Mengapa ahli Taurat mengajukan pertanyaan Siapakah sesamaku manusia

Ahli Taurat yang mencobai Yesus jelas memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai Firman Tuhan dan terutama hukum yang mencakup kewajiban dan hak manusia berdasarkan agama. Hal itu sangat nyata manakala Yesus kembali melontarkan pertanyaan mengenai hukum Taurat dengan spontan ahli Taurat itu menjawab mengenai hukum yang utama : “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”(ay 27)

Rupanya ahli Taurat yang sangat handar dan mengandalkan pengetahuan mengenai hukum-hukum agama sangat tertohok dan mulai mencari jalan untuk menutupi kemunafikannya dan masih ingin mencobai Yesus, dengan mengajukan pertanyaan mengenai: “Siapakah sesamaku manusia?” Namun, pertanyaan ahli Taurat itu sekaligus dapat juga ditangkap sebagai pencerminan dari keberadaan dari ahli-ahli Taurat yang sangat tahu tetapi sekaligus juga sangat tidak memiliki kepedulian. Mereka menguasai hukum-hukum, tetapi sangat jauh dari jiwa keadilan dan solidaritas kemanusiaan. Mereka inilah yang disebut penganut agama formalistis tetapi kosong dalam substansi: Mengetahui luar dan dalam hukum-hukum, tetapi menjauhi nurani hukum itu sendiri.

Dalam situasi itulah Yesus menyodorkan cerita yang bisa saja pernah terjadi tetapi bisa juga sebagai cerita perumpamaan yang sangat mengena, terutama terhadap kemunafikan para ahli Taurat, Imam dan Lewi. Perlu diketahui bahwa dalam batin orang Yahudi, orang-orang Samaria adalah manusia yang tidak sederajat, yang tidak bisa disetarakan dengan kaum Yahudi. Orang-orang Samaria itu bagaikan budak-budak (bhs batak : Hatoban) yang tidak memiliki kehormatan, masyarakat kelas empat yang kehadirannya bukan saja dianggap tidak perlu, tetapi mengganggu keanggunan orang-orang Yahudi yang terhormat.

Di dalam dan melalui cerita itu, Yesus jelas-jelas menunjuk pada manusia sejati dan sesungguhnya, yang memperlihatkan kemanusiaannya pada saat yang tepat dan situasi yang membutuhkan. Imam yang lewat di jalan itu, bisa saja memberla diri bahwa ia sedang melaksanakan panggilannya, sehingga tidak sempat dan buru-buru: ada urusan yang lebih penting dari sekadar membantu orang yang terkapar itu. Demikian juga dengan orang Lewi dan memang keduanya menghindar dengan lewat dari seberang jalan (menentang arus lalulintas). Bisa saja dalam benak mereka akan ada orang lain yang lebih layak menolong. Mungkin sangat banyak alasan atau dalil yang dapat disusun untuk membenarkan tindakan imam dan Lewi itu untuk menghindar dan bahkan melewatinya melalui seberang jalan.

Orang Samaria yang dalam pandangan orang Yahudi adalah manusia hina dina datang, melihat dan langsung melakukan pertolongan. Tidak hanya sekedar menolong, tetapi mencurahkan kasihnya kepada korban perampokan itu. Kepada pembaca tidak dijelaskan siapa dan dari mana asal-usul korban. Jadi, Imam, Lewi dan orang Samaria itu tidak mengetahui siapa dan berasal dari mana korban itu. Kita dan ketiga orang itu hanya tahu, bahwa korban itu adalah manusia yang terkapar, tidak berdaya dan sangat membutuhkan pertolongan. Saat itu, nyawanya hanya tergantung pada orang-orang yang lewat dan yang sedia menolong.

Sikap dan tindakan orang Samaria itu sunggu menunjuk pada nilai dan inti jiwa keagamaan. Pertanyaannya bukan : siapa engkau? Apakah engkau seorang raja, pejabat, tokoh agama, tokoh intelektual, kaya raya atau bukan. Pertanyaan itu sama sekali tidak penting dalam kehidupan orang beragama yang benar atau manusia yang benar. Pertanyaan yang sanat penting adalah: Apa yang kau perbuat? Perbuatanmu itulah dirimu dan perbuatanmu itulah yang menunjukkan derajatmu. Imam dan orang Lewi yang statusnya sangat terhormat jelas bukan manusia berderajat karena perbuatannya. Orang Samaria yang dianggap hina itu adalah manusia utama yang sangat dan paling terhormat karena perbuatannya.

Tautan cerita itu dalam kehidupan beriman kita sangat jelas, kita sebagai orang Kristen harus menjadi sesama bagi tiap orang yang membutuhkan pertolongan. Kita adalah sesama orang-orang yang terkapar dan terbuang, baik oleh penindasan, pembodohan dan peminggiran (marginalisasi). Jenis yang seperti ini adalah perampokan yang dilakukan orang biasa maupun para pejabat dan penguasa. Kita adalah sesama orang-orang yang kesepian, yang teraniaya baik di dalam rumah tangga maupun yang dimasyarakat. Kita adalah sesama bagi korban-korban narkoba, penderita HIV/AIDS. Kita adalah sesama bagi korban keretakan rumah tangga dan masyarakat. Siapakah sesamaku manusia?

(Kebaktian Doa Sektor 1 dan 2 HKBP Bandung Reformanda)

Page 2

Pertanyaan ini sangat familier kalau kita suka membaca kitab Injil. Para ahli Taurat pernah mengajukan hal itu kepada Tuhan Yesus. Mereka bukannya tidak tahu, melainkan ingin mencobai atau berusaha mencari kesalahan Nya, karena jawaban Yesus memengaruhi cara berpikir dan ajaran-Nya. Dalam kelas berjalan yang dilakukan-Nya setiap hari, rupanya ada juga pertanyaan kritis yang bermanfaat bagi para murid Nya waktu itu dan saat ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sesama berarti sama-sama atau satu golongan. KBBI memberi contoh bahwa makhluk hidup adalah sesama kita karena sama-sama hidup. Kamus ini tidak menyebut manusia saja sebagai satu golongan. Juga tidak menyebut manusia yang hidup dengan gaji sekian dan status jabatan tertentu saja yang menjadi sesama kita. Itu berarti, selama kita diberi napas hidup oleh Tuhan, maka kita adalah sesama ciptaan Tuhan yang diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini.

Namun, tetap kata sesama menjadi topik yang hangat untuk dibahas di dalam Alkitab, termasuk oleh ahli Taurat yang bertanya kepada Tuhan Yesus, “Siapakah sesamaku?” dalam Lukas 10:25-37.

10:25 Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? “ 10:26 Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” 10:27 Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” 10:28 Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” 10:29 Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” 10:30 Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 10:31 Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 10:32 Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 10:33 Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 10:34 Ia pergi kepadanya lalu membalut luka lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 10:35 Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. 10:36 Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?”

10:37 Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Dalam bacaan Injil di atas, ternyata bukan hanya pertanyaan “Siapakah sesamaku” yang diajukan oleh ahli Taurat. Namun, sesama mana yang perlu kita kasihi dalam kalimat “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Jadi, pembahasan dalam tulisan ini lebih spesifik menjawab, “Siapakah manusia yang sama golongannya dengan kita?” jika kita mengambil KBBI sebagai acuan definisi kita.

Namun, kita perlu juga menambahkan kamus ensiklopedi Alkitab untuk melengkapi definisi tersebut. Dalam PL, kata sesama ditulis dalam bahasa Ibrani dengan kata amit, qarov dan rea. Sementara dalam PB, Alkitab menggunakan kata geiton dan perioikos. Kalau mengacu pada bahasa Ibrani di PL, justru artinya makin luas, karena kata sesama juga bisa digunakan untuk benda-benda yang tidak bernyawa (Kej. 15:10) walaupun bisa juga mengacu pada tetangga, kekasih, suami atau teman. Namun, ada satu yang khusus di Mazmur 38:12. Kata rea dapat juga diartikan sebagai orang yang bertindak sebagaimana seharusnya seorang teman. Walaupun kebanyakan kata ini disejajarkan dengan saudara.

Yang menarik, orang Ibrani tidak biasa menggunakan kata ini untuk orang yang berbeda kepercayaan. Namun, Alkitab mencatat banyak bukti bahwa sejak zaman Perjanjian Lama, tangan umat Allah terbuka untuk mengasihi sesama. Misalnya saja saat Naomi menerima Rut sebagai menantunya, sekalipun suaminya telah tiada. Lalu Nabi Elia yang menerima janda di daerah Sarfat, Sidon. Kita ingat juga kepada para pengintai di Yosua 2:1 yang malah diterima Rahab yang bukan orang Israel.

Dalam kisah perumpamaan ‘Orang Samaria yang murah hati’ di Lukas 10:36, Yesus rupanya tidak hendak mengajak para ahli Taurat dan murid-murid-Nya melihat bahwa korban yang jatuh ke tangan penyamun itu adalah sesama kita. Sebab pastilah orang yang sakit, terluka, lemah, dan tidak berdaya harus menjadi kepedulian para murid, sebagaimana Yesus meneladaninya. Namun yang menarik, Yesus justru melihat dari sudut orang yang menyelamatkan korban tersebut. Orang itu tidak terkenal. Ia bukan imam, nabi, pemuka agama, dan tidak punya nama besar. Namun ia melakukan hal besar yang patut dicontoh oleh para ahli Taurat: ia tidak melihat siapa korban itu, apakah menguntungkan atau merugikannya. Hatinya seperti Yesus, yang “tergerak oleh belas kasihan”. Hati seperti ini berasal dari kasih Tuhan yang tidak pandang bulu. Dan akibat dari belas kasihan yang muncul di hatinya, ia melakukan beberapa hal:

Pertama, ia pergi membalut luka-luka si korban. Ini merupakan tindakan merawat dan peduli terhadap penderitaan seseorang.

Kedua, ia menyirami si korban dengan minyak dan anggur. Ini merupakan tindakan mempersembahkan hal baik dari apa yang dimilikinya tanpa menyayangkannya, demi kebaikan orang lain dan tanpa mengharapkan untung-rugi.

Ketiga, ia menaikkan si korban ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Ini merupakan tindakan keluar dari zona nyaman di tempatnya yang nyaman. Keledai waktu itu sama dengan kendaraan atau rumah yang nyaman, dan sangat personal. Meski demikian, ia memberikan tempat nyamannya itu untuk orang asing.

Keempat, ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu. Ia memberikan harta/uang secara berlebih kepada orang yang membutuhkan.

Bahkan kelima, ia memberikan uang itu guna merawat dan membelanjakan keperluan si korban, dan berjanji akan menggantinya saat ia kembali, jika uang itu tidak cukup.

Dalam kisah Yesus, orang yang melakukan hal ini tidak diketahui namanya. Namun ia melakukannya dengan kekuatan cinta Tuhan yang tidak terbatas. Menariknya, belas kasihan ini menular kepada si pemilik penginapan yang tidak menentang atau protes saat menerima tamu yang tidak dikenalnya dan sedang sakit.

Menurut saya, kata kunci di sini adalah: Belas kasihan Tuhan atas orang yang memperlakukan sesama dengan cinta-Nya, akan menular kepada orang lain sehingga pada gilirannya orang tersebut tergerak juga untuk melakukannya.

SIAPA SESAMA ITU?
Bicara tentang siapa sesama kita hari ini, akan terasa berat apalagi jika ia terkena COVID. Rasanya tidak semua orang mau tertular, sekalipun dari kekasihnya. Hanya sedikit yang rela tertular dari pasangannya, termasuk sahabat pendeta perempuan saya yang meninggal karena tertular saat merawat suaminya yang kena COVID di rumah sakit.

Menurut saya, jika kita terlalu jauh membayangkan orang yang menolong si korban itu sebagai sesama kita— sekalipun ia tidak seagama, sealiran, segereja, sesuku dengan kita— yang terdekat sajalah yang kita jangkau. Sesama kita adalah orang yang sesungguhnya berada di sekitar kita. Dia yang rasanya ingin kita jauhi karena senantiasa menyakiti kita, tapi di sisi lain membutuhkan kasih Tuhan melalui belas kasihan yang dititipkan Nya kepada kita.

Bisa jadi ia adalah mantan kekasih kita, musuh kita, saudara yang menjauhi kita, teman yang hanya mencari keuntungan (friends with benefit), orang yang pernah berjanji untuk bersahabat dengan kita, tapi akhirnya meninggalkan kita karena satu atau lain hal. Jadi, berdoalah agar belas kasihan Tuhan meresap di dalam hati dan diri kita sehingga siapa pun yang membutuhkan kita, akan siap kita sambut. All are welcomed! Tuhan memberkati.!•

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA