Sikap kita sebagai generasi muda terhadap masalah anak-anak putus sekolah adalah

Jakarta - Anak putus sekolah yang tidak mampu itu sebenarnya menjerit meminta sekolah namun di dalam hatinya. Walaupun memakai wajah polos seperti orang yang tidak bisa berbuat apa apa. Saya merasa bersalah jika saya hanya bisa membuat kritikan. Saya akan mencoba dengan sepenuh hati memberikan solusinya. Tapi silahkan dengar pengalaman saya sewaktu di SMA berikut ini.Saya memiliki teman. Wajahnya seperti orang lugu. Memang teman saya orang miskin. Saya sebagai penyayang teman yang berhati baik tidak ada perbedaan apa pun. Semua teman yang baik sama. Sekarang ia menjadi buruh pabrik statusnya kontrak tiga bulan di Jakarta. Semoga saja ia bisa mengatasi "operasi orang miskin" di Jakarta. Uang gajinya hanya untuk ditabung dan langkah selanjutnya digunakan untuk masuk kuliah.Jika dilihat dari prestasi ia sangat bagus. Berikut adalah prestasinya selama mengikuti kegiatan sekolah:

  1. Selama SMP, SMA ia selalu mendapat juara kelas.
  2. Dipilih dalam pengurus OSIS.
  3. Dipilih menjadi dewan Pramuka.
  4. Ikut kegiatan Pramuka di luar dengan kedisiplinan luar biasa.
  5. Ikut les Bahasa Inggris dan TOEFL.
  6. Cemerlang dalam hal matematika.
  7. Ikut kegiatan PMR di sekolah.
  8. Ikut kegiatan PKS mendapatkan sertifikat dari kepolisian.
 Ia memiliki lebih dari delapan sertifikat formal di rumahnya. Namun sayangnya, ia masih tidak bisa kuliah karena uang gaji yang ditabungnya belum cukup untuk membayar uang masuk kuliah. Contoh teman saya yang lain adalah sebut saja si "An" laki laki. Terlebih dia selama menjalani pendidikan sekolah sampai SMA dia selalu mendapat juara satu di kelas mana pun dia berada. Memang si "An" ini kecerdasan dan kegigihannya sangat kuat. Sekarang ia menganggur dan mengisi waktu luangnya dengan membaca ilmu dari hari ke hari. Teman saya ini juga bermasalah dalam keuangan karena orang tuanya hanya penjual gorengan. Sebenarnya masih ada puluhan teman saya yang pintar dan cerdas tapi ia orang yang tidak mampu. Kita lihat bersama teman saya yang kaya dan keluarganya banyak uangnya. Ia tidak pernah mendapatkan ranking dan nol prestasi. Bahkan ia nakal sekali karena tertipu kesenangan dunia. Kini ia bisa kuliah karena uangnya banyak. Marilah kita khususnya para mahasiswa tentunya mensyukuri karena kita bisa menikmati kuliah. Mensyukurinya bagaimana? Yakni dengan wujud rajin belajar dan menebarkan kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain. Perlu diketahui bahwa seburuk buruknya manusia adalah manusia yang memiliki kesempatan untuk mendapatkan kebaikan untuk dirinya dan untuk orang lain. Tapi, manusia itu menyia-nyiakannya. Sebagai contohnya adalah kita yang punya uang banyak untuk sekolah tapi hanya untuk main-main dan senda gurau belaka. Itulah wujud bagi orang orang yang tidak bersyukur dan nantinya akan di azab.Sesungguhnya belum tentu orang miskin itu benar-benar tidak mampu. Mereka hanya bermasalah dalam segi ekonomi. Sulitnya mencari sekeping uang. Menurut saya jika orang-orang miskin tersebut memiliki uang lalu bisa sekolah. Bisa jadi orang miskin tersebut mampu memiliki jiwa kepemimpinan yang baik. Nah, di sini. Jiwa kepemimpinan yang baik seperti apa? Jawabannya cukup sederhana yakni menyayangi dan memberi pertolongan tulus dari dasar hati kepada orang yang dirasa tidak mampu. Sekali lagi, jangan menganggap remeh orang miskin. Kita amati bersama. Pasal 34 menetapkan bahwa "Fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh Negara". Sebelum saya memberikan solusi menolong anak putus sekolah yang tidak mampu. Kita amati lagi baik baik.Pasal 27 ayat (2) yang menetapkan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Saya pun bertanya dengan tenangnya hati. Apakah para pengatur negara dan pemerintah setempat sudah lulus ujian mengenai pasal pasal. Atau mereka membuat pasal sendiri tanpa sepengetahuan rakyat. Bukannya pasal 34 dan 27 ini bertentangan dengan fenomena pengasingan orang miskin yang sudah tidak dianggap lagi oleh negara sekarang ini.  Janganlah terlalu memandang sebuah opini dan teori. Implementasikan atau laksanakan dengan seikhlas-ikhlasnya. Dua solusi untuk menolong anak putus sekolah yang tidak mampu yang sangat kita sayangi menurut pendapat rakyat Indonesia yang baik adalah:
  1. Membangun sekolah rakyat yang baik diperuntukkan bagi anak terlantar dan tidak mampu. Tidak dipungut biaya apa pun dikarenakan ketidaksanggupan membiayainya karena kemiskinan di mana pendirian sekolah tersebut seluruhnya ditanggung pemerintah setempat. Pemerintah setempat memiliki kewajiban melindungi dengan sikap tegas. Sekolah rakyat tersebut disetarakan dengan SD, SMP, SMA, dan Universitas yang berkualitas.
  2. Jika negara dan pemerintah setempat tidak sanggup membiayai pembangunan sekolah bahkan yang sederhana sekali pun, kita, terutama warga negara yang memiliki uang gaji berlebih seharusnya memberikan sebagian uangnya kepada anak miskin untuk bersekolah. Itu saja.
Saya sangat suka mendengarkan informasi di radio. Saya jadi lebih pandai dan mengetahui informasi seluruhnya. Daripada menonton televisi yang minim ilmu. Hanya hiburan yang menghancurkan diri sendiri. Beritanya misal. Milyaran rupiah uang pemerintah dikorup dan mungkin hanya untuk dihambur-hamburkan. Orang miskin saja yang ingin mendapatkan secuil nasi sangatlah sulit. Mereka justru membawa-bawa dosa entah ke mana. Dengan seenaknya lagi.Bukankah alangkah baiknya jika uang milyaran tersebut untuk membangun sekolah rakyat yang baik. Yaitu mampu melahirkan lulusan yang cerdas dan Sumber Daya Manusia yang bagus. Lumayan kan negara kita memiliki SDM yang bagus. Belum lagi Sumber Daya Alamnya yang dikatakan dunia bahwa Indonesia memiliki SDA terbesar dan nomor 1 terkaya sedunia. Bisa jadi Indonesia menjadi Negara paling maju dan pintar di seluruh dunia. Pintar yang bagaimana? Pasti kita semua bertanya. Yakni pintar mengolah SDA yang ada di negara kita. Sebagai contohnya adalah kayu dan rotan yang saat ini diam-diam lagi diincar Negara lain.Membangun sekolah rakyat tersebut tidak perlu super mewah cukup sederhana saja. Katanya biar hemat dan efisien (melakukan kegiatan dengan benar). Namun, gurunya itu. Gurunya itu diusahakan menumbuhkan sikap GIGIH. Apa itu GIGIH? GIGIH adalah sebangsa kerja keras tapi dilakukan secara terus-menerus untuk mencapai kualitas yang baik tentunya. Karena guru termasuk faktor utama menjadikan SDM kita bagus atau tidaknya walaupun ada faktor utama yang lain semisal lingkungan teman kita. Kita amati dengan baik pasal berikut ini. Saya menyebutkan beberapa pasal dari tadi bukan berarti kita lupa dengan ajaran agama kita. Pasal 31 ayat (1) yang menetapkan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran". Semoga para pengatur negara dan pemerintah khususnya paham mengenai pasal ini. Insya Allah.Jadi, kesimpulan yang saya jelaskan di atas adalah anak putus sekolah yang tidak mampu sebenarnya bisa ditolong yakni tanpa disadari adalah kita pelakunya. Bukan masyarakat yang tidak mampu pelakunya melainkan kita yang memiliki uang berlebih.Alangkah baiknya jika uang kita yang banyak itu diberikan sebagian kepada anak-anak miskin hanya untuk sekolah. Agar anak-anak kita besok bisa mengolah SDA yang tersedia di Indonesia karena mereka sudah memiliki ilmu mengolah dan dididik dengan baik sekaligus dinamis.

Rangga PramudyaMangunjaya Purwokerto

02817661899

(msh/msh)

Oleh: Dian Savitri, S.Pd.

(Guru Bahasa Inggris SMPN 5 Cipongkor)

Menghadapi siswa malas mungkin sudah menjadi santapan hampir semua guru. Mulai dari malas mengerjakan pekerjaan rumah, malas berkegiatan di sekolah, bahkan malas masuk sekolah. Poin terakhir adalah masalah yang cukup mengganggu. Bagaimana tidak, penulis sendiri merasakan kebingungan luar biasa ketika ada siswa yang sering tidak masuk dan bisa sampai berhari-hari tanpa alasan yang jelas. Kunjungan ke rumah siswa menjadi jalan yang sering ditempuh. Jadi, bagaimana cara mengatasi siswa seperti itu?

Tidak dipungkiri banyak faktor yang memengaruhi sifat malas pada siswa. Pertama, lingkungan tempat tinggal. Keluarga memegang peranan penting pada tumbuh kembang anak. Ketika dukungan penuh diberikan untuk bersekolah, tentunya anak memiliki motivasi dalam diri untuk belajar. Sebaliknya, jika orang tua tidak terlalu mendukung anak sekolah, seperti misalnya pemikiran, ‘untuk apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya masuk dapur juga’, otomatis anak pun berpikiran sama. Sering ditemukan orang tua yang meminta anak untuk membantu di kebun, mengantar ke pasar, atau menjaga adik ketimbang pergi ke sekolah.

Faktor ke dua, lingkungan sekolah. Sudahkah anak merasa nyaman di sekolah? Indikator nyaman bukan berarti harus merasakan fasilitas lengkap. Aktivitas monoton di sekolah dapat memicu kebosanan anak sehingga dia berpikir untuk membolos daripada berada di dalam lingkungan sekolah. Tidak sedikit siswa yang pergi ke sekolah, nyatanya tidak sampai di sekolah.

Bagaimana dengan anak yang tidak ingin melanjutkan sekolah? Setamat SMP mereka memilih bekerja. Baik anak laki-laki maupun perempuan, lebih memilih tidak melanjutkan sekolah. Apa yang mereka kerjakan? Menjadi asisten rumah tangga, ikut saudara di proyek bangunan. Menurut saya tidak ada yang salah dengan keputusan tersebut. Kembali pada dukungan keluarga, itupun bukan murni kesalahan mereka. Tentu jika Anda mengetahui atau menghadapi hal seperti ini, penulis yakin konseling akan dilakukan kepada mereka. Namun masih saja ada anak yang tidak tertarik sekolah. Bukan tidak mungkin mereka kembali bersekolah setelah lama vakum di dunia kerja.

Inilah perlunya mengenalkan berbagai macam keterampilan kepada anak sejak dini. Fungsinya adalah agar mereka memiliki daya saing tinggi. Di sisi lain juga sangat bermanfaat bagi anak yang sisi kognitifnya tidak cukup baik. Bukankah tidak ada anak bodoh di dunia ini? Setiap anak memiliki kelebihan masing-masing. Contoh sederhananya, seorang anak memilih tidak bersekolah dan bekerja sebagai tukang bangunan. Nah, bagaimana caranya agar ia menjadi seorang tukang bangunan yang berbeda dari orang lain? Misalnya ia mampu memasang paving block lebih cepat dari yang lain dengan akurasi dan presisi yang sesuai, tidak miring dan bergelombang. Penulis ungkapkan demikian karena profesi ini nyata, dan memiliki standar upah yang tinggi.

Kemudian bagi siswa putus sekolah yang benar-benar tidak mau menempuh pendidikan formal, pemerintah perlu hadir, misalnya melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Penulis katakan tidak mau bersekolah formal adalah bagi mereka yang tidak memahami pentingnya pendidikan. Berapa kalipun guru memotivasi dan berdiskusi dengan orang tua, tetap saja mereka tidak mengacuhkan. Nah, BLK sangat mungkin dilaksanakan di kecamatan atau desa ketika jarak ke ibukota kabupaten terlampau jauh. Di sini, akan ada banyak tenaga muda terampil yang dapat dilatih. Bukan tidak mungkin mereka bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain.

Menurut hemat penulis, mengintegrasikan keterampilan di dalam setiap mata pelajaran merupakan poin penting di era ini. Guru bisa memotivasi dan mengarahkan siswa untuk menjadi seperti apa, namun jalan kehidupan tetap ada pada genggaman mereka sendiri. Namun bukan berarti kita lepas tangan terhadap masa depan penerus bangsa. Selalu ada solusi untuk setiap masalah, dan pendidikan non-formal pun layak diperhitungkan.*

(Editor Newsroom: Adhyatnika GU)

Biodata Penulis

Dian Savitri, lahir 28 tahun yang lalu di Kudus dan sekarang tinggal di Bandung Barat.

Sejak 2017 ditugaskan sebagai Guru Bahasa Inggris di SMPN 5 Cipongkor Bandung Barat. Pernah berkelana ke Ende, Nusa Tenggara Timur sebagai guru Bahasa Inggris (juga) di SMKN 6 Ende. Peran reporter kampus pun pernah dilakoni ketika masih berstatus mahasiswa, dan beberapa kali mengirim liputan kegiatan ke Harian Kompas. Penerjemah (freelance) sejak 2015 sampai sekarang.

IG: @deeansavitri

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA