Siapakah yang memimpin gerakan militer dalam kudeta yang dilakukan PKI

Kelas: IX

Mata pelajaran: IPS/Sejarah

Materi: Peristiwa Gerakan 30 September

Kata kunci: Peristiwa Gerakan 30 September

Jawaban pendek:

Pemimpin pemberontakan G30/S PKI:

1. DN Aidit (Pemimpin PKI)

2. Syam Kamaruzzaman (Kepala Biro Khusus PKI)

3. Letkol Untung Syamsuri (Komandan Cakrabirawa)

Jawaban panjang:

Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, segerombolan tentara yang menaman dirinya “Gerakan 30 September” menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat Indonesia dalam sebuah upaya kudeta.

Keesokan paginya, organisasi tersebut menduduki kantor pusat Radio Republik Indonesia (RRI) dan menyatakan bahwa mereka memegang kendali dan telah melindungi Presiden Sukarno. Mereka kemudian membentuk Dewan Revolusi sebagai pemegang pemerintahan. 

Namun usaha kudeta gagal dan para pemimpinya ditangkap dan dihukum mati. Pemimpin upaya kudeta tersebut adalah:

1. DN Aidit

Aidit lahir di Tanjung Pinang, Belitung, pada tahun 1923, dan merupakan pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh pemerintah Orde Baru dia dituduh sebagai otak peristiwa G30/S PKI, bersama Sjam Kamaruzzaman dari Biro Khusus PKI.

Setelah Pemberontakan PKI di Madiun pada Tahun 1948, empat anggota muda Politbiro, Aidit, Njoto, Lukman, dan Sudisman menggantikan pemimpin lama pada Januari 1951 sebagai hasil kongres kelima partai tersebut. Aidit ditunjuk sebagai sekretaris jenderal, lalu ketua partai tersebut, sementara Njoto dan Lukman sebagai wakilnya.

Aidit dituduh sebagai perencana utama penculikan dan pembunuhan para Jenderal. Dia disebut melakukan kudeta itu untuk menyingkirkan para anggota “Dewan Jenderal” yang disebut PKI ingin merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno. Setelah peritiwa tersebut, Aidit melarikan diri ke Boyolali, di mana dia ditembak mati di sana pada 22 November 1965.

2. Sjam Kamaruzzaman

Sjam Kamaruzzaman (lahir di Tuban, Jawa Timur, 30 April 1924 – meninggal di Kepulauan Seribu, Jakarta, 30 September 1986), adalah kepala Biro Khsusu PKI, dan bersama dengan Aidit, disebut-sebut sebagai otak perencana Gerakan 30 September.

Menurut kesaksian Sjam di persidangannya, pada pertengahan 1965, Biro Khusus PKI di bawah Sjam telah berhasil melakukan penyusupan ke dalam TNI.

Menjelang Hari Angkatan Bersenjata pada tanggal 5 Oktober 1965, dengan sejumlah besar tentara menuju ibukota, banyak orang menduga adanya sebuah kudeta. Aidit meminta Sjam untuk mengetahui apakah rumor tersebut benar adanya. Sjam menyimpulkan bahwa isu itu benar, dan memberi tahu Aidit. Isu ini kemudian digunakan sebagai alasan Aidit dan Sjam untuk menggerakkan anggota TNI pro-PKI untuk melakukan penculikan dan pembunuhan para perwira yang diduga sebagai “Dewan Jenderal” dan menguasai Jakarta.

Namun, upaya mengasai Jakarta tersebut gagal. Sjam dan Aidit kemudian memutuskan bahwa pemimpin PKI harus terbang ke Jawa Tengah untuk melanjutkan perjuangan.

Dalam penumpasan PKI, Sjam tertangkap hidup-hidup pada bulan Maret 1967. Di disidang di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) dan akhirnya dieksekusi pada bulan September 1986.

3. Lelkol Untung Syamsuri

Letnan Kolonel Untung bin Syamsuri (lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 3 Juli 1926 - 1 September 1967) adalah salah satu pemimpin Gerakan 30 September, yang berperan sebagai pemimpin pasukan yang menculik dan membunuh para perwira Angkatan Darat.

Untung menjadi anggota Cakrabirawa (pasukan pelindung Presiden) pada awal tahun 1965, dan menjadi salah satu pemimpin batalion. Dia diduga sebagai penggerak pasukan yang melakukan penculikan, dan mencoba menguasai Jakarta setelah upaya kudeta tersebut. Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September mengelilingi Lapangan Merdeka di Jakarta Pusat. Ia diangkat sebagai pemimpin gerakan 30 September dalam siaran radio yang dibuat oleh kelompok tersebut dari gedung RRI di Lapangan Merdeka.

Ketika usaha kudeta gagal, Untung dan pemimpin lainnya meninggalkan Halim. Untung ditangkap di dekat Tegal, Jawa Tengah pada bulan Oktober. Dia diadili oleh Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Dia menyangkal bahwa dia adalah anggota Partai Komunis dan bersikeras bahwa dia telah bertindak dalam Gerakan 30 September atas inisiatifnya sendiri. Dia dijatuhi hukuman mati dan ditembak mati pada bulan September 1967. 

Warga nonton bareng (nobar) pemutaran film pengkhianatan G30S/PKI di Lapangan Hiraq Lhokseumawe, Aceh (23/9) malam. Nobar pengkhianatan G30S/PKI yang diperintahkan Panglima TNI kepada jajaran TNI diseluruh daerah di Indonesia itu bertujuan mengingatkan kembali sejarah peristiwa pemberontakan PKI terhadap NKRI pada 30 September 1965, sekaligus kemanunggalan TNI dengan rakyat meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya laten komunisme serta menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta Tanah Air. ANTARA FOTO

TEMPO.CO, Jakarta - Dalam aksi penculikan jenderal-jenderal yang diduga sebagai Dewan Jenderal tersebut, pasukan G30S dibagi dalam tiga kelompok, yakni Pasopati, Bimasakti dan Pringgodani yang dipimpin perwira dari Cakrabirawa, Letkol Untung.

Dalam tragedi berdarah tersebut, pasokan Pasopati yang terdiri dari 250 anggota Cakrabirawa ini berhasil menculik dan membunuh langsung tujuh Jenderal AD. Dalam rencana, ada 8 Jenderal yang akan diculik, namun Brigadir Jenderal Ahmad Soekendro, yang juga menjadi target penculikan lolos karena tengah bepergian ke China.

Anggota resimen Cakrabirawa Sersan Mayor Boengkoes, yang menjadi salah satu pelaku penculikan, mengungkapkan, sebelum penculikan terjadi ada arahan di kawasan Halim Perdanakusuma pada 30 September 1960 pukul 15.00 WIB. Dalam arahan tersebut, disebutkan ada sekelompok jenderal yang dinamakan Dewan Jenderal yang hendak melakukan kudeta terhadap Soekarno.

Kemudian pasukan tersebut dikumpulkan pada dini hari oleh Komandan Resimen Cakrabirawa, Letnan Satu Doel Arif. Setelah dikumpulkan, pasukan dibagi menjadi tujuh dan ditugaskan menculik ketujuh Dewan Jenderal.

Boengkoes masuk dalam tim yang bertugas menculik Jenderal MT Harjono, hidup atau mati. Pada dini hari, 1 Oktober 1965, rombongan yang diembankan tugas tersebut kemudian menyebar untuk melakukan penculikan Dewan Jenderal.

Dalam aksi tersebut, tiga dari tujuh jenderal telah dibunuh di rumah mereka masing-masing, padahal rencananya mereka hanya melakukan penangkapan, niat mereka adalah untuk membawa para jenderal menghadap kepada Presiden Soekarno di Istana.

Tiga jenderal yang dibunuh di kediamannya tersebut yakni Ahmad Yani, M.T. Haryono dan D.I. Panjaitan. Ketiga target lainnya yakni Soeprapto, S. Parman dan Sutoyo berhasil ditangkap hidup-hidup. Sementara target utama penculikan tersebut, yaitu Jenderal Abdul Harris Nasution berhasil lolos meski sempat tertembak di bagian kakinya.

Namun AH Nasution harus kehilangan putrinya Ade Irma Suryani Nasution, dan ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas Tendean yang dikira Nasution juga diculik. Selain putri AH Nasution, seorang polisi penjaga rumah tetangga Nasution juga turut menjadi korban dan tewas ditembak oleh satuan dibawah operasi G30S.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Baca juga: Kemana Ketua Dewan Revolusi Letkol Untung Setelah G30S Ambyar?

Diorama adegan saat anggota PKI menyiksa dan menawan Mayjen S Parman, Mayjen Suprapto, Brigjen Sutoyo dan Lettu Pierre Tendean di dalam Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur. Menjelang peringatan G30S, monumen ini akan ramai dikunjungi warga. TEMPO/Subekti.

TEMPO.CO, Jakarta - Letnan Kolonel Untung tercatat oleh sejarah sebagai tokoh penting dalam peristiwa G30S. Sebelum peristiwa berdarah 1965, Untung diangkat sebagai anggota Tjakrabirawa, pasukan pengamanan Presiden di Istana.

Peristiwa G30S sendiri dipantik dari kabar angin yang tersiar adanya sekelompok jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Lalu siapa sebenarnya Letkol Untung ini, sebelum jatuhnya peristiwa G30S?

Kolonel Abdul Latief yang saat itu menjabat Komandan Garnisun Kodam Jaya, sebelum dihukum mati, dalam kesaksiannya mengatakan penculikan para jenderal merupakan inisiatifnya bersama rekan-rekannya sesama perwira militer, yakni Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa Letkol Untung, dan Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim Mayor Sujono.

Resimen Cakrabirawa di bawah komando Letkol Untung kemudian dipercaya untuk melakukan aksi penculikan terhadap Dewan Jenderal yang diduga akan mengkudeta Presiden Soekarno.

Untung lahir di Desa Sruni, Kedungbajul, Kebumen, Jawa Tengah pada 3 Juli 1926 dengan nama lahir Kusmindar alias Kusman. Ayahnya bernama Abdullah, namun karena sang ayah sibuk bekerja, sedari kecil Kusman diangkat sebagai anak oleh Syamsuri, pamannya.

Itulah mengapa Kusman di kemudian hari lebih dikenal dengan nama Untung Syamsuri. Syamsuri menyekolahkan Kusman di salah satu sekolah dasar di Ketelan.

Untung kecil adalah anak yang gemar bermain bola, bahkan ia sempat menjadi anggota Kaparen Voetball Club atau KVC di desanya. Setelah lulus dari jenjang sekolah dasar, ia kemudian melanjutkan ke sekolah dagang, namun tidak sampai tamat karena kedatangan Jepang di tanah air.

Kusman yang saat itu berusia 18 tahun, lantas bergabung dengan pasukan yang terdiri dari bangsa Indonesia bentukan tentara pendudukan Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II, yang disebut Heiho.

Setelah Jepang kalah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Untung kemudian masuk ke Batalion Sudigdo, yang bermarkas di Wonogiri. Di kemudian hari, Batalion ini juga disebut-sebut terlibat dalam aksi pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1948, yang dipimpin oleh Musso.

Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi, teman dekat Untung yang ditemui Tempo pada 2009 menuturkan, setelah 1948, Untung ditugaskan di Solo, Jawa Tengah yang saat itu Komandan Komando Resor Militer-nya adalah Soeharto. Saat jabatan Soeharto usai dan naik jabatan menggantikan Panglima Divisi Diponegoro, Semarang, yang sebelumnya dijabat Gatot Subroto, Untung pun ikut pindah ke Divisi Diponegoro.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA