Jelaskan pengaruh agama dan kebudayaan Islam dalam bidang pendidikan

Pengaruh Islam terhadap Masyarakat di Indonesia, masuknya pengaruh Islam ke Indonesia telah membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di Indonesia. Perubahan-perubahan itu antara lain tampak dalam bidang-bidang berikut ini.

Bidang Politik

Sebelum Islam masuk Indonesia, sudah berkembang kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Kerajaan-kerajaan tersebut kemudian mengalami kemunduran dan digantikan peranannya oleh kerajaan-kerajaan Islam. Pada masa Islam, konsep kerajaan berubah menjadi kesultanan. Dalam sistem kesultanan nilai-nilai Islam menjadi dasar dalam pengendalian kekuasaan.

Bidang Sosial

Pada masa Hindu-Buddha terjadi pembedaan yang tegas antar kelompok masyarakat, pembedaan ini disebut dengan sistem kasta.Sistem ini membedakan masyarakat menjadi golongan Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra.Setelah Islam masuk, sistem kasta menjadi pudar karena ajaran Islam tidak menerapkan sistem kasta.Meskipun demikian, pada masa Islam masih terdapat penggolongan kelompok masyarakat.Di Jawa misalnya,seorang ulama diberi gelar Kyai, sebuah gelar yang menunjukkan ketinggian derajat pada struktur sosial di masyarakat.Begitu pula dengan para penyebar agama Islam yang diberi gelar Sunan, gelar ini menujukkan status sosial yang tinggi.

Bidang Agama

Pada masa Islam, sebagian besar masyarakat di Indonesia menganut agama Islam. Meskipun demikian, masih terdapat masyarakat yang menganut agama Hindu, Buddha, atau menganut kepercayaan terhadap roh halus. Hingga saat ini, sebagian besar masyarakat di Indonesia menganut agama Islam.

Bidang Kebudayaan

Berkembangnya kebudayaan Islam di Kepulauan Indonesia tidak serta merta menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada. Kebudayaan Islam mengakomodasi kebudayaan yang sudah ada, tentunya dengan modifikasi dan penyesuaian agar tetap sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada. Hasil akulturasi tersebut antara lain sebagai berikut.

Bentuk bangunan masjid kuno memiliki unsur kemiripan dengan kebudayaan Hindu-Buddha.Kemiripan ini terlihat pada hal-hal berikut.

Atap Tumpang

Atap tumpang merupakan atap yang bersusun semakin ke atas semakin kecil, tingkat yang paling atas berbentuk limas. Jumlah tumpeng itu selalu ganjil, biasanya 3 sampai 5 tingkat. Atap tumpang serupa dengan arsitektur Hindu. Atap tumpang sampai saat ini masih banyak kita temukan di Bali. Namanya meru, dan khusus digunakan sebagai atap bangunan-bangunan suci di dalam pura. Contoh masjid yang menggunakan atap tumpang adalah Masjid Demak dan Masjid Banten.

Menara

Menara merupakan bagian bangunan masjid yang berfungsi untuk mengumandangkan adzan ketika waktu shalat telah tiba. Pada masjid Kudus bentuk menara mirip sekali dengan bentuk bangunan Candi Jawa Timur yang telah diubah dan disesuaikan penggunaannya dan diberi atap tumpang.

Makam

Pembangunan makam bagi sebagian umat Islam di Indonesia dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Di Indonesia banyak ditemukan makan yang terletak di bukit atau dataran tinggi.Misalnya makam Sunan Gunung Jati di gunung Sembung atau kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Makam-makam yang terletak di tempat-tempat tinggi atau di atas bukit masih menunjukkan kesinambungan tradisi yang mengandung unsur kepercayaan kepada roh nenek moyang dan merupakan bentuk perwujudan pendirian punden berundak megalithik.

Baca juga Persebaran Islam di Indonesia

Seni Ukir

Seni ukir yang berkembang pada masa Islam merupakan modifikasi dari masa sebelumnya.Dalam ajaran Islam ada larangan untuk membuat patung atau melukis makhluk hidup apalagi dalam bentuk manusia. Meskipun demikian, seni ukir terus berkembang dengan menggunakan ragam hias yang terdiri dari pola-pola daun-daunan, bunga-bungaan (teratai), bukit-bukit karang, pemandangan, dan garis-garis geometri. Ragam hias ini kemudian ditambah dengan ragam hias huruf arab (kaligrafi) yang kerap kali digunakan untuk menyamarkan lukisan makhluk hidup.

tirto.id - Sejarah masuknya agama Islam ke Nusantara memiliki dampak yang besar dalam berbagai sektor kehidupan. Pengaruh Islam di Nusantara atau yang kemudian menjadi negara bernama Indonesia juga merasuk dalam bidang politik dan ekonomi.

Ada beberapa teori terkait masuknya Islam ke Nusantara. Dari berbagai teori tersebut, Islam diperkirakan masuk ke Nusantara melalui berbagai jalur, seperti perdagangan, pernikahan, atau migrasi.

Sebelum ajaran Islam hadir, masyarakat Nusantara berada dalam peradaban Hindu-Buddha. Maka, ketika Islam masuk dan mulai menebarkan pengaruh, maka terjadi penyesuaian dalam berbagai aspek kehidupan.

Dikutip dari modul Sejarah: Kerajaan-Kerajaan Maritim Indonesia pada Masa Islam (2020) yang diterbitkan Kemendikbud, masuknya Islam berdampak terhadap bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan lainnya.

Baca juga:

  • Sejarah Proses Masuknya Islam ke Indonesia Berdasar Teori Gujarat
  • Teori-Teori Masuknya Islam ke Indonesia Beserta Tokohnya
  • Penjelasan 4 Teori Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia

Pengaruh Islam di Nusantara dalam Bidang Politik

1. Konsep Raja Sebagai Utusan Tuhan

Pada masa Hindu-Buddha, kerajaan menganut konsep dinasti, sebuah sistem pemerintahan berdasarkan garis keturunan. Raja memiliki kuasa agung yang kerap diasosiasikan dengan dewa, atau yang disebut dengan konsep Devaraja. Raja dalam konsep ini akan dianggap sebagai titisan dewa di bumi.

Raja biasanya dibuatkan candi, arca, atau prasasti lainnya yang menyerupai dewa. Contohnya adalah Raja Airlangga, pemimpin Kerajaan Kahuripan yang dicandikan serupa dengan Dewa Wisnu.

Baca juga:

  • Sejarah Candi Badut Peninggalan Kerajaan Kahuripan & Keunikannya
  • Asal-usul Lambang Garuda dalam Sejarah Kerajaan Raja Airlangga
  • Sejarah Kerajaan Kahuripan, Lokasi, & Peninggalan Raja Airlangga

Masuknya Islam mengubah sistem Devaraja. Hal ini karena Tuhan dalam agama Islam tak dapat menyerupai ciptaan-Nya. Akan tetapi, Tuhan mengirimkan khalifah (pemimpin) di bumi yang bertanggung jawab terhadap keselarasan dan keteraturan dunia.

Oleh karena itu, konsep Devaraja pada masa Hindu-Buddha berganti menjadi raja atau pemimpin sebagai khalifah (wakil Tuhan sebagai pemimpin) di bumi.

2. Penyebarluasan Islam oleh Raja

Para ulama yang menyebarkan syiar Islam di Nusantara pada masa awal memiliki strategi jitu dalam menjalankan dakwahnya. Pertama-tama, mereka akan terlebih dahulu melakukan pendekatan secara politis terhadap raja-raja di Nusantara agar memeluk Islam.

Dalam modul Islam Nusantara yang diterbitkan Kemendikbud (2017: 12), para ulama tersebut menyebarkan ajaran Islam kepada raja-raja di Nusantara melalui beberapa pendekatan, yaitu:

  • Menunjukkan peran pedagang Islam dalam memajukan perekonomian sebuah wilayah.
  • Menunjukkan keberhasilan ulama dalam menyebarluaskan agama Islam hingga ke pelosok daerah tanpa adanya perang atau pertumpahan darah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam mempunyai paham yang sama dengan kepercayaan masyarakat yang telah ada sebelumnya.
  • Menunjukkan kesuksesan Islam sebagai landasan ideologis dan sistem kepercayaan yang mampu menjaga perdamaian dalam masyarakat.

Baca juga:

  • Sejarah Hidup Sunan Giri: Lahir, Nasab, & Ajaran Dakwah Wali Songo
  • Sejarah Hidup Sunan Gunung Jati: Ulama Wali Songo & Sultan Cirebon
  • Sejarah Hidup Sunan Muria: Wali Songo Termuda, Putra Sunan Kalijaga

Setelah seorang raja bisa diajak memeluk agama Islam, sebagian besar rakyatnya pun akan mengikuti sang raja dengan melakukan hal yang sama.

Kepentingan politik muncul lagi ketika raja ingin menambah wilayah kekuasaan sekaligus menyebarluaskan ajaran Islam.

Contoh penyebarluasan Islam oleh raja terjadi pada masa Kesultanan Demak. Kala itu, Sultan Demak mengirimkan pasukan untuk menaklukkan wilayah Jawa bagian barat dan menyebarkan Islam di wilayah tersebut.

Baca juga:

  • Sejarah Raden Patah: Putra Majapahit Pendiri Kerajaan Islam Demak
  • Sejarah Keruntuhan Kerajaan Demak: Penyebab dan Latar Belakang
  • Sejarah Kesultanan Demak: Kerajaan Islam Pertama di Jawa

Pengaruh Islam di Nusantara dalam Bidang Ekonomi

Nusantara dikenal memiliki beragam julukan tentang kekayaan alamnya. Contohnya, Yawadwipa yang berarti Pulau Jelai, istilah untuk menyebut Pulau Jawa dengan kekayaan hasil buminya. Nusantara juga populer dengan julukan kepulauan emas atau perak (Argyre) karena menjadi salah satu penghasil logam mulia.

Kekayaan alam yang melimpah dan wilayah yang luas mendorong sejumlah pedagang Islam dari Cina, India, Arab, dan berbagai belahan dunia lainnya melakukan transaksi dagang di pelabuhan-pelabuhan Nusantara.

Penyebarluasan Islam melalui jalur perdagangan menyebabkan munculnya kota-kota pelabuhan di pantai timur dan barat Sumatera serta pantai utara Jawa.

Baca juga:

  • Sejarah Kesultanan Islam Kutai Kartanegara Gabung NKRI
  • Sejarah Kesultanan Gowa Tallo & Masa Kejayaan Sultan Hasanuddin
  • Sejarah Kesultanan Bima: Peninggalan Kerajaan & Silsilah Raja-raja

Kota pelabuhan perlahan menjadi makin besar dan berubah menjadi perkampungan. Akibatnya, komoditas yang diperlukan untuk menghidupi populasi pun bertambah.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sejumlah daerah di Pulau Jawa yang mengekspor hasil bumi dari pedalaman ke wilayah lain di Nusantara.

Di antara berbagai kota pelabuhan tersebut, ada pula yang berkembang menjadi wilayah kerajaan seperti yang terjadi di kawasan Banten, Cirebon, Demak, Aceh, Ternate. Kerajaan-kerajaan ini muncul sebagai efek atas tingginya aktivitas ekspor dan penguasaan sumber daya di wilayah daratan.

Baca juga:

  • Sejarah Kesultanan Ternate: Kerajaan Islam Tertua di Maluku Utara
  • Sejarah Isi Deklarasi Djuanda: Tujuan, Tokoh, Hasil, & Dampaknya
  • Sejarah Awal Kejayaan Kesultanan Banten Era Maulana Hasanuddin

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Fatimatuzzahro
(tirto.id - zhr/isw)


Penulis: Fatimatuzzahro
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Fatimatuzzahro

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA