Potensi sumber daya alam Indonesia yang belum Dimanfaatkan secara maksimal adalah

Bioprospeksi laut mendorong berkembangnya industri berbasis inovasi produk hasil laut. Bioprospeksi meliputi kegiatan eksplorasi, pengungkapan potensi, dan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan. Tujuannya, mendapatkan sumber-sumber senyawa baru seperti senyawa kimia, gen, organisme, dan produk alami lainnya. Sumber-sumber senyawa dan produk turunannya tersebut, memiliki nilai ilmiah dan berpotensi dikomersialisasikan, di antaranya menjadi produk pangan dan obat/kesehatan tanpa mengesampingkan pelestarian keanekaragaman hayati. Sebagai upaya harmonisasi dan sinergitas litbangjirap iptek dengan industri, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Unggulan IPTEK (PUI) Bioprospeksi Laut akan mengadakan webinar nasional secara virtual dengan tema "Pengembangan Produk Pangan dan Kesehatan Berbasis Kelautan" pada Kamis 3 Juni 2021. 

Cibinong, 3 Juni 2021. Saat ini, pengembangan potensi kekayaan laut Indonesia belum dilakukan secara maksimal, terbukti dengan minimnya industri lokal yang memanfaatkan sumber daya laut. Indonesia saat ini baru berperan sebagai pemasok bahan baku dalam industri-industri berbasis sumber daya laut di negara-negara maju (di antaranya US, Jepang, Jerman, dan Inggris). Bahan baku industri yang dimakasud antara lain rumput laut, teripang, kuda laut, dan beberapa biota komersial lainnya. Hal ini mengindikasikan kurang dimanfaatkannya hasil riset berbasis kekayaan laut Indonesia oleh industri lokal. 
 

Plt. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Yan Riyanto menjelaskan sinergi lembaga riset dengan industri, baik industri besar, kecil, dan menengah belum terbangun. Inilah yang menurutnya menjadi salah satu penyebab hasil riset dalam negeri kurang dimanfaatkan. “Oleh karena itu, ke depan LIPI akan terus memperbaiki ekosistem riset dan inovasi, mengundang industri melakukan riset di kawasan sains dan teknologi, membuka akses ke berbagai lab dan instrumen di LIPI, agar terbangun sinergi dengan dunia industri“, ungkap Yan.
 

Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Puspita Lisdiyanti mengharapkan pada forum webinar yang dihelat ini, komunikasi antara peneliti dan pengguna teknologi, baik industri maupun usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), dapat terjalin baik. “Hasil riset terkait pengembangan produk pangan dan kesehatan berbasis kelautan telah dirancang sesuai yang dibutuhkan oleh industri dan UMKM. Komunikasi dan kolaborasi diharapkan terus berlangsung, sehingga terjadi ekosistem yang sinergi dan saling membutuhkan,“ tuturnya. 
 

Senada dengan Puspita, Koordinator PUI Bioprospeksi Laut, Linda Sukmarini mengatakan, dengan adanya sinergi antara litbang dengan masyarakat pengguna dalam hal ini industri dan UMKM, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor produk jadi. “Termanfaatkannya teknologi hasil penelitian dari bangsa sendiri, khususnya untuk produk-produk berbasis kelautan hasil bioprospeksi, menjadi target lanjutan dari riset bioprospeksi laut,“ terangnya.
 

Ocky Karna Radjasa, selaku Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian-LIPI menuturkan, banyak potensi yang disebut dengan untapped marine biodiversity belum optimal dimanfaatkan khususnya yang dikaitkan dengan keunikan habitat laut seperti suhu tinggi dan rendah, tekanan tinggi, dan tingkat keasaman yang tinggi baik pada daerah pesisir hingga lingkungan laut dalam yang ekstrim.
 

Selain membahas tentang pengembangan produk pangan dan kesehatan berbasis kelautan yang menghadirkan pula narasumber dari luar LIPI yakni, Prof. Linawati Hardjito, Ph. D, Guru Besar Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan IPB – Founder CV. Ocean Fresh dan Yogie Arry, praktisi Kampong Teripang (UMKM produk teripang). Webinar juga akan menampilkan sharing session riset-riset sumber daya laut lainnya dari para peneliti terkait yang berasal dari beberapa pusat penelitian di LIPI. 

Sivitas Terkait : Dr. Yan Rianto M.Eng.

JAKARTA,(PR).- Kontribusi laut Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional masih di bawah 30 persen. Padahal, sektor kelautan bisa menjadi penggerak ekonomi Indonesia. Soalnya, potensi ekonomi sektor kelautan di Indonesia diperkirakan sekitar 1,2 triliun dolar AS per tahun. "Indonesia dengan luas wilayah laut yang mencapai 70 persen, kontribusi di bidang kelautan terhadap PDB nasional masih di bawah 30 persen. Dari informasi yang saya peroleh, potensi ekonomi sektor kelautan di Indonesia adalah 1,2 triliun dolar AS per tahun dan diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja 40 juta orang," kata Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas tentang kebijakan pembangunan kelautan di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu 15 Juni 2016. Artinya, kata Jokowi, masih banyak potensi laut Indonesia yang masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Sehingga pemerintah harus melakukan program-program pembangunan sektor kelautan secara terarah dan lebih tepat sasaran. Jokowi juga ingin kebijakan pembangunan kelautan Indonesia harus mampu mengonsolidasikan seluruh program-program pembangunan yang ada. Kalau melihat di beberapa negara seperti ekonomi kelautan Jepang, kata Jokowi, Jepang mampu menyumbang 48,5 persen PDB atau setara dengan 17.500 miliar dolar AS. Sementara Thailand yang garis pantainya hanya 2.800 kilometer mampu menyumbang devisa sebesar 212 miliar dolar AS. Jokowi menegaskan, program-program pembangunan kelautan Indonesia nantinya harus menjadi acuan dan pedoman dalam pengelolaan potensi kelautan. "Saya juga perlu menekankan bahwa kebijakan pembangunan kelautan tidak hanya bagus di atas kertas. Namun, harus betul-betul memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan nelayan, kesejahteraan rakyat kita," katanya. Menurut Jokowi, pembangunan sektor kelautan Indonesia harus dipercepat. Dia meyakini masa depan Indonesia ada di laut dan Indonesia akan bisa menjadi negara besar kalau mampu menjaga dan memanfaatkan potensi kelautan yang sangat besar. Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli mengatakan, ada tujuh komponen utama yang dibahas dalam rapat yang masih perlu dirumuskan lagi secara detail ke depan. Pertama, membangun budaya maritim karena anak-anak muda agar mulai mencintai laut kembali. "Karena negara yang kuat di laut, punya pengaruh yang besar di dunia," kata Rizal. Kedua, memanfaatkan sumber daya laut sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat kita. Contohnya melalui langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama ini memberi manfaat sangat besar. Kerugian akibat pencurian ikan dapat dikurangi. Ketiga, membangun tata ruang kelautan dan lingkungan laut yang bagus dengan kebijakan kelautan yang berkelanjutan. Keempat, membangun infrastruktur dan konektivitas antarpulau atau tol laut. Tol laut ini, menurut Rizal penting untuk meningkatkan integrasi NKRI. Dengan adanya konektivitas, tol laut, NKRI justru semakin terintegrasi dan bermanfaat besar mengurangi biaya logistik dan mengurangi kesenjangan antarwilayah. Kelima, membangun pendidikan dan iptek di dalam bidang maritim dan kelautan. Keenam menggalakkan diplomasi maritim. Ketujuh memperkuat ketahanan keamanan pangan maritim. Khusus soal ini, Rizal mengatakan presiden meminta ada kerja sama pihak-pihak yang mengatur keamanan maritim agar penyelundupan di Indonesia bisa berkurang. "Untuk itu perlu koordinasi antara Bakamla (Badan Keamanan Laut), KKP, Polri, TNI, dan sebagainya untuk mengurangi smuggling (penyelundupan)," kata Rizal. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan dalam satu tahun terakhir Indonesia punya pertumbuhan yang sangat bagus. Dia menjelaskan, Nilai Tukar Nelayan (NTN) pada awal pemerintahan Jokowi cuma 102, sekarang sudah 110. NTN itu angka yang menunjukkan perbandingan antara indeks harga yang diterima nelayan (IT) dan indeks harga yang dibayar nelayan (IB). Melalui deregulasi yang dilakukan, kata Susi, kapal kecil nelayan sudah dibebaskan dari keharusan membuat izin-izin layar, dll. Untuk izin kapal angkut dari wilayah tangkap ke pelabuhan pun, kata Susi sudah direlaksasi. "Tetapi kebijakan untuk kapal asing ilegal, destructive fishing seperti pakai bom itu tetap harus kita ditegakkan," katanya.***

Kondisi geografis Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau, berada di kawasan iklim tropika, dan dijaga oleh arus laut dari 2 samudra besar menyebabkan biodiversitas di Indonesia sangat tinggi, unik, dan endemik, atau sering disebut sebagai negara megabiodiversitas. Namun, tingginya kekayaan sumber daya hayati belum banyak dieksplorasi dan dimanfaatkan secara bijak.

Guna menghimpun cendekiawan dan pemerhati keanekaragaman hayati di Indonesia, Fakultas Biologi dan Program Pascasarjana Fakultas Biologi UGM menyelenggarakan Seminar Naasional Biologi Tropika 2017 pada Sabtu (15/7). Seminar bertajuk “Biodiversitas Tropika Indonesia: Kekayaan dan Pemanfaatannya” ini dihadiri oleh setidaknya 67 hadirin dari lebih dari 10 institusi di Indonesia.

“Baru 10 persen kekayaan alam yang sudah dieksplor. Bagaimana dengan yang 90 persen lagi? Jangan sampai sebelum kita kenali itu sudah lebih dulu hilang,” ujar Dekan Fakultas Biologi, Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc., saat membuka seminar ini.

Dalam seminar ini, dihadirkan 3 orang pakar yang memberikan paparan sesuai bidang mereka masing-masing dalam sesi pleno. Mereka adalah Prof. Dr. Jatna Supriatna, M.Sc., Pakar Biologi Konservasi dan Ekologi, FMIPA UI, Juswono Budisetiawan, M.Si., Project Leader WWF Indonesia Program Taman Nasional Teluk Cendrawasih (TNTC) Papua yang juga Kepala Kantor WWF di Kabupaten Teluk Wondama Direktorat Papua, serta Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc.

Dalam kesempatan ini, Jatna memberikan pemaparan seputar kekayaan biodiversitas tropika Indonesia beserta pemanfaatannya. Fenomena ini, ujarnya, perlu dilihat sebagai aset yang memiliki keuntungan komparatif dan kompetitif untuk memajukan dan menyejahterakan bangsa.

Meski bangsa Indonesia secara turun-temurun telah memanfaatkan biodiversitas untuk pangan, obat-obatan, dan kebutuhan lainnya, namun pemanfaatan sumber daya yang ada masih belum maksimal karena belum mengikuti perkembangan teknologi. Dalam hal ini, menurutnya, pakar biologi di perguruan tinggi harus memberikan inovasi untuk mengembangkan cara pemanfaatan dan konservasi biodiversitas sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi global.

“Dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang sekarang sudah sangat mumpuni kita harus merubah paradigma dan pemahaman tentang biodiversitas dari pertelaan morfologi dan sifat-sifat biologi kepada pertelaan tentang DNA melalui sequuencing  dan sekarang beralih lagi dari membaca ke menulis gen dan editing,” jelasnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ia menekankan perlunya dukungan politik dan investasi secara sungguh-sungguh dari negara, ilmuwan, masyarakat madani, serta pelaku bisnis sehingga dapat terbentuk N-helix yang mengarusutamakan isu dan tantangan biodiversitas ke arah pembangunan berkelanjutan.

Usai pemaparan oleh Jatna, sesi pleno dalam seminar ini dilanjutkan oleh Juswono yang menyampaikan pengalamannya dalam konservasi hiu paus di kawasan ekowisata, TNTC. Sementara itu, Dr. Budi menekankan pada peran genetika dan pemuliaan dalam upaya konservasi sumber daya hayati yang berkelanjutan.

Dalam seminar ini diadakan pula pemaparan hasil penelitian 28 pemakalah dari berbagai perguruan tinggi dalam 3 Sesi Panel. Seluruh makalah yang diterima ini nantinya juga akan dimuat dalam Journal of Tropical Biodiversity and Biotechnology (JTBB) yang diterbitkan oleh Fakultas Biologi UGM.

“Harapannya, kegiatan ini bisa menjadi ajang diskusi dan bertukar pikiran mengenai informasi-informasi keanekaragaman hayati Indonesia dan juga memperkuat jejaring antar peneliti Biologi di Indonesia”, harap Dr. MiftahulIlmi, M.Si., selaku Ketua Panitia Seminar Nasional, yang juga merupakan pengelola JTBB. (Humas UGM/Gloria)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA