Harta pusako tinggi dapat didefinisikan sebagai harta yang telah diwarisi secara turun-temurun oleh sebuah kaum. Adapun jika dilihat dari dimensi wujudnya, maka harta tersebut terbagi dua, yaitu konkrit dan abstrak. Harta konkrit bersifat nyata secara wujud, seperti tanah, sawah, peladangan, rumah, dsb. Sementara itu, harta pusako yang berwujud abstrak yaitu salah satunya berupa gelar pusaka, atau lebih dikenal dalam bahasa minangnya sebagai sako. Jika dianalisa dari garis asal harta pusako ini, maka dapat ditemukan bahwa harta ini sebagai salah satu wujud material yang bersifat dijaga dan dipelihara secara berkelanjutan, berkaitan langsung dengan titik temu asalnya yaitu dari hasil usaha dan kerja nenek moyang kaum tersebut dahulu dijadikan lahan pertanian, perumahan, dan persawahan. Dengan bermodalkan peralatan sederhana dan jenis pekerjaan yang masih bersifat rendah tingkat kompleksitasnya, maka tentulah perjuangan dalam menjaga dan memelihara kemurnian serta keberdayaan garis dari berbagai wujud harta pusako merupakan suatu tantangan yang sangat berat dan hal yang sangat sukar.
Sistematika pembagian dari harta pusako adalah pengambilan garis matrilineal (pihak ibu/perempuan). Maka yang berhak atas harta pusako tinggi adalah orang-orang yang segaris keturunan atau disebut juga orang yang sekaum seketurunan, dengan kata lain harta pusako tinggi menjadi hak bersama dalam pepatah minangnya. Kaum yang menerima waris pusako tinggi, secara bersama-sama punya kewajiban untuk menjaga, melestarikan, serta mengolah harta pusako tinggi yang diterima. Sedangkan kewenangan untuk mengatur penggunaan harta pusako tinggi dipegang oleh kaum wanita yang tertua.
Di bawah pengawasan mamak penghulu kaum dan wanita tertua dalam kaum tersebut, diharapkan pusako tinggi bermanfaat untuk seluruh anggota kaum mereka. Karena menurut pituah adat Minangkabau, harta pusako tinggi ini berarti kok tajua indak dimakan bali, gadai indak dimakan sando. Maksudnya, harta pusako tinggi bila terjual tidak bisa dibeli, digadaikan tidak bisa dijadikan sando karena harta pusako tinggi menjadi milik bersama. Walaupun pituah adat melarang untuk menjual atau menggadaikan harta pusako, namun terdapat juga pengecualian. Harta pusako tinggi dapat juga dijual atau digadaikan jika terjadi empat penyebab, sehingga pihak kaum penerima waris "terpaksa" menjual atau menggadaikan harta pusako tinggi, yaitu apabila terjadi :
· Mayat terbujur di tengah rumah
· Anak perempuan tak jua bersuami
· Rumah gadang yang harus direnovasi
· Memperbaiki perekonomian
Penggarapan atau pengelolaan harta pusako tinggi dapat dilakukan dengan cara dikerjakan bersama-sama, kemudian hasilnya juga dibagi bersama ataupun dibagi rata, maupun dengan cara bergiliran. Hal ini semuanya diatur oleh pihak ibu/perempuan tertua dalam kaum dan mamak penghulu kaum dan disepakati bersama anggota kaum. Sedangkan untuk masa pemakaiannya ditentukan berdasarkan mufakat sesuai dengan pituah adat.
Sumber :
//dodirullyandapgsd.blogspot.com/2015/06/harta-pusako-tinggi-di-minangkabau.html, dengan pengubahan
#OSKMITB2018
10 Dec 2019, 06:34 WIB - Oleh: Rivki Maulana dan Rayful Mudassir
Bisnis/Foto/foto: Arief Hermawan P. Foto aerial pembangunan jalan tol Padang-Sicincin, Rabu (4/12/2019) terlihat mandek karena terkendala pembebasan lahan.
Bisnis.com, PADANG PARIAMAN — Menjual tanah pusaka adalah tindakan tabu di kalangan masyarakat Minangkabau. Konon, jika melego lahan kepada tetangga, malunya bukan main! Tidak ada kebanggaan bagi orang Minang jika menjual harta pusaka.
“Orang di sini malu jual tanah karena ini pusaka,” kata Irwandi saat ditemui Bisnis di Korong Ladang Laweh, Nagari (Desa) Sicincin, Kecamatan 2x11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat, Selasa (3/12/2019).
Irwandi adalah Wali Korong Ladang Laweh. Jika di daerah lain, wali korong lebih dikenal dengan istilah ketua rukun tetangga (RT). Dia menjadi penyambung lidah warga sekitar, termasuk urusan soal tanah.
Isu tentang pembebasan lahan merebak di wilayah itu setelah adanya proyek pengerjaan jalan tol Padang—Pekanbaru ruas Padang—Sicincin sejauh 30,4 kilometer.
Korong Ladang Laweh, menurutnya, akan menjadi salah satu kawasan yang dilintasi jalur tol tersebut.
Ada istilah harato pusako dalam adat masyarakat Minangkabau. Harato pusako atau harta pusaka ini dibagi dua yaitu harato pusako tinggi dan harato pusako rendah. Keduanya memiliki makna berbeda.
Harta pusaka tinggi diartikan sebagai harta yang dimiliki oleh keluarga dari pihak ibu atau perempuan. Dari harta tersebut, mereka diberi hak pengelolaan, bukan kepemilikan. Hasil dari hak pakai itu kemudian dibagi rata sesuai dengan jumlah kerabat dalam satu keluarga.
Harta pusaka tinggi diawasi oleh seorang pemuka adat. Masyarakat Minang menyebutnya ninik mamak. Sosok itulah yang menentukan bagaimana pengelolaan hak pakai tanah. Sesuatu apa pun tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan dari ninik mamak, termasuk soal menjual tanah.
“Jadi, kalau tidak seizin ninik mamak, tidak boleh dijual [oleh kerabat],” kata Gusni Salman, warga lainnya.
Baca Juga : PROYEK TOL PADANGSICINCIN : PUPR Pastikan Pemindahan Trase
Berbeda dengan harta pusaka tinggi, harta pusaka rendah adalah harta yang diperoleh dari jerih payah keluarga, baik ayah maupun ibu. Harta itu diperoleh melalui transaksi jual beli. Karena harta tersebut dapat diperjualbelikan, umumnya harta pusaka rendah dibuatkan sertifikat, misalnya, tanah.
Meski memiliki pengertian berbeda, harta pusaka tetap menyimpan artian khusus. Menjual tanah pusaka bukan kebiasaan masyarakat Minang. Apalagi alasan jual adalah untuk bermewah-mewahan.
“Bisa jadi cemoohan [jika menjual tanah ke tetangga untuk membeli harta bergerak seperti kendaraan]. ‘Oh, hasil jual tanah toh’. Tabu kalau jual tanah ke sesama warga!” kata Irwandi lagi.
Sebagai masyarakat yang menganut sistem adat matrilineal, masyarakat Minang memberi kekuasaan lebih kepada kaum perempuan. Termasuk soal tanah. Harta tersebut diyakini sebagai sebuah keamanan sosial bagi perempuan.
Ahli hukum agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas Kurnia Warman menyebut bahwa istilah matrilineal juga berarti matrilokal. Artinya, perempuan yang sudah menikah mesti membangun basis keluarga di ranah lokal.
“Jadi, perempuan Minang itu wajib punya tanah karena dia menjadikan lokalnya sebagai basis keluarganya. Kalau dia tidak punya tanah, maka nasib yang menyedihkanlah bagi orang Minang. Kecuali kalau dia tinggal tidak di komunitasnya,” tuturnya.
Dalam adat Minangkabau, perempuan dinilai sebagai pihak yang paling rentan di lingkungan sosial masyarakat. Apalagi jika menjual tanah pusaka.
Kendati demikian, Kurnia tidak setuju dengan anggapan bahwa tanah pusaka menjadi penyebab mandeknya pengerjaan proyek jalan tol Padang—Sicincin.
Menurutnya, rencana pembangunan jalan tol bakal mengubah peta geografis suatu wilayah, seperti memotong akses masyarakat di seberang jalur tol.
“Kalau masyarakat menuntut ganti kerugian yang tinggi, itu karena tanahnya yang dijadikan jalan tol itu amat sepadan dengan kerugian yang dideritanya,” kata Kurnia.
Kendati begitu, tanah pusaka bukan tidak boleh dijual. Umumnya, tanah pusaka dapat dilego dengan tiga alasan; yaitu mayat terbujur di tengah rumah gadang, ketiadaan biaya saat seorang anak perempuan akan menikah, dan saat rumah gadang rusak.
Warga pun tidak mempermasalahkan adanya pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol. Dari penelururan Bisnis di Kota Padang dan sejumlah wilayah di Kabupaten Padang Pariaman dapat disimpulkan sebenarnya mereka sepakat merelakan tanah pusaka digunakan demi kepentingan umum. Namun, persoalan harga dinilai menjadi kendala.
Masyarakat hanya meminta kejelasan terkait dengan harga tanah yang dinilai oleh tim penilai (appraisal). Kekhawatiran warga terdengar setelah mereka mengetahui harga tanah di titik pintu tol yaitu di Kasang, dibayar murah.
“Intinya kami setuju kalau harga cocok. Kami takut ini jebakan saja [membiarkan pembangunan tol tanpa pembayaran di muka],” tutur Irwandi.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini :
18 Dengan demikian, harta pusaka disamping berfungsi sebagai pemersatu, sekaligus juga berpotensi sebagai penyebab pemecah belah. Ketentuan adat mengenai barang sako dan harato pusako sebagai berikut: Hak bapunyo, Harato bamiliek hak berpunya, harta bermilik. Pusako sebagai harta mempunyai empat fungsi utama dalam masyarakat adat Minangkabau sebagai berikut: 1. Sebagai menghargai jerih payah nenek moyang yang telah “mancancang malateh, menambang dan menaruko” mulai dari niniek-niniek zaman dahulu sampai ka mande kita sekarang. 2. Sebagai lambang ikatan kaum yang bertali darah dan supaya tali darah jangan putus, kait-kait jangan sekah pecah, sehingga pusaka ini menjadi harta sumpah satie setia sehingga barang siapa yang melanggar akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya. 3. Sebagai jaminan kehidupan kaum yang sejak dahulu hingga sekarang masih terikat pada tanah kehidupan agraris 4. Sebagai lambang kehidupan sosial, sesuai kata pepatah adat: “Dek ameh sagalo kameh dengan emas segala beres Dek padi sagalo jadi dengan padi semua jadi Hilang rono dek panyakik hilang warna karena penyakit Hilang bangso tak barameh ” hilang bangsa tak beremas 12 . Harta pusako terbagi dua sebagai berikut: