Mengapa perencanaan PEMBANGUNAN desa tidak masuk ke dalam sistem perencanaan PEMBANGUNAN Nasional

Masyarakat desa di Indonesia sudah lama akrab dengan perencanaan dari atas (top down planning) pada masa Orde Baru. Meskipun sejak 1982 telah dikenal perencanaan dari bawah (bottom up planning), mulai dari Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) hingga Rakorbangnas, tetapi keputusan tentang kebijakan dan program pembangunan desa tetap terpusat dan bersifat seragam untuk seluruh wilayah.

Perencanaan yang terpusat itu juga disertai dengan berbagai proyek bantuan pembangunan Desa, baik yang bersifat spasial (Bantuan Desa) maupun yang sektoral. Setiap departemen, kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai program-program bantuan pembangunan Desa.

Sudah banyak kritik dan bukti empirik yang memperlihatkan kelemahan perencanaan terpusat dan model bantuan itu. Kritik secara umum, mengatakan bahwa desa merupakan obyek pembangunan, sekaligus tempat membuang bantuan (sedekah). Pola kebijakan yang sentralistik dan seragam ternyata cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mematikan konteks sosial yang beragam. Konsep “bantuan” ternyata tidak memberdayakan, dan sebaliknya malah menciptakan kultur ketergantungan atau kultur meminta.

Pengalaman masa lalu itu mengalami perubahan di masa desentralisasi. Sejak tahun 1999, desentralisasi telah melakukan devolusi perencanaan, yakni mengubah model perencanaan terpusat menjadi perencanaan yang terdesentralisasi, atau perencanaan yang lebih dekat dengan masyarakat lokal. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan penuh untuk mempersiapkan perencanaan sendiri (self planning) yang sesuai dengan konteks lokal, sekaligus memiliki kepastian anggaran dari dana perimbangan pusat-daerah. Menurut UU No. 32/2004 (pemerintahan daerah) dan UU No. 25/2004 (sistem perencanaan pembangunan nasional), perencanaan daerah itu harus ditempuh secara partisipatif dan berasal dari bawah (bottom up planning), yaitu bermula dari aras desa. Perencanaan pembangunan sekarang tampak lebih desentralistik dan partisipatif, yang memungkinkan pemerintah daerah menghasilkan perencanaan daerah yang sesuai dengan konteks lokal serta proses perencanaan daerah berlangsung secara partisipatif dan berangkat dari desa.

Namun ada sejumlah kelemahan sistem dan metodologi perencanaan daerah, yang justru memperlemah kemandirian dan kapasitas desa. Pertama, baik UU No. 32/2004 maupun UU No. 25/2004 sama sekali tidak mengenal perencanaan desa, atau tidak menempatkan desa sebagai entitas yang terhormat dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Sementara PP No. 72/2005 (turunan dari UU No. 32/2004) justru yang memperkenalkan perencanaan desa, tetapi konsep perencanaan desa yang dikemukakan bukanlah perencanaan otonom (self planning), melainkan perencanaan desa sebagai bagian (subsistem) dari perencanaan daerah. Dalam konteks posisi ini, desa hanya “bertugas” menyampaikan usulan sebagai input perencanaan daerah, bukan “berwenang” mengambil keputusan secara otonom untuk menyusun perencanaan desa.

Kedua, secara metodologis perencanaan daerah mengandung kesenjangan antara “hasil sektoral” dengan “proses spasial”. Perencanaan daerah sebenarnya menghasilkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang bersifat sektoral (pendidikan, kesehatan, prasarana daerah, pertanian, perikanan, perkebunan, pariwisata, dan lain-lain), tetapi prosesnya menggunakan pendekatan spasial, yaitu melalui Musrenbang Desa dan kecamatan. Apa risiko kesenjangan ini? Dalam Musrenbang Desa, masyarakat desa tidak mempunyai kapasitas untuk menjangkau isu-isu sektoral. Meskipun di wilayah desa terdapat prasana pendidikan dan kesehatan, misalnya, masyarakat desa tetap tidak mempunyai kapasitas untuk menjangkau prasarana itu. Prasarana publik itu tetap dalam jangkauan kewenangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sedangkan kapasitas masyarakat desa hanya menjangkau masalah prasarana fisik yang berada di lingkup kampung, sehingga setiap Musrenbangdes hanya mampu mengusulkan perbaikan prasarana fisik di lingkungan mereka. Masyarakat desa tidak mungkin menyampaikan usulan-usulan sektoral yang lebih luas. Kesenjangan dan ketidakmampuan masyarakat desa itu terjadi karena desa tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus berbagai sektor pembangunan (Sutoro Eko, 2007).

Ketiga, perencanaan pembangunan di tingkat desa belum partisipatif. Peran elite desa yang mengklaim mewakili aspirasi masyarakat masih mendominasi kekuatan dalam menentukan kebijakan pembangunan desa. Sekarang istilah partisipasi stakeholders sebenarnya sudah populer diadopsi oleh pemerintah sebagai sebuah pendekatan partisipatif dalam pembangunan. Di desa, istilah itu juga cukup akrab diungkapkan para elite desa. Tetapi stakeholders yang terlibat dalam perencanaan pembangunan masih berkutat pada aktor pemerintahan desa dan lembaga-lembaga formal di tingkat desa (Kades dan Perangkatnya, BPD, PKK, LPMD, RT, dan RW). Keterlibatan organisasi-organisasi sektoral, organisasi kemasyarakatan yang lain, dan kelompok perempuan masih sangat terbatas.

Keempat, proses partisipasi dan perencanaan di Musrenbangdes menghadapi distorsi dari proyek-proyek tambahan dari pemerintah, misalnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK). PPK adalah proyek yang tidak menyatu (integrasi) dengan Musrenbang reguler, tetapi ia membikin sendiri proses dan forum perencanaan. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat enggan berpartisipasi dalam Musrenbang reguler, dan tampak lebih bersemangat berpartisipasi dalam Forum PPK. Mengapa? Musrenbang reguler sungguh melelahkan dan membosankan karena tidak ada kejelasan anggaran yang bakal diterima desa. Sebaliknya Forum PPK, yang sudah berjalan sejak 1998 hingga sekarang, tampak lebih partisipatif dan bergairah karena proyek ini mampu memastikan pagu anggaran yang akan diperoleh oleh desa.

Kelima, proses perencanaan partisipatif dari bawah yang bekerja dalam wilayah yang luas, kondisi sosial yang segmented dan struktur pemerintahan yang bertingkat-tingkat, cenderung menimbulkan jebakan proseduralisme dan kesulitan representasi (Brian Cooksey dan Idris Kikula, 2005). Dalam proses partisipasi, kelompok-kelompok marginal dan perempuan yang hidup di desa pasti tidak terwakili dalam perencanaan daerah. Selain itu perencanaan partisipatif yang bertingkat dari bawah memang tidak dihayati dan dilaksanakan secara otentik dan bermakna atau “murni dan konsekuen”, melainkan hanya prosedur yang harus dilewati. Sebagai prosedur formal, perencanaan dari bawah sebenarnya hanya sebagai alat justifikasi untuk menunjukkan kepada publik bahwa perencanaan pembangunan yang dilalui oleh pemerintah kabupaten telah berangkat dari bawah (dari desa) dan melibatkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi sebenarnya adalah perencanaan yang tidak naik ke kabupaten, dan program-program kabupaten yang turun ke desa ternyata juga tidak mengalami pemerataan. Banyak desa yang kecewa karena setiap tahun membuat perencanaan tetapi ternyata programnya tidak turun.

  Kembali

Sebagaimana telah disampaikan, dua landasan hukum yang menjadi dasar untuk penyusunan perencanaan pembangunan pusat dan daerah adala Undang-undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Undang-undang No.23 Tahun 2-14 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN Bab II pasal 2 menjelaskan mengenai tujuan SPPN adala untuk menjamin terciptanya integrase, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah. Ditegaskan kemudian pada pasal 5 yang berbunyi bahwa RPJMD harus memperhatikan RPJP Daerah dan RPJMN.

Sedangkan Undang-undang no.23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pada bagian Kedua mengenai Perencanaan Pembangunan Daerah di Pasal 263 menyatakan bahwa Penyusunan RPJMD harus berpedoman pada RPJPD dan RPJMN. Disusul pasal 264 menyatakan tentang RPJMD dapat disesuaikan dengan terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Selanjutnya pasal 269 dan pasal 271 berbunyi tentang proses evaluasi RPJMD Provinsi dan RPJMD Kabupaten/Kota yang dapat dilakukan uji kesesuaian dengan RPJMN atau RPJMD Provinsi untuk Kabupaten.

Melalui bahasan di atas, terlihat bahwa RPJMN dan RPJMD adalah dua hal yang saling berhubungan dan harus sinkron satau sama lain. Berikut gambaran mengenai proses perencanaan pembangunan pusat dan daerah:

Gambar 2. Skema Rencana Pembangunan Pusat dan Daerah

RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

RPJMD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 5 (lima) tahun. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Pasal 263 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2014 RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penjabaran dari visi, misi, arah kebijakan, dan sasaran pokok pembangunan Daerah jangka panjang untuk 20 (dua puluh) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPN dan rencana tata ruang wilayah. Pasal 263 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2014 RPJMD merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang memuat tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, pembangunan Daerah dan keuangan Daerah, serta program Perangkat Daerah dan lintas Perangkat Daerah yang disertai dengan kerangka pendanaan bersifat indikatif untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang disusun dengan berpedoman pada RPJPD dan RPJMN.

Tahun 2015, Indonesia memasuki tahap ketiga dalam rencana menengahnya yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019. Bertepatan dengan ini juga, Indonesia memiliki presiden baru dan kemudian memiliki rumusan kerja untuk masa kerjanya yang tertuang dalam Nawa Cita, sehingga RPJMN 2015-2019 dapat dijabarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Kerangka Kebijakan Pembangunan 2015-2019

Hubungan perencanaan nasional, pusat, dan daerah dalam periode jangka panjang (20 tahun) yang kemudian dijabarkan dalam perencanaan menengah (RPJMN) (5 tahun) adalah sebagai berikut:

Gambar 4. Hirarki Perencanaan

RPJP Nasional digunakan selama 20 tahun dan diterjemahkan oleh kementerian atau lembaga terkait hingga ketingkat daerah. RPJP kemudian dibagi menjadi RPJM baik nasional, tingkat pusat/kemeterian atau lembaga, hinggga ke daerah. RPJMN pada tingkat kementerian atau lembaga juga diterjemahkan sebagai rencana strategis atau Renstra kementerian/ lembaga. Renstra kementerian atau lembaga inilah yang pada tingkat daerah diterjemahkan masing-masing oleh SKPD dalam bentuk renstra SKPD.

Berikut RPJPN Indonesia tahun 2005-2025 yang digunakan sebagai acuan pembangunan diseluruh kementerian atau lembaga maupun ditingkat daerah.

Gambar 5. RPJPN Indonesia 2005-2025

Berikut adalah proses keluarnya RPJMN. Dengan melihat proses ini maka dapat diperhatikan aspek waktu dan momen dalam memberikan masukan dan rekomendasi untuk RPJMN selanjutnya:

Gambar 6 Alur penyusunan RPJMN

{jcomments on}

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA