Kawasan konservatif yang menyimpan berbagai tumbuhan dan hewan dilindungi oleh Undang-Undang adalah

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, sebagai konstitusi negara, mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya, oleh sebab itu, masyarakat adat memiliki posisi konstitusional di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini ditegaskan dalam UUD RI 1945 pada Pasal 18b Angka 2 (dua) yang menyatakan bahwa: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Konstitusi yang mengatur tentang hak masyarakat adat atas hutan hanyalah berposisi sebagai panduan secara umum. Untuk pelaksanaannya diserahkan kepada peraturan di bawahnya.

Masyarakat hukum adat merupakan subjek dari hak ulayat yang mendiami suatu wilayah tertentu, dan hutan adalah salah satu sumber kehidupannya yang merupakan objek dari hak ulayat. Hutan yang merupakan objek dari hak ulayat di kenal sebagai hutan adat. Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, menurut Maria SW Soemardjono, hak ulayat merupakan hak yang melekat sebagai kompetisi yang khas pada masyarakat hukum adat, berupa wewenang, kekuasaan mengurus dan mengatur tanah dan seisinya dengan daya laku ke dalam maupun keluar.

Dengan wilayah hutan yang sangat luas yang dimiliki Indonesia maka perlu dilakukan konservasi dan pengelolaan hutan untuk kelestarian dan keseimbangan ekosistem alam di bumi. Berbagai jenis hutan yang ada di Indonesia memiliki banyak manfaat untuk kita semua. Hutan merupakan paru-paru dunia sehingga perlu dijaga karena jika tidak maka akan membawa dampak yang buruk bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang.

Sumber daya hutan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat di sekitar hutan dan cenderung mendorong masyarakat untuk terus melakukan eksploitasi dalam rangka memanfaatkan sumberdaya hutan untuk pencapaian tujuan-tujuan ekonomi yaitu pemenuhan kebutuhan dasar dan peningkatan kesejahteraan. Pola pemanfaatan sumberdaya hutan semacam ini pada akhirnya membentuk cara pandang masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang bersifat material, artinya hutan dimanfaatkan hanya terpusat pada nilai-nilai materialnya.

Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

Kawasan hutan perlu dipertahankan berdasarkan pertimbangan fisik, iklim dan pengaturan tata air serta kebutuhan sosial ekonomi masyarakat dan Negara. Hutan yang dipertahankan terdiri dari hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, hutan konservasi, hutan produksi terbatas dan hutan produksi. Berikut ini pengertian dari berbagai jenis hutan tersebut, antara lain:

  • Hutan lindung adalah hutan yang perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap untuk kepentingan hidroorologi, yaitu mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi, memelihara keawetan dan kesuburan tanah baik dalam kawasan hutan bersangkutan maupun kawasan yang dipengaruhi di sekitarnya;
  • Hutan suaka alam adalah hutan yang perlu dipertahankan dan dibina keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah dan pengetahuan, wisata dan lingkungan;
  • Hutan wisata adalah hutan yang dipertahankan dengan maksud untuk mengembangkan pendidikan, rekreasi dan olahraga;
  • Hutan konservasi adalah hutan yang dipertahankan untuk keberadaan keanekaragaman jenis plasma nutfah dan tempat hidup dan kehidupan satwa tertentu;
  • Hutan produksi terbatas adalah kawasan hutan untuk menghasilkan kayu hutan yang hanya dapat dieksploitasi secara terbatas dengan cara tebang pilih serta;
  • Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan sebagai kebutuhan perluasan, pengembangan wilayah misalnya transmigrasi pertanian dan perkebunan, industri dan pemukiman dan lain-lain. Di dalam hutan-hutan tersebut di atas tidak boleh dilakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi hutan tersebut.

Penggolongan hutan adat ke bagian hutan negara, telah menimbulkan permasalahan didalamnya, karena menempatkan hutan adat didalam hutan negara, dengan demikian masyarakat hukum adat sering kali berkonflik baik antara pemerintah maupun badan hukum dalam mempertahankan wilayah yang di anggap sebagai wilayah adat dari masyarakat hukum adat.

Kementerian Kehutanan mengeluarkan Surat edaran No SE 1/Menhut-II/2013 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Dinas Kehutanan seluruh Indonesia. Dalam surat edaran tersebut Menteri Kehutanan menegaskan bahwa penetapan kawasan hutan adat tetap berada pada menteri kehutanan. Penetapan tersebut dilakukan bila masyarakat adat telah ditetapkan terlebih dahulu oleh Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah. Dengan demikian, proses yang harus dilalui oleh masyarakat adat untuk mengelola hutan adat masih sangat panjang. Banyak wilayah adat termasuk hutan adat yang dikleim oleh Kehutanan secara sepihak sebagai kawasan hutan dan kemudian memunculkan tumpang-tindih kleim yang berdampak pada konflik-konflik termasuk dengan pemilik lahan di sekitar kawasan hutan adat.

Kerangka Berpikir tentang Kawasan Hutan Adat.

Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (Inggris). Forrest merupakan daratan tanah yang bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan, seperti pariwisata. Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.

Hutan adalah salah satu jenis sumberdaya alam yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat pedesaan. Bagi masyarakat pedesaan, hutan sekurang-kurangnya memiliki dua fungsi penting, yaitu sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu memberikan manfaat dalam kehidupan mereka dan kawasan hutan sangat baik untuk dijadikan lahan pertanian baik pertanian pangan maupun perkebunan.

Aktivitas masyarakat memanfaatkan hutan khususnya bagi masyarakat yang bermukim di sekitar hutan sudah berlangsung sejak lama sehingga hutan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya hutan. Pemaknaan terhadap hutan ini kemudian melahirkan cara yang bermacam-macam di kalangan masyarakat pedesaan dalam mengelola hutan.

Secara umum, karakteristik pengelolaan hutan pada masyarakat pedesaan bisa dibedakan dari sifat pengelolaannya yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengelolaan hutan yang bersifat eksploitatif dan pengelolaan hutan bersifat konservatif.

Pengelolaan hutan yang bersifat eksploitatif merupakan tindakan memanfaatkan hasil hutan yang bersifat mengeksploitasi sumberdaya hutan baik berupa pemanfaatan sumberdaya kayu dan non kayu maupun pemanfaatan sumberdaya lahan untuk pengembangan aktivitas produksi pertanian. Cara-cara pemanfaatan hutan semacam ini cukup banyak dijumpai di kalangan masyarakat pedesaan yang sifatnya merubah fungsi ekosistem hutan akibat semakin berkurangnya komponen-komponen ekosistem hutan. Dapat disimpulkan bahwa cara-cara pemanfaatan hutan semacam ini dilandasi oleh cara pandang dimana hutan hanya dilihat dari fungsi ekonominya dan pemanfaatan sumberdaya hutan hanya ditujukan untuk pencapaian nilai-nilai material.

Pengelolaan hutan yang bersifat konservatrif meliputi dua kategori yaitu perlindungan serta perlindungan dan pemanfaatan. Pengelolaan hutan yang bersifat perlindungan merupakan tindakan proteksi guna mempertahankan kelestarian hutan yang diwujudkan seperti dalam bentuk “hutan larangan” dan sebagian menggunakan istilah “hutan adat”. Mekanisme pengelolaan hutan yang diterapkan hanya berupa aktivitas perlindungan tanpa adanya bentuk pemanfaatan secara langsung. Pengelolaan semacam ini dilakukan oleh masyarakat pedesaan atas dasar pentingnya melindungi hutan yang berfungsi sebagai penopang aktivitas produksi mereka seperti mempertahankan sumber air bagi pengairan sawah-sawah yang dikelola setiap tahunnya. Kawasan hutan yang menjadi sasaran proteksi ini biasanya kawasan hutan alam yang berada di sekitar hulu sungai dan di lereng bukit/gunung diamana di sekitarnya merupakan bentangan sawah-sawah masyarakat.

Pengelolaan hutan yang bersifat perlindungan dan pemanfaatan merupakan tindakan pengelolaan kawasan dimana kawasan hutan diproteksi namun sumberdaya yang terdapat di dalamnya baik berupa kayu maupun non kayu bisa dimanfaatkan secara langsung dan terbatas selama tidak melakukan perubahan atas fungsi hutan. Cara-cara semacam ini banyak dijumpai dalam kasus pengelolaan hutan adat yang tidak hanya sekedar dilindungi namun sumberdaya yang ada di dalamnya baik kayu maupun non kayu boleh dimanfaatkan secara terbatas hanya untuk pemenuhan kebutuhan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. Pemanfaatan hasil hutan untuk tujuan komersial hanya diperbolehkan kalau sifatnya untuk memenuhi kebutuhan desa atau kebutuhan bersama (menyangkut kebutuhan masyarakat seperti pengadaan fasilitas umum dan sebagainya).

Pada masa sebelum penjajahan belanda, persoalan kehutanan di atur oleh hukum adat dari masing-masing komunitas masyarakat hukum adat. Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah belanda yaitu Adatrecht. Snouck Hourgronje merupakan orang yang pertama kali memakai istilah Adatrecht. Kemudian dikutip oleh Van Vollenhoven sebagai teknis Yuridis.

Konsepsi hutan dalam hukum lokal mengandung falsafah hidup bahwa segala jenis makhluk hidup dalam hutan, baik yang berupa tumbuhan, binatang, bahkan makhluk ghaib masing-masing memiliki fungsi dan peranan tersendiri, yang secara bersinergi menjaga keteraturan, kebaikan dan keseimbangan alam. Keteraturan, kebaikan dan keseimbangan alam semesta dalam hubungannya dengan fungsi hutan, seperti tidak terjadi banjir, longsor, kekeringan, memelihara kesuburan tanah, dan mencegah terjadinya bencana alam lain yang dapat mengganggu ketentraman dan kedamaian hidup seluruh anggota komunitas, seperti wabah penyakit menular dan gangguan binatang buas.

Hukum lokal komunitas adat daerah menempatkan status hukum kepemilikan hutan sebagai hak milik komunal setiap masyarakat hukum adat. Konsep ini merupakan konsep universal hukum lokal (hukum adat), di mana tanah menjadi titik sentral kehidupan dan penghidupan manusia.

Ter Haar mendeskripsikan tanah di mana mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah di mana mereka dimakamkan dan yang menjadi kediaman orang-orang halus perlindungannya beserta arwah leluhurnya, tanah di mana mereka meresap daya-daya hidup, termasuk juga hidupnya umat itu dan karenanya tergantung daripadanya, maka pertalian demikian itu yang dirasakan dan berakar dalam alam pikirannya serba berpasangan (participerend denken) itu dapat dan seharusnya dianggap sebagai pertalian hukum (rechtsbertrekking) umat manusia terhadap tanah.

Hutan adat merupakan salah satu bentuk dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Menurut Maria Soemardjono bahwa hak ulayat menunjukkan hubungan hukum antara masyarakat hukum (subjek hak) dan tanah dan wilayahnya (objek hak). Maksud wilayah tertentu menyangkut hutan karena termasuk dalam kategori objek hak. Wewenang masyarakat hukum adat atas tanah dan sumberdaya hutan yaitu:

  1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemungkiman, bercocok tanam) persediaan (pembuatan pemungkiman/persawahan baru) dan pemeliharaan tanah.
  2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu kepada subjek tertentu).
  3. Menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dengan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan).

Wewenang dari hak ulayat tidak hanya meliputi tanah, tetapi semua sumber daya yang di atas tanah sebagai objek dari hak ulayat, menurut pendapat Bustar Muhammad, objek hak ulayat meliputi:

  1. Tanah (daratan).
  2. Air (perairan seperti: kali, danau, pantai serta perairannya).
  3. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan sebagainya).
  4. Binatang liar yang hidup bebas didalam hutan.

Yang dimaksud dengan manfaat langsung, adalah manfaat yang dapat dirasakan/dinikmati secara langsung oleh masyarakat. Yaitu masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil hutan, antara lain kayu yang merupakan hasil utama hutan, serta berbagai hasil hutan ikutan, seperti rotan, getah, buah-buahan, madu, dan lain-lain.

Manfaat tidak langsung, adalah mafaat yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dapat dirasakan adalah keberadaan hutan itu sendiri. Ada delapan manfaat hutan secara tidak langsung, seperti berikut ini:

  1. dapat mengatur tata air.
  2. dapat mencegah terjadinya erosi.
  3. dapat memberikan manfaat terhadap kesehatan.
  4. dapat memberikan rasa keindahan.
  5. dapat memberikan manfaat di sektor pariwisata.
  6. dapat memberikan manfaat dalam bidang pertahanan keamanan.
  7. dapat menampung tenaga kerja.
  8. dapat menambah devisa negara.

Dalam pengelolaan hutan perlu memperhatikan beberapa fungsi diantaranya :

  1. Fungsi ekonomi. Masyarakat disekitar hutan dapat menikmati hasil dari hutan yang mereka kelola dengan harapan ada peningkatan ekonomi yang stabil dan menciptakan lapangan kerja bagi generasi mendatang dengan pola peningkatan pengelolaan hutan yang berteknologi ramah lingkungan.
  2. Fungsi sosial. Terciptanya solidaritas masyarakat sekitar hutan dan menghindari kesenjangan sosial diantara kelompok masyarakat, maka dalam hal ini pengelolaan hutan dilakukan secara kolektif.
  3. Fungsi ekologi. Hutan berfungsi sebagai konservasi, untuk mencegah terjadinya bencana banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran serta memberikan perlindungan terhadap masyarakat disekitarnya (dari segi keamanan dan kesehatan).

Istilah Hutan Adat yang sudah baku dalam penyebutan untuk kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat desa baik dalam undang-undang kehutanan maupun dalam penggunaan oleh kalangan pengembang ternyata memiliki potensi untuk mendorong munculnya masalah ke depan. Dalam undang-undang kehutanan secara garis besarnya disebutkan bahwa hutan adat merupakan suatu kawasan yang dikelola oleh masyarakat adat dengan berpedoman pada institusi adat. Jika dicermati, dalam pengertian tersebut terkait di dalamnya masalah akses dalam mengelola, artinya bahwa seluruh komponen masyarakat memiliki hak dalam mengakses kawasan hutan dimaksud.

Masyarakat Kalimantan Tengah pada umumnya memiliki adat dalam hal pengaturan tanah adat atau kawasan hutan adat. Pada dasarnya, wilayah dari suatu kampung dinamakan tanah adat, yang didalamnya berkaitan dengan aktivitas di atas tanah adat, maka dapat diklasifikasikan berdasarkan kepemilikan desa pribadi dan kepemilikan keluarga.

Hutan adat adalah seluruh hutan rimba yang bukan milik pribadi atau keluarga. Hutan adat berisi berbagai jenis kayu, buah-buahan, akar dan rotan serta dihuni oleh berbagai jenis binatang. Walaupun kebiasaan membuka lahan ladang merupakan tradisi turun-temurun namun masyarakat tidak diperkenankan untuk membuka lahan seluas-luasnya.

Sistem pengelompokan hutan dalam hukum lokal dimaksudkan sebagai suatu upaya perlindungan, sehingga jelas mana kawasan hutan yang dilindungi dan yang boleh diusahakan.

Upaya perlindungan dan pengamanan kawasan hutan merupakan kegiatan untuk menjaga dan mempertahankan keberadaan kawasan hutan serta hak-hak negara atas kawasan hutan, mencegah dan membatasi kerusakan kawasan hutan. Upaya ini diawali dengan dilakukannya penataan batas terhadap areal hutan yang telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sesuai dengan fungsinya, untuk dikukuhkan menjadi kawasan hutan.

Upaya ini merupakan kegiatan perlindungan/pengamanan teknis dan yuridis. Pada dasarnya upaya perlindungan hutan dibagi menjadi dua upaya pokok, Kegiatan perlindungan dan pengamanan selanjutnya diarahkan untuk menjaga serta mempertahankan kawasan hutan tersebut, antara lain dengan:

  1. Mencegah dan/atau menindak orang yang memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan hutan.
  2. Mencegah dan/atau menanggulangi (termasuk di dalamnya menindak) orang yang mengerjakan atau menduduki kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan. Termasuk dalam kegiatan ini antara lain pencegahan dan penanggulangan perambahan hutan, perladangan berpindah/liar, pemukiman liar dan penambangan liar (oleh masyarakat).
  3. Mengawasi, mencegah dan menanggulangi terjadinya tumpang tindih peruntukan (penggunaan kawasan hutan di luar fungsi yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan). Yang menjadi perhatian dalam kegiatan ini antara lain adanya tumpang tindih dengan kegiatan transmigrasi, pertambangan, pertanian (perkebunan, perikanan, dll) dan pengusahaan hutan (HPH).
  4. Mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.

Penyelenggaraan Kehutanan Masyarakat merupakan salah satu tindakan nyata dari usaha untuk menghormati dan melindungi hak-hak dasar Masyarakat Kampung dan Masyarakat Adat/Masyarakat Hukum Adat, terutama yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya hutan.

Lebih khusus Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 mengatur tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau yang biasa disebut UUPPLH, keberadaan dan pengakuan atas hak ulayat dari masyarakat hukum adat semakin diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 63 angka (1) huruf (t), angka (2) huruf (n) dan angka (3) huruf (k) yang menerangkan wewenang dan tanggungjawab dari Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

Dalam Pasal 63 angka (1) huruf (t) disebutkan bahwa Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang: t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Selanjutnya pada Pasal 63 angka (2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang: n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi.

Dan terakhir pada Pasal 63 angka (3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang: k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

Dengan pasal ini, setiap tingkat pemerintah memiliki kewenangan dan pembagian kewenangan yang jelas dalam menjaga hak masyarakat hukum adat dan kearifan lokal, terutama yang terkait dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini kemudian diperkuat dalam Pasal 70 tentang peran masyarakat, angka (3) tentang tujuan peran masyarakat dalam huruf e. yang berbunyi Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Dari poin ini, pengakuan dan akomodasi atas hukum adat dan kearifan lokal bukan saja kewenangan pemerintah tetapi juga dari pihak masyarakat itu sendiri. Hal ini beralasan, pengikisan nilai-nilai hukum adat tidak hanya secara sistematis oleh pemerintah tetapi juga akibat masuknya nilai-nilai baru ke dalam masyarakat yang tidak mendukung nilai kearifan lokal itu sendiri.

Dengan adanya UUPPLH ini, baik bagi pihak pemerintah maupun masyarakat terutama dalam mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat dalam pengelolaan lingkungan. Masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksana dan teknis baik dari pusat maupun daerah agar Undang-undang ini dapat diterapkan. Selain itu diperlukan penyesuaian pada bentuk hukum Perundang-undangan dan peraturan lain yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup lain seperti Undang-undang SDA, Undang-undang Pokok Kehutanan, Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Perkebunan dan sebagainya agar selaras dengan UUPPLH ini.

Suatu norma atau aturan yang berbentuk Perundang-undangan dimaksudkan oleh pembentuk Undang-undang (legislator) agar dapat dijadikan pedoman dan acuan bertindak bagi masyarakat luas. agar dapat ditaati Perundang-undangan tersebut maka di berikan sanksi.

Kebijakan perlindungan hutan dengan mengakomodir nilai hukum kehutanan lokal, dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan akan memudahkan pemerintah dalam membangun jaringan komunikasi massa, baik secara vertikal maupun horizontal. Implikasi lebih lanjut akan memudahkan pemerintah dalam pengendalian sosial dan politik di daerah. Karena itu, dalam perlindungan hutan, seyogyanya pemerintah memperhatikan kemajemukan nilai-nilai hukum lokal yang hidup dalam masyarakat sebagai living law, sehingga pelaksanaan perlindungan hutan tercapai secara maksimum.

Konsep perlindungan hutan dalam hukum lokal sebagai hukum yang hidup living law menekankan pada asas kebersamaan, di mana perlindungan hutan menjadi tanggung jawab bersama warga masyarakat hukum adat di bawah kepemimpinan informal kepala masyarakat hukum adat, kepala suku atau kepala marga. Setiap komunitas adat berpendirian rusaknya hutan mengancam keberlanjutan hidup manusia.

Perlindungan hutan dalam hukum lokal bertujuan untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, dan mempertahankan hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan. Pola perlindungan hutan dalam hukum lokal didasarkan pada aturan-aturan hukum lokal berupa tabu dan larangan, dan dilakukan melalui tindakan preventif berupa pembentukan aturan, penyuluhan dan pengawasan dan represif berupa penjatuhan sanksi adat.

Oleh karena itu, pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan dapat tercapai, apabila ada perubahan paradigma. Paradigma baru pembangunan kehutanan dimaksud ialah pergeseran orientasi dari pengelolaan hutan menjadi pengelolaan sumberdaya (resourcesbased management), pengelolaan yang sentralistik menjadi desentralistik, serta pengelolaan sumberdaya yang lebih berkeadilan. Untuk itu jelas masyarakat hukum adat yang berada di sekitar hutan perlu dilibatkan seperti amanah undang-undang.

Usaha perlindungan hutan adalah suatu usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan hutan akibat pendudukan hutan secara tidak sah, penggunaan hutan yang menyimpang dari fungsinya, dan pengusahaan hutan yang tidak bertanggungjawab, penambangan liar, pencurian kayu dan penebangan tanpa izin, penggembalaan ternak dan akibat kebakaran, gangguan hama, dan penyakit serta daya alam.

Penulis : Drs. RAHMAT JUNAIDI, S.H., M.H.

(Kepala Bagian Pengawasan dan Dokumentasi Hukum pada Biro Hukum SETDA Provinsi Kalimantan Tengah)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA