Tantangan penerapan Pancasila di era digital

Saputri, S. ., & Dewi, D. A. . (2022). Tantangan Nilai-Nilai Pancasila pada Generasi Milenium di Era Digital . Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(2), 9909–9913. //doi.org/10.31004/jptam.v6i2.3989

Ahmad, A. (2020). Media Sosial dan Tantangan Masa Depan Generasi Milenial. Avant Garde, 8(2), 134. //doi.org/10.36080/ag.v8i2.1158

Creswell, J. W. (n.d.). Educational Research planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research.

Rahma, D., & Dewi, D. A. (2021). Milenial Mengimplementasi Nilai Pancasila: Sebuah Harapan dan Cita-Cita. EduPsyCouns: Journal of Education, Psychology and Counseling, 3(1), 135–

//ummaspul.e-journal.id/Edupsycouns/article/view/1310

Saputri, S., Dewi, D. A., & Purnamasari, Y. F. (2021). Taat Wajib Pajak sebagai Bentuk Implementasi “Smart and Good Citizen.” Pendidikan Tambusai, 5(3), 7680–7683.

Setiawan, W. (2017). Era Digital dan Tantangannya. Seminar Nasional Pendidikan. Seminar Nasional Pendidikan, 1–9.

Sulaiman, A. (2015). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (p. 163).

Surono, M. (2015). INTERNALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA 2015. November 2014.

Suryadi, B. (n.d.). GENERASI Y: KARAKTERISTIK, MASALAH, DAN PERAN KONSELOR.

W, R. W. A., Poluakan, M. V., Dikayuana, D., Wibowo, H., & Raharjo, S. T. (2020). Potret Generasi Milenial Pada Era Revolusi Industri 4.0. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 2(2), 187. //doi.org/10.24198/focus.v2i2.26241

  • Lulu Rahma Aulia, Dinie Anggraeni Dewi, Yayang Furi Furnamasari, Mengenal Indentitas Nasional Indonesia Sebagai Jati Diri Bangsa untuk Menghadapi Tantangan di Era Globalisasi , Jurnal Pendidikan Tambusai: Vol. 5 No. 3 (2021): 2021
  • Aulia Nur Jannah, Dinie Anggraeni Dewi, Implementasi Pancasila dalam Kehidupan Sosial Budaya di Masyarakat Abad-21 , Jurnal Pendidikan Tambusai: Vol. 5 No. 1 (2021): 2021
  • Latifah Meynawati, Dinie Anggraeni Dewi, Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Bagi Generasi Millenial di dalam Kehidupan Sehari-hari , Jurnal Pendidikan Tambusai: Vol. 5 No. 1 (2021): 2021
  • Yeyen Sormin, Yayang Furi Furnamasari, Dinie Anggraeni Dewi, Identitas Nasional Sebagai Salah Satu Determinan Pembangunan Dan Karakter Bangsa , Jurnal Pendidikan Tambusai: Vol. 5 No. 3 (2021): 2021
  • Delia Maharani, Dinie Anggraeni Dewi, Implementasi Pancasila dalam Mengatasi Korupsi di Indonesia , Jurnal Pendidikan Tambusai: Vol. 5 No. 1 (2021): 2021
  • Nishfa Syahira Azima, Yayang Furi Furnamasari, Dinie Anggraeni Dewi, Pengaruh Masuknya Budaya Asing Terhadap Nasionalisme Bangsa Indonesia di Era Globalisasi , Jurnal Pendidikan Tambusai: Vol. 5 No. 3 (2021): 2021
  • Syahla Rizkia Putri Nur'insyani, Dinie Anggraeni Dewi, Menumbuhkan Rasa Cinta Tanah Air melalui Pendidikan Kewarganegaraan Di Era Relovulsi 4.0 , Jurnal Pendidikan Tambusai: Vol. 5 No. 1 (2021): 2021
  • Mila Lisnadiani Iswanda, Dinie Anggraeni Dewi, Peran Pendidikan Kewarganegaraan di Era Globalisasi , Jurnal Pendidikan Tambusai: Vol. 5 No. 1 (2021): 2021
  • Deby Sabina, Dinie Anggraeni Dewi, Yayang Furi Furnamasari, Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Implementasinya , Jurnal Pendidikan Tambusai: Vol. 5 No. 3 (2021): 2021
  • Sahma Nada Afifah Ekaprasetya, Dinie Anggraeni Dewi, Yayang Furi Furnamasari, Menumbuhkan Jiwa Nasionalisme Generasi Millenial di Era Globalisasi melalui Pancasila , Jurnal Pendidikan Tambusai: Vol. 5 No. 3 (2021): 2021

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 > >> 

Rektor UIN Sumatera Utara, Sidurrahman, memberikan keterangan mengenai tantangan yang dihadapi ideologi Pancasila di era digital.(KOMPASIANA/LIKE PERMATA DEWI)

Tantangan bagi ideologi Pancasila pada generasi milenial saat ini adalah digitalisasi, sesuai dengan karakter dan platformnya. Setiap zaman memang harus ada sebuah program yang mengikuti perkembangan zaman tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Rektor UIN Sumatera Utara, Saidurrahman.

Menurutnya, agar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika bisa diterima, maka karakter milenial, platform yang digunakan, dan kontennya harus disusun. Untuk itu diperlukan penguatan secara struktural untuk memastikan bahwa ada yang mengawal Pancasila.

"Kalau masa lalu kita punya BP7, lalu ada yang kita sebut Eka Setya Pancakarsa, juga 36 butir Pancasila yang kemudian direvisi menjadi 45 butir," ujarnya.

Menurut pengamat politik, Karyono Wibowo, tantangan bagi penanaman nilai-nilai Pancasila di dunia digital memang tidak mudah. Jika nanti BPIP sudah dikuatkan oleh undang-undang, yang paling penting adalah bagaimana menyusun formula untuk penanaman nilai-nilai ideologi Pancasila di semua segmen masyarakat terutama generasi milenial.

"Metodenya harus menyesuaikan dengan perkembangan dunia digital saat ini, di mana generasi milenial dalam satu hari minimal selama kurang lebih 7 jam menghabiskan waktunya dengan gawai di tangan," jelasnya.

Karyono juga berpendapat jika Pancasila jangan sekedar dijadikan slogan-slogan saja, karena bagi generasi milenial ini akan sulit untuk dicerna, seharusnya lebih melekat, lebih aplikatif, lebih up-to-date, dan lebih implementatif.

"Jargon-jargon dan dogma Pancasila tidak perlu dihilangkan, akan tetapi metode penyampaiannya harus disesuaikan dengan perkembangan yang ada," tambahnya.

Saidurrahman juga mengatakan jika kata kunci dalam penanaman nilai-nilai ideologi Pancasila adalah pengarusutamaan. Ia berpendapat kalau selama ini Indonesia telah terlena karena semenjak era reformasi, doktrin-doktrin Pancasila telah hilang.

Untuk mengarusutamakan Pancasila, menurut Saidurrahman, dibutuhkan penguatan secara struktur, penyampaiannya bukan lagi secara kultur. Ia berharap BPIP memiliki kekuatan untuk mengarusutamakan Pancasila di semua segmen, termasuk generasi milenial.

Ia mengaku heran dan aneh kalau dalam sebuah penelitian, ada sekitar 10% generasi milenial yang ingin mengganti Pancasila. "Wah, itu bisa kiamat nanti," candanya.

Saidurrahman juga ingin, jika nanti media harus memastikan konten-konten yang merupakan bagian dari Pancasila, meskipun tidak harus disebut Pancasila sila sekian, tapi semua sepakat bahwa itu Pancasila.

Page 2

Tantangan bagi ideologi Pancasila pada generasi milenial saat ini adalah digitalisasi, sesuai dengan karakter dan platformnya. Setiap zaman memang harus ada sebuah program yang mengikuti perkembangan zaman tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Rektor UIN Sumatera Utara, Saidurrahman.

Menurutnya, agar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika bisa diterima, maka karakter milenial, platform yang digunakan, dan kontennya harus disusun. Untuk itu diperlukan penguatan secara struktural untuk memastikan bahwa ada yang mengawal Pancasila.

"Kalau masa lalu kita punya BP7, lalu ada yang kita sebut Eka Setya Pancakarsa, juga 36 butir Pancasila yang kemudian direvisi menjadi 45 butir," ujarnya.

Menurut pengamat politik, Karyono Wibowo, tantangan bagi penanaman nilai-nilai Pancasila di dunia digital memang tidak mudah. Jika nanti BPIP sudah dikuatkan oleh undang-undang, yang paling penting adalah bagaimana menyusun formula untuk penanaman nilai-nilai ideologi Pancasila di semua segmen masyarakat terutama generasi milenial.

"Metodenya harus menyesuaikan dengan perkembangan dunia digital saat ini, di mana generasi milenial dalam satu hari minimal selama kurang lebih 7 jam menghabiskan waktunya dengan gawai di tangan," jelasnya.

Karyono juga berpendapat jika Pancasila jangan sekedar dijadikan slogan-slogan saja, karena bagi generasi milenial ini akan sulit untuk dicerna, seharusnya lebih melekat, lebih aplikatif, lebih up-to-date, dan lebih implementatif.

"Jargon-jargon dan dogma Pancasila tidak perlu dihilangkan, akan tetapi metode penyampaiannya harus disesuaikan dengan perkembangan yang ada," tambahnya.

Saidurrahman juga mengatakan jika kata kunci dalam penanaman nilai-nilai ideologi Pancasila adalah pengarusutamaan. Ia berpendapat kalau selama ini Indonesia telah terlena karena semenjak era reformasi, doktrin-doktrin Pancasila telah hilang.

Untuk mengarusutamakan Pancasila, menurut Saidurrahman, dibutuhkan penguatan secara struktur, penyampaiannya bukan lagi secara kultur. Ia berharap BPIP memiliki kekuatan untuk mengarusutamakan Pancasila di semua segmen, termasuk generasi milenial.

Ia mengaku heran dan aneh kalau dalam sebuah penelitian, ada sekitar 10% generasi milenial yang ingin mengganti Pancasila. "Wah, itu bisa kiamat nanti," candanya.

Saidurrahman juga ingin, jika nanti media harus memastikan konten-konten yang merupakan bagian dari Pancasila, meskipun tidak harus disebut Pancasila sila sekian, tapi semua sepakat bahwa itu Pancasila.


Lihat Hukum Selengkapnya

Page 3

Tantangan bagi ideologi Pancasila pada generasi milenial saat ini adalah digitalisasi, sesuai dengan karakter dan platformnya. Setiap zaman memang harus ada sebuah program yang mengikuti perkembangan zaman tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Rektor UIN Sumatera Utara, Saidurrahman.

Menurutnya, agar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika bisa diterima, maka karakter milenial, platform yang digunakan, dan kontennya harus disusun. Untuk itu diperlukan penguatan secara struktural untuk memastikan bahwa ada yang mengawal Pancasila.

"Kalau masa lalu kita punya BP7, lalu ada yang kita sebut Eka Setya Pancakarsa, juga 36 butir Pancasila yang kemudian direvisi menjadi 45 butir," ujarnya.

Menurut pengamat politik, Karyono Wibowo, tantangan bagi penanaman nilai-nilai Pancasila di dunia digital memang tidak mudah. Jika nanti BPIP sudah dikuatkan oleh undang-undang, yang paling penting adalah bagaimana menyusun formula untuk penanaman nilai-nilai ideologi Pancasila di semua segmen masyarakat terutama generasi milenial.

"Metodenya harus menyesuaikan dengan perkembangan dunia digital saat ini, di mana generasi milenial dalam satu hari minimal selama kurang lebih 7 jam menghabiskan waktunya dengan gawai di tangan," jelasnya.

Karyono juga berpendapat jika Pancasila jangan sekedar dijadikan slogan-slogan saja, karena bagi generasi milenial ini akan sulit untuk dicerna, seharusnya lebih melekat, lebih aplikatif, lebih up-to-date, dan lebih implementatif.

"Jargon-jargon dan dogma Pancasila tidak perlu dihilangkan, akan tetapi metode penyampaiannya harus disesuaikan dengan perkembangan yang ada," tambahnya.

Saidurrahman juga mengatakan jika kata kunci dalam penanaman nilai-nilai ideologi Pancasila adalah pengarusutamaan. Ia berpendapat kalau selama ini Indonesia telah terlena karena semenjak era reformasi, doktrin-doktrin Pancasila telah hilang.

Untuk mengarusutamakan Pancasila, menurut Saidurrahman, dibutuhkan penguatan secara struktur, penyampaiannya bukan lagi secara kultur. Ia berharap BPIP memiliki kekuatan untuk mengarusutamakan Pancasila di semua segmen, termasuk generasi milenial.

Ia mengaku heran dan aneh kalau dalam sebuah penelitian, ada sekitar 10% generasi milenial yang ingin mengganti Pancasila. "Wah, itu bisa kiamat nanti," candanya.

Saidurrahman juga ingin, jika nanti media harus memastikan konten-konten yang merupakan bagian dari Pancasila, meskipun tidak harus disebut Pancasila sila sekian, tapi semua sepakat bahwa itu Pancasila.


Lihat Hukum Selengkapnya

Page 4

Tantangan bagi ideologi Pancasila pada generasi milenial saat ini adalah digitalisasi, sesuai dengan karakter dan platformnya. Setiap zaman memang harus ada sebuah program yang mengikuti perkembangan zaman tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Rektor UIN Sumatera Utara, Saidurrahman.

Menurutnya, agar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika bisa diterima, maka karakter milenial, platform yang digunakan, dan kontennya harus disusun. Untuk itu diperlukan penguatan secara struktural untuk memastikan bahwa ada yang mengawal Pancasila.

"Kalau masa lalu kita punya BP7, lalu ada yang kita sebut Eka Setya Pancakarsa, juga 36 butir Pancasila yang kemudian direvisi menjadi 45 butir," ujarnya.

Menurut pengamat politik, Karyono Wibowo, tantangan bagi penanaman nilai-nilai Pancasila di dunia digital memang tidak mudah. Jika nanti BPIP sudah dikuatkan oleh undang-undang, yang paling penting adalah bagaimana menyusun formula untuk penanaman nilai-nilai ideologi Pancasila di semua segmen masyarakat terutama generasi milenial.

"Metodenya harus menyesuaikan dengan perkembangan dunia digital saat ini, di mana generasi milenial dalam satu hari minimal selama kurang lebih 7 jam menghabiskan waktunya dengan gawai di tangan," jelasnya.

Karyono juga berpendapat jika Pancasila jangan sekedar dijadikan slogan-slogan saja, karena bagi generasi milenial ini akan sulit untuk dicerna, seharusnya lebih melekat, lebih aplikatif, lebih up-to-date, dan lebih implementatif.

"Jargon-jargon dan dogma Pancasila tidak perlu dihilangkan, akan tetapi metode penyampaiannya harus disesuaikan dengan perkembangan yang ada," tambahnya.

Saidurrahman juga mengatakan jika kata kunci dalam penanaman nilai-nilai ideologi Pancasila adalah pengarusutamaan. Ia berpendapat kalau selama ini Indonesia telah terlena karena semenjak era reformasi, doktrin-doktrin Pancasila telah hilang.

Untuk mengarusutamakan Pancasila, menurut Saidurrahman, dibutuhkan penguatan secara struktur, penyampaiannya bukan lagi secara kultur. Ia berharap BPIP memiliki kekuatan untuk mengarusutamakan Pancasila di semua segmen, termasuk generasi milenial.

Ia mengaku heran dan aneh kalau dalam sebuah penelitian, ada sekitar 10% generasi milenial yang ingin mengganti Pancasila. "Wah, itu bisa kiamat nanti," candanya.

Saidurrahman juga ingin, jika nanti media harus memastikan konten-konten yang merupakan bagian dari Pancasila, meskipun tidak harus disebut Pancasila sila sekian, tapi semua sepakat bahwa itu Pancasila.


Lihat Hukum Selengkapnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA