Apakah mogok kerja termasuk hal yang diperbolehkan dalam undang-undang?

Lihat Foto

ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Front Rakyat Tolak Omnibus Law (Frontal) membawa spanduk saat melakukan aksi unjuk rasa di Depan Gedung DPRD Sulawesi Tengah di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (14/8/2020). Mereka menyatakan menolak rencana pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/nz.

JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa serikat buruh berencana untuk melakukan aksi mogok kerja sebagai bentuk protes atas pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Nantinya, pada 8 Oktober mendatang RUU Cipta Kerja bakal dibahas di rapat paripurna DPR RI dan disahkan menjadi undang-undang.

Menanggapi mogok kerja tersebut, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani meminta agar para pekerja tidak terprovokasi rencana mogok kerja nasional.

Selain itu, bila memang akan melakukan mogok kerja disarankan untuk mematuhi aturan mengenai mogok kerja serta protokol kesehatan Covid-19.

Baca juga: Menurut Menko Airlangga, Ini Segudang Manfaat RUU Cipta Kerja untuk Rakyat Di dalam arahannya kepada pengusaha yang termasuk di dalam Kadin Indonesia itu, Rosan pun meminta agar pengusaha yang bersangkutan bsia memberikan pemahaman kepada pekerja di perusahaan terkait mogok kerja termasuk sanksi yang dijatuhkan jika melanggar ketentuan tersebut. "Sebagaimana diatur dalam peraturan perudangan yang berlaku, khususnya UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan," jelas dia dalam surat arahan tertanggal Jumat (30/10/2020).

Rosan pun telah menandatangani Surat Edaran (SE) Nomor 749/DP/IX/2020.

Isi surat tersebut berisi saran, imbauan, serta larangan berdasarkan dua undang-undang (UU) yang menjadi landasan Kadin. Pun Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta. "Seiring dengan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, dalam rangka upaya penanggulangan dan penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah Daerah DKI dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf (a) dan (b) dari Pergub No. 88 Tahun 2020 telah mengatur bahwa "demi kesehatan bersama, masyarakat umum ataupun karyawan tidak boleh melakukan kegiatan berkumpul/bergerombol di suatu tempat," tulis Kadin dalam surat tersebut. Namun, SE tersebut juga tertulis, mogok kerja boleh dilakukan asalkan terjadi perundingan yang gagal antara pemberi kerja dengan pekerja. Oleh sebab itu, mogok kerja massal yang akan dilakukan nanti dianggap tidak sah. "Pasal 137 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/ buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan," isi poin 1 dari SE tersebut. "Sebagai pengejawantahan UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah diterbitkan Kepmenakertrans No. 232/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah, dimana dalam Pasal 3 menegaskan bahwa mogok kerja yang dilakukan bukan akibat gagalnya perundingan adalah tidak sah," lanjut SE itu.

Imbauan Apindo

Asosiasi Pengusaha Indonesia ( Apindo) mengeluarkan imbauan terkait rencana mogok nasional yang diisukan akan dilakukan jelang pengesahan klaster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja. “Apindo mengimbau agar perusahaan anggota mampu memberikan edukasi kepada pekerja atau buruh terkait ketentuan tentang mogok kerja termasuk sanksi yang dapat dijatuhkan jika mogok kerja dilakukan tidak sesuai ketentuan khususnya di UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” kata Ketua Umum Apindo Hariyadi B Sukamdani dalam keterangan resmi. Adapun ketentuan mogok kerja diatur dalam pasal 137 UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Disebutkan, mogok kerja adalah hak dasar bagi pekerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat dari gagalnya perundingan.

Ketentuan soal mogok kerja lebih lanjut dibahas dalam Kepmenakertrans Nomor 23/2003 pasal 3 yang mencatat jika mogok kerja dilakukan bukan akibat gagalnya perundingan, maka mogok kerja tersebut bisa disebut tidak sah.

Pasal 4 Kepmenakertrans tersebut juga disebutkan, yang dimaksud gagalnya perundingan adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang diakibatkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan.

“Di luar hal tersebut, bisa dikatakan mogok kerja yang dilakukan adalah tidak sah dan punya konsekuensi serta sanksi secara hukum,” sebut Hariyadi. Apindo juga mengutip Pergub DKI Nomor 88/2020 pasal 14 ayat (1) soal upaya penanggulangan dan penanganan pandemi Covid-19.

Baca juga: Tolak RUU Cipta Kerja, Buruh Siap Demo dan Mogok Kerja

Lihat Foto

ANTARA FOTO/FAUZAN

Mogok kerja adalah istilah yang kerap bermunculan. Pahami informasi seputar prosedur mogok kerja untuk memenuhi pelaksanaan mogok kerja yang sah sesuai dasar hukum mogok kerja.


JAKARTA, KOMPAS.com – Mogok kerja adalah istilah yang kerap muncul di kalangan masyarakat terkait topik-topik hubungan kerja antara pengusaha dan buruh.

Sejumlah pertanyaan seputar aturan mogok kerja kerap mencuat di kalangan pembaca, khususnya terkait dasar hukum mogok kerja, prosedur mogok kerja, hingga mogok kerja yang sah.

Bagaimana mekanisme mogok kerja yang sah? Bagaimana kewajiban dari pengusaha terhadap pekerja buruh yang melakukan mogok kerja? Bolehkah pekerja yang melakukan mogok kerja secara legal di-PHK?

Baca juga: Menikah dalam Satu Perusahaan dan Sederet Alasan PHK yang Dilarang

Itulah sejumlah pertanyaan yang tak jarang bermunculan. Ada pula yang bertanya, apa artinya mogok kerja? Apa yang dimaksud mogok kerja? Apakah boleh mogok kerja?

Karena itu, artikel ini akan membantu pembaca menjawab sederet pertanyaan tersebut berdasarkan aturan mogok kerja yang berlaku di Indonesia.

Dasar hukum mogok kerja adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam aturan tersebut, dijelaskan bahwa mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.

Lebih lanjut, aturan mogok kerja diatur pada Pasal 137 hingga Pasal 155 yang memuat ketentuan pelaksanaan mogok kerja yang sah.

Pasal 137 menegaskan, mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Baca juga: Penyebab Pemutusan Hubungan Kerja: Alasan PHK Menurut PP 35 Tahun 2021

Selanjutnya, Pasal 138 ayat (1) menyebut, pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Tentang Mogok Kerja dan Seluk-Beluk Hukumnya yang pertama kali dipublikasikan pada 27 Agustus 2018.

Mogok Kerja

Mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.[1]

Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja dan serikat pekerja dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.[2]

Adapun yang dimaksud dengan “perundingan” adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu.[3]

Sedangkan arti dari “tertib dan damai” adalah tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat.[4]

Mogok kerja sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) beserta perubahannya dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-232/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah (“Kepmenakertrans 232/2003”).

Aturan Pelaksanaan Mogok Kerja

Meskipun mogok kerja merupakan hak pekerja akibat gagalnya perundingan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, namun mogok kerja tidak boleh dilakukan sembarangan. Pelaksanaan mogok kerja harus sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Berikut beberapa aturan seputar mogok kerja:

  1. Mogok kerja tidak boleh melanggar hukum

Pekerja dan/atau serikat pekerja yang bermaksud mengajak pekerja lain untuk mogok kerja, pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.[5]

  1. Pekerja berhak ikut atau menolak ajakan mogok kerja

Atas ajakan mogok kerja, yang bersangkutan dapat memilih untuk ikut atau menolak ajakan mogok kerja tersebut.[6]

  1. Pemberitahuan tertulis mogok kerja

Maksimal 7 hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja dan serikat pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan dinas ketenagakerjaan setempat.[7] Pemberitahuan sekurang-kurangnya memuat:[8]

    1. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
    2. tempat mogok kerja;
    3. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
    4. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja sebagai penanggung jawab mogok kerja.

Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja yang tidak menjadi anggota serikat pekerja, pemberitahuan ditandatangani oleh perwakilan pekerja yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.[9]

Apabila mogok kerja dilakukan tanpa pemberitahuan tertulis sebagaimana diatur di atas, demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:[10]

  1. melarang para pekerja yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
  2. bila dianggap perlu, melarang pekerja yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan, di mana tempat mogok kerja adalah tempat yang tidak menghalangi pekerja lain untuk bekerja.
  1. Pemberian tanda terima atas pemberitahuan mogok kerja

Setelah menerima pemberitahuan, perusahaan maupun dinas ketenagakerjaan wajib memberikan tanda terima atas pemberitahuan tertulis mogok kerja yang diajukan.[11]

Patut digarisbawahi, mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan di atas adalah mogok kerja tidak sah.[12]

Konsekuensi Jika Pekerja Melakukan Mogok Kerja

Lalu, apa konsekuensinya jika pekerja melakukan mogok kerja? Pada prinsipnya, mogok kerja merupakan hak dasar pekerja dan serikat pekerja sebagai akibat gagalnya perundingan, yang harus dilaksanakan sesuai aturan hukum yang berlaku, serta dilakukan secara sah, tertib, dan damai.

Oleh karena itu, siapapun tidak boleh menghalang-halangi mogok kerja yang sah, tertib, dan damai.[13] Yang dimaksud dengan menghalang-halangi antara lain dengan cara:[14]

  1. menjatuhkan hukuman;
  2. mengintimidasi dalam bentuk apapun; atau
  3. melakukan mutasi yang merugikan.

Selain itu, jika suatu mogok kerja terlaksana dengan sah, tertib, dan damai, maka siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja dan pengurus serikat pekerja yang mogok kerja.[15]

Dengan menggunakan teori hukum penafsiran terbalik (a contrario), maka ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa jika suatu mogok kerja tidak sah, tidak tertib, dan tidak damai, aparat keamanan dapat melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja dan pengurus serikat pekerja.

Lebih lanjut, pihak yang menghalang-halangi mogok kerja yang sah, tertib, dan damai dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun dan/atau denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 400 juta.[16]

Selain itu, perlu diperhatikan, pekerja yang mogok kerja sesuai aturan hukum, pengusaha dilarang:[17]

  1. mengganti pekerja yang mogok kerja dengan pekerja lain dari luar perusahaan; atau
  2. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja dan pengurus serikat pekerja selama dan sesudah mogok kerja.

Bahkan, pekerja yang mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, pekerja berhak mendapatkan upah.[18]

Yang dimaksud dengan “sungguh-sungguh melanggar hak normatif” adalah pengusaha secara nyata tidak bersedia memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dan/atau ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”), perjanjian kerja bersama (“PKB”), atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, meskipun sudah ditetapkan dan diperintahkan oleh pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.[19]

Jadi, pengusaha tidak dibenarkan memberikan sanksi ke pekerja yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai, serta memenuhi aturan hukum.

Tapi, dalam hal pengusaha tetap menjatuhkan sanksi, menurut hemat kami dalam hal ini telah terjadi perselisihan hak, yakni perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, PP, atau PKB.[20] Oleh karena itu, Anda dapat menempuh upaya hukum secara bertahap sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).

Konsekuensi Bila Melakukan Mogok Kerja yang Tidak Sah

Perlu diketahui, suatu mogok kerja tidak sah apabila dilakukan:[21]

  1.  
  2. bukan akibat gagalnya perundingan;
  3. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan dinas ketenagakerjaan;
  4. dengan pemberitahuan kurang dari 7 hari sebelum pelaksanaan mogok kerja;
  5. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d UU Ketenagakerjaan; dan/atau
  6. mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang dilakukan oleh pekerja yang sedang bertugas.

Berkebalikan dengan mogok kerja yang sah, tertib, dan damai, maka konsekuensi mogok kerja tidak sah, tidak tertib, dan tidak damai di antaranya:

  1. Perusahaan dapat mengambil tindakan sementara dengan melarang mogok kerja di lokasi kegiatan proses produksi atau bahkan di lokasi perusahaan bila dianggap perlu, demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan jika mogok kerja dilakukan tanpa atau kurang dari 7 hari pemberitahuan tertulis sebelumnya;
  2. Aparat keamanan dapat melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja dan pengurus serikat pekerja, dengan menggunakan teori hukum penafsiran terbalik (a contrario) dari Pasal 143 ayat (2) UU Ketenagakerjaan; dan
  3. Pengusaha berhak mengganti pekerja yang mogok kerja dengan pekerja lain dari luar perusahaan atau memberikan sanksi kepada pekerja dan pengurus serikat pekerja selama dan sesudah mogok kerja.

Selain itu, pekerja yang mogok kerja secara tidak sah juga dapat dikualifikasikan sebagai mangkir.[22]

Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok kerja dilakukan oleh perusahaan 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis.[23] Pekerja yang tidak memenuhi panggilan ini dianggap mengundurkan diri.[24]

Selain itu, dalam hal pekerja mogok kerja pada saat sedang bertugas pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, yang mana mengakibatkan hilangnya nyawa manusia yang berhubungan dengan pekerjaannya, dikualifikasikan sebagai kesalahan berat.[25]

Sebagai informasi tambahan, perbuatan mogok kerja tidak sah ini juga dapat menjadi alasan dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sepanjang ditetapkan sebagai alasan PHK dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.[26] Untuk itu, kami menyarankan agar Anda memeriksa kembali peraturan internal di perusahaan tempat Anda bekerja.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

[1] Pasal 1 angka 23 UU Ketenagakerjaan

[2] Pasal 137 UU Ketenagakerjaan

[3] Penjelasan Pasal 137 UU Ketenagakerjaan

[4] Penjelasan Pasal 137 UU Ketenagakerjaan

[5] Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[6] Pasal 138 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

[7] Pasal 140 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[8] Pasal 140 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

[9] Pasal 140 ayat (3) UU Ketenagakerjaan

[10] Pasal 140 ayat (4) dan penjelasannya UU Ketenagakerjaan

[11] Pasal 141 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[12] Pasal 142 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[13] Pasal 143 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[14] Penjelasan Pasal 143 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[15] Pasal 143 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

[16] Pasal 185 ayat (1) jo. Pasal 143 UU Ketenagakerjaan

[17] Pasal 144 UU Ketenagakerjaan

[18] Pasal 145 UU Ketenagakerjaan

[19] Penjelasan Pasal 145 UU Ketenagakerjaan

[21] Pasal 3 jo. Pasal 5 Kepmenakertrans 232/2003

[22] Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 7 ayat (1) Kepmenakertrans 232/2003

[23] Pasal 6 ayat (2) Kepmenakertrans 232/2003

[24] Pasal 6 ayat (3) Kepmenakertrans 232/2003

[25] Pasal 7 ayat (2) Kepmenakertrans 232/2003

[26] Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (2) UU Ketenagakerjaan

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA