Seni wayang diperkirakan sudah ada di Nusantara sejak tahun

Catatan sejarah terkait lahirnya kesenian wayang yang merupakan warisan budaya asli dari Indoneisa.

PromosiBerawal dari Lautan Minyak, Gaylord Nelson Berjuang Lahirkan Hari Bumi

Solopos.com, SOLO – Wayang merupakan kesenian asli dari Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa), UNESCO (United Nations Educational Cultural Organization), telah menetapkan wayang dalam representative list of the intangable cultural heritage of humanity atau daftar warisan pusaka dunia pada 7 November 2003. Sejak saat itulah, tanggal 7 November diperingati sebagai hari wayang dunia.

Sebenarnya, pertunjukan wayang bukan hanya ada di Indonesia. Beberapa negara lain pun memiliki pertunjukan boneka yang serupa dengan wayang. Namun, wayang Indonesia dinilai memiliki ciri khas tersendiri dibanding kesenian boneka lainnya. Lantas, bagaimana sejarah munculnya wayang di Indonesia?

Dihimpun Solopos.com, dari Britannica.com, Rabu (9/11/2016), wayang berasal dari bahasa Jawa yang berarti bayangan. Hal itu disebabkan karena pertunjukan wayang klasik ditonton dari bayangan wayang yang dimainkan oleh seorang dalang.

Ada pula yang menyebut kata wayang berasal dari kalimat ma hyang, yang berarti jalan menuju yang maha tinggi (roh, dewa, dan Tuhan).

Kesenian wayang biasanya dimainkan oleh seorang dalang yang menjadi narator diiringi dengan alunan musik gamelan, serta tembang yang dinyanyikan oleh para sinden. Menurut beberapa sumber sejarah, kesenian wayang yang mucul pertama kali adalah wayang kulit, pada abad ke-10.

Sampai saat ini, budaya wayang terus berkembang. Bukan hanya sebagai sarana hiburan, wayang juga dimanfaatkan sebagai sarana dakwah, pendidikan, dan pemahaman filsafat.

Sejarah

Dirangkum dari Javaisbeautiful.com, dalam sebuah desertasi berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897) di Leiden, Belanda, GA.J. Hazeau menuliskan wayang adalah budaya jawa. Ia menulis jenis wayang pertama kali dibuat dengan cara linuklir walulang atau diukir dari kulit, yang saat ini kita kenal sebagai wayang kulit.

Ada dua pendapat yang menerangkan tentang sejarah wayang. Pendapat pertama menyatakan bahwa wayang lahir di Jawa, khususnya daerah Jawa Timur. Para ahli yang menyatakan pendapat ini yaitu, Hazeau, Brandels, Kats, Tentse dan Kruyt.

Mereka beranggapan seni wayang sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial, budaya, serta agama orang Jawa. Mereka menyebut tokoh Punakawan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong berasal dari Jawa, dan hanya ada di cerita wayang Indonesia.

Sedangkan pendapat kedua, dari Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings dan Rassers, menyatakan kesenian wayang datang dari India. Kesenian wayang berkembang di Indonesia lantaran dibawa oleh para pedagang dari India yang beragama Hindu. Namun, sejak tahun 1950-an, berbagai literatur menegaskan bahwa wayang merupakan budaya asli masyarakat Jawa.

Kendati banyak perbedaan pendapat di antara para cendekiawan dan budayawan terkait sejarah wayang, mereka semua bersepakat bahwa wayang adalah budaya asli Indoneisa.

Menurut Sri Mulyono, dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), wayang sudah ada sejak zaman Neolitikum, 1500 SM, jauh sebelum agama dan budaya asing masuk ke Indonesia.

Pendapat itu disandarkan pada tulisan Robert von Heine-Geldern pada Prehistoric in the Netherland Indie (1945), dan tulisan K.A.H Hidding di Ensiklopedia Indonesia.

Baca Selanjutnya.. Masa Raja Airlangga

Budaya Asli Indonesia

Kesenian wayang diperkirakan lahir pada masa Raja Airlangga, dari Kerajaan Kahuripan (976-1012), yang terletak di Jawa Timur. Hal itu ditunjukkan dengan sebuah prasasti yang ditemukan pada masa pemerintahan Raja Airlangga.

Awalnya, wayang merupakan suatu bagian dari ruwatan, yakni  upacara menyembah Sang Hyang (Tuhan), yang biasa dilakukan saat musim panen, maupun awal musim tanam. Upacara itu dilakukan dengan harapan agar terhindar dari segala musibah.

Kesenian wayang mulai berkembang saat agama Hindu masuk ke Indonesia. Di awal abad ke-10, cerita Ramayana Kakawin ditulis pada masa Raja Dyah Balitung (989-910) dari Kerajaan Mataram Kuno. Cerita itu diadaptasi dari kisah Ramayana karya Walmiki dari India.

Para penyair Jawa lantas menulis kembali kisah tersebut dengan sisipan falsafah Jawa, seperti kisah Arjuna Wiwaha Kakawin yang ditulis Empu Kanwa, dan Bharatayudha Kakawin yang ditulis Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya-karya mereka itun ditulis pada periode Raja Jayabaya, dari Kerajaan Kediri (1130-1160).

Pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1500), wayang mulai berkembang dengan kisah lain di luar Ramayana dan Mahabharata. Selanjutnya, pada wal abad ke-15, agama Islam yang mulai masuk dan berkembang ke Indonesia berpengaruh besar terhadap kesenian wayang .

Pada periode Kerajaan Demak, cerita Ramayana dan Mahabharata semakin jauh dari cerita aslinya. Para Walisongo memakai wayang sebagai sarana menyampaikan ajaran Islam.

Para Wali itu menyisipkan berbagai nilai ketuhanan, serta memasukkan tokoh nabi dalam setiap certita wayang yang disampaikannya. Mereka juga mengkarakterisasi raja-raja Majapahit, seperti kisah Panji dan Dhamarwulan dalam cerita wayang.

Sampai saat ini, cerita wayang di Indonesia mengalami berbagai perkembangan. Salah satu dalang yang kerap mengembangkan cerita wayang adalah Sujiwo Tejo.

Dalam buku yang berjudul Rahvayana, ia menggambarkan karakter Rahwana, si raksasa jahat dengan karakter yang baik.  Meski merupakan salah satu warisan budaya asli Indonesia, namun ketertarikan generasi muda terhadap wayang dinilai masih sangat rendah.


Pertunjukan Wayang, Foto: Wikipedia
Karena keunikan yang sangat mengagumkan inilah pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Lirilir.id,- Bagi generasi yang lahir di tahun 80 dan 90 an, pasti akrab dengan hiburan rakyat ini. Wayang kulit waktu itu menjadi hiburan yang sangat ditunggu-tunggu pada perayaan hari besar seperti 17 Agustusan, sedekah bumi atau momen penting lainnya. Tidak seperti generasi milenial yang punya banyak alternative hiburan seperti saat ini, pada era 80 keberadaan hiburan terutama seni pertunjukan sangat terbatas. Selain sebagai hiburan, wayang kulit juga menjadi media pembelajaran dan sarana dakwah bagi warga. Alasan inilah yang menjadikan warga selalu antusias memadati lapangan atau gedung tempat pagelaran wayang kulit diadakan. Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa (Sites.google)

Karena keunikan yang sangat mengagumkan inilah pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).


Sejarah Wayang

Jika ditarik ke belakang, pertunjukan wayang ternyata sudah sangat lama ada di nusantara. Menurut Elly Herlyana dalam sebuah jurnal yang diterbitkan UIN Yogyakarta menyebutkan pertunjukan wayang pertama kali ditampilkan kepada masyarakat umum pada masa zaman Airlangga (1019 – 1037). Raja yang mempopulerkan pertunjukan wayang adalah Sang Prabu Jayabaya yang memerintah tahun pada tahun 1130 – 1160 M5. Pada masa ini wayang masih terbuat dari daun lontar. Bahkan Sri Mulyono dalam bukunya memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolitikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan pada tulisan Robert von Heine Geldern Ph. D, “Prehistoric Research in the Netherland Indie” (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding. Sejarah wayang dalam bentuk asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada zaman Hindu Jawa.
Ki Mantep, Foto : Wikipedia
Ada dua pendapat yang mengatakan tentang asal-usul wayang. Pendapat pertama mengatakan bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat kedua mengatakan bahwa diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia.

Ada dua pendapat yang mengatakan tentang asal-usul wayang. Pendapat pertama mengatakan bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini dianut dan dikemukakan bukan hanya oleh para ahli dan peneliti bangsa Indonesia, akan tetapi juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat, diantaranya Hazeau, Brandes, Kats, Rentse dan Kruyt. Pendapat ini memiliki dasar yang cukup kuat karena seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Hazeu mengatakan bahwa struktur wayang digubah menurut model yang amat tua (cara bercerita dalang, tinggi rendah suara dan ekspresi-ekspresinya). Termasuk desain teknis, gaya, dan susunan lakon khas Jawa. Beberapa tokoh dalam pewayangan terutama Punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong merupakan tokoh wayang yang hanya ada dalam pewayangan di Indonesia dan tidak ada di negara lain. 

Pendapat kedua mengatakan bahwa diduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, Raja Kahirupan (976-1012), yakni ketika kerajaan Jawa Timur itu sedang makmur. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (959-910) yang merupakan gubahan dari kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabrata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi mengubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa Kuna kedalamnya (ganaislamika.com).

Bersambung….

Refrensi :

Wikipedia 

Sites.google : 

Ganaislamika.com 

ThaqÃfiyyÃT, Vol. 14, No. 1, 2013 


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA