Perbedaan dalam kehidupan bermasyarakat harus disikapi dengan

Palangka Raya – Penegakan hukum tanpa tebang pilih semestinya menjadi satu keniscayaan yang diterapkan dimanapun. Pasalnya, ketika penegakan hukum sudah tebang pilih, maka akan berdampak luas terutama terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

“Bahkan dampaknya bisa lebih luas, yakni terpecah belahnya persatuan dan kesatuan di masyarakat,” demikian disampaikan Anggota MPR RI asal Daerah Pemilihan Kalteng, Hang Ali Saputra Syah Pahan, saat melakukan sosialisasi Empat Pilar MPR (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika), di Kelurahan Kalampangan Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, Selasa (21/2) lalu.

Terkikisnya semangat persatuan dan kesatuan di masyarakat ini, menurut Hang Ali, jika terus dibiarkan, akan menjadi api dalam sekam yang setiap saat bisa menyala. Bahkan lebih jauh lagi, bukan tidak mungkin dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.

Selain itu menurut Hang Ali, perbedaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar. Namun hendaknya perbedaan itu, dapat dihadapi dan disikapi secara bijaksana. Perbedaan itu adalah identitas bangsa Indonesia sebagaimana digambarkan dengan Bhineka Tunggal Ika.

“Demikian juga dalam mengatasi masalah-masalah, sesungguhnya sudah digariskan dalam Pancasila yaitu harus musyawarah mufakat, bukan main hakim sendiri,” ujar Hang Ali di depan 100 orang peserta yang terdiri dari para Ketua RT, TP PKK, Karang Taruna dan masyarakat setempat.

Diungkapkan legislator Partai Amanat Nasional (PAN) itu, jika bangsa Indonesia yang begitu beragam, terdiri dari 17 ribu pulau, 1.200 suku bangsa, 600 bahasa terpecah, maka hal itu akan menjadi sebuah bencana besar yang bertentangan dengan semangat para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Indonesia ini dibingkai Pancasila dan UUD 1945. Sekarang bagaimana sila-sila itu dipahami dengan baik dan benar untuk dilaksanakan dengan baik dan benar. Kita harus bersatu dan tidak terpecah belah hanya karena perbedaan-perbedaan,” tegas dia.

Sosialisasi itu juga dihadiri Anggota DPRD Kalteng H Edy Rosada, Lurah Kalampangan, Polsek Sabangau dan Koramil Pahandut. 

sumber: //kalteng.prokal.co/read/news/35544-perbedaan-harus-disikapi-secara-bijaksana.html

02 April 2022, 18:08 WIB

Syarief Oebaidillah | Ramadan

  ANTARA Wamenag Zainut Tauhid Sa'adi

PEMERINTAH, melalui Kementerian Agama telah menetapkan 1 Ramadan 1443 H/2022 M jatuh pada Minggu (3/4), Penetapan itu diputuskan melalui sidang isbat di Jakarta, Jumat (1/4).

Penetapan tersebut berbeda dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sudah mengumumkan 1 Ramadan 1443 H yang jatuh pada 2 April 2022.

"Saya mengimbau kepada umat Islam untuk tidak mempertentangkan perbedaan awal Ramadan 1443 H. Saya mengharapkan kepada umat Islam untuk bisa menerima perbedaan awal Ramadhan ini dengan sikap bijak, penuh toleran, saling menghargai dan menghormati," kata Wamenag Zainut Tauhid Sa'adi dalam keterangan resmi kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (2/4).

Zainut mengharapkan umat Islam untuk tidak menjadikan hal ini sebagai polemik, tetapi justru menjadikannya sebagai proses pendewasaan diri dalam menerima perbedaan pendapat yang dilandasi dengan rahmat dan persaudaraan. Perbedaan seperti ini, lanjut dia, sudah sering terjadi. "Saya yakin umat Islam Indonesia tidak kaget dan tidak akan mengganggu harmoni kehidupan bersama," jelasnya.

"Saya mengajak seluruh umat Islam untuk mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah dan amal perbuatan yang dapat meningkatkan ketakwaan dan kesalehan, baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial," tambah mantan Wakil Ketua Umum MUI Pusat tersebut. (OL-15)

Integrasi adalah proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Salah satu faktor pendorong integrasi sosial, yaitu adanya toleransi terhadap kebudayaan berbeda termasuk perbedaan agama. Kerukunan antarumat beragama di Indonesia didorong oleh sikap empati dan toleransi yang terjalin di masyarakat.

Prosesi potong tumpeng dalam acara syukuran empat tahun PARA Syndicate yang menangkat tema, Kita Bersatu Membangun Indonesia: Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya, di Auditorium Adhiyana, Wisma Antara, Jakarta, Kamis 17 Oktober 2019.

Jakarta, Beritasatu.com - Lebih dari sekadar identitas bangsa Indonesia, Pancasila dan lagu Indonesia Raya memiliki kekuatan dalam mempersatukan bangsa Indonesia. Namun belakangan ini, kesatuan bangsa Indonesia sering dinodai oleh konflik agama. Salah satu penyebabnya adalah karena ketidakmampuan sebagian kelompok untuk hidup dalam perbedaan yang ada di Indonesia.

Dengan adanya isu ini, Imam Besar Masjid Istiqlal, KH Nasaruddin Umar pun angkat bicara. Ia menekankan, Indonesia ditakdirkan sebagai negara yang tumbuh dengan keberagaman di dalamnya. Untuk itu, seluruh warga negara Indonesia harus membiasakan diri hidup di tengah-tengah perbedaan untuk menjaga keharmonisan bermasyarakat dan persatuan Indonesia.

"Kalau kita berbeda jangan marah, jangan mengkafirkan, jangan mudah naik emosinya. Kalau kita terbiasa hidup di tengah perbedaan ini, itulah hakikat keberagamaan kita," kata Nasaruddin saat menjadi pembicara dalam perayaan empat tahun kiprah Para Syndicate yang mengangkat tema “Kita Bersatu Membangun Indonesia: Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya”, di Auditorium Adhiyana, Wisma Antara, Jakarta, Kamis (17/10/2019).

Perbedaan yang ada, termasuk agama dan suku, harus disikapi secara bijaksana, bukan saling mengklaim diri paling benar atau baik. Nasaruddin mengatakan, agama harus dibawa sebagai faktor sentripetal, yakni bergerak menuju titik pusat untuk menjaga persatuan, bukan dibawa sebagai faktor sentrifugal yang bergerak menyebar. Jika semua umat beragama bergerak menuju satu titik pusat yakni persatuan dan kesatuan Indonesia. maka akan terjaga keharmonisan dan ketertiban di masyarakat.

"Mari kita bersaudara sekalipun kita beda agama," ujar Nasaruddin.

Jika berlomba mengaku agama satu lebih baik dari agama yang lain, maka akan terjadi berbagai konflik karena masing-masing agama memiliki simbol perjuangan agama sendiri.

"Bawalah agama sebagai faktor bersatu. Indonesia merdeka karena bersatunya semua agama memberikan pemompaan semangat bagaimana kita melawan penjajah. Itu menekankan aspek sentripetal agama. Kita jangan menekankan aspek perbedaan agama," tuturnya.

Nasaruddin mengatakan jika gagal dalam mengurus urusan keagamaan, maka dalam jangka waktu 10 tahun mendatang, persoalan ini dapat mengacaukan persatuan dan kesatuan Indonesia.

"Agama itu seperti bom nuklir yang bisa menghancurkan Hirosima Nagasaki, tetapi juga bisa jadi sumber tenaga listrik yang sangat kuat," ujarnya.

Selain memupuk persatuan dari dalam diri, saat ini Indonesia juga harus memperkuat filter perlindungan. Jadi, seharusnya agama dan aliran apapun yang masuk ke Indonesia harus melalui filter keindonesiaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah kemajemukan dan perbedaan.

"Nilai-nilai dari luar itu perlu kita lakukan semacam sentuhan keindonesiaan supaya nanti tidak menabrak satu sama lain di dalam. Enak kan kalau kita berkeindonesiaan. Ajaran apapun agamanya tapi kita dibingkai oleh sebuah substansi keindonesiaan. Kalau tidak ada unsur keindonesiaannya, bisa menabrak satu sama lain," imbuhnya.

Filter keindonesiaan tersebut antara lain adalah Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Undang-undang Dasar 1945. Indonesia harus menciptakan satu proteksi bagus untuk mempertahankan keindonesiaan saat ini dan lebih baik di masa yang akan datang sehingga tidak terjerumus dalam paham-paham yang bertentangan dengan dasar dan ideologi bangsa.

Demi memperkuat filter ajaran atau paham yang masuk, maka cara pengajaran keagamaan sangat berperan penting di tengah masyarakat Indonesia. Diharapkan, terjadi diskusi antar petinggi agama untuk membuat sebuah kurikulum baru yang dapat mendorong rasa kesatuan antar umat satu dengan yang lainnya.

Cinta Tanah Air
Hal senada juga diungkapkan Uskup Agung Jakarta Kardinal, Ignatius Suharyo. Dalam kesempatan ini, ia juga berupaya untuk menebarkan rasa cinta Tanah Air kepada masyarakat Indonesia, khususnya umat Katolik yang teguh atas imannya.

"Manusia itu memisah-misahkan, dan Allah itu mempersatukan. Untuk itu manusia yang beriman dan percaya kepada Allah hidupnya bisa berwatak ilahi. Kalau sudah berwatak ilahi, pasti ia mencari jalan mencari kesatuan. Namun, kalau manusia hanya beragama saja, itu bisa saja dijadikan diperalat politik,” tuturnya.

Dalam menyebarkan rasa cinta Tanah Air, Ignatius mengimbau kepada umat Katolik untuk tidak melupakan sejarah bangsa Indonesia. Mulai dari peristiwa kebangkitan nasional, sumpah pemuda, dan proklamasi kemerdekaan.

"Keyakinan besar bahwa merawat ingatan bersama itu adalah jalan untuk menujukan rasa cinta Tanah Air. Ketika satu bangsa atau komunitas lupa akan sejarah, dalam waktu dekat identitasnya akan hilang. Merawat ingatan bersama itu sangat penting. Kita ingat, pembentukan negara ini melalui tahap-tahap di mana setiap warga masyarakat saling mendukung untuk mengembangkan semangat kebangsaan dan meninggalkan identitas kelompok dirinya,” ungkapnya.

Kemudian, hal lainnya adalah dengan cara mengamalkan nilai-nilai yang ada di Pancasila. Ia mengatakan, sejak 2016 lalu gereja Katolik di Jakarta telah memiliki semboyan “Amalkan Pancasila”.

"Ideologi Pancasila dijadikan gagasan kecil, gagasan tersebut dijadikan gerakan. Kalau gerakan dijalankan, itu akan jadi habitus bangsa yang baik. Kita menyadari paham akan Allah menentukan perilaku watak orang beriman. Semoga dari usaha ini bisa disumbangkan warga negara Indonesia dalam hidup inspirasi iman Katolik,” tukasnya.

Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini

Sumber: Suara Pembaruan


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA