Sosiologi adalah ilmu yang berusaha memahami tindakan sosial melalui penafsiran agar memperoleh

Catatan: istilah nabi di atas mengacu pada pemikir ulung yang mampu memesona para pengikutnya; dan bukan ‘mereka yang menerima wahyu Tuhan’. But who knows?

Sociology Mural by Fradga. Sumber: //www.deviantart.com/fradga/art/Sociology-Mural-198431690

Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang relatif baru — Ia lahir di awal abad ke-19, ketika revolusi Perancis mengubah tatanan sosial masyarakat, dan membawa manusia pada era pencerahan.

Kajian sosial memang sudah dipelopori terlebih dahulu oleh disiplin ilmu yang lebih tua: filsafat. Namun, berkat buah pemikiran seorang filsuf yang pernah mencoba bunuh diri dan dirawat di rumah sakit jiwa, sosiologi mampu bersanding dengan cabang ilmu lain.

Nama filsuf tersebut adalah Comte, dan ia dikenal sebagai bapak sosiologi. Buah pemikirannya, positivisme, berhasil menjadi pondasi bagi perkembangan ilmu sosial modern, khususnya sosiologi.

Comte dan Sosiologi
Auguste Comte lahir di Perancis pada tahun 1798. Comte memiliki semangat untuk menyatukan ilmu alam dan ilmu sosial. Menurut Comte, langkah pertama untuk mencapai hal tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengkaji fenomena sosial.

Bagi Comte, ilmu sosial harus berkutat dengan fakta, dan memiliki metode pengumpulan data yang jelas, seperti halnya ilmu alam. Comte menyebut cara pandangnya ini dengan nama positivisme[1].

Layaknya gravitasi yang mengatur alam semesta, Comte percaya bahwa realitas sosial juga turut diatur oleh seperangkat hukum yang tidak terlihat. Jika apel jatuh dari pohonnya karena diatur oleh hukum alam, maka sumber daya ekonomi jatuh dari para pemilik modal ke tangan pekerja karena diatur oleh hukum sosial.

Menurut Comte, ilmu sosial, melalui prinsip-prinsip positivisme, memiliki kemampuan untuk menyibak hukum sosial yang tidak terlihat. Berangkat dari premis tersebut, Comte mencetuskan sebuah istilah, sekaligus disiplin ilmu baru: sosiologi[2].

Comte mendefinisikan sosiologi sebagai studi sistematis tentang fenomena sosial[3]. Bagi Comte, sosiologi adalah alat untuk meramalkan kondisi masyarakat di masa depan. Sosiologi, melalui observasi fakta-fakta empiris, memiliki kemampuan untuk mengungkap hukum sosial yang mengatur jalannya masyarakat.

Comte berpendapat bahwa seperti halnya hukum alam, hukum sosial juga dapat digunakan untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Comte sendiri pernah meramalkan bahwa di masa depan, masyarakat akan dipimpin oleh sekelompok akademisi yang ia sebut sebagai “filsuf positif”[4]. Ramalan yang sampai saat ini belum terbukti kebenarannya.

Terlepas dari kebenaran ramalan tersebut, Comte memiliki tempat spesial dalam sejarah perkembangan sosiologi. Auguste Comte adalah sosok yang berhasil mengukuhkan posisi sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu. Pemikiran Comte, khususnya positivisme, terus dikembangkan dan dikritik oleh ilmuwan-ilmuwan sosial lain yang mempelajari sosiologi, termasuk tiga pemikir besar sosiologi klasik: Durkheim, Marx, dan Weber.

Tiga Pemikir Utama Sosiologi: Durkheim, Marx, dan Weber
Dari sekian banyak sosiolog, nama Durkheim, Marx, dan Weber memang sedikit lebih spesial. Ketiganya sering disebut sebagai canon, nabi, atau pemikir utama sosiologi. Durkheim merupakan sosiolog kelahiran Perancis, sama seperti Comte, sedangkan Marx dan Weber lahir di Jerman. Perbedaan konteks sosial dari ketiga sosiolog inilah yang membuat cara pandang mereka berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Emile Durkheim
Durkheim memiliki cara pandang yang paling mirip dengan Comte. Ia sepakat dengan Comte, bahwa ilmu sosial harus mengkaji hal-hal yang bersifat empiris, serta menggunakan metode ilmiah. Namun, Durkheim menganggap Comte belum secara spesifik membahas hal-hal empiris apa sajakah yang dapat diklasifikasikan sebagai objek kajian sosiologi. Oleh karena itu, Durkheim mencetuskan sebuah terminologi baru: fakta sosial.

Durkheim mendefinisikan fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, atau berperasaan yang berada di luar individu, namun memiliki kekuatan untuk memaksa individu tersebut. Menurut Durkheim, sosiologi adalah studi sistematis tentang fakta sosial[5].

Salah satu sumbangan terbesar Durkheim bagi sosiologi adalah konsep pembagian kerja. Durkheim menyatakan bahwa masyarakat modern diikat oleh fakta sosial berupa perbedaan peran antara satu dengan lainnya. Durkheim menyebut hal ini sebagai solidaritas organik[6]. Setiap orang memiliki peran masing-masing dalam masyarakat, seperti organ tubuh manusia yang mempunyai fungsinya masing-masing. Layaknya organ tubuh yang menjamin keberlangsungan hidup manusia, pembagian kerja menjamin keberlangsungan masyarakat.

Karl Marx
Jika Durkheim relatif sepakat dengan pemikiran Comte, maka lain halnya dengan Marx. Meski sama-sama setuju bahwa ilmu sosial harus menggunakan metode ilmiah, serta memiliki kemampuan untuk menyibak hukum sosial, Marx menolak gagasan Comte tentang positivisme. Bagi Marx, kajian ilmu sosial tidak hanya terbatas pada hal-hal yang sifatnya empiris atau dapat dilihat saja. Marx menekankan pentingnya ide, sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak empiris, yang juga harus dikaji oleh ilmuwan sosial[7].

Salah satu sumbangan terbesar Marx bagi sosiologi adalah konsep kelas. Menurut Marx, masyarakat modern terbagi menjadi dua kelas: borjuis dan proletar. Borjuis memegang kontrol atas alat produksi (sumber daya alam dan mesin), sedangkan proletar berkerja untuk borjuis.

Bagi Marx yang besar di era revolusi industri, relasi antara borjuis dan proletar selalu berakhir dengan opresi. Pihak yang memiliki sumber daya akan selalu menindas pihak yang tidak memiliki sumber daya. Penindasan ini hanya akan berakhir apabila kelompok proletar menyatukan kekuatan, dan merebut alat produksi dari borjuis[8].

Pemikiran Marx tentang kelas bertolak belakang dengan pandangan Durkheim tentang masyarakat. Durkheim melihat masyarakat sebagai kesatuan yang harmonis, sedangkan Marx melihat masyarakat sebagai arena konflik — konflik kelas tepatnya.

Pihak-pihak yang teropresi akan terus memperjuangkan kepentingannya, sedangkan pihak yang mengopresi akan berusaha mempertahankan posisi mereka dengan berbagai cara. Bagi Marx, pembagian kerja yang hierarkis merepresentasikan kesenjangan, karena dalam pembagian kerja, terdapat pihak yang memiliki sumber daya ekonomi lebih banyak dari pihak lainnya.

Max Weber
Pemikir klasik selanjutnya, Weber, memiliki sudut pandang yang sangat berbeda dari Comte, Durkheim, dan Marx. Bagi Weber, realitas sosial bukanlah sesuatu yang dapat dipahami lewat metode ilmiah. Sama seperti Marx, Weber menolak gagasan Comte dan Durkheim terkait objek kajian sosiologi, yaitu fakta empiris. Bagi Weber, tidak ada sesuatu yang benar-benar empiris, karena pemaknaan manusia tentang realitas sosial berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Namun, Weber juga tidak sepenuhnya setuju dengan Marx. Karena realitas sosial bersifat subjektif dan dapat berubah, Weber menolak teori-teori yang mencoba menjelaskan masyarakat secara keseluruhan, seperti teori Marx tentang kelas, dan teori Durkheim tentang pembagian kerja.

Salah satu sumbangan terbesar Weber bagi sosiologi adalah konsep tidakan sosial. Jika Durkheim menganggap tindakan sosial didorong oleh fakta sosial dan Marx menganggap tindakan sosial sebagai manifestasi dari kelas sosial, maka lain halnya dengan Weber. Bagi Weber, setiap tindakan individu yang ditujukan kepada individu, atau kelompok lain memiliki makna yang sifatnya subjektif. Sosiologi, menurut Weber, adalah studi tentang tindakan sosial, atau dengan kata lain, studi tentang makna dibalik tindakan individu dalam konteks sosial[9].

Pemikiran Durkheim, Marx, dan Weber merepresentasikan tiga cara berbeda dalam melihat masyarakat. Durkheim melihat masyarakat sebagai kesatuan yang harmonis, sedangkan Marx memandang masyarakat sebagai arena konflik antar kelas. Weber, di sisi lain, fokus terhadap makna tindakan sosial antar individu. Pemikiran ketiga tokoh inilah yang kemudian dijadikan basis tiga pendekatan utama sosiologi. Pemikiran Durkheim melahirkan pendekatan struktural fungsionalisme, pemikiran Marx melahirkan pendekatan kritis, dan pemikiran Weber melahirkan pendekatan interaksionisme simbolik.

Sepeninggal Comte, Durkheim, Marx, dan Weber, sosiologi terus berkembang dan melahirkan pemikir-pemikir baru. Layaknya masyarakat yang selalu berubah seiring perkembangan zaman, sosiologi juga turut berubah dan mengambil bentuk yang berbeda tergantung konteks sosial masyarakat yang dikaji. Sosiologi lahir sebagai respon dari perubahan sosial, dan akan terus hidup selama fokus kajiannya, masyarakat, masih ada di muka bumi.

Catatan kaki
[1] George Ritzer, The Wiley-Blackwell Companion to Sociology, (Oxford: Wiley-Blackwell, 2003), hlm. 14.
[2] Auguste Comte, Cours Philosophie Positive, (Paris: Anthropos, 1969), hlm. 88.
[3] George Ritzer, Op.cit., hlm. 15.
[4] Auguste Comte, Op.cit., hlm. 656.
[5] Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, (London: Macmillan, 1982), hlm. 29–163.
[6] George Ritzer, Op.cit., hlm. 200.
[7] David Walker, Marx, Methodology and Science, (Hampshire: Ashgate, 2011), hlm. 39.
[8] George Ritzer, Op.cit., hlm. 109–113.
[9] Ibid., hlm. 142.

Artikel ini dapat ditulis dan diterbitkan berkat bantuan dari kinibisa.com! Platform digital dengan misi mewujudkan generasi kompeten untuk Indonesia, di era digital. Akses portal kinibisa.com untuk mengetahui berbagai informasi menarik terkait insitusi pendidikan, beasiswa, profesi, dan masih banyak lagi!

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA