Mengapa bioetanol lebih Unggul dibandingkan BBM

Sebagai salah satu sumber energi alternatif yang diklaim ramah lingkungan, kemunculan bahan bakar bioetanol mendapatkan reaksi negatif dari pasar. Kondisi tersebut menjadi kendala dalam hal penerapan bioetanol sebagai bahan bakar wajib di beberapa negara, seperti halnya yang terjadi di Tiongkok dan Indonesia.

Pemerintah Tiongkok sudah merilis kebijakan dalam negeri yang mewajibkan penggunaan etanol di seluruh wilayah pemerintahannya pada Januari 2020, namun terkendala oleh berbagai macam faktor. Beberapa alasan yang menghambat adalah penolakan dari pengusaha lokal, ongkos produksi etanol yang tinggi, serta terbatasnya pasokan bahan baku.

Berbeda dengan Tiongkok, Amerika Serikat (AS) dan Brazil merupakan negara yang sukses menerapkan etanol sebagai komponen wajib dalam campuran bahan bakar kendaraan. AS dan Brazil juga merupakan negara dengan tingkat produksi etanol tertinggi di dunia. Sebagai contoh, sepanjang periode 2018 AS berhasil memproduksi 16.1 miliar gallon sedangkan Brazil berada di posisi kedua dengan jumlah produksi sebesar 7,95 miliar gallon.

Saat ini, mayoritas jenis kendaraan di Brazil adalah flexible-fuel vehicle yang dapat mengkonsumsi bioetanol. Hal tersebut terjadi karena sejak tahun 1976, pemerintah Brazil telah menerapkan kebijakan bahwa etanol wajib digunakan sebagai campuran bahan bakar kendaraan dengan komposisi 22% etanol dan 78% bensin yang disebut dengan E22. Dan sejak tahun 2015 hingga saat ini Brazil sudah berhasil menggunakan bioetanol E25.

Bagaimana dengan perkembangan bioetanol di Indonesia? Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) sudah merilis Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 yang di dalamnya menyebutkan bahwa penggunaan bioetanol E5 diwajibkan pada 2020 dengan formulasi 5% etanol dan 95% bensin dan meningkat ke E20 pada 2025. Namun dalam perjalanannya rencana tersebut menghadapi kendala seperti yang dialami oleh pemerintah Tiongkok. Pemerintah bahkan akhirnya merevisi penerapan bioetanol tersebut dengan menurunkan kandungan etanol menjadi 2%. Setelah serangkaian uji coba dilakukan termasuk dengan Pertamina, penerapan E2 pun masih jauh dari harapan karena terkendala ongkos produksi yang masih tinggi, sehingga kehadiran etanol kurang kompetitif sebagai bahan bakar alternatif untuk kendaraan. Dalam upaya mewujudkan cita-cita pemerintah tersebut, Dewan Energi Nasional (DEN) mengharapkan adanya kerja sama terintegrasi antar Kementerian terkait termasuk dengan industri otomotif.

Sumber : Investor Relations – Corporate Secretary
Untuk komentar, pertanyaan dan permintaan pengiriman artikel Market Update via
email ke

Ilustrasi: kargoku.id

Tahun 2019  harga minyak di pasaran semaikn meningkat saja ya. Hal ini tentu  akan berdampak  secara signifikan terhadap  berbagai aspek kehidupan masyarakat. Yang sangat sensitif tentunya semakin meningkatnya angka kemiskinan. Saya juga  masih heran kenapa pemerintah Indonesia membuat kebijakan untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) degan alasan penyelamatan anggaran pendapatan dan belanja negara.

Padahal anggaran negara itu sudah sangat besar, kok mesti harus ada yang diselamatkan? Mestinya dibagi-bagi dong kepada rakyat-rakyat yang membutuhkan. Umpamanya saja rakyat/warga miskin  yang amat membutuhkan uluran tangan negara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Selain  kenaikan BBM yang memicu krisis sosial, ternyata penggunaan BBM juga mengakibatkan fenomena krisis lingkingan  lho teman-teman Kompasianer! Betapa tidak, pembakaran BBM selain menghaslkan energi juga menghasilkan gas-gas  seperti Karbondioksida (CO2), Nitrogen Oksida (NOx), Sulfur Oksida (SOx) dan Metana (CH4) sehingga menyebabkan bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Bertambahnya konsentrasi gas-gas ini tentu akan menyebabkan fenomena pemanasan global atau global warming yang sudah menjadi isu lingkungan baik ranah nasional maupun ranah internasional.

Dalam mengatasi permasalahan bahan bakar ini, kita perlu mencari sumber energi alternatif yang bersifat dapat diperbarui, tersedia melimpah di alam, ramah lingkungan dan relatif murah dalam pengolahannya. Oleh karena itu, banyak negara sekarang mulai mengembangkan sumber energi alternatif, salah satunya adalah pengembangan bahan bakar nabati (biofuel).

Di Indonesia sendiri Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif pengganti BBM. Kebijakan tersebut walaupun menekankan pada penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM, juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbarui seperti bahan bakar nabati.

Selanjutnya, pemerintah juga memberikan perhatian serius untuk pengembangan biofuel dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tanggal 25 Januari tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lain.

Masih ingat Bioetanol?  Dia adalah bahan bakar nabati  yang sangat berpotensi dalam mengatasi kelangkaaan premium atau bensin. Negara-negara seperti Brazil, Jepang, Amerika dan beberapa negara lainnya telah mempersiapkan sedemikian rupa dalam mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak khusunya bensin menjadi Bioetanol.

Brazil fokus dan serius memproduksi Bioetanol sebagai pengganti bensin sejak terjadinya krisis minyak  pada era 1970-an untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan Etanol mencapai 40% secara nasional. Bahan baku yang digunakan sebagai penghasil Bioetanol di negara tersebut adalah tebu. Di Amerika, diketahui Methanol digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Sedangkan di Jepang campuran bensin dan 10 % Etanol digunakan untuk menggantikan bensin di seluruh Jepang (Wikipedia).

//uk.reuters.com/article/uk-brazil-ethanol-corn/brazils-expected-rise-in-ethanol-demand-to-be-met-by-corn-based-fuel-

Beruntung Indonesia pun meniru upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara tersebut. Bahkan tahun 2010 Indonesia menargetkan bahan bakar nabati mengganti 10% konsumsi bahan bakar konvensional.

Bahan yang digunaskan untk produksi Biotanol scara komersil saat ini adalah Tebu, Singkong, Jagung dan Air Aren. Bahan-bahan ini merupakan produk pertanian yang melimpah di Indonesia. Tebu dan Air Aren menghasilkan gula, sedangkan Singkong dan Jagung menghasilkan karbohidrat. Keempat jenis bahan tersebut menjadi bahan yang paling banyak digunakan untuk menghasilkan Bioetanol secara komersil harganya terjangkau.

Proses Etanolisasi Singkong (bisnisukm.com)

Diketahui pembakaran Bioetanol tidak menghasilkan Karbon Monoksida (CO), tidak seperti pembakaran bahan bakar fosil (bensin atau solar), tetapi emisi Karbon Dioksidanya (CO2) sangat tinggi. Namun emisi tersebut, bukan masalah serius karena CO2 dapat digunakan kembali oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Disamping itu, emisi NOx (Nitrogen Oksida) yang dihasilkan selama proses pembakaran juga rendah.

Dari ulasan saya di atas, dapat dirumuskan jika bahan bakar Bioetanol dapat menjadi bahan bakar yang ideal untuk pembakaran pada mesin. Berikut beberapa alasannya.

  • Memiliki bilangan oktan (research octane) yang tinggi sebesar 108,6 dibanding bensin dengan angka research octane  sebesar 88.  Research octane yang tinggi akan mencegah letupan saat pembakaran. Kemudian efisiensi bensin akan meningkat sebesar 10% dengan pencampuran bensin dan etanol dengan rasio 60:40.
  • Hasil pembakaran yang lebih bersih karena mengandung oksigen, sehingga emisi Karbon Monoksida (CO) yang dihasilkan rendah. Sehingga dapat menngurangi tingkat pencemaran udara. Dengan begitu, lingkungan akan bersih dan manusia yang menghirup udara dapat terhindar dari penyakit yang mungkin ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar minyak bumi.
  • Pembakaran Bioetanol sedikit lebih dingin sehingga dapat memperpanjang usia mesin.
  • Memiliki efisiensi yang tinggi dan dapat meningkatkan energi.
  • Bahan bakar Bioetanol memperluas pasar produk petani, terutama sektor gula. Jika Bioetanol dipoduksi skala besar oleh industri, maka akan memerlukan bahan baku seperti tebu, singkong dan jagung. Hal ini menguntungkan petani karena dapat  dengan mudah menjual hasil panennya ke industri. Sehingga bahan baku tersebut yang dipanen tidak akan terbuang dan harganya pun tidak akan anjlok di pasaran. Untuk industri sendiri, tentu akan dapat membuka lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja.

Sekilas Tentang Bilangan Oktan

Page 2

Tahun 2019  harga minyak di pasaran semaikn meningkat saja ya. Hal ini tentu  akan berdampak  secara signifikan terhadap  berbagai aspek kehidupan masyarakat. Yang sangat sensitif tentunya semakin meningkatnya angka kemiskinan. Saya juga  masih heran kenapa pemerintah Indonesia membuat kebijakan untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) degan alasan penyelamatan anggaran pendapatan dan belanja negara.

Padahal anggaran negara itu sudah sangat besar, kok mesti harus ada yang diselamatkan? Mestinya dibagi-bagi dong kepada rakyat-rakyat yang membutuhkan. Umpamanya saja rakyat/warga miskin  yang amat membutuhkan uluran tangan negara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Selain  kenaikan BBM yang memicu krisis sosial, ternyata penggunaan BBM juga mengakibatkan fenomena krisis lingkingan  lho teman-teman Kompasianer! Betapa tidak, pembakaran BBM selain menghaslkan energi juga menghasilkan gas-gas  seperti Karbondioksida (CO2), Nitrogen Oksida (NOx), Sulfur Oksida (SOx) dan Metana (CH4) sehingga menyebabkan bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Bertambahnya konsentrasi gas-gas ini tentu akan menyebabkan fenomena pemanasan global atau global warming yang sudah menjadi isu lingkungan baik ranah nasional maupun ranah internasional.

Dalam mengatasi permasalahan bahan bakar ini, kita perlu mencari sumber energi alternatif yang bersifat dapat diperbarui, tersedia melimpah di alam, ramah lingkungan dan relatif murah dalam pengolahannya. Oleh karena itu, banyak negara sekarang mulai mengembangkan sumber energi alternatif, salah satunya adalah pengembangan bahan bakar nabati (biofuel).

Di Indonesia sendiri Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif pengganti BBM. Kebijakan tersebut walaupun menekankan pada penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM, juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbarui seperti bahan bakar nabati.

Selanjutnya, pemerintah juga memberikan perhatian serius untuk pengembangan biofuel dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tanggal 25 Januari tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lain.

Masih ingat Bioetanol?  Dia adalah bahan bakar nabati  yang sangat berpotensi dalam mengatasi kelangkaaan premium atau bensin. Negara-negara seperti Brazil, Jepang, Amerika dan beberapa negara lainnya telah mempersiapkan sedemikian rupa dalam mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak khusunya bensin menjadi Bioetanol.

Brazil fokus dan serius memproduksi Bioetanol sebagai pengganti bensin sejak terjadinya krisis minyak  pada era 1970-an untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan Etanol mencapai 40% secara nasional. Bahan baku yang digunakan sebagai penghasil Bioetanol di negara tersebut adalah tebu. Di Amerika, diketahui Methanol digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Sedangkan di Jepang campuran bensin dan 10 % Etanol digunakan untuk menggantikan bensin di seluruh Jepang (Wikipedia).

//uk.reuters.com/article/uk-brazil-ethanol-corn/brazils-expected-rise-in-ethanol-demand-to-be-met-by-corn-based-fuel-

Beruntung Indonesia pun meniru upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara tersebut. Bahkan tahun 2010 Indonesia menargetkan bahan bakar nabati mengganti 10% konsumsi bahan bakar konvensional.

Bahan yang digunaskan untk produksi Biotanol scara komersil saat ini adalah Tebu, Singkong, Jagung dan Air Aren. Bahan-bahan ini merupakan produk pertanian yang melimpah di Indonesia. Tebu dan Air Aren menghasilkan gula, sedangkan Singkong dan Jagung menghasilkan karbohidrat. Keempat jenis bahan tersebut menjadi bahan yang paling banyak digunakan untuk menghasilkan Bioetanol secara komersil harganya terjangkau.

Proses Etanolisasi Singkong (bisnisukm.com)

Diketahui pembakaran Bioetanol tidak menghasilkan Karbon Monoksida (CO), tidak seperti pembakaran bahan bakar fosil (bensin atau solar), tetapi emisi Karbon Dioksidanya (CO2) sangat tinggi. Namun emisi tersebut, bukan masalah serius karena CO2 dapat digunakan kembali oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Disamping itu, emisi NOx (Nitrogen Oksida) yang dihasilkan selama proses pembakaran juga rendah.

Dari ulasan saya di atas, dapat dirumuskan jika bahan bakar Bioetanol dapat menjadi bahan bakar yang ideal untuk pembakaran pada mesin. Berikut beberapa alasannya.

  • Memiliki bilangan oktan (research octane) yang tinggi sebesar 108,6 dibanding bensin dengan angka research octane  sebesar 88.  Research octane yang tinggi akan mencegah letupan saat pembakaran. Kemudian efisiensi bensin akan meningkat sebesar 10% dengan pencampuran bensin dan etanol dengan rasio 60:40.
  • Hasil pembakaran yang lebih bersih karena mengandung oksigen, sehingga emisi Karbon Monoksida (CO) yang dihasilkan rendah. Sehingga dapat menngurangi tingkat pencemaran udara. Dengan begitu, lingkungan akan bersih dan manusia yang menghirup udara dapat terhindar dari penyakit yang mungkin ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar minyak bumi.
  • Pembakaran Bioetanol sedikit lebih dingin sehingga dapat memperpanjang usia mesin.
  • Memiliki efisiensi yang tinggi dan dapat meningkatkan energi.
  • Bahan bakar Bioetanol memperluas pasar produk petani, terutama sektor gula. Jika Bioetanol dipoduksi skala besar oleh industri, maka akan memerlukan bahan baku seperti tebu, singkong dan jagung. Hal ini menguntungkan petani karena dapat  dengan mudah menjual hasil panennya ke industri. Sehingga bahan baku tersebut yang dipanen tidak akan terbuang dan harganya pun tidak akan anjlok di pasaran. Untuk industri sendiri, tentu akan dapat membuka lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja.

Sekilas Tentang Bilangan Oktan


Lihat Inovasi Selengkapnya

Page 3

Tahun 2019  harga minyak di pasaran semaikn meningkat saja ya. Hal ini tentu  akan berdampak  secara signifikan terhadap  berbagai aspek kehidupan masyarakat. Yang sangat sensitif tentunya semakin meningkatnya angka kemiskinan. Saya juga  masih heran kenapa pemerintah Indonesia membuat kebijakan untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) degan alasan penyelamatan anggaran pendapatan dan belanja negara.

Padahal anggaran negara itu sudah sangat besar, kok mesti harus ada yang diselamatkan? Mestinya dibagi-bagi dong kepada rakyat-rakyat yang membutuhkan. Umpamanya saja rakyat/warga miskin  yang amat membutuhkan uluran tangan negara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Selain  kenaikan BBM yang memicu krisis sosial, ternyata penggunaan BBM juga mengakibatkan fenomena krisis lingkingan  lho teman-teman Kompasianer! Betapa tidak, pembakaran BBM selain menghaslkan energi juga menghasilkan gas-gas  seperti Karbondioksida (CO2), Nitrogen Oksida (NOx), Sulfur Oksida (SOx) dan Metana (CH4) sehingga menyebabkan bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Bertambahnya konsentrasi gas-gas ini tentu akan menyebabkan fenomena pemanasan global atau global warming yang sudah menjadi isu lingkungan baik ranah nasional maupun ranah internasional.

Dalam mengatasi permasalahan bahan bakar ini, kita perlu mencari sumber energi alternatif yang bersifat dapat diperbarui, tersedia melimpah di alam, ramah lingkungan dan relatif murah dalam pengolahannya. Oleh karena itu, banyak negara sekarang mulai mengembangkan sumber energi alternatif, salah satunya adalah pengembangan bahan bakar nabati (biofuel).

Di Indonesia sendiri Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif pengganti BBM. Kebijakan tersebut walaupun menekankan pada penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM, juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbarui seperti bahan bakar nabati.

Selanjutnya, pemerintah juga memberikan perhatian serius untuk pengembangan biofuel dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tanggal 25 Januari tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lain.

Masih ingat Bioetanol?  Dia adalah bahan bakar nabati  yang sangat berpotensi dalam mengatasi kelangkaaan premium atau bensin. Negara-negara seperti Brazil, Jepang, Amerika dan beberapa negara lainnya telah mempersiapkan sedemikian rupa dalam mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak khusunya bensin menjadi Bioetanol.

Brazil fokus dan serius memproduksi Bioetanol sebagai pengganti bensin sejak terjadinya krisis minyak  pada era 1970-an untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan Etanol mencapai 40% secara nasional. Bahan baku yang digunakan sebagai penghasil Bioetanol di negara tersebut adalah tebu. Di Amerika, diketahui Methanol digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Sedangkan di Jepang campuran bensin dan 10 % Etanol digunakan untuk menggantikan bensin di seluruh Jepang (Wikipedia).

//uk.reuters.com/article/uk-brazil-ethanol-corn/brazils-expected-rise-in-ethanol-demand-to-be-met-by-corn-based-fuel-

Beruntung Indonesia pun meniru upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara tersebut. Bahkan tahun 2010 Indonesia menargetkan bahan bakar nabati mengganti 10% konsumsi bahan bakar konvensional.

Bahan yang digunaskan untk produksi Biotanol scara komersil saat ini adalah Tebu, Singkong, Jagung dan Air Aren. Bahan-bahan ini merupakan produk pertanian yang melimpah di Indonesia. Tebu dan Air Aren menghasilkan gula, sedangkan Singkong dan Jagung menghasilkan karbohidrat. Keempat jenis bahan tersebut menjadi bahan yang paling banyak digunakan untuk menghasilkan Bioetanol secara komersil harganya terjangkau.

Proses Etanolisasi Singkong (bisnisukm.com)

Diketahui pembakaran Bioetanol tidak menghasilkan Karbon Monoksida (CO), tidak seperti pembakaran bahan bakar fosil (bensin atau solar), tetapi emisi Karbon Dioksidanya (CO2) sangat tinggi. Namun emisi tersebut, bukan masalah serius karena CO2 dapat digunakan kembali oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Disamping itu, emisi NOx (Nitrogen Oksida) yang dihasilkan selama proses pembakaran juga rendah.

Dari ulasan saya di atas, dapat dirumuskan jika bahan bakar Bioetanol dapat menjadi bahan bakar yang ideal untuk pembakaran pada mesin. Berikut beberapa alasannya.

  • Memiliki bilangan oktan (research octane) yang tinggi sebesar 108,6 dibanding bensin dengan angka research octane  sebesar 88.  Research octane yang tinggi akan mencegah letupan saat pembakaran. Kemudian efisiensi bensin akan meningkat sebesar 10% dengan pencampuran bensin dan etanol dengan rasio 60:40.
  • Hasil pembakaran yang lebih bersih karena mengandung oksigen, sehingga emisi Karbon Monoksida (CO) yang dihasilkan rendah. Sehingga dapat menngurangi tingkat pencemaran udara. Dengan begitu, lingkungan akan bersih dan manusia yang menghirup udara dapat terhindar dari penyakit yang mungkin ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar minyak bumi.
  • Pembakaran Bioetanol sedikit lebih dingin sehingga dapat memperpanjang usia mesin.
  • Memiliki efisiensi yang tinggi dan dapat meningkatkan energi.
  • Bahan bakar Bioetanol memperluas pasar produk petani, terutama sektor gula. Jika Bioetanol dipoduksi skala besar oleh industri, maka akan memerlukan bahan baku seperti tebu, singkong dan jagung. Hal ini menguntungkan petani karena dapat  dengan mudah menjual hasil panennya ke industri. Sehingga bahan baku tersebut yang dipanen tidak akan terbuang dan harganya pun tidak akan anjlok di pasaran. Untuk industri sendiri, tentu akan dapat membuka lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja.

Sekilas Tentang Bilangan Oktan


Lihat Inovasi Selengkapnya

Page 4

Tahun 2019  harga minyak di pasaran semaikn meningkat saja ya. Hal ini tentu  akan berdampak  secara signifikan terhadap  berbagai aspek kehidupan masyarakat. Yang sangat sensitif tentunya semakin meningkatnya angka kemiskinan. Saya juga  masih heran kenapa pemerintah Indonesia membuat kebijakan untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) degan alasan penyelamatan anggaran pendapatan dan belanja negara.

Padahal anggaran negara itu sudah sangat besar, kok mesti harus ada yang diselamatkan? Mestinya dibagi-bagi dong kepada rakyat-rakyat yang membutuhkan. Umpamanya saja rakyat/warga miskin  yang amat membutuhkan uluran tangan negara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Selain  kenaikan BBM yang memicu krisis sosial, ternyata penggunaan BBM juga mengakibatkan fenomena krisis lingkingan  lho teman-teman Kompasianer! Betapa tidak, pembakaran BBM selain menghaslkan energi juga menghasilkan gas-gas  seperti Karbondioksida (CO2), Nitrogen Oksida (NOx), Sulfur Oksida (SOx) dan Metana (CH4) sehingga menyebabkan bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Bertambahnya konsentrasi gas-gas ini tentu akan menyebabkan fenomena pemanasan global atau global warming yang sudah menjadi isu lingkungan baik ranah nasional maupun ranah internasional.

Dalam mengatasi permasalahan bahan bakar ini, kita perlu mencari sumber energi alternatif yang bersifat dapat diperbarui, tersedia melimpah di alam, ramah lingkungan dan relatif murah dalam pengolahannya. Oleh karena itu, banyak negara sekarang mulai mengembangkan sumber energi alternatif, salah satunya adalah pengembangan bahan bakar nabati (biofuel).

Di Indonesia sendiri Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif pengganti BBM. Kebijakan tersebut walaupun menekankan pada penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM, juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbarui seperti bahan bakar nabati.

Selanjutnya, pemerintah juga memberikan perhatian serius untuk pengembangan biofuel dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tanggal 25 Januari tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lain.

Masih ingat Bioetanol?  Dia adalah bahan bakar nabati  yang sangat berpotensi dalam mengatasi kelangkaaan premium atau bensin. Negara-negara seperti Brazil, Jepang, Amerika dan beberapa negara lainnya telah mempersiapkan sedemikian rupa dalam mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak khusunya bensin menjadi Bioetanol.

Brazil fokus dan serius memproduksi Bioetanol sebagai pengganti bensin sejak terjadinya krisis minyak  pada era 1970-an untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan Etanol mencapai 40% secara nasional. Bahan baku yang digunakan sebagai penghasil Bioetanol di negara tersebut adalah tebu. Di Amerika, diketahui Methanol digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Sedangkan di Jepang campuran bensin dan 10 % Etanol digunakan untuk menggantikan bensin di seluruh Jepang (Wikipedia).

//uk.reuters.com/article/uk-brazil-ethanol-corn/brazils-expected-rise-in-ethanol-demand-to-be-met-by-corn-based-fuel-

Beruntung Indonesia pun meniru upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara tersebut. Bahkan tahun 2010 Indonesia menargetkan bahan bakar nabati mengganti 10% konsumsi bahan bakar konvensional.

Bahan yang digunaskan untk produksi Biotanol scara komersil saat ini adalah Tebu, Singkong, Jagung dan Air Aren. Bahan-bahan ini merupakan produk pertanian yang melimpah di Indonesia. Tebu dan Air Aren menghasilkan gula, sedangkan Singkong dan Jagung menghasilkan karbohidrat. Keempat jenis bahan tersebut menjadi bahan yang paling banyak digunakan untuk menghasilkan Bioetanol secara komersil harganya terjangkau.

Proses Etanolisasi Singkong (bisnisukm.com)

Diketahui pembakaran Bioetanol tidak menghasilkan Karbon Monoksida (CO), tidak seperti pembakaran bahan bakar fosil (bensin atau solar), tetapi emisi Karbon Dioksidanya (CO2) sangat tinggi. Namun emisi tersebut, bukan masalah serius karena CO2 dapat digunakan kembali oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Disamping itu, emisi NOx (Nitrogen Oksida) yang dihasilkan selama proses pembakaran juga rendah.

Dari ulasan saya di atas, dapat dirumuskan jika bahan bakar Bioetanol dapat menjadi bahan bakar yang ideal untuk pembakaran pada mesin. Berikut beberapa alasannya.

  • Memiliki bilangan oktan (research octane) yang tinggi sebesar 108,6 dibanding bensin dengan angka research octane  sebesar 88.  Research octane yang tinggi akan mencegah letupan saat pembakaran. Kemudian efisiensi bensin akan meningkat sebesar 10% dengan pencampuran bensin dan etanol dengan rasio 60:40.
  • Hasil pembakaran yang lebih bersih karena mengandung oksigen, sehingga emisi Karbon Monoksida (CO) yang dihasilkan rendah. Sehingga dapat menngurangi tingkat pencemaran udara. Dengan begitu, lingkungan akan bersih dan manusia yang menghirup udara dapat terhindar dari penyakit yang mungkin ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar minyak bumi.
  • Pembakaran Bioetanol sedikit lebih dingin sehingga dapat memperpanjang usia mesin.
  • Memiliki efisiensi yang tinggi dan dapat meningkatkan energi.
  • Bahan bakar Bioetanol memperluas pasar produk petani, terutama sektor gula. Jika Bioetanol dipoduksi skala besar oleh industri, maka akan memerlukan bahan baku seperti tebu, singkong dan jagung. Hal ini menguntungkan petani karena dapat  dengan mudah menjual hasil panennya ke industri. Sehingga bahan baku tersebut yang dipanen tidak akan terbuang dan harganya pun tidak akan anjlok di pasaran. Untuk industri sendiri, tentu akan dapat membuka lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja.

Sekilas Tentang Bilangan Oktan


Lihat Inovasi Selengkapnya

Page 5

Tahun 2019  harga minyak di pasaran semaikn meningkat saja ya. Hal ini tentu  akan berdampak  secara signifikan terhadap  berbagai aspek kehidupan masyarakat. Yang sangat sensitif tentunya semakin meningkatnya angka kemiskinan. Saya juga  masih heran kenapa pemerintah Indonesia membuat kebijakan untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) degan alasan penyelamatan anggaran pendapatan dan belanja negara.

Padahal anggaran negara itu sudah sangat besar, kok mesti harus ada yang diselamatkan? Mestinya dibagi-bagi dong kepada rakyat-rakyat yang membutuhkan. Umpamanya saja rakyat/warga miskin  yang amat membutuhkan uluran tangan negara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Selain  kenaikan BBM yang memicu krisis sosial, ternyata penggunaan BBM juga mengakibatkan fenomena krisis lingkingan  lho teman-teman Kompasianer! Betapa tidak, pembakaran BBM selain menghaslkan energi juga menghasilkan gas-gas  seperti Karbondioksida (CO2), Nitrogen Oksida (NOx), Sulfur Oksida (SOx) dan Metana (CH4) sehingga menyebabkan bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Bertambahnya konsentrasi gas-gas ini tentu akan menyebabkan fenomena pemanasan global atau global warming yang sudah menjadi isu lingkungan baik ranah nasional maupun ranah internasional.

Dalam mengatasi permasalahan bahan bakar ini, kita perlu mencari sumber energi alternatif yang bersifat dapat diperbarui, tersedia melimpah di alam, ramah lingkungan dan relatif murah dalam pengolahannya. Oleh karena itu, banyak negara sekarang mulai mengembangkan sumber energi alternatif, salah satunya adalah pengembangan bahan bakar nabati (biofuel).

Di Indonesia sendiri Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif pengganti BBM. Kebijakan tersebut walaupun menekankan pada penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM, juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbarui seperti bahan bakar nabati.

Selanjutnya, pemerintah juga memberikan perhatian serius untuk pengembangan biofuel dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tanggal 25 Januari tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lain.

Masih ingat Bioetanol?  Dia adalah bahan bakar nabati  yang sangat berpotensi dalam mengatasi kelangkaaan premium atau bensin. Negara-negara seperti Brazil, Jepang, Amerika dan beberapa negara lainnya telah mempersiapkan sedemikian rupa dalam mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak khusunya bensin menjadi Bioetanol.

Brazil fokus dan serius memproduksi Bioetanol sebagai pengganti bensin sejak terjadinya krisis minyak  pada era 1970-an untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan Etanol mencapai 40% secara nasional. Bahan baku yang digunakan sebagai penghasil Bioetanol di negara tersebut adalah tebu. Di Amerika, diketahui Methanol digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Sedangkan di Jepang campuran bensin dan 10 % Etanol digunakan untuk menggantikan bensin di seluruh Jepang (Wikipedia).

//uk.reuters.com/article/uk-brazil-ethanol-corn/brazils-expected-rise-in-ethanol-demand-to-be-met-by-corn-based-fuel-

Beruntung Indonesia pun meniru upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara tersebut. Bahkan tahun 2010 Indonesia menargetkan bahan bakar nabati mengganti 10% konsumsi bahan bakar konvensional.

Bahan yang digunaskan untk produksi Biotanol scara komersil saat ini adalah Tebu, Singkong, Jagung dan Air Aren. Bahan-bahan ini merupakan produk pertanian yang melimpah di Indonesia. Tebu dan Air Aren menghasilkan gula, sedangkan Singkong dan Jagung menghasilkan karbohidrat. Keempat jenis bahan tersebut menjadi bahan yang paling banyak digunakan untuk menghasilkan Bioetanol secara komersil harganya terjangkau.

Proses Etanolisasi Singkong (bisnisukm.com)

Diketahui pembakaran Bioetanol tidak menghasilkan Karbon Monoksida (CO), tidak seperti pembakaran bahan bakar fosil (bensin atau solar), tetapi emisi Karbon Dioksidanya (CO2) sangat tinggi. Namun emisi tersebut, bukan masalah serius karena CO2 dapat digunakan kembali oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Disamping itu, emisi NOx (Nitrogen Oksida) yang dihasilkan selama proses pembakaran juga rendah.

Dari ulasan saya di atas, dapat dirumuskan jika bahan bakar Bioetanol dapat menjadi bahan bakar yang ideal untuk pembakaran pada mesin. Berikut beberapa alasannya.

  • Memiliki bilangan oktan (research octane) yang tinggi sebesar 108,6 dibanding bensin dengan angka research octane  sebesar 88.  Research octane yang tinggi akan mencegah letupan saat pembakaran. Kemudian efisiensi bensin akan meningkat sebesar 10% dengan pencampuran bensin dan etanol dengan rasio 60:40.
  • Hasil pembakaran yang lebih bersih karena mengandung oksigen, sehingga emisi Karbon Monoksida (CO) yang dihasilkan rendah. Sehingga dapat menngurangi tingkat pencemaran udara. Dengan begitu, lingkungan akan bersih dan manusia yang menghirup udara dapat terhindar dari penyakit yang mungkin ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar minyak bumi.
  • Pembakaran Bioetanol sedikit lebih dingin sehingga dapat memperpanjang usia mesin.
  • Memiliki efisiensi yang tinggi dan dapat meningkatkan energi.
  • Bahan bakar Bioetanol memperluas pasar produk petani, terutama sektor gula. Jika Bioetanol dipoduksi skala besar oleh industri, maka akan memerlukan bahan baku seperti tebu, singkong dan jagung. Hal ini menguntungkan petani karena dapat  dengan mudah menjual hasil panennya ke industri. Sehingga bahan baku tersebut yang dipanen tidak akan terbuang dan harganya pun tidak akan anjlok di pasaran. Untuk industri sendiri, tentu akan dapat membuka lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja.

Sekilas Tentang Bilangan Oktan


Lihat Inovasi Selengkapnya

Page 6

Tahun 2019  harga minyak di pasaran semaikn meningkat saja ya. Hal ini tentu  akan berdampak  secara signifikan terhadap  berbagai aspek kehidupan masyarakat. Yang sangat sensitif tentunya semakin meningkatnya angka kemiskinan. Saya juga  masih heran kenapa pemerintah Indonesia membuat kebijakan untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) degan alasan penyelamatan anggaran pendapatan dan belanja negara.

Padahal anggaran negara itu sudah sangat besar, kok mesti harus ada yang diselamatkan? Mestinya dibagi-bagi dong kepada rakyat-rakyat yang membutuhkan. Umpamanya saja rakyat/warga miskin  yang amat membutuhkan uluran tangan negara untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Selain  kenaikan BBM yang memicu krisis sosial, ternyata penggunaan BBM juga mengakibatkan fenomena krisis lingkingan  lho teman-teman Kompasianer! Betapa tidak, pembakaran BBM selain menghaslkan energi juga menghasilkan gas-gas  seperti Karbondioksida (CO2), Nitrogen Oksida (NOx), Sulfur Oksida (SOx) dan Metana (CH4) sehingga menyebabkan bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Bertambahnya konsentrasi gas-gas ini tentu akan menyebabkan fenomena pemanasan global atau global warming yang sudah menjadi isu lingkungan baik ranah nasional maupun ranah internasional.

Dalam mengatasi permasalahan bahan bakar ini, kita perlu mencari sumber energi alternatif yang bersifat dapat diperbarui, tersedia melimpah di alam, ramah lingkungan dan relatif murah dalam pengolahannya. Oleh karena itu, banyak negara sekarang mulai mengembangkan sumber energi alternatif, salah satunya adalah pengembangan bahan bakar nabati (biofuel).

Di Indonesia sendiri Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif pengganti BBM. Kebijakan tersebut walaupun menekankan pada penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM, juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbarui seperti bahan bakar nabati.

Selanjutnya, pemerintah juga memberikan perhatian serius untuk pengembangan biofuel dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2006 tanggal 25 Januari tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai bahan bakar lain.

Masih ingat Bioetanol?  Dia adalah bahan bakar nabati  yang sangat berpotensi dalam mengatasi kelangkaaan premium atau bensin. Negara-negara seperti Brazil, Jepang, Amerika dan beberapa negara lainnya telah mempersiapkan sedemikian rupa dalam mengalihkan penggunaan bahan bakar minyak khusunya bensin menjadi Bioetanol.

Brazil fokus dan serius memproduksi Bioetanol sebagai pengganti bensin sejak terjadinya krisis minyak  pada era 1970-an untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan Etanol mencapai 40% secara nasional. Bahan baku yang digunakan sebagai penghasil Bioetanol di negara tersebut adalah tebu. Di Amerika, diketahui Methanol digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Sedangkan di Jepang campuran bensin dan 10 % Etanol digunakan untuk menggantikan bensin di seluruh Jepang (Wikipedia).

//uk.reuters.com/article/uk-brazil-ethanol-corn/brazils-expected-rise-in-ethanol-demand-to-be-met-by-corn-based-fuel-

Beruntung Indonesia pun meniru upaya yang telah dilakukan oleh negara-negara tersebut. Bahkan tahun 2010 Indonesia menargetkan bahan bakar nabati mengganti 10% konsumsi bahan bakar konvensional.

Bahan yang digunaskan untk produksi Biotanol scara komersil saat ini adalah Tebu, Singkong, Jagung dan Air Aren. Bahan-bahan ini merupakan produk pertanian yang melimpah di Indonesia. Tebu dan Air Aren menghasilkan gula, sedangkan Singkong dan Jagung menghasilkan karbohidrat. Keempat jenis bahan tersebut menjadi bahan yang paling banyak digunakan untuk menghasilkan Bioetanol secara komersil harganya terjangkau.

Proses Etanolisasi Singkong (bisnisukm.com)

Diketahui pembakaran Bioetanol tidak menghasilkan Karbon Monoksida (CO), tidak seperti pembakaran bahan bakar fosil (bensin atau solar), tetapi emisi Karbon Dioksidanya (CO2) sangat tinggi. Namun emisi tersebut, bukan masalah serius karena CO2 dapat digunakan kembali oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Disamping itu, emisi NOx (Nitrogen Oksida) yang dihasilkan selama proses pembakaran juga rendah.

Dari ulasan saya di atas, dapat dirumuskan jika bahan bakar Bioetanol dapat menjadi bahan bakar yang ideal untuk pembakaran pada mesin. Berikut beberapa alasannya.

  • Memiliki bilangan oktan (research octane) yang tinggi sebesar 108,6 dibanding bensin dengan angka research octane  sebesar 88.  Research octane yang tinggi akan mencegah letupan saat pembakaran. Kemudian efisiensi bensin akan meningkat sebesar 10% dengan pencampuran bensin dan etanol dengan rasio 60:40.
  • Hasil pembakaran yang lebih bersih karena mengandung oksigen, sehingga emisi Karbon Monoksida (CO) yang dihasilkan rendah. Sehingga dapat menngurangi tingkat pencemaran udara. Dengan begitu, lingkungan akan bersih dan manusia yang menghirup udara dapat terhindar dari penyakit yang mungkin ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar minyak bumi.
  • Pembakaran Bioetanol sedikit lebih dingin sehingga dapat memperpanjang usia mesin.
  • Memiliki efisiensi yang tinggi dan dapat meningkatkan energi.
  • Bahan bakar Bioetanol memperluas pasar produk petani, terutama sektor gula. Jika Bioetanol dipoduksi skala besar oleh industri, maka akan memerlukan bahan baku seperti tebu, singkong dan jagung. Hal ini menguntungkan petani karena dapat  dengan mudah menjual hasil panennya ke industri. Sehingga bahan baku tersebut yang dipanen tidak akan terbuang dan harganya pun tidak akan anjlok di pasaran. Untuk industri sendiri, tentu akan dapat membuka lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja.

Sekilas Tentang Bilangan Oktan


Lihat Inovasi Selengkapnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA