Jakarta - Anak putus sekolah yang tidak mampu itu sebenarnya menjerit meminta sekolah namun di dalam hatinya. Walaupun memakai wajah polos seperti orang yang tidak bisa berbuat apa apa. Saya merasa bersalah jika saya hanya bisa membuat kritikan. Saya akan mencoba dengan sepenuh hati memberikan solusinya. Tapi silahkan dengar pengalaman saya sewaktu di SMA berikut ini.Saya memiliki teman. Wajahnya seperti orang lugu. Memang teman saya orang miskin. Saya sebagai penyayang teman yang berhati baik tidak ada perbedaan apa pun. Semua teman yang baik sama. Sekarang ia menjadi buruh pabrik statusnya kontrak tiga bulan di Jakarta. Semoga saja ia bisa mengatasi "operasi orang miskin" di Jakarta. Uang gajinya hanya untuk ditabung dan langkah selanjutnya digunakan untuk masuk kuliah.Jika dilihat dari prestasi ia sangat bagus. Berikut adalah prestasinya selama mengikuti kegiatan sekolah:
- Selama SMP, SMA ia selalu mendapat juara kelas.
- Dipilih dalam pengurus OSIS.
- Dipilih menjadi dewan Pramuka.
- Ikut kegiatan Pramuka di luar dengan kedisiplinan luar biasa.
- Ikut les Bahasa Inggris dan TOEFL.
- Cemerlang dalam hal matematika.
- Ikut kegiatan PMR di sekolah.
- Ikut kegiatan PKS mendapatkan sertifikat dari kepolisian.
- Membangun sekolah rakyat yang baik diperuntukkan bagi anak terlantar dan tidak mampu. Tidak dipungut biaya apa pun dikarenakan ketidaksanggupan membiayainya karena kemiskinan di mana pendirian sekolah tersebut seluruhnya ditanggung pemerintah setempat. Pemerintah setempat memiliki kewajiban melindungi dengan sikap tegas. Sekolah rakyat tersebut disetarakan dengan SD, SMP, SMA, dan Universitas yang berkualitas.
- Jika negara dan pemerintah setempat tidak sanggup membiayai pembangunan sekolah bahkan yang sederhana sekali pun, kita, terutama warga negara yang memiliki uang gaji berlebih seharusnya memberikan sebagian uangnya kepada anak miskin untuk bersekolah. Itu saja.
Rangga PramudyaMangunjaya Purwokerto
02817661899
(msh/msh)
(Guru Bahasa Inggris SMPN 5 Cipongkor)
Menghadapi siswa malas mungkin sudah menjadi santapan hampir semua guru. Mulai dari malas mengerjakan pekerjaan rumah, malas berkegiatan di sekolah, bahkan malas masuk sekolah. Poin terakhir adalah masalah yang cukup mengganggu. Bagaimana tidak, penulis sendiri merasakan kebingungan luar biasa ketika ada siswa yang sering tidak masuk dan bisa sampai berhari-hari tanpa alasan yang jelas. Kunjungan ke rumah siswa menjadi jalan yang sering ditempuh. Jadi, bagaimana cara mengatasi siswa seperti itu?
Tidak dipungkiri banyak faktor yang memengaruhi sifat malas pada siswa. Pertama, lingkungan tempat tinggal. Keluarga memegang peranan penting pada tumbuh kembang anak. Ketika dukungan penuh diberikan untuk bersekolah, tentunya anak memiliki motivasi dalam diri untuk belajar. Sebaliknya, jika orang tua tidak terlalu mendukung anak sekolah, seperti misalnya pemikiran, ‘untuk apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya masuk dapur juga’, otomatis anak pun berpikiran sama. Sering ditemukan orang tua yang meminta anak untuk membantu di kebun, mengantar ke pasar, atau menjaga adik ketimbang pergi ke sekolah.
Faktor ke dua, lingkungan sekolah. Sudahkah anak merasa nyaman di sekolah? Indikator nyaman bukan berarti harus merasakan fasilitas lengkap. Aktivitas monoton di sekolah dapat memicu kebosanan anak sehingga dia berpikir untuk membolos daripada berada di dalam lingkungan sekolah. Tidak sedikit siswa yang pergi ke sekolah, nyatanya tidak sampai di sekolah.
Bagaimana dengan anak yang tidak ingin melanjutkan sekolah? Setamat SMP mereka memilih bekerja. Baik anak laki-laki maupun perempuan, lebih memilih tidak melanjutkan sekolah. Apa yang mereka kerjakan? Menjadi asisten rumah tangga, ikut saudara di proyek bangunan. Menurut saya tidak ada yang salah dengan keputusan tersebut. Kembali pada dukungan keluarga, itupun bukan murni kesalahan mereka. Tentu jika Anda mengetahui atau menghadapi hal seperti ini, penulis yakin konseling akan dilakukan kepada mereka. Namun masih saja ada anak yang tidak tertarik sekolah. Bukan tidak mungkin mereka kembali bersekolah setelah lama vakum di dunia kerja.
Inilah perlunya mengenalkan berbagai macam keterampilan kepada anak sejak dini. Fungsinya adalah agar mereka memiliki daya saing tinggi. Di sisi lain juga sangat bermanfaat bagi anak yang sisi kognitifnya tidak cukup baik. Bukankah tidak ada anak bodoh di dunia ini? Setiap anak memiliki kelebihan masing-masing. Contoh sederhananya, seorang anak memilih tidak bersekolah dan bekerja sebagai tukang bangunan. Nah, bagaimana caranya agar ia menjadi seorang tukang bangunan yang berbeda dari orang lain? Misalnya ia mampu memasang paving block lebih cepat dari yang lain dengan akurasi dan presisi yang sesuai, tidak miring dan bergelombang. Penulis ungkapkan demikian karena profesi ini nyata, dan memiliki standar upah yang tinggi.
Kemudian bagi siswa putus sekolah yang benar-benar tidak mau menempuh pendidikan formal, pemerintah perlu hadir, misalnya melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Penulis katakan tidak mau bersekolah formal adalah bagi mereka yang tidak memahami pentingnya pendidikan. Berapa kalipun guru memotivasi dan berdiskusi dengan orang tua, tetap saja mereka tidak mengacuhkan. Nah, BLK sangat mungkin dilaksanakan di kecamatan atau desa ketika jarak ke ibukota kabupaten terlampau jauh. Di sini, akan ada banyak tenaga muda terampil yang dapat dilatih. Bukan tidak mungkin mereka bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain.
Menurut hemat penulis, mengintegrasikan keterampilan di dalam setiap mata pelajaran merupakan poin penting di era ini. Guru bisa memotivasi dan mengarahkan siswa untuk menjadi seperti apa, namun jalan kehidupan tetap ada pada genggaman mereka sendiri. Namun bukan berarti kita lepas tangan terhadap masa depan penerus bangsa. Selalu ada solusi untuk setiap masalah, dan pendidikan non-formal pun layak diperhitungkan.*
(Editor Newsroom: Adhyatnika GU)
Biodata Penulis
Sejak 2017 ditugaskan sebagai Guru Bahasa Inggris di SMPN 5 Cipongkor Bandung Barat. Pernah berkelana ke Ende, Nusa Tenggara Timur sebagai guru Bahasa Inggris (juga) di SMKN 6 Ende. Peran reporter kampus pun pernah dilakoni ketika masih berstatus mahasiswa, dan beberapa kali mengirim liputan kegiatan ke Harian Kompas. Penerjemah (freelance) sejak 2015 sampai sekarang.
IG: @deeansavitri