Fungsi vitamin pada kombinasi obat tb adalah untuk mencegah terjadinya

• 2HRZ/4H3R3

• 2HRZ/4HR

• 2HRZ/6HE

Dengan keterangan yang menunjukan:

H = Isoniazid, R = Rifampisin, Z = Pirazinamid, E = Etambutol, S = Streptomisin

Sementara angka dalam kode menunjukkan waktu dan frekuensi. Angka yang terdapat di depan menunjukan durasi konsumsi, misalnya pada 2HRZES, artinya digunakan selama 2 bulan setiap hari. Sementara itu, angka di belakang huruf menandakan berapa kali pemakaian obat, seperti dalam 4H3R3 berarti 3 kali pemakaian dalam seminggu selama 4 bulan.

Saat berkonsultasi, dokter biasanya akan memberikan panduan mengenai aturan penggunaan kombipak ini.

OAT-KDT

Sementara itu, OAT-KDT atau dalam istilah umumnya adalah Fix Dose Combination (FDC) merupakan campuran 2-4 obat anti-TBC yang telah dimasukkan ke dalam satu tablet.

Penggunaan obat ini sangat menguntungkan karena bisa menghindari risiko kesalahan peresepan dosis dan memudahkan pasien mematuhi aturan pengobatan. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit, pasien pun jadi lebih mudah mengelola dan mengingat pemakaian obat.

Terdapat juga jenis obat tuberkulosis sisipan yang diberikan setiap hari selama satu bulan jika pada akhir tahap intensif pasien kategori I dan pasien pengobatan ulang (kategori II) menunjukan BTA positif.

Jika Anda memiliki TBC laten yaitu kondisi di mana tubuh Anda telah terinfeksi bakteri M. tuberculosis, tapi bakteri tidak aktif memperbanyak diri, Anda juga perlu mendapatkan obat TBC meskipun tidak menunjukkan gejala TB paru aktif. Biasanya, TBC laten akan ditangani dengan kombinasi obat rifampicin dan isoniazid selama 3 bulan.

Obat lini kedua untuk TB resistan obat

Saat ini, semakin banyak bakteri yang kebal terhadap obat TBC lini pertama. Resistansi bisa disebabkan oleh pengobatan yang terputus, jadwal minum obat yang tidak teratur, atau sifat bakteri yang resistan terhadap jenis antibiotik tertentu.

Kondisi tersebut dikenal dengan TB MDR (Multidrug Resistance). Biasanya, bakteri penyebab TBC resisten terhadap dua jenis obat TB, yaitu rifampicin dan isoniazid.

Orang dengan TB MDR akan menjalani pengobatan TBC menggunakan obat lini kedua. Pada studi berjudul Tuberculosis Treatment and Drug Regimens, penggunaan obat yang dianjurkan WHO untuk pasien tuberkulosis resistan obat, yakni:

  • Pyrazinamide
  • Amikacin bisa diganti dengan kanamycin
  • Ethionamide atau prothionamide
  • Cycloserine atau PAS

Beberapa obat TB lini kedua lainnya yang juga diperbolehkan oleh WHO adalah:

  • Capreomycin
  • Para-aminosalicylic acid (PAS)
  • Ciprofloxacin
  • Ofloxacin
  • Levofloxacin

Pasien TB resistan obat juga harus mengulang kembali tahap pengobatan TBC dari awal sehingga secara total memerlukan lebih panjang, yaitu minimal 8-12 bulan, kemungkinan buruknya bisa sampai 24 bulan. Efek samping pengobatan pun bisa lebih berat.

Mengapa pengobatan TBC memerlukan waktu lama?

Bakteri penyebab TBC, Mycobacterium tuberculosis (MTB), adalah jenis bakteri yang tahan terhadap kondisi lingkungan yang asam. Begitu masuk ke dalam tubuh, bakteri ini bisa “tertidur” lama alias berada di fase dorman. Artinya, berada di tubuh, tapi tidak berkembang biak.

Kebanyakan jenis antibiotik, termasuk yang digunakan sebagai obat TBC, hanya berfungsi membunuh bakteri saat berada di fase aktif. Padahal, pada kasus penyakit tuberkulosis aktif, terdapat juga bakteri yang berada dalam fase dorman (nonaktif).

Dalam studi berjudul Why Is Long-Term Therapy Required to Cure Tuberculosis? juga disebutkan terdapat dua tipe resistansi yang bisa dimiliki MTB ini, yaitu fenotipe (dipengaruhi lingkungan) dan genotipe (faktor genetik).

Studi tersebut menyebutkan bahwa jumlah bakteri yang berlimpah akan meningkatkan peluang tejadinya resistansi obat secara fenotipe. Alhasil, beberapa bakteri bisa resistan terhadap beberapa jenis antibiotik dalam satu periode pengobatan yang sama. Hal itu membuat bakteri yang mungkin resistan harus tetap diobati. Itulah yang menyebabkan durasi pengobatan TBC memakan waktu yang lebih lama.

Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru karyanti 2022-02-10T21:54:06+07:00 2022-02-10T21:54:06+07:00

Penatalaksanaan tuberkulosis paru atau TBC paru dilakukan dengan pemberian obat antituberkulosis atau OAT, misalnya isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Kombinasi obat-obat ini dikonsumsi secara teratur dan diberikan dalam jangka waktu yang tepat meliputi tahap awal dan tahap lanjutan.[8,17]

Artikel ini akan membahas penatalaksanaan tuberkulosis pada orang dewasa. Terapi tuberkulosis untuk anak-anak dapat ditinjau di artikel tuberkulosis paru anak.

Medikamentosa Tuberkulosis Paru Aktif

Pada tahap awal (fase intensif), obat diberikan tiap hari selama 2 bulan, yakni berupa kombinasi isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Lalu, pada tahap lanjutan, obat diberikan tiap hari selama 4 bulan, yakni berupa isoniazid dan rifampisin.

Pengobatan fase lanjutan juga dapat diberikan dalam waktu 7 bulan, terutama untuk kelompok pasien dengan TB paru resisten obat, pasien dengan kultur sputum yang tetap positif setelah pengobatan fase intensif 2 bulan, dan pasien dengan HIV yang tidak mendapatkan obat antiretroviral (ARV).

Vitamin B6 juga umum diberikan bersama dengan isoniazid untuk mencegah kerusakan saraf (neuropati). Streptomisin merupakan antibiotik bakterisidal yang memengaruhi sintesis polipeptida. Streptomisin sering kali tidak termasuk dalam regimen obat TB paru lini pertama dikarenakan tingkat resistensinya yang cukup tinggi.

Dosis OAT lini pertama untuk dewasa adalah isoniazid 5 mg/kgBB (dosis maksimal 300 mg/hari), rifampisin 10 mg/kgBB (dosis maksimal 600 mg), pirazinamid 25 mg/kgBB, dan etambutol 15 mg/kgBB. Streptomisin juga dapat diberikan dengan dosis sebesar 15 mg/kgBB.[1,2,8,15,17,18]

Medikamentosa Tuberkulosis Paru yang Resisten

TB paru yang resisten obat disebabkan oleh bakteri tuberkulosis yang resisten terhadap minimal satu regimen obat lini pertama tuberkulosis. Multidrug-resistant TB (MDR-TB) adalah kasus TB yang resisten terhadap >1 OAT, yang meliputi isoniazid dan rifampisin.

Extensively drug-resistant TB (XDR-TB) adalah tipe MDR-TB yang ditandai dengan resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin, fluorokuinolon apa pun, dan minimal satu dari tiga obat injeksi lini kedua (amikacin, kanamisin, dan lainnya).

Durasi total pengobatan dapat dilakukan dalam waktu 9–11 bulan, di mana durasi tahap intensif adalah 4–6 bulan dan durasi tahap lanjutan adalah 5 bulan.

TB paru yang resisten terhadap isoniazid (dengan atau tanpa resistensi streptomisin) dapat diterapi dengan rifampisin, pirazinamid, dan etambutol selama 6 bulan. Terapi dapat diperpanjang hingga 9 bulan bila kultur sputum tetap positif setelah 2 bulan.

TB paru yang resisten terhadap rifampisin dapat diberikan isoniazid, flurokuinolon, dan etambutol selama 12–18 bulan, yang disertai dengan pirazinamid selama 2 bulan pertama.[2,15,18]

Evaluasi Terapi Tuberkulosis Paru Aktif

Pasien dalam terapi TB paru perlu menjalani evaluasi berkala untuk menilai respons terhadap terapi OAT. Pemeriksaan sputum basil tahan asam (BTA) dilakukan pada akhir fase intensif. Sputum BTA yang positif pada akhir fase intensif dapat mengindikasikan dosis OAT yang kurang, kepatuhan minum obat yang buruk, adanya komorbiditas, atau adanya resistensi terhadap obat lini pertama.

Pemeriksaan sputum BTA dilakukan kembali pada akhir pengobatan TB. Jika sputum menunjukkan hasil positif, pengobatan bisa dikatakan gagal dan pemeriksaan resistensi obat perlu dilakukan. Pada pasien dengan sputum BTA negatif di akhir fase pengobatan intensif dan akhir fase lanjutan, pemantauan sputum lebih lanjut tidak diperlukan.[2,8]

Terapi Profilaksis pada Tuberkulosis Laten

WHO menyarankan terapi profilaksis pada penderita tuberkulosis laten. Regimen yang direkomendasikan adalah:

  • 6H atau 9H: isoniazid tiap hari selama 6 bulan atau 9 bulan
  • 3HP: isoniazid dengan rifapentin tiap minggu selama 3 bulan
  • 3HR: isoniazid dengan rifampisin tiap hari selama 3 bulan
  • 4R: rifampisin tiap hari selama 4 bulan
  • 1HP: isoniazid dengan rifapentin tiap hari selama 1 bulan
  • H+B6+CPT: isoniazid, vitamin B6, dan kotrimoksazol tiap hari selama 6 bulan khusus untuk orang dengan HIV/AIDS[19]

Penulisan pertama oleh: dr. DrRiawati MMedPH

1. Adigun R, Singh R. Tuberculosis. StatPearls Publishing. 2021. //www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/ 2. Herchline T. Tuberculosis (TB). Medscape. 2020. //emedicine.medscape.com/article/230802-overview#a1 8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Kemenkes RI. 2019 Desember. //yankes.kemkes.go.id/unduh/fileunduhan_1610422577_801904.pdf/43 15. Suárez I, Fünger SM, Kröger S, et al. The Diagnosis and Treatment of Tuberculosis. Deutsches Aerzteblatt International. 2019 Oct 25;116(43). 17. Bansal R, Sharma D, Singh R. Tuberculosis and its treatment: an overview. Mini Reviews in Medicinal Chemistry. 2018 Jan 1;18(1):58-71. 18. CDC. Tuberculosis (TB): Treatment for TB disease. 2016. //www.cdc.gov/tb/topic/treatment/tbdisease.htm

19. World Health Organization. WHO operational handbook on tuberculosis. Module 1: Prevention. WHO. 2020. //www.who.int/publications/i/item/who-operational-handbook-on-tuberculosis-module-1-prevention-tuberculosis-preventive-treatment

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA