Sebutkan nilai estetis yang terdapat pada batik

NILAI ESTETIK

DALAM BATIK GIRILAYU

ii

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014

Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987

Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982

Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002

Tentang Hak Cipta

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak

ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i

untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana

penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling

banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta

atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi

Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c,

huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara

Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta

atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi

Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a,

huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara

Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)

tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau

pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar

rupiah).

Desy Nurcahyanti

NILAI ESTETIK

DALAM BATIK GIRILAYU

UNS PRESS

iv

NILAI ESTETIK DALAM BATIK GIRILAYU

Hak Cipta©Desy Nurcahyanti. 2020

Penulis

Desy Nurcahyanti

Editor

Dr. Agus Sachari, M.Sn.

Ilustrasi Sampul

Mbok Semok (kain; batik tulis; Girilayu) Koleksi Ibu Dwi Sunarti;

pengrajin batik Dusun Merakan, Desa Girilayu, Kec. Matesih, Kab.

Karanganyar, Jawa Tengah

Penerbit & Percetakan

Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press)

Jl. Ir. Sutami No. 36 A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126

Telp. (0271) 646994 Psw. 341 Fax. 0271-7890628

Website: www.unspress.uns.ac.id

Email:

Cetakan 1, Edisi 1, Desember 2019

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

All Rights Reserved

ISBN 978-602-397-334-7

PENGANTAR EDITOR

Nilai Estetik dalam Batik Girilayu merupakan kumpulan

pemikiran yang mengulas batik dari segi keberlanjutan. Girilayu adalah

sebuah desa subur di kaki Gunung Lawu, sebagai lokasi makam raja-

raja keturunan Mangkunegaran; sebuah istana kecil di Surakarta (Kota

Solo saat ini) dengan kekuasaan sejajar keraton, berdasarkan hasil

Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga. Penulis mengeksplorasi

batik Girilayu dari perspektif nilai estetik. Pokok pikiran terbagi

menjadi delapan sub bab yang mengupas beragam permasalahan

terkait tumbuhnya batik tulis di kawasan Girilayu. Penulis mencermati

dan menguraikan secara runut dengan alur mudah dipahami, di

antaranya peran budaya keraton terutama Mangkunegaran dalam

gaya serta karakter khusus dalam batik Girilayu. Karakter tersebut

tercermin dalam ragam motif, inovasi visual, ciri khas atau identitas

budaya, dan alternatif pengembangan.

Tulisan ini merupakan bagian dari kontribusi ilmiah akademisi,

dalam upaya pelestarian batik sebagai peninggalan dunia tak benda

dari Indonesia yang diakui dunia internasional. Hal tersebut membawa

dampak terhadap meluasnya wilayah batik alternatif di Indonesia.

Tumbuhnya wilayah-wilayah sentra baru tersebut sebagai respon

positif dan semangat masyarakat Indonesia menampilkan batik

dengan ciri khas daerah masing-masing. Bahkan tumbuh

berdampingan dengan wastra lain seperti tenun, ikat, dan songket

yang telah ada sebelumnya, kemudian berkembang menjadi tekstil

tradisi untuk memperkaya varian produk lokal unggulan.

Batik memiliki posisi sebagai identitas budaya nasional dari

Indonesia. Hal tersebut mewujud pada keragaman motif batik hasil

padu karakter dan nilai kearifan lokal di Girilayu. Penulis mencoba

mereinterpretasi nilai estetik pada batik Girilayu sebagai bahasa rupa

maknawi. Tampilan estetik pada batik yang dijabarkan penulis tidak

vi

hanya dari segi proses fisik dan simbolis; tetapi abstraksi dari aspek

kontemplatif serta nilai-nilai spiritual bersifat metafisik. Unsur

pendukung disepakati penulis berpengaruh besar terhadap

tumbuhnya batik di Girilayu, yakni makam (raja-raja Mangkunegaran),

keraton (Mangkunegaran), dan masyarakat. Kekuatan unsur-unsur

pendukung membentuk relasi khusus yang mampu memunculkan nilai

sosial dan spiritual secara komunal. Pada akhirnya tiga hal tersebut

membentuk sistem regenerasi dan kontemplasi estetika dalam batik

Girilayu.

Bandung, November 2019

Editor

Dr. Agus Sachari, M.Sn.

PENGANTAR PENULIS

Cahaya terang terhalang kabut sejuk pagi pegunungan,

menuntun arah canting digoreskan. Jarum jam kokoh menunjuk angka

sembilan. Waktu masih ranum, hingga rona Sang Timur belum terasa

garang. Motif Truntum tampak paripurna mewujud meskipun tanpa

coretan pensil pola. Si pembatik fasih di luar kepala pakem (bentuk

dasar yang telah disepakati secara tradisi atau tidak tertulis) motif

klasik stilasi bintang tersebut. Sambil terpejam pun tampaknya ia

tetap mampu menorehkan malam panas ke atas mori membentuk

motif. Kaki telanjangnya kokoh bertumpu, bersimpuh di atas dingklik

(bangku kecil) potongan kayu Mahoni yang diberi alas lipatan kain jarik

lusuh.

Visualisasi di atas terasa sederhana jika disandingkan dengan

perjalanan panjang para pengrajin untuk melestarikan batik selama

lebih dari setengah abad. Namanya setelah menikah adalah Mbah

Wiryo, diambil dari nama laki-laki pendamping hidupnya. Perempuan

kelahiran Desa Girilayu 83 tahun lalu tersebut tampak bergegas

menyelesaikan seratannya (seratan pola batik yang dicanting, atau

saat ini digunakan untuk menyebut kain batik dengan proses tulis

canting). Terkadang jemarinya bergetar, sinyal tubuh hendak sejenak

beristirahat sambil meneguk teh melati dan ubi ungu rebus khas

Matesih sebagai penambah energi. Minuman menyegarkan tersebut

berasal dari komoditi unggulan Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah

dari perkebunan Kemuning Desa Ngargoyoso, Kecamatan

Ngargoyoso. Mbah Wiryo berhati-hati dan teliti menyelesaikan batik

tersebut, karena pesanan dari pelanggan istimewa seorang juragan

batik dari Kampung Batik Laweyan Solo (Surakarta).

Riwayat Desa Girilayu sebagai sentra batik di Karanganyar, telah

dimulai sebelum kabupaten bermotto Tenteram (tenang, teduh, rapi,

aman, makmur) tersebut berdiri secara administratif bergabung

viii

dengan NKRI. Ketika itu, Pangeran Samber Nyawa atau

Mangkunegara I mulai membangun wilayah Karanganyar di kaki

Gunung Lawu pasca Perjanjian Giyanti tahun 1755. Berdasarkan

sejarah lisan masyarakat Girilayu, berkembangnya keahlian membatik

di Girilayu atas peran seorang Tumenggung pada masa pemerintahan

KGPAA Mangkunegara I. Batik dibuat untuk keperluan para pejabat

Mangkunegaran, di samping untuk memenuhi kebutuhan sandang

masyarakat Girilayu, terutama untuk upacara adat daur hidup seperti

kelahiran (untuk ritual tujuh bulan kehamilan mitoni dan jarik

gendong bayi), pernikahan (dipakai mempelai pengantin, orang tua,

dan para penerima tamu among tamu), dan kematian (untuk penutup

jenazah lurub layon). Tradisi membatik kemudian dilanjutkan secara

turun temurun. Cerita yang berkembang di masyarakat jika

perempuan menikah dengan laki-laki Girilayu pasti menjadi pandai

membatik. Hal tersebut terjadi karena membatik merupakan aktivitas

harian perempuan Girilayu. Mereka pandai karena mencoba, terlibat,

dan menjadikan membatik sebagai rutinitas. Konsistensi dan repetisi

menyebabkan para perempuan Girilayu menjadi ahli serta lihai.

Waktu yang diperlukan untuk membuat batik tulis relatif

panjang. Sama halnya rangkaian proses pembuatan wastra lainnya

seperti sasirangan, simbut, songket, tenun, dan lurik1. Terlebih jika si

pembatik berusia lanjut seperti Mbah Wiryo. Stamina yang dibutuhkan

harus prima untuk berlama-lama duduk dan berkonsentrasi pada

torehan lilin malam. Beberapa pembatik menjalani laku prihatin,

semacam berpuasa untuk mengendalikan gejolak emosi dan hawa

nafsu. Motif batik akan rusak dan gagal jika dikerjakan secara terburu-

buru dan emosional. Pikiran yang cerah dan ketenangan batin

diperlukan supaya tarikan garis canting stabil dan cairan malam tidak

meluber. Proses-proses non teknis tersebut secara tidak langsung

1 Gratha, B. & Achjadi, J. (2016). Tradisi tenun ikat nusantara. Jakarta: Bab Publishing

Indonesia.

membentuk kepribadian dan tingkah laku para pembatik menjadi

insan yang peka, lembut, pasrah, dan bertutur kata halus.

Kemajuan teknologi memberi tawaran dan alternatif tentang

kecepatan, mendisrupsi para pembatik yang mengandalkan kekuatan

canting. Mereka mengganti Mbah Wiryo dengan digital printer. Kain

batik canting sepanjang 2,5 meter dibuat 2 6 bulan sesuai dengan

kerumitan motif dan proses pewarnaan; sekarang 3 hari menghasilkan

300 meter atau 328 yard dengan kemajuan teknologi bernama mesin

cetak kain digital. Hasil akhir tekstil motif batik lebih baik dan minim

cela. Justru kesempurnaan tersebut menjadi tanda untuk membeda-

kan dengan batik tulis asli. Terdengar paradoksal, tapi itulah salah satu

cara yang dipergunakan untuk mengidentifikasi batik asli dan tekstil

motif batik menggunakan proses mesin, digital, dan printing (sablon).

Estetika batik tulis atau canting terletak pada harmoni garis yang

kadang terputus dan titik lilin malam di luar garis pada beberapa

tempat. Batik tulis tiap lembarnya istimewa karena tarikan garis

tangan tidak pernah sama; dapat dipastikan motif akan berbeda jika

dibuat oleh pembatik yang sama sekalipun.

Letak Girilayu di antara tiga lokasi wisata ziarah dan sejarah

yakni Astana Mangadeg (makam Pangeran Samber Nyawa atau

Kanjeng Gusti Pangeran Arya disingkat KGPAA Mangkunegaran I III,

Astana Girilayu (makam KGPAA Mangkunegara IV VIII, kecuali

KGPAA Mangkunegara VI yang dimakamkan di Nusukan Surakarta),

dan Astana Giribangun (makam keluarga Presiden RI kedua Alm. H. M.

Soeharto dan Ibu Soeratinah atau Ibu Tien yang masih keturunan dari

KGPAA Mangkunegara III. Kekayaan alam dan pertanian memanjakan

warga Girilayu dengan aneka hasil bumi yang baik, karena tumbuh dari

tanah subur sedimentasi lahar vulkanik Gunung Lawu ratusan tahun.

Suasana magis dan teduh seakan menghantar aktivitas membatik di

Girilayu. Mereka tidak jenuh melakukannya secara rutin; bagi

x

masyarakat awam yang kurang mengerti akan berpendapat bahwa

membatik adalah aktivitas monoton2.

Batik mengajarkan para perempuan Girilayu untuk tekun dan

resisten dengan berkarya. Mbah Wiryo adalah realita sekaligus

fenomena. Alasannya untuk bertahan dengan tetap membatik di usia

senja adalah ketentraman batin. Ukuran absurd di zaman sekarang

yang hampir segala hal dinilai dengan kepemilikan dan pencapaian

materi. Kekhawatiran Mbah Wiryo dan perempuan pembatik lain

tentang keberlanjutan membatik berikutnya, berawal dari pola pikir

materialistis dan gaya hidup instan. Anak dan cucu mereka memilih

pekerjaan pabrik, menjadi karyawan kantor, dan pegawai

pemerintahan yang lebih cepat menghasilkan uang, meskipun kecil

upahnya. Pekerjaan sebagai buruh, karyawan, serta pegawai dengan

rutinitas pergi pagi saat langit masih berhias kabut tebal, dan pulang

malam rela dijalani. Mereka mempercayai bahwa bekerja itu keluar

rumah; bukan menjadi pembatik yang hanya duduk di teras atau

pawon sambil mengerjakan pekerjaan rumah lain, seperti memasak

dan mengasuh anak. Aktivitas membatik mereka samakan dengan

“tidak bekerja” karena hanya sebagai sambilan pengisi waktu

senggang. Status karyawan atau pegawai lebih membanggakan,

dibandingkan melanjutkan tradisi kaya filosofi seperti batik. Paparan

asap lilin malam panas yang terlihat di keseharian ibu dan nenek

mereka belum mampu menyentuh kesadaran sebagai pewaris tradisi.

Kewajiban untuk melanjutkan dan mempelajari batik diterima sebagai

perintah, bukan panggilan jiwa. Batik berhubungan dengan “rasa”

yang menjadi puncak pencapaian tertinggi, sehingga keberlanjutan-

nya tidak boleh dipaksa atau bahkan terpaksa. Membatik bagi para

perempuan Girilayu bukan sekedar tuntutan ekonomi, tetapi perkara

kultur dan mentalitas. Para pembatik menyadari bahwa batik adalah

jalan jiwa perempuan Girilayu.

2 Setyawan, A. N. et. al. (2016). Model pengembangan Desa Wisata batik Girilayu

berbasis budaya lokal sebagai konsep strategis pengembangan ragam tujuan wisata

(destination branding) ‘kantong budaya’. Surakarta: Laporan Penelitian LPPM UNS.

Penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih

kepada Dr. Agus Sachari, M.Sn. sebagai editor, pembimbing disertasi

sekaligus Ketua Kelompok Keilmuan Ilmu-ilmu Desain dan Budaya

Visual (IDBV) Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi

Bandung dan Institut Teknologi Bandung yang telah memberi

kesempatan penulis terlibat dalam Program Penelitian, Pengabdian

Kepada Masyarakat dan Inovasi (P3MI) ITB Tahun Anggaran 2019 oleh

Tim Penelitian KK Ilmu-ilmu Desain dan Budaya Visual (IDBV) FSRD

ITB. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada pengrajin dan

masyarakat yang telah memberi keleluasaan, waktu, tenaga, dan

dukungan untuk mengeksplorasi batik Girilayu untuk penelitian ini.

Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, dari hati

terdalam penulis ucapkan terima kasih. Kiranya Tuhan Yang Maha

Penyayang dan Pengasih yang akan membalas kebaikan Anda semua.

Penyusunan dan penulisan buku ini awalnya sebagai luaran

penelitian; pada akhirnya mampu dipergunakan sebagai sarana sinergi

kolaboratif antar institusi Perguruan Tinggi yaitu Universitas Sebelas

Maret (UNS) tempat penulis mengabdi sebagai pengajar dan Institut

Teknologi Bandung (ITB) tempat penulis mengemban tugas belajar.

Beberapa bagian dalam buku ini masih jauh dari sempurna. Penulis

berharap mendapat masukan, saran, dan kritik dari para pembaca

serta berbagai pihak untuk memperbaiki tulisan; yang dapat

direalisasikan pada cetakan dan hasil edisi berikutnya. Semoga buku

ini bermanfaat, terutama bagi peneliti, pegiat, dan pemerhati

keberlanjutan batik.

Surakarta, Desember 2019

xii

DAFTAR ISI

PENGANTAR EDITOR ................................................................. v

PENGANTAR PENULIS ............................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................... xv

DAFTAR BAGAN .......................................................................... xvii

DAFTAR TABEL ........................................................................... xviii

MOTIF BATIK SEBAGAI INTERPRETASI SIMBOLIK KEARIFAN

LOKAL ................................................................................ 1

Pendahuluan ................................................................................. 1

Sistem Pendukung Interpretasi Simbolik Batik Girilayu ................ 8

Penutup ........................................................................................ 14

Referensi ....................................................................................... 15

PROSES DESAIN MOTIF BATIK SEBAGAI MEDIA

KONTEMPLASI .................................................................... 18

Pendahuluan ................................................................................. 18

Kontemplasi dalam Proses Membatik ........................................... 24

Penutup ........................................................................................ 27

Referensi ....................................................................................... 28

METODE PENDEKATAN UNTUK KEBERLANJUTAN BATIK ..... 30

Pendahuluan ................................................................................. 30

Masalah Keberlanjutan Batik Tradisi ............................................. 31

Urgensi Perumusan Metode Pendekatan ...................................... 33

Karakter dan Potensi Generasi Milenial ......................................... 34

Upaya dalam Keberlanjutan Batik Tradisi di Indonesia .................. 36

Metode Pendekatan Efektif pada Generasi Milenial untuk

Keberlanjutan dan Ketahanan Batik Tradisi .................................. 38

Penutup ........................................................................................ 41

Referensi ....................................................................................... 43

POTENSI WILAYAH SEBAGAI KARAKTER VISUAL DALAM

DESAIN BATIK ..................................................................... 48

Pendahuluan ................................................................................. 48

Karakter dalam Desain Batik ......................................................... 57

Penutup ........................................................................................ 61

Referensi ....................................................................................... 62

PERSPEKTIF PEREMPUAN PEMBATIK .................................. 66

Pendahuluan ................................................................................. 66

Pandangan Hidup Masyarakat Jawa untuk Perempuan ................ 69

Posisi Sosial dan Mitos tentang Perempuan Pembatik di Girilayu . 70

Perspektif Perempuan Pembatik pada Motif Batik Mbok Semok .. 72

Penutup ........................................................................................ 76

Referensi ....................................................................................... 77

BATIK SEBAGAI PEMBENTUK KESADARAN KONSERVASI

LINGKUNGAN ..................................................................... 81

Pendahuluan ................................................................................. 81

Artefak Tradisi sebagai Media Komunikasi Visual ......................... 84

Penutup ........................................................................................ 90

Referensi ....................................................................................... 90

IDIOM VISUAL PERUBAHAN BUDAYA MASYARAKAT JAWA

DALAM STILASI FIGUR PEREMPUAN PEMBATIK ................... 94

Pendahuluan ................................................................................. 94

Perubahan Budaya ........................................................................ 97

Karakter Masyarakat Jawa ............................................................ 101

Masyarakat Jawa Modern ............................................................. 102

Posisi Perempuan Jawa Masa Kini ................................................. 103

Batik dan Masyarakat Girilayu ...................................................... 105

xiv

Idiom Visual Motif Batik Mbok Semok dan Perubahan Budaya

Masyarakat Girilayu ...................................................................... 107

Penutup ........................................................................................ 112

Referensi ....................................................................................... 112

INOVASI DESAIN BATIK BERBASIS KEARIFAN LOKAL ........... 116

Pendahuluan ................................................................................. 116

Proses Regenerasi Batik ................................................................ 126

Kreasi Desain Batik Berbasis Kearifan Lokal Girilayu ..................... 130

Penutup ........................................................................................ 134

Referensi ....................................................................................... 135

CATATAN AKHIR Regenerasi: Kebaruan dengan

Keberlanjutan .............................................................................. 140

DATA PENULIS ............................................................................ 141

DAFTAR GAMBAR

Letak Desa Girilayu dalam Kabupaten Karanganyar, termasuk

wilayah administratif Kecamatan Matesih, pada gambar di atas

ditandai dengan lingkaran ............................................................ 6

Motif batik Mbok Semok sebagai ekspresi estetik perempuan

pembatik di Girilayu ...................................................................... 12

Figure stilasi perempuan pembatik pada motif batik Mbok

Semok .......................................................................................... 76

Tugu Tri Dharma yang terletak di kompleks makam Astana

Mangadeg Desa Girilayu, Kec. Matesih, Kab. Karanganyar ........... 110

Pelaksanaan siraman pada upacara adat mitoni, yakni upacara

daur hidup masyarakat Jawa sebagai wujud rasa syukur atas usia

tujuh bulan kehamilan. Terlihat pada gambar, Ibu kandung dan

mertua si calon Ibu (tengah) mengenakan kain batik gaya

Yogyakarta ................................................................................... 117

Wilayah tebaran batik di Indonesia ............................................... 118

Batik alus Matesihan dari Girilayu, Kabupaten Karanganyar .......... 119

Motif Pisang Bali gaya Ciamis (kiri) dan Girilayu (kanan) ............... 120

Wawancara dengan Pak Tarso (kanan), salah satu penggerak

regenerasi batik di Girilayu ............................................................ 123

Observasi langsung kegiatan pada salah satu rumah pembatik di

Girilayu ......................................................................................... 124

xvi

Mola, tahapan meniru motif batik dari kertas pola ke kain ............ 126

Lilin atau malam yang dipergunakan dalam proses membatik

nembok (atas) dan nglowong (bawah) ............................................ 128

Suasana alam dan lingkungan di Girilayu ...................................... 129

Kreasi desain batik berbasis potensi unggulan perkebunan di

Girilayu. Batik motif Duren Matesih (kiri) dan Masnggisan

(kanan) .......................................................................................... 130

Motif batik Tugu Tri Dharma dengan ornament stilasi tugu Tri

Dharma, gapura, dan gazebo yang terdapat di dalam kompleks

Astana Mangadeg, yakni makam dari Pangeran Sambernyawa

atau KGPAA Mangkunegara I, KGPAA Mangkunegara II, dan

KGPAA Mangkunegara III di Desa Girilayu .................................... 131

Motif Parang Canting Matesihan, hasil kreasi desain Tim P3MI

Kelompok Keilmuan IDBV FSRD ITB. Sebagai contoh model

pengembangan Batik Girilayu bersumber kearifan lokal ............... 133

DAFTAR BAGAN

Implementasi ajaran Tri Dharma pada batik Girilayu .................... 13

Alur proses desain sebagai media kontempasi .............................. 25

Identifikasi masalah utama terkatik keberlanjutan batik tradisi .... 32

Kekuatan karakter dan potensi generasi milenial Indonesia

untuk keberlanjutan tradisi berdasarkan teori Analisis SWOT

dari Albert Humphrey ................................................................... 38

Penerapan metode pendekatan berbasis kreasi untuk

keberlanjutan dan ketahanan batik nasional ................................. 39

xviii

DAFTAR TABEL

Tingkatan tanda pada motif batik Mbok Semok ........................... 73

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA