Mengangkat kedua tangan dengan membaca Allahu Akbar gerakan ini disebut

Suara.com - Takbiratul Ihram merupakan salah satu rukun sholat, yaitu rukun shalat kedua setelah niat. Bacaan takbiratul ihram yaitu menyebutkan "Allahu Akbar" sambil mengangkat kedua tangan ke dekat telinga saat shalat.

Selain takbir, ada syarat sah yang harus dipenuhi ketika menyebutkan bacaan takbiratul ihram. Bagaimana syarat sah dan tata cara melakukan takbiratul ihram? Simak penjelasan di bawah ini.

Syarat Sah Bacaan Takbiratul Ihram

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut syarat sah bacaan takbiratul ihram.

Baca Juga: Bacaan Doa Iftitah Beserta Artinya

  1. Diucapkan ketika berdiri saat sholat 
  2. Diucapkan dengan niat melaksanakan rukun shalat
  3. Diucapkan dengan bahasa arab 
  4. Diucapkan dengan lafal Jalalah "Allah"
  5. Diucapkan dengan lafal "Akbar"
  6. Diucapkan secara tertib antara 2 lafaz, yaitu "Allah" dahulu, kemudian "Akbar".
  7. Diucapkan dengan benar, tidak memanjangkan bacaan pada huruf Hamzah dalam kalimat "Allah."
  8. Diucapkan dengan benar, tidak memanjangkan bacaan huruf Ba' dalam kalimat "Akbar".
  9. Tidak membaca tasydid (sabdu) pada huruf Ba’ dalam kalimat "Akbar".
  10. Diucapkan dengan benar, tidak menambah huruf waw sama da mati atau berbaris dalam kalimat "Allahu Akbar". 
  11. Diucapkan dengan benar, tidak menambahkan huruf waw sebelum jalalah "Allah."
  12. Diucapkan dengan benar, tidak berhenti ketika membaca lafadz "Allah" dan "Akbar" 
  13. Diucapkan dengan tempo yang tepat, tidak terlalu perlahan atau cepat apalagi keras, harus lembut dan jelas. 
  14. Diucapkan dalam posisi menghadap kiblat. 

Tata Cara Melakukan Takbiratul Ihram

Ketika hendak membaca bacaan takbiratul ihram, ada tata cara yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Berikut tata cara melakukan takbiratul ihram untuk diperhatikan dalam setiap melaksanakan sholat.

  1. Gerakkan tapak tangan selaras dengan bahu dan ujung anak jari selaras dengan cuping telinga. 
  2. Turunkan kedua telapak tangan bersamaan lalu letakkan di bawah dada, tapak tangan kanan menggenggam pergelangan tangan kiri.
  3. Kembangkan jari ketika bacaan takbiratul ihram disebutkan. Hal ini menyesuaikan dengan riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tirmidzi dan al-Hakim, yang berbunyi:
    Adalah Nabi SAW mengangkat kedua-dua tangannya dengan membuka jari-jari lurus ke atas, tidak merenggangkan (menjarakkan) jari-jarinya dan tidak pula menggenggamnya

Doa setelah Bacaan Takbiratul Ihram

Dianjurkan kepada umat muslim untuk membaca doa iftitah setelah bacaan takbiratul ihram. Membaca doa setelahnya termasuk sebagai Sunah Hai’ah.

Berikut bunyi doa iftitah tersebut,

Baca Juga: Doa Iftitah Bacaan Latin dan Terjemahannya

Subhaanakallahumma wa bihamdika wa tabarakasmuka wa ta'ala jadduka wa laa ilaha ghoiruka.

Disusun Oleh Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.

Penjelasan

Para ulama sepakat akan disyariatkannya mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram([1]).

Adapun selain takbiratul ihram maka para ulama berselisih menjadi beberapa pendapat([2]). Dan yang lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu disyariatkannya mengangkat kedua tangan di 4 tempat:

  1. Ketika takbirotul ihrom.
  2. Ketika takbir sebelum rukuk.
  3. Ketika takbir bangkit dari rukuk.
  4. Ketika takbir bangkit dari rakaat kedua (dari tasyahhud awal).

Adapun selain 4 tempat ini (seperti akan sujud atau bangkit dari sujud) maka tidak disyariatkan padanya untuk mengangkat kedua tangan.

Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar beliau berkata :

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ، وَقَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ مِنَ الرُّكُوعِ، وَلَا يَرْفَعُهُمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ»

“Aku melihat Rasulullah -shallallahu álaihi wa sallam- jika Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memulai shalat, Beliau pun mengangkat kedua tangannya sejajar dengan pundaknya, dan (Beliau juga mengangkat kedua tangan) sebelum rukuk dan ketika bangkit dari rukuk. Dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya di antara dua sujud.” ([3])

Dalam riwayat yang lain : وَكَانَ لاَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِ “Dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya ketika sujud” ([4])

Dalam riwayat yang lain : وَإِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ “Dan ketika bangkit dari rakaat kedua (menuju rakaat ketiga) maka Beliau mengangkat kedua tangannya” ([5])

Gerakan

Ukuran Tinggi Tangan ketika Diangkat

Adapun ukuran tinggi kedua tangan ketika diangkat maka ada beberapa tata cara,

Pertama : Sejajar dengan pundak, berdasarkan hadits Ibnu Umar

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wa sallam biasanya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk rukuk dan ketika mengangkat kepada setelah rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya sejajar pundaknya” ([6])

Kedua : Sejajar dengan telinga, berdasarkan hadits al-Baraa’ bin Áazib:

كانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا افتتحَ الصلاةَ رفع َيدَيهِ حتى تكوناَ حَذْوَ أُذُنَيهِ

“Ketika memulai shalat, Rasulullah –shallallaahu alaihi wa sallam- biasa mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua telinganya” ([7])

Ketiga : Setinggi bagian atas daun telinga, berdasarkan hadits Malik bin Al-Huwairtis

حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا فُرُوعَ أُذُنَيْهِ

“Ia mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan bagian atas daun telinganya” ([8])

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi hadits-hadits di atas([9]). Namun pendapat yang lebih benar adalah bolehnya melakukan semua tata cara yang disebutkan dalam hadits-hadits tersebut (sebagaimana diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau pernah melakukan ketiga tata cara tersebut), karena sedikitnya perbedaan di antara ketiganya.

Dan hendaknya kedua tangan diangkat dengan sungguh-sungguh, bukan setengah-setengah. Abu Hurairah berkata :

كَانَ إِذَا قَامَ يَعْنِي إِلَى الصَّلَاةِ، رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا

“Adalah Nabi shallallahu álaihi wa sallam jika berdiri shalat maka beliau mengangkat kedua tangannya dengan sungguh-sungguh” ([10])

(di sini foto seseorang bertakbir angkat tangan, tapi tangannya Cuma sampai antara dada dan perut)

Kapan waktunya mengangkat tangan?

Riwayat-riwayat yang sahih menunjukkan ada 3 pilihan waktu mengangkat kedua tangan ketika takbir :

Pertama : Bertakbir terlebih dahulu kemudian mengangkat kedua tangan. Berdasarkan hadits Malik bin al-Huwairits. Dimana Abu Qilabah melihat Malik bin al-Huwairits :

إِذَا صَلَّى كَبَّرَ، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ

“Jika beliau shalat maka beliau bertakbir kemudian beliau mengangkat kedua tangannya” ([11])

Kedua : Mengangkat kedua tangan terlebih dahulu kemudian baru bertakbir. Berdasarkan hadits Ibnu Umar dalam lafaz yang lain:

رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى تَكُونَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ، ثُمَّ كَبَّرَ

“Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya, kemudian Beliau bertakbir” ([12])

Ketiga : Mengangkat tangan bersamaan dengan takbir. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar:

فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ

“Maka Nabi pun mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga Beliau menyejajarkan kedua tangannya dengan kedua pundaknya” ([13])

Ketiga pilihan waktu ini telah disebutkan oleh An-Nawawi, lalu beliau cenderung memilih pilihan waktu yang ketiga (yaitu mengangkat kedua tangan bersamaan dengan takbir) maka ada 5 cara([14]).

Posisi telapak tangan ketika diangkat

Pertama : Posisi telapak tangan ketika diangkat ialah terbuka, bukan digenggam ataupun setengah menggenggam, hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-

إِذَا قَامَ فِي الصَّلَاةِ رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk dalam shalat, beliau mengangkat kedua tangannya dalam keadaan terjulurkan.” ([15])

Kedua : Posisi jari-jari sedikit direnggangkan, tidak terlalu renggang dan juga tidak dirapatkan. ([16])

Abu Hurairah berkata :

كَانَ «إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ هَكَذَا – وَأَشَارَ أَبُو عَامِرٍ بِيَدِهِ، وَلَمْ يُفَرِّجْ بَيْنَ أَصَابِعِهِ وَلَمْ يَضُمَّهَا»

“Adalah Nabi shallallahu álaihi wa sallam jika berdiri hendak shalat maka beliau melakukan seperti ini”. Dan Abu Áamir (sang perawi) menjelaskan dengan memberi isyarat dengan tangannya, yaitu beliau tidak merenggangkan jari-jarinya dan tidak pula menggenggamnya([17]).

Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini:

وَأَشَارَ لَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ وَرَفَعَ يَدَيْهِ، فَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ تَفْرِيجًا لَيْسَ بِالْوَاسِعِ، وَلَمْ يَضُمَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ، وَلَا بَاعَدَ بَيْنَهُمَا

“Dan Yahya bin Hakiim (sang perawi hadits tersebut-pen) memperagakan kepada kami, beliau pun mengangkat kedua tangannya, lalu beliau merenggangkan jari-jarinya namun tidak terlalu lebar, ia tidaklah menggenggam jari-jarinya serta tidak pula menjauhkan (merenggangkan sekali) jari-jarinya” ([18])

An-Nawawi berkata :

وَأَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ أَصَابِعِهِمَا تَفْرِيقًا وَسَطًا

“Hendaknya ia merenggangkan jari-jarinya dengan kerenggangan yang sedang” ([19])

Sebagian ulama([20]) menambahkan posisi ketiga yaitu : Mengarahkan telapak tangan lurus ke arah kiblat ketika mengangkat kedua tangan. Akan tetapi tidak ada satu pun dalil yang sahih dan tegas yang menunjukkan hal ini([21]). Karenanya tidak ada ketentuan perihal arah menghadapnya telapak tangan, boleh persis menghadap kiblat, dan boleh juga tidak persis menghadap kiblat. Wallahu a’lam.

FOOTNOTE:

([1]) Lihat Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab 3/305.

Para ulama mencoba menyebutkan hikmah dari mengangkat kedua tangan tatkala memulai shalat. Merekapun berbeda pendapat dalam hal ini, diantara pendapat mereka:

  • Menunjukan kepasrahan, sebagaimana seseorang menyerah ketika tertangkap, ia akan mengangkat kedua tangannya.
  • Sebagai pertanda bahwa ia menganggap perkara yang akan ia masuki (yaitu shalat) adalah perkara yang agung.
  • Sebagai isyarat bahwa ia telah melemparkan segala urusan duniawi ke belakangnya, dan ia akan fokus dan berkonsentrasi penuh untuk shalat dan bermunajat kepada Allah. Hal ini sesuai dengan perkataannya “Allahu Akbar”, sehingga perbuatannya sesuai dengan perkataannya.
  • Sebagai pemberitahuan bahwa ia telah memulai shalat dengan perbuatan, sebagaimana “Allahu Akbar” adalah pemberitahuan bahwa ia telah memulai shalat dengan perkataan, sehingga makmum yang tidak mendengar bisa melihat hal tersebut. (Lihat Ikmaal al-Mu’lim bi Fawaidi Muslim, Al-Qaadhi Íyaadh 2/263)

([2]) Secara umum ada 4 pendapat :

Pendapat Pertama : Hanya mengangkat kedua tangan tatkala takbiratul ihram, dan ini adalah pendapat Mazhab Hanafi (Lihat Badaai’ as-Shonaai’ 1/199) dan pendapat yang masyhur dari Imam Malik (Lihat al-Bayaan wa at-Tahshiil 1/413).

Mereka berdalil berdasarkan beberapa riwayat,

Riwayat pertama: Hadits Ibn ‘umar – radhiyallahu ‘anhuma-:

كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ، ثُمَّ لَا يَعُودُ.

“Bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alahi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat kemudian tidak mengulanginya.” (Mushannaf Ibn Abi Syaibah 1/213 no. 2442)

Ibn Hajar berkata:

وَهُوَ مَقْلُوبٌ مَوْضُوعٌ

“Dan dia (hadits ini) maqlub (terbalik) dan maudhu’ (palsu) “. (Lihat: At-Talkhiisu–l Habiir fii Takhriiji Ahaadiitsi–r Raafi’iyyi-l Kabiir 1/545)

Riwayat kedua: dari Al-Baraa’ Bin ‘Azib

أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «حِينَ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَى بِهِمَا أُذُنَيْهِ، ثُمَّ لَمْ يَعُدْ إِلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ حَتَّى فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ»

 “Bahwasanya ia melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika memulai shalat, mengangkat kedua tangannya hingga mendekati kedua telinganya, kemudian Beliau sama sekali tidak mengulanginya hingga selesai shalat.” (HR. Ad-Daruquthni no. 1129)

Dikatakan oleh Ibn Hajar bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Layla dari Yazid Bin Abu Ziyad, dan para perawi sepakat bahwa perkataan “ثُمَّ لَمْ يَعُدْ” ini mudroj (dimasukkan ke dalam matannya, padahal ia bukan bagian dari matan hadits) dari perkataan Yazid Bin Abu Ziyad, karena perawi lain seperti Syu’bah, Ats-Tsaury Kholid Ath-Thohhan, dan yang lainnya meriwayatkan juga darinya tanpa ada tambahan “ثُمَّ لَمْ يَعُدْ”. (Lihat: At-Talkhiisu–l Habiir fii Takhriiji Ahaadiitsi–r Raafi’iyyi-l Kabiir 1/544-545)

Mudroj adalah memasukkan perkataan sebagian perawi ke dalam hadits nabi sehingga orang yang mendengar hadits tersebut menyangka bahwa perkataan tersebut termasuk dari hadits Nabi –shallallahu alaihi wa sallam-.

Karenanya hadits ini dinilai daif oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, Ad-Daarimi, Al-Humaidy, dan selain mereka.

(At-Talkhiisu–l Habiir fii Takhriiji Ahaadiitsi–r Raafi’iyyi-l Kabiir 1/545)

Riwayat ketiga: dari Ibn Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- ketika menjelaskan tata cara shalat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

فَلَمْ يَرْفَعْ يَدَيْهِ إِلاَّ فِي أَوَّلِ مَرَّةٍ

“Bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alahi wa sallam- tidak mengangkat kedua tangannya kecuali di awal (shalat)” (HR. At-Tirmidzi 1/343 no. 257, dan 2/40 no.257 disahihkan oleh Al-Albani)

Hadits ini dijadikan dalil oleh Ulama Mazhab Hanafi bahwa mengangkat tangan hanya diisyariatkan pada awal shalat saja, dan mereka juga mengatakan:

وَالْعَمَلُ بِهَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ أَوْلَى لِأَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ كَانَ فَقِيهًا، مُلَازِمًا لِرَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، عَالِمًا بِأَحْوَالِهِ، وَبَاطِنِ أَمْرِهِ وَظَاهِرِهِ، فَتُقَدَّمُ رِوَايَتُهُ عَلَى رِوَايَةِ مَنْ لَمْ يَكُنْ حَالُهُ كَحَالِهِ

“dan mengamalkan kedua hadits ini lebih utama, karena Ibn Mas’ud adalah seorang Ahli Fikih, senantiasa menyertai Rasulullah -shallallahu ‘alahi wa sallam-, serta mengetahui keadaan-keadaan Beliau, baik yang batin maupun yang zahir, maka riwayatnya lebih dikedepankan daripada riwayat perawi yang keadaannya tidak seperti keadaan Ibn Mas’ud. (Lihat: Al-Mughni 1/358)

Dan hadits Ibn Mas’ud ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzy, dari hadits ‘Ashim Bin Kulaib dari Abdurrahman Al-Aswad, dari Alqamah, dari Ibn Mas’ud.

Dan juga diriwayatkan Ibn ‘Ady, Ad-Daruquthny, dan Al-Bayhaqy dari hadits Muhammad bin Jabir dari Hammad bin Abu Sulaiman dari Ibrahim dari Alqamah dari Ibn Mas’ud.

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَلَمْ يَرْفَعُوا أَيْدِيَهُمْ إلَّا عِنْدَ اسْتِفْتَاحِ الصَّلَاةِ

“Aku pernah shalat bersama Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam-, Abu Bakar, dan Umar, mereka semua tidaklah mengangkat tangan mereka kecuali ketika memulai shalat”

Hadits ini diperselisihkan oleh para ulama, ada yang menghasankannya seperti At-Tirmidzy, ada pula yang mensahihkannya seperti Ibn Hazm, dan ada juga yang melemahkan seperti Ibn-l Mubarak. Beliau (Ibn-l Mubarak) mengatakan: “Hadits ini tidak sahih menurutku.”, dan berkata Imam Ahmad dan gurunya; Yahya Bin Adam: “Dia (hadits ini) lemah.” Abu Daud berkata, “Bukan hadits yang sahih”. Ad-Daruquthny juga berkata, “Bukan hadits yang sahih”.

Ibn Hibban berkata: “Ini adalah sebaik-baiknya riwayat yang mendukung pendapat orang-orang Kufah dalam menafikan pengangkatan kedua tangan ketika rukuk dan ketika bangkit dari rukuk. Padahal hakikatnya ini adalah dasar argumentasi terlemah, karena hadits ini memiliki illah (cacat) yang menyebabkannya tertolak. Dan semua imam (Ahli Hadits) melemahkannya dari jalur ‘Ashim Bin Kulaib, terlebih lagi yang berasal dari jalur Muhammad Bin Jabir. Sebagaimana Ibn-l Jauzi menyebutkannya di dalam kitabnya Al-Maudhu’aat. (Lihat: At-Talkhiisu-l Habiir fii Takhriiji Ahaadiitsi-r Roofi’iyyi-l Kabiir 1/545)

Maka kita dapati bahwasanya hadits ini lemah sesuai keterangan banyak ulama Ahli Hadits.

Pendapat Kedua : Mengangkat kedua tangan di 4 tempat, (1) Takbiratul ihram, (2) Ketika takbir mau rukuk, (3) Ketika takbir bangkit dari rukuk, dan (4) Ketika takbir bangkit dari tasyahud awal menuju rakaat ketiga. Dan ini adalah pendapat Mazhab Syafii dan Mazhab Hambali, serta salah satu riwayat dari Imam Malik. (Lihat Al-Minhaaj Syarh Sahih Muslim 4/95). Dan inilah pendapat terkuat.

Pendapat Ketiga : Mengangkat kedua tangan setiap kali takbir, termasuk ketika akan sujud dan ketika bangkit dari sujud. Dan ini adalah pendapat sebagian ulama.

Mereka berdalil dengan hadits Malik Bin Al-Huwairits,

أَنَّهُ «رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي صَلَاتِهِ، وَإِذَا رَكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ، وَإِذَا سَجَدَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا فُرُوعَ أُذُنَيْهِ»

Bahwasanya beliau melihat Nabi -shallallahu álaihi wa sallam- mengangkat kedua tangannya dalam shalatnya, ketika beliau rukuk, ketika mengangkat kepala beliau dari rukuk, ketika sujud, dan ketika mengangkat kepala beliau dari sujud hingga beliau menyejajarkan kedua tangannya dengan ujung atas daun telinga beliau” (HR Ahmad no 15600 dan 15604 dan An-Nasaa’i no 1085)

Akan tetapi sanadnya bermasalah dari 3 sisi :

Pertama : Pada sanadnya ada Qataadah bin Di’aamah As-Saduusi, dan beliau adalah seorang mudallis, dan beliau telah melakukan an’anah (meriwayatkan dengan  عَنْ), sehingga sanadnya lemah.

Kedua : Pada matannya ada tambahan lafaz وَإِذَا سَجَدَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ “Mengangkat kedua tangannya ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud”, dan lafaz ini tidak diriwayatkan pada jalur-jalur yang lain. Sehingga tambahan ini adalah syaadz (Lihat penjelasan para pentahkik al-Musnad 24/366-367)

Jika memperhatikan pohon sanadnya maka sangat jelas bahwa Qataadah terkadang meriwayatkan dengan tambahan dan terkadang tanpa tambahan. Dan riwayat dari beliau yang tanpa tambahan lebih banyak daripada riwayat yang dengan tambahan.

Terlebih lagi riwayat Qataadah dari Malik bin al-Huwairits menyelisihi riwayat Kholid al-Hadzdzaa’ dari Abu Qilabah dari Malik bin al-Huwairits yang lebih sahih (sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim). Karenanya Imam Muslim dalam Sahih-nya memilih riwayat Qataadah yang tidak disertai tambahan tersebut. (HR Muslim no 391).

Ketiga : Tambahan ini bertentangan dengan hadits Ibn Umar yang menyatakan bahwa Nabi -shallallahu álaihi wa sallam- tidak mengangkat kedua tangannya ketika sujud. Dan Ibn Umar dikenal sangat meneladani Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- dan lebih lama menyertai Beliau –shallallaahu alaihi wa sallam- karena beliau merupakan penduduk Madinah. Berbeda dengan Malik bin al-Huwairits yang bukan penduduk Madinah dan hanya menyertai Nabi selama 20 hari. (Lihat Sahih Muslim no 674) . Dan dalam pembahasan ini tidak bisa kita katakan bahwa yang menetapkan (suatu hukum) lebih didahulukan daripada yang tidak tahu (meniadakan hukum tersebut), karena Ibn Umar menafikan didasari ilmu, bukan didasari ketidaktahuan. Wallahu a’lam.

Pendapat Keempat : Berusaha men-jamak (menggabungkan dan mengkompromikan) antara pendapat kedua dan pendapat ketiga. Yaitu dengan mengatakan boleh sesekali mengangkat kedua tangan ketika sujud dan bangkit dari sujud. (Lihat penjelasan Ibn Rojab Al-Hambali dalam Fathul Baari 6/354)

Namun yang lebih tepat -wallahu a’lam- adalah pendapat kedua, yaitu pendapat jumhur (mayoritas) ulama.

([3]) HR  Muslim 1/292 no. 390

([4]) HR. Bukhari no 735

([5]) HR. Bukhari, no. 739 dan Muslim no. 390

([6]) HR. Bukhari 735

([7]) HR. Al Baihaqi no. 2342

([8]) HR. Muslim 1/293 no. 391,الْفُرُوْعُ  adalah الأَعَالِي “Bagian atas telinga” (Kasyful Musykil min Hadiits As-Sahihahin, Ibnl Jauzi 2/44)

([9]) Ibn Rojab al-Hambali (dalam kitabnya Fathul Baari 6/339-340) berkata :

“Para ulama telah berselisih dalam mentarjih (menguatkan/memilih pendapat yang mana?):

  • Diantara mereka ada yang menguatkan riwayat yang meriwayatkan mengangkat tangan hingga ke dua pundak karena sahihnya riwayat-riwayat akan hal tersebut. Sementara riwayat-riwayat “hingga ke kedua telinga” lafaznya banyak perbedaan. Dan ini adalah metode al-Bukhari, dan juga merupakan dzohir (yang nampak) dari mazhab Malik, As-Syafií, Ahmad, dan Ishaq. Mereka mengamalkan hadits Ibn Umar (tentang mengangkat tangan hingga ke dua pundak-pen) karena ini hadits yang paling sahih dalam permasalahan ini. Dan ini juga pendapat mayoritas salaf dan diriwayatkan dari Umar bin al-Khottob. Ibn Abdilbarr berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas tabi’in, para ahli fikih di negeri-negeri, dan para ahli hadits”
  • Diantara mereka ada yang berpendapat dengan hadits Malik bin al-Huwairits yaitu mengangkat kedua tangan hingga فُرُوعَ أُذُنَيْهِ “daun telinga bagian atas”. Ini adalah pendapat Ahlu al-Kuufah, diantaranya An-Anakhoí, Abu Hanifah, At-Tsauri, satu riwayat dari Ahmad dan riwayat ini yang dikuatkan oleh Abu Bakr al-Khollaal
  • Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa kedua cara adalah sama saja karena semuanya hadits-haditsnya sahih, dan ini salah satu pendapat Ahmad pada riwayat yang lain dari beliau, dan pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Khiroqi, Abu Hafs al-Ákburi dan yang lainnya. Ibnl Mundzir berkata, “Ini adalah pendapat sebagian ahli hadits, dan ini adalah pendapat yang baik”
  • (Pendapat mengangkat tangan hingga ke dada, dan ini pendapat Imam Malik-pen). Imam Malik meriwayatkan di al-Muwattho’ dari dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar:

كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ، رَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ، رَفَعَهُمَا دُونَ ذلِكَ

“Bahwasanya Ibn Umar mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat sejajar dengan bahu, dan ketika beliau bangkit dari rukuk maka beliau mengangkat kedua tangannya lebih rendah dari yang awal” (HR Malik no 250).

Dan ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud, dan beliau menyebutkan bahwa Malik telah bersendirian dalam meriwayatkan ini…

  • (Pendapat mengangkat tangan terserah ke telinga atau pundak atau ke dada, dan ini salah satu pendapat Ahmad -pen). Harb al-Kirmaani berkata, “Terkadang aku melihat Ahmad mengangkat kedua tangannya hingga ke ujung telinga bagian atas, terkadang hingga ke dua pundaknya, dan terkadang hingga ke dadanya. Menurutku masalahnya di sisi Ahmad adalah lapang.
  • Sekelompok dari ulama Syafiíyah berkata, “Imam Asy-Syafií telah mengkompromikan riwayat-riwayat ini, caranya yaitu ia mengangkat kedua tangannya hingga ujung-ujung jarinya sejajar dengan bagian atas telinga, dan kedua jempolnya sejajar dengan daun telingannya, dan kedua telapak tangan sejajar dengan kedua pundaknya” (Lihat: Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim Bin Al-Hajjaj 4/95 -pen)……(Demikianlah penjelasan Ibn Rojab al-Hambali)

Dan ada juga yang mengatakan bahwa boleh mengangkat tangan hingga melewati kepalanya, dan ini adalah riwayat Al-‘Ubaidy dari Thawus, akan tetapi ini pendapat yang batil dan sama sekali tak berdasar. (Lihat Al-Majmu’ Syarhu–l Muhadzdzab 3/307)

([10]) HR. Ahmad, no  8875. Dan makna dari مَدًّا adalah بَلِيْغًا “Mengangkat kedua tangannya dengan sungguh-sungguh” (Lihat Dzakhiirotu–l Úqba 11/190) atau maknanya adalah الاِرْتِفَاعُ “meninggikan” dan الجَرُّ “menjulurkan”, yaitu kedua tangan diangkat hingga ke kepala (Lihat Nailu–l Authaar 2/206)

([11]) HR. Muslim no 391, dan Malik bin al-Huwairits mengabarkan bahwa Nabi -shallallahu álaihi wa sallam- melakukan demikian

([12]) HR Muslim no 390

([13]) HR Bukhari no 738

([14]) Lihat: Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim Bin Al-Hajjaj 4/95. Adapun 5 cara tersebut sebagaimana penjelasan beliau berikut :

وَلِأَصْحَابِنَا فِيهِ أَوْجُهٌ أَحَدُهَا يَرْفَعُ غَيْرَ مُكَبِّرٍ ثُمَّ يَبْتَدِئُ التَّكْبِيرَ مَعَ إِرْسَالِ الْيَدَيْنِ وَيُنْهِيهُ مَعَ انْتِهَائِهِ وَالثَّانِي يَرْفَعُ غَيْرَ مُكَبِّرٍ ثُمَّ يُكَبِّرُ وَيَدَاهُ قَارَّتَانِ ثُمَّ يُرْسِلُهُمَا وَالثَّالِثُ يَبْتَدِئُ الرَّفْعَ مِنِ ابْتِدَائِهِ التَّكْبِيرَ وَيُنْهِيهُمَا مَعًا وَالرَّابِعُ يَبْتَدِئُ بِهِمَا مَعًا وَيُنْهِي التَّكْبِيرَ مَعَ انْتِهَاءِ الْإِرْسَالِ وَالْخَامِسُ وَهُوَ الْأَصَحُّ يَبْتَدِئُ الرَّفْعَ مَعَ ابْتِدَاءِ التَّكْبِيرِ وَلَا اسْتِحْبَابَ فِي الِانْتِهَاءِ فَإِنْ فَرَغَ مِنَ التَّكْبِيرِ قَبْلَ تَمَامِ الرَّفْعِ أَوْ بِالْعَكْسِ تَمَّمَ الْبَاقِي

“Dan menurut mazhab kami (Mazhab Syafií) tentang hal ini (yaitu mengangkat kedua tangan bersamaan dengan takbir) ada banyak cara:

  1. Mengangkat kedua tangan lalu memulai takbir sedangkan kedua tangan sudah mulai dilepas (turun), dan selesai turunnya bersamaan dengan selesai takbir.
  2. Mengangkat tangan tanpa bertakbir, lalu bertakbir dalam keadaan kedua tangannya diam atau berhenti kemudian melepaskan keduanya.
  3. Memulai mengangkat tangan bersamaan dengan permulaan takbir, dan menyelesaikannya bersamaan (yaitu suara takbir selesai ketika kedua tangan sempurna diangkat dan sebelum diturunkan).
  4. Memulai keduanya bersamaan dan mengakhiri takbir bersamaan dengan selesai turunnya kedua tangan
  5. Dan ini yang paling benar, memulai mengangkat bersamaan dengan permulaan takbir, dan tidak ada penentuan perihal model mengakhiri keduanya (takbir dan mengangkat kedua tangan). Jadi, jika ia selesai bertakbir sebelum sempurnanya mengangkat atau sebaliknya maka ia tinggal menyempurnakan yang tersisa.

([15]) HR. Ahmad, no. 8875 dan no. 10491. Sebagaimana telah lalu bahwa diantara makna مَدًّا adalah الاِرْتِفَاعُ “meninggikan” dan الجَرُّ “menjulurkan”. Dan konsekuensi dari meninggikan dan menjulurkan adalah telapak tangan tidak digenggam atau setengah menggenggam, tapi dibuka. Wallahu a’lam.

([16]) Yaitu jari-jari dibiarkan pada posisi normal ketika diangkat. Sehingga jika ia dibiarkan dalam posisi wajar dan normal, tentu jari-jari tersebut akan sedikit renggang, tidak menempel rapat, namun tidak pula terlalu renggang.

([17]) HR Al-Hakim no 856, Ibn Khuzaimah no 459, dan Al-Baihaqi no 2317, dan disahihkan oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani.

([18]) Sahih Ibn Khuzaimah 1/233

([19]) Al-Minhaaj Syarh Sahih Muslim 4/96

([20]) Diantaranya An-Nawawi, beliau berkata :

أَنْ يَكُونَ كَفَّاهُ إِلَى الْقِبْلَةِ عِنْدَ الرَّفْعِ

“Hendaknya kedua telapak tangannya mengarah ke arah kiblat tatkala mengangkat kedua tangannya” (Al-Minhaaj Syarh Sahih Muslim 4/96)

([21]) Di antara dalil yang dijadikan hujah adalah hadits Ibn Umar bahwasanya Nabi -shallallahu álaihi wa sallam- bersabda:

«إِذَا اسْتَفْتَحَ أَحَدُكُمُ الصَّلَاةَ فَلْيَرْفَعْ يَدَيْهِ، وَلْيَسْتَقْبِلْ بِبَاطِنِهِمَا الْقِبْلَةَ»

“Jika salah seorang kalian memulai shalat hendaklah ia mengangkat kedua tangannya, lalu ia hadapkan kedua telapak tangannya ke arah kiblat” (HR. Ath-Thobrony dalam Al-Mu’jam Al-Awsath 8/11 no 7801 dan Al-Baihaqi no 2320 )

Namun hadits ini daif. Al-Haitasmi berkata, “Pada sanadnya terdapat ‘Umair bin Ímroon, dan dia adalah perawi yang dha’if” (Majma’ Az-Zawaaid 2/102). Demikian juga al-Baihaqi setelah menyebutkan hadits ini beliau mendaifkannya (As-Sunan Al-Kubro 2/42), dan lihat juga penjelasan Abdul Aziz Ath-Thuraifi  dalam Sifat Sholaat An-Nabi hal 63-65

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA