Di bawah ini yang merupakan tindakan devide et impera VOC di dalam kesultanan Banten adalah

Keangkuhan orang Belanda ini memicu kemarahan dan sikap anti terhadap sifat kolonialis. VOC bukan saja ingin menguasai perdagangan tetapi juga menerapkan pajak yang tinggi terhadap rakyat Banten.

JAKARTA - Sultan Ageng Tirtayasa merupakan sultan Banten yang ke-VI yang terkenal dan memegang tampuk pemerintahan dari 1651 sampai dengan 1680, selama 30 tahun. Pada masa pemerintahannya bidang politik, perekonomian, perdagangan, pelayaran maupun kebudayaan berkembang maju dengan pesat.

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abdul Ma’ali Ahmad dan Rau Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya.

Ketika ayahnya wafat, ia diangat menjadi Sultan Muda bergelar Pangeran Rau atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasam terletak di Kabupaten Serang. Ia sendiri dimakamkan di Mesjid Banten.

Baca juga: Kisah Sultan Ageng Tirtayasa Melawan VOC dan Putranya, Meninggal di Penjara Bawah Tanah

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651-1683, ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten.

Kemudian Sultan menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan islam terbesar. Di bidang ekonomi, ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi.

Baca juga: Kisah Candi di Lereng Gunung Bromo, Dibangun di Akhir Kerajaan Majapahit

Di bidang Keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat Sultan.

Demikian pula kegigihan dalam menetang Kompeni Belanda. Atas kepahlawanannya dalam perjuangan menentang Kompeni Belanda, maka berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, Sultan Ageng Tirtayasa dianugrahi kehormatan predikat sebagai Pahlawan Nasional.

Pada waktu berkuasanya sultan ini, sering terjadi bentrokan dan peperangan dengan para Kompeni Belanda yang pada waktu itu telah berkuasa di Jakarta.

Baca juga: Raja Majapahit Hayam Wuruk Sering Kunjungi Candi Panataran di Blitar, Apa Keistimewaannya?

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan sekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.

Dengan cara Politik Adu Domba (Devide Et Impera) terutama dilakukan antara Sultan Ageng Tirtayasa yang anti Kompeni dengan puteranya Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) yang pro Kompeni Belanda dapat melumpuhkan kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa.

Baca juga: Kisah Eyang Bintulu Aji, sang Pamomong Wahyu Keraton Mataram

Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya tidak berdaya dan menyingkir ke pedalaman, namun dengan bujukan Sultan Haji, Sultan Ageng Tirtayasa dapat ditangkap kemudian ditahan dan dipenjarakan di Batavia hingga wafatnya pada tahun 1692.

Namun sekalipun Sultan Ageng Tirtayasa sudah wafat, perjuangan melawan Belanda terus berkobar dan dilanjutkan oleh pengikutnya yang setia dengan gigih dan pantang menyerah.

Sejak wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa, maka kesultanan Banten mulai mundur (suram), karena para Sultan berikutnya sudah mulai terpengaruh oleh kompeni Belanda sehingga pemerintahannya mulai labil dan lemah.

Baca juga: Kisah Jenderal Soedirman Jalani Perang Gerilya dengan Satu Paru-Paru

  • #Lipsus HUT ke-76 RI
  • #Belanda
  • #Politik Adu Domba
  • #Sultang Ageng Tirtayasa

tirto.id - Kesultanan Banten pernah dipimpin oleh raja yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M). Pada periode kepemimpinannya tersebut, raja yang dikenal sebagai Pangeran Surya ini pernah melakukan perlawanan terhadap VOC, kongsi dagang Belanda.

Berdasarkan catatan Sardiman dan Amurwani Dwi dalam buku ajar Sejarah Indonesia (2014:74), Banten mempunyai lokasi yang cukup strategis sebagai salah satu pusat perdagangan internasional. Hal ini membuat Belanda yang kala itu dengan organisasi dagang bernama VOC tertarik untuk menguasai Banten.

Mulai 1619, VOC sudah berhasil menguasai dan membangun benteng pertahanan di Batavia (sekarang Jakarta). Pada akhirnya, kedua belah pihak, Banten dan VOC, saling bertikai untuk menjadi pusat dagang internasional.

Pada 1651 M, seorang bernama Pangeran Surya naik menjadi pemimpin Kesultanan Banten bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Situasi konflik yang sudah terjadi dengan VOC sebelumnya kian memanas berkat perlawanan yang dilakukan pemimpin baru ini.

Lantas, bagaimana sejarah perlawanan tersebut?

Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa

Kala menjadi Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa telah melakukan beberapa strategi untuk memulihkan kembali Banten sebagai bandar perdagangan internasional. Dalam Modul Sejarah Indonesia (2020:14), Anik Sulistiyowati menjabarkan beberapa strategi tersebut:

  1. Mengundang para pedagang dari Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis berdagang di Banten.
  2. Meluaskan interaksi dagang dengan bangsa Cina, India, dan Persia.
  3. Mengirim beberapa kapal dengan maksud mengganggu pasukan VOC.
  4. Membuat saluran irigasi sepanjang Sungai Ujung Jawa sampai Pontang yang ditujukan sebagai persiapan suplai perang dan pengairan sawah.

      Rupanya, segala yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut terjadi karena VOC sering menghadang kapal asal Cina yang tengah melakukan perjalanan ke Banten. Dengan semangat mempertahankan kehidupan Banten, Pangeran Surya tidak segan melakukan gangguan balik kepada pihak VOC.

      Di tengah situasi konflik, pada 1671, Sultan Ageng Tirtayasa menitahkan Sultan Haji menjadi orang yang mengurus masalah dalam negeri Banten. Terkait masalah dengan luar negeri, merupakan urusan Sultan Ageng sendiri.

      Akan tetapi, pengangkatan Sultan Haji ini membawa keuntungan kepada VOC. Berkat dukungan VOC, Sultan Haji justru merebut kekuasaan Banten dan menjadi raja di Istana Surosowan pada 1681.

      Sebagai imbal balik dukungannya VOC, Sultan Haji harus menandatangani perjanjian. Isinya, Kesultanan Banten musti memberikan daerah Cirebon kepada VOC, monopoli lada di Banten diambil alih VOC, dan pasukan Banten yang ada di pantai Priangan harus ditarik mundur. Terakhir, VOC meminta 600.000 ringgit jika Banten nantinya mengingkari perjanjian yang telah disebutkan.

      Kelakuan Sultan Haji ini membuat rakyat Banten tidak mengakuinya sebagai pemimpin. Bahkan, rakyat Banten kala itu lebih ingin melakukan perlawanan terhadap Sultan Haji yang disertai VOC.

      Sultan Ageng Tirtayasa beserta rakyat yang mengikuti jalurnya berniat mengambil kembali Kesultanan Banten. Pada 1682, Sultan Haji mulai terdesak oleh serangan pasukan Sultan Ageng dan istana Surosowan pun dikepung.

      Akan tetapi, VOC datang memberikan bantuan kepada Sultan Haji. Pasukan Sultan Ageng pun dipukul mundur kala itu dan pemimpinnya ini dijadikan sebagai buronan. Ia bersama para pengikutnya melarikan diri ke Rangkasbitung dan melakukan perlawanan selama kurang lebih setahun lamanya.

      Pada 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap karena ditipu oleh VOC. Ia ditahan oleh Belanda di penjara daerah Batavia sampai 1692, tepat ketika dirinya menutup usia.

      Baca juga: Sejarah Awal Kejayaan Kesultanan Banten Era Maulana Hasanuddin

      Baca juga artikel terkait KESULTANAN BANTEN atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
      (tirto.id - prd/agu)


      Penulis: Yuda Prinada
      Editor: Agung DH
      Kontributor: Yuda Prinada

      Subscribe for updates Unsubscribe from updates

      Devide et impera adalah cara yang ditempuh Belanda di Indonesia untuk menguasai suatu wilayah. Politik devide et impera diterapkan baik oleh VOC maupun pemerintah kolonial Belanda sendiri. Pada awalnya, VOC datang untuk berdagang. Lama kelamaan muncul jiwa serakah ingin menguasai wilayah tersebut. maka VOC kemudian menuntut penguasa setempat untuk memberikan hak monopoli perdagangan kepada VOC. Keinginan VOC tersebut ditolak oleh penguasa setempat sehingga kemudian VOC berupaya untuk mengganti penguasa tersebut dengan penguasa yang mau bekerjasama dengan VOC.

      VOC mampu menguasai Indonesia pada masa itu disebabkan oleh:

      1. VOC adalah organisasi dagang yang tertib dan para pengurusnya bekerja keras sehingga maju dengan pesat,
      2. banyak kerajaan di Indonesia yang mudah dikuasai VOC karena politik adu domba, dan
      3. para pedagang di Nusantara belum memiliki kesatuan dan persatuan yang kuat.

      Beberapa politik ada domba di Indonesia antara lain:

      Di Kerajaan Banten

      Dalam usahanya menduduki Banten, Belanda memanfaatkan konflik internal kerajaan Banten dengan cara politik adu domba. Antara Sultan Haji, Putra Mahkota Banten, sedang berselisih dengan Sultan Ageng Tirtayasa mengenai pergantian kekuasaan kerajaan. Dalam hal ini VOC memberikan bantuan kepada Sultan Haji untuk melengserkan Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil melengserkan Sultan Ageng Tirtayasa, VOC meminta imbalan berupa perjanjian, yang menyatakan bahwa Banten merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan VOC, dan VOC diijinkan mendirikan benteng. Banten juga harus memutuskan hubungan dengan dengan bangsa-bangsa lain dan memberikan hak monopoli kepada VOC untuk berdagang di Banten. Perjanjian Banten sangat menguntungkan bagi VOC.

      Di Kerajaan Gowa-Tallo (Makassar)

      Di Kerajaan Gowa-Tallo, VOC melakukan politik adu domba antara Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka, raja dari Bone. Bone merupakan salah satu wilayah yang dikuasai oleh Hasanudin. Perlawanan rakyat Bone terhadap Sultan Hasanudin dipimpin oleh Aru Palaka. Aru Palaka kemudian meminta bantuan VOC untuk mengalahkan Sultan Hasanudin. Perang antara kerajaan Makasar dengan kerajaan Bone yang dibantu VOC, berakhir dengan kekalahan kerajaan Makasar. Sultan Hasanudin harus menandatangani Perjanjian Bongaya yang sangat merugikan. Salah satunya adalah VOC berhak melakukan monopoli perdagangan di Sulawesi.

      Di Kerajaan Mataram Islam

      Kerajaan Mataram Islam dibawah kekuasaan Sultan Agung melakukan perlawanan terhadap VOC. Sultan Agung menganggap bahwa VOC akan menghalangi cita-citanya menguasai tanah Jawa. Oleh karena itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia sebanyak dua kali akan tetapi mengalami kegagalan. Sepeninggalnya Sultan Agung, pada zaman Amangkurat I, pengaruh VOC kemudian memasuki istana Kerajaan Mataram Islam. Konflik dalam istana Kerajaan Mataram Islam membuat pengaruh VOC semakin kuat. Puncak dari berbagai konflik yang adalah dengan adanya Perjanjian Gianti dan Perjanjian Salatiga yang membuat Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi kerajaan kecil.

      Untuk materi lebih lengkap tentang PERKEMBANGAN KOLONIALISME DAN IMPERIALISME BARAT DI INDONESIA silahkan kunjungi link youtube berikut ini. Jikalau bermanfaat jangan lupa subscribe, like dan share.. Terimakasih

      Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih

      Video yang berhubungan

      Postingan terbaru

      LIHAT SEMUA