Jelaskan manfaat Mempelajari latar belakang munculnya ilmu kalam


SEJARAH yang melatarbelakangi munculnya persoalan-persoalan kalam sebenarnya disebabkan faktor-faktor politik setelah khalifah Usman bin Affan terbunuh. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam ini sering dinamakan al-Fittan al-Kubra yang merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat dan agama Islam di berbagai bidang, khususnya bidang politik, sosial, dan paham keagamaan. Persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan tidak kafir atau siapa yang keluar dan tetap Islam.

Sejarah perkembangan ilmu kalam sebetulnya sudah dimulai sejak perkembangnya peradaban manusia pertama pada masa pra sejarah, sejarah, animisme, dan dinamisme atau sejak pencarian manusia akan tuhannya.

Menurut Tengku Muhammad As-Shidiqy dalam bukunya Pengantar Ilmu Kalam, istilah ilmu kalam baru dikelal pada masa Bani Abbasiyah, sesudah terjadi banyak perdebatan pertukaran pikiran serta bencampur dengan masalah-masalah tauhid dan filsafat, seperti membicarakan materi, susunan tubuh, hukum-hukum zat, dan lain-lain. Dari situlah lahir suatu ilmu yang berdiri sendiri diantara ilmu-ilmu lain yang dinamakan dengan ilmu kalam.

Dalam sejarah masuknya ilmu kalam terdapat dua aliran pokok, yaitu aliran rasional dan aliran tradisional. Aliran rasional dicetus oleh kaum muktazilah dengan tokohnya Abu Huzhil al-Allaf, an-Nazzan, Muamar bi Abbad, al-Jahiz Abu Usman bin Bahhar, dan al-Jubba’i. Tokoh-tokoh muktazilah ini telah mempelajari dan memanfaatkan filsafat untuk menangkis argumen-argumen filosof yang dikemukakan oleh lawan mereka. 

Menurut aliran muktazilah, akal dapat mengetahui adanya Allah, kewajiban berterima kasih kepada Allah, perbedaan antara yang baik dan yang jahat, serta kewajiban manusia untuk melakukan kewajiban manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejelekan. Dengan demikian, akal dalam aliran ini menempati kedudukan paling tinggi.

Di pihak lain, aliran tradisoanal tidak memberikan kedudukan dan kemampuan terhadap akal karena sebelum lahirnya agama, kemampuan akal hanya terbatas mengetahui adanya Allah. Adapun untuk mengetahui setelah itu, di luar kemempuan akal. Kaum Asy’ariyah termasuk aliran yang mempelopori aliran tradisional dengan tokoh-tokohnya, antara lain al-Baqilani, al-Juwaini, dan al-Ghazali.

Banyak pendapat mengatakan bahwa munculnya aliran-aliran kalam banyak dipengaruhi oleh permasalahan-permasalahan politik dan historis. Sebagian lagi berpendapat bahwa pertumbuhan aliran ilmu kalam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor dari al-Qu’ran dan pemahaman terhadap isi al-Qur’an, dari umat Islam sendiri dan kebudayaan asing, serta agama-agama selain Islam. Beberapa faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian:

Faktor Internal

Perbedaan pemahaman ayat al-Qur’an

Pemahaman terhadap al-qur’an menimbulkan banyak pendapat yang berbeda yang senantiasa mengajak untuk berfikir terus. Tuntunan pikiran itulah yang menyebabkan umat islam pada saat itu menentukan sesuatu dengan pikirannya, tanpa mengembalikan hasil pemikirannya pada al-quran sehingga menimbulkan perpecahan di antara umat Islam.

Keberadaan dalam memahami Al-Qur’an diantara para pemimpin mengakibatkan mereka beristinbat atau mengambil keputusan dengan pemahaman-pemahaman masing- masing. Sementara, di dalam al-qur’an banyak terdapat ayat mutasyabih (ayat-ayat yang masih membutuhkan penafsiran).

Penyerapan hadist yang berbeda

Dalam menerima hadist atau berita, para sahabat menerimanya dari aspek matan. Ada yang di sebut hadist Riwayah (asli dari Rasulullah), dirayah (redaksinya disusun oleh para sahabat), dan ada pila yang di pengaruhi oleh Israiliyah, yaitu hadist yang disusun oleh orang-orang Yahudi dengan tujuan mengacaukan Islam.

Persoalan politik

Masalah-masalah politik dan perselisihan pendapat di antara sesame muslim mengakibatkan munculnya banyak aliran. Puncak perselisihan umat terjadi pada peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan. Sejak peristiwa itu umat islam mulai berani berpendapat tentang soal-soal agama, membuat pendapat dan mengemukakan alasan yang di buat demi mempertahankan pendapatnya.

Pada masa itu, mulai terjadi banyak pemberontakan demi mempertahankan pendapat yang mereka miliki. Perang jamal dan Perang Siffin sebagai contoh pemberontakan yang di latarbelakangi oleh permasalahan politik.

Adanya kepentingan kelompok dan golongan

Kepentingan kelompok atau golongan pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran. Khawarij dan syiah merupakan dua aliran yang memiliki kepentingan dalam kelompoknya masing-masing. Kedua aliran tersebut sama-sama memiliki pedoman tersendiri yang berasal dari al-Quran dan Hadist.

Mereka menggunakan dalil al-Qur’an dan hadist sesuai dengan pemahaman sendiri untuk mempertahankan kelompok mereka yang tentu saja untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Demi kepentingan kelompok , mereka membuat aliran baru, dan demi kepentingan kelompok juga, mereka berusaha mempertahankannya dengan berbagai cara. 

Ingkar terhadap ajaran agama

Banyaknya orang yang mengingkari ajaran agamanya, padahal al-qur’an membantah pendirian orang-orang musyrikin yang mengingkari agamanya.

Adanya pemahaman yang berbeda

Perbedaan ini terdapat dalam memahami ayat al-qur’an sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran. Contoh: berapa ayat dalam al-qur’an yang mengharuskan kaum muslimin mengembangkan agama dan pembelaannya. Kita tidak boleh hanya memeluk agama islam dan mengimani segala aturannya tanpa berusaha mengerjakan apa yang dapat di lakukan untuk mengembangkan agama dan megukuhkannya di dalam jiwa manusia.

Karena pemahaman terhadap ayat Al-qur’an berbeda, tiap-tiap kelompok menginginkan menjadi kelompok yang mengamalkan amal ma’ruf nahi munkar dan menjadi kelompok yang terbaik yang memperoleh kemenangan.

Hidup mewah

Kemenangan kemenangan yang diperoleh umat Islam dalam peperangan dan kemewahan hidup menyebabkan mereka merasa bebas menentukan dan membahas masalah masalah agama secara filosofis dan tidak membatasi diri pada hal hal yang bersifat lahiriah. Diantara permasalahan yang sering dibahas adalah akidah. 

Faktor Eksternal

Pengaruh dari luar agama Islam.

Sebelum kota Makkah ditaklukan, masyarakat sudah memiliki agama sendiri dan terbiasa melaksanakan aturan agamanya. Setelah merasa aman dan terbebas dari kekangan umat islam, mereka mulai mengkaji ulang akidah agama-agama mereka yang dulu mengembangkannya dalam akidah Islam. Mereka memasukan ajaran akidah mereka ke dalam ajaran agama islam.

Karena percampuran agama itulah maka ada beberapa aliran yang memiliki doktrin menyimpang dari ajaran islam, seperti doktrin tanasukh (reinkarnasi). Di dalam ajaran islam tidak ada ajaran tentang reinkarnasi, yaitu seseorang yang telah meninggal dunia akan terlahir kembali melalui jasad orang lain atau melalui makhlik hidup yang lain.

Ada juga paham yang memasukan system ketuhanan al-Masih (berasal dari agama nasrani), menjadi ketuhanan Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan dan Husen, serta mengatakan mereka berlima adalah satu. Ruh yang ada dalam diri mereka adalah sama. Padahal al-Quran dengan tegas membantah kenyakinan yang seperti itu.

Kelompok Islam yang ingin membela Islam

Aliran Muktazilah berpendapat bahwa mereka tidak dapat menunaikan kewajiban sebagaimana mestinya, melainkah dengan cara mengetahui dan memahami akidah yang di anut oleh pihak lawan, dengan alasan agar mereka dapat menyusun jawaban dalam debat tentang akidah dengan pihak lawan. Karena pendapat mereka itulah maka semakin luas pemahaman umat islam terhadap agama dan ajaran-ajaran agama lain di luar islam. Hal tersebut mengakibatkan bermunculan pendapat tentang tauhid.

Pengaruh fiisafat Yunani.

Umat Islam bertemu lawan-lawan yang mengguanakan filsafat yang berakidah. Untuk menghadapi mereka, umat Islam pun mempelajari filsafat, yakni filsafat Yunani. Mereka memasukan filsafat (hal-hal yang dianggap dapat menjadi alat untuk mempertahankan akidah) ke dalam ilmu-ilmu tauhid. Oleh karena itu, kitab-kitab yang berkembang sekarang, ada yang membahas tentang jauhar, arad, tawalud (beranak pinak), padahal semua itu inti dari filsafat Yunani. Dengan demikian, ilmu tauhid terus berkembang dan bertambah luas pembahasannya serta bermacam-macam dimensinya. 

(A.M)

tirto.id - Kemunculan Ilmu Kalam dalam Islam berawal dari peristiwa tahkim atau arbitrase antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perseteruan politik ini tidak hanya memecah belah Islam dalam perkara pemerintahan, namun juga bergeser ke penafsiran teks agama yang melahirkan disiplin Ilmu Kalam.

Secara definitif, Ilmu Kalam adalah ilmu yang mempelajari masalah ketuhanan atau akidah. Padanan kata populernya adalah teologi Islam. Harun Nasution dalam buku Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (1987) menuliskan bahwa Ilmu Kalam adalah “ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya, kenabian, alam, dan hubungan Tuhan dengan makhluk-makhluknya".

Di masa kenabian, tidak ada perdebatan mengenai perkara akidah dan ketuhanan. Nabi Muhammad merupakan rujukan tunggal. Orang-orang yang berselisih mendatangi beliau SAW untuk mencari pencerahan sehingga tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai perkara ketuhanan.

Selain itu, Nabi Muhammad juga sempat melarang sahabatnya bertanya mengenai qadar yang nantinya menjadi kontroversi di kalangan ahli Ilmu Kalam. Selepas wafatnya Rasulullah, barulah aliran pemikiran Islam bermunculan.

Ilmu Kalam kemudian lahir ketika terjadi perseteruan politik di masa Ali bin Abi Talib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sebenarnya, embrionya sudah tampak di masa kekhalifahan Usman bin Affan. Di masa itu, orang-orang yang memiliki paham seragam saling berdiskusi membincangkan pemikiran mereka. Lantas, ketika terjadi peristiwa arbitrase, mereka muncul mengungkapkan pandangan mereka masing-masing dan menentukan sikap terhadap Ali dan Muawiyah.

Peristiwa arbitrase itu terjadi pada perang Shifin pada 657 M, pertempuran antara kubu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Perang ini merupakan serangan Ali terhadap Muawiyah yang tidak mau tunduk kepada pemerintahan Kekhalifahan Rasyidin.

Karena kekuatan tempur dan strategi perang kedua belah pihak yang nyaris setara, diajukanlah arbitrase untuk mengurangi jumlah korban yang berjatuhan. Arbitrase ini adalah upaya penyelesaian perseteruan politik antara Ali dan Muawiyah dengan melibatkan pihak ketiga yang diharapkan dapat memberikan keputusan netral.

Pihak ketiga untuk merundingkan seteru politik itu adalah Amr bin Ash dari kubu Muawiyah dan Abu Musa Al-Asyari dari kubu Ali bin Abi Thalib. Setelah perundingan itu, Abu Musa Al-Asyari kemudian menyampaikan hasil arbitrase sebagai berikut.

“Setelah kami mengadakan pembahasan, kami tidak menemukan jalan keluar yang lebih baik untuk mengatasi kemelut ini, selain mengambil langkah demi kebaikan kita semua, yaitu kami sudah sama-sama sepakat untuk memecat Ali dan Muawiyah dan selanjutnya kita kembalikan kepada Majelis Syura di antara kaum muslimin sendiri," sampaikan Abu Musa Al-Asyari, sebagaimana dikutip dari buku Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam (2014) yang ditulis Yunan Yusuf.

Keputusan tahkim ini pun langsung diingkari oleh kubu Muawiyah, yang diikuti dengan kubu Ali bin Abi Thalib. Jejak politik ini rupanya bergeser ke penafsiran agama yang menjadi titik tolak lahirnya tiga aliran Ilmu Kalam dalam Islam sebagai berikut, sebagaimana dikutip dari Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf yang ditulis Ahmad Zaini.

1. Aliran Khawarij yang menolak tahkim atau arbitrase sepenuhnya, serta menanggap bahwa orang-orang yang menyetujui tahkim telah melanggar hukum Islam. Orang yang melanggar hukum Islam telah berdosa besar.

Selanjutnya, orang-orang yang melakukan dosa besar tergolong sudah murtad dan keluar dari Islam, serta darahnya halal ditumpahkan. Karena itulah, mereka berencana membunuh empat pentolan pelaku tahkim, yaitu Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asyari. Namun, yang berhasil dibunuh hanya Ali bin Abi Thalib.

2. Aliran Murjiah yang menyatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan tidak kafir. Perkara dosa diserahkan kepada Allah SWT, terserah Dia mengampuni atau memasukkan pelakunya ke dalam neraka.

3. Aliran Mu'tazilah yang menolak dua pendapat di atas. Bagi aliran Mu'tazilah, orang berdosa besar tidak bisa dianggap kafir, tidak juga orang mukmin. Pendosa besar berada di posisi antara Islam dan kafir. Penegasan posisi inilah yang menjadi penamaan Mu'tazilah, yang dalam bahasa Arab kesohor dengan sebutan al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).

Setelah ketiga aliran di atas, muncul lagi aliran Ilmu Kalam yang terkenal, yaitu Qadariyah dan Jabariah, kemudian Asyariah, Maturidiyah, dan lain sebagainya.

Menurut aliran Qadariyah, manusia memiliki kehendak bebas (free will) dan kebebasan menentukan perbuatannya. Sebaliknya, Jabariah menganggap bahwa manusia ibarat hanya wayang yang digerakkan oleh dalang; tidak memiliki kehendak bebas (fatalisme) dan tidak memiliki kebebasan menentukan perbuatannya.

Dalam perkembangannya, aliran Ilmu Kalam mengadopsi prinsip-prinsip filsafat Yunani untuk memahami akidah Islam. Namun, ahli Ilmu Kalam (Mutakallim) tidak pernah keluar dari koridor Islam dan tetap memosisikan wahyu, yaitu Al-Quran dan hadis sebagai sumber primernya.

Baca juga:

  • Syafii Maarif Minta Pemerintah Waspadai Teologi Maut
  • Tiga Makna Zakat yang Dilupakan: Teologis, Kemanusiaan dan Sosial

Baca juga artikel terkait ILMU KALAM atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/ylk)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Yulaika Ramadhani
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA