrik kain, dan pabrik gelas.

Pada masa pemerintahan Salahuddin, kekuatan militernya terkenal sangat tangguh. Pasukannya bahkan diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki, dan Afrika. Mereka sudah menciptakan alat-alat perang, pasukan berkuda, pedang, dan panah. Dinasti ini juga memiliki burung elang sebagai mata-mata dalam peperangan.

Salahuddin telah membangun monumen berupa tembok kota di Kairo dan Muqattam, yaitu Benteng Qal'al Jabal atau lebih dikenal dengan Benteng Salahuddin al-Ayyubi, yang sampai hari ini masih berdiri dengan megahnya. Benteng ini terletak disekitar Bukit Muqattam, berdekatan dengan Medan Saiyyidah Aisyah. Ide pembangunan benteng merupakan hasil pemikirannya sendiri yang terwujud tahun 1183 M. Bahkan untuk pondasi benteng diambilkan dari bebatuan pada Piramid di Giza. Benteng ini bahkan dikelilingi pagar yang tinggi dan kokoh.

Benteng Qa'al Jabal memiliki beberapa pintu utama, diantaranya pintu Fath, pintu Nasr, pintu Khalk, dan pintu Luq. Di benteng ini terdapat pula saluran air yang berasal dari sungai Nil. Saluran air itu pernah menjadi tempat minum para tentara. Di bagian utara benteng terdapat Masjid Muhammad Ali Pasha yang terbuat dari marmar dan granit.

Dalam kawasan benteng, terdapat juga Muzium Polis, Qasrul Jawhara (Muzium permata) yang menyimpan perhiasan raja-raja Mesir. Sementara itu, Mathaf al-Fan al-Islami (Muzium Kesenian Islam) yang terletak di pintu Khalk, menyimpan ribuan barang yang melambangkan kesenian Islam semenjak zaman Nabi Muhammad Saw, termasuk surat Rasulullah Saw kepada penguasa Mesir bernama Maqauqis untuk memeluk Islam.

Demikianlah kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Ayyubiah, semoga kita bisa mengambil pelajaran dari tulisan tersebut dan mudah-mudahan bermanfaat. Amiin.  

Kemajuan Damaskus era Dinasti Ayyubiyah banyak mendapat perhatian

Selasa , 06 Jul 2021, 21:51 WIB

ucalgary.ca

Kemajuan Damaskus era Dinasti Ayyubiyah banyak mendapat perhatian. Damaskus, Suriah. (ilustrasi).

Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, — Dinasti Ayyubiyah mungkin tak setua wangsa-wangsa lainnya dalam sejarah peradaban Islam. Usianya tidak sampai 100 tahun, tetapi legasi yang ditinggalkannya tak lekang dimakan waktu. 

Baca Juga

Ada berbagai kemajuan yang diwujudkan kerajaan tersebut. Dalam bidang pendidikan, misalnya, rezim yang dirintis Sultan Shalahuddin Al Ayyubi itu berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota mercusuar ilmu pengetahuan.

Hal itu antara lain ditandai dengan berdirinya Madrasah al-Shauhiyyah jantung daerah Syam itu pada 1239 M. Lembaga tersebut menjadi sentra pengajaran empat mazhab fikih terkemuka dalam Ahlus Sunnah wa Al-Jama'ah. Sebelumnya, Darul Hadits al-Kamillah juga dibentuk pada 1222 M untuk mengembangkan studi hukum Islam. 

Seperti halnya kota-kota kebudayaan Islam pada masa keemasan, Damaskus juga bercorak kosmopolitan. Alhasil, cahaya peradaban tidak hanya menyinari umat Islam, melainkan juga komunitas agama-agama lain. Sebagai contoh, perjalanan keilmuan yang dilakukan Adelardus Bathensis, seorang Nasrani asal Bath, Inggris. Ia melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lainnya di Syam untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan yang dipelajari para sarjana Muslim. 

Untuk diketahui, rihlah yang dijalani Adelardus berlangsung di tengah bayang-bayang Perang Salib. Fakta bahwa ilmuwan Kristen itu dapat dengan leluasa mengakses perpustakaan atau pusat-pusat keilmuan di Syam wilayah kekuasaan Ayyubiyah membuktikan Perang Salib bukanlah suatu perang agama, yang dilandasi kebencian, katakanlah, antara umat Nasrani dan Islam.

Malahan, yang kerap terjadi ialah kontak budaya antara dua masyarakat yang berbeda iman itu. Adelardus Bathensis dikenang sebagai intelektual Barat pertama yang memperkenalkan sistem angka Arab ke Eropa. 

Ia juga menerjemahkan banyak manuskrip yang berbahasa Arab ke bahasa Latin. Dengan begitu, terjadilah transfer macam-macam ilmu pengetahuan, mulai dari kedokteran, astronomi, hingga filsafat. 

Karakteristik terbuka juga diberlakukan Dinasti Ayyubiyah dalam bidang perdagangan dan industri. Dalam menghadapi kaum Salibis, para pemimpin militer Muslim, mulai dari Shalahuddin hingga Sultan al-Kamil, tidak mengambil opsi the winner takes all. 

Malahan, mereka kerap membuka ruang dialog dan perundingan dengan para agresor yang berbeda iman itu. Hasilnya, gencatan senjata kerap terjadi sehingga menjadi masa jeda bagi komunitas Muslim dan Kristen untuk saling berinteraksi, termasuk dalam dunia perniagaan. 

Untuk pertama kalinya, bangsa Eropa mengenal sistem moneter Muslim yang jauh lebih kompleks pada masa itu. Sebagai contoh, adanya sistem bank atau letter of credit sehingga seorang pedagang tak perlu repot-repot membawa emasnya di setiap kota yang disinggahi. Orang-orang Eropa juga menyaksikan, industri tumbuh dengan subur di negeri Islam.

Mereka lantas meniru atau mengadopsi berbagai teknologi yang dirintis Muslimin, semisal teknik pembuatan kertas, kain, karpet, atau kincir air untuk irigasi lahan pertanian. Sejak 1260, Bani Ayyubi dihantam dua kekuatan sekaligus, yakni Dinasti Mamluk di Mesir dan serangan bangsa Mongol atas Syam. 

Mamluk merupakan mantan pasukan budak Ayyubiyah yang akhirnya memberontak dan berhasil merebut kekuasaan. Terkait ancaman Mongol, memang itu sudah terasa sejak pertengahan abad ke-13. Bahkan, dua tahun sebelum jatuhnya Syam, jantung Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad telah hancur lebur oleh serbuan bangsa dari Asia Timur itu.   

sumber : Harian Republika

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA