Dalam bidang tauhid Syah Waliyullah berpendapat bahwa kemunduran umat Islam India disebabkan oleh

                                                            B A B III

PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN DI INDIA

A. SYAH WALIYULLAH AL-DAHLAWI 1. PENDAHULUAN

Dalam buku Fuyud al-Haramain (limpahan dua kota susi) dan al-Fatimah, Syah Waliyullah menulis pengalamannya ketika di Makkah, bahwa ia telah menulis laporan tentang memperoleh hubungan spiritual secara langsung dengan Nabi SAW, dan ia telah memperoleh ma’rifat berupa bimbingan langsung dari Nabi. Itulah sebabnya ia diberi gelar Uwaisy dan mengangkat dirinya menjadi Mujaddid (pembaharu)1.

Diantara latar belakang setiap pembaharuan adalah fenomena kemunduran. Karena secara agamis semakin merosotnya peranan agama dalam kehidupan, menyusul mengendornya nilai spiritual bagi masyarakat Islam. Demikian pula ketika terjadi kesalahan yang agak fatal dalam masyarakat yang menyangkut pemahaman terhadap syari’at. Sehingga Syah Waliyullah memberikan sumbangan ide-ide yang bernuansa Islami berdasarkan pada al-Qur’;an dan hadits Nabi SAW. yang telah meberikan hak pada dirinya sehingga menjadi mujtahid mutlak2.

Gambaran pemikiran Syah Waliyullah tentang syari’at Islam di India dijelaskan hampir mirip dengan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir. Menurutnya, kemunduran ummat Islam di India disebabkan karena mereka tidak lagi menggunakan syari’at Islam yang murni. Secara empiris praktek kaum sufi dan tarekat dalam kehidupan agamanya lebih banyak dimasuki budaya local, seperti Hindu dan Budha. Serta kepercayaan animism. kondisi ini menurutnya harus dikembalikan kepada ajaran Islam sebagaimana yang dipraktekkan pada masa Rasulullah dan al-Khulafa’ al-Rasidin.3

Dalam pendahuluan kitab al-Hujjat al Balighah, ia menegaskan bahwa Hadist merupakan dasar bagi semua cabang ilmu agama, sebab menurutnya tidak mungkin mengetahui syari’at tanpa ada riwayat dari

1 Departemen Agama, Ensiklopedi Islam, CV Unda Utama, Jakarta, hal. 185.

2 Muktafi Fahal dan Achmad Amir Aziz, Teologi Islam Modern, Gita Media Press, Surabaya 1999, hal 64

3 Tim penyusun Teks Book IAIN Sunan Ampel, Dirosah Islamiyah: Sejarah dan Peradaban ISlam, CV Anika Bahagia, Surabaya 1995, hal. 155

Nabi SAW. dan tidak mungkin mengetahui riwayat Nabi SAW. tanpa mengetahui bagaimana riwayat itu disampaikan sejak dari Nabi SAW. Sampai hari ini.

Dalam bidang fiqih, Syah Waliyullah melarang taqlid buta. Menurutnya, seseorang itu hanya boleh mengikuti sesuatu yang sudah jelas diketahuinya, sehingga tidak terjadi perselisihan yang tajam. Dengan demikian, dia mampu menjembatani antara kaum Fuqohak, ahli fikih, dan ahli tasawuf, kaum sufi 4.

Disisi lain, ia membahas secara rinci keunggulan akal atas seluruh indra manusia lainnya. Syah Waliyullah mengecam orang-orang yang berpendapat bahwa aturan syari’at tidak mempunyai dasar yang rasional, Dia tidak mau menerima pandangan bahwa syari’at dipatuhi karena semata-mata merupakan perintah ilahi5.

Menurutnya, bahwa kemunduran umat Islam India karena agama yang mereka anut tidak lagi yang murni, tetapi Islam yang sudah bercampur baur dengan faham yang berasal dari Persia dan India. Maka dari itu Ummat Islam India harus dibawa kembali kepada ajaran Islam yang murni, yaitu harus kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist. Dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber asli, maka bid’ah yang melekat ditubuh Islam akan dapat dihilangkan6.

Menurut Syah Waliyullah, ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran ummat Islam, ialah:

1. Ditukarnya sistem kekhalifahan dengan sistem kerajaan absolut.

2. Bercampurnya ajaran Islam dengan adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam.

3. Terjadinya perpecahan dikalangan ummat Islam sendiri. 4. Adanya taqlid kepada penafsiran-penafsiran yang dibuat

berabad-abad sebelumnya.

Dalam pemikiran yang lain, juga terlihat bahwa:

a. Ia berusaha mengkompromikan ajaran yang bersifat syari’at dengan ajaran yang bersifat mistik.

b. Konsep Syah Waliullah dalam bidang ketuhanan pada dasarnya merupakan “synthesa” antara pandangan dari

al-4 Departemen Agama, Op Cit, hal. 186

5 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta 1975, hal. 157

6 Muktafi Fahal dan Achmad Amir Aziz, Op Cit, hal. 62

Farabi dengan al-Busthami yakni Tuhan merupakan realitas, sifat Tuhan tidak lain hanyalah merupakan modus dirinya7. Dalam buku Fuyud al-Haramain, ia mengemukakan bahwa “hukum-hukum syari’at selalu dirumuskan selaras dengan adat istiadat suatu kaum”. Jika adat istiadat kaum tersebut buruk, maka Tuhan menghilangkannya, tetapi jika adat istiadat dan kebiasaan kaum itu benar serta baik, maka ditegaskan kembali senada dengan wahyu yang diturunkannya8.

Dengan demikian, solusi yang ditawarkan dalam bidang syari’ah menurut pemikiran Syah Waliullah ialah:

1. Toleransi bermadzhab, dengan cara mengkaji ajaran agama Islam melalui berbagai madzhab.

2. Mengkaji kembali sumber-sumber yang digunakan oleh berbagai madzhab supaya muncul toleransi.

3. Menalarkan adanya Islam universal dan islam lokal.

Pemikiran Syah Waliullah sudah sampai pada tingkat ke-universal-an agama Islam. Islam dipandang berdimensi universal, artinya klaim kebenaran tidak dapat hanya diakui oleh kelompok tertentu. Sejauh masing-masing kelompok memegang prinsip dasar yang ditetapkan Islam, sementara ia menerapkan dengan model sesuai situasi dan kondisi setempat, maka itu tidak menjadi masalah. Atas pemikiran inilah Syah Waliullah membedakan antara Islam lokal dan Islam universal. Islam universal mengandung ajaran-ajaran pokok yang kongkrit, yang pasti dan berlaku umum. Sedangkan corak Islam lokal merupakan hasil interaksi antara Islam dengan budaya setempat, kenyataan empiris di lingkungan yang senantiasa berkembang, sehingga ada Islam yang bercorak Arab, Islam yang bercorak Persia, bercorak India dan seterusnya9.

Fazlur Rahman menilai bahwa pembaharuan Syah Waliyullah dipandang berhasil karena ia telah mampu merumuskan kembali Islam secara universal daripada sekedar dogma-dogma tradisional10.

Sementara itu, L. Esposito melihat bahwa arah yang menuju kepada pembaharuan purifikasi Syah Waliullah itu hendak memadukan dua sisi, Islam masa lampau dan Islam masa kini. Penilaian ini intinya

7 Yusron Asmuni, Pengantar Studi dan Gerak dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1996, hal 36.

8 Fazlur Rahman, Metode Alternatif Neomodernisme Islam, Penerbit Mizan, Bandung 1992, hal. 30-37

9 Muktafi Fahal dan Achmad Amir Aziz, Op. Cit, hal. 61-63.

10 Fazlur Rahman, Islam, Universitas Chicago Press, Chicago, 1997, hal. 202.

adalah bahwa Syah Waliullah mampu menggali elanvital yang menjadi ruh dinamisme, animisme dan Islam11.

Dari sini dapat dikatakan bahwa inti pemikiran Syah Waliullah al-Dahlawi dalam melakukan pembaharuan adalah:

1. Syah Waliullah lebih banyak berwatak toleransi dalam merumuskan hukum-hukum syari’at Islam.

2. Syari’at dapat dipahami secara rasional, dan harus dipatuhi karena merupakan perintah Ilahi.

3. Dalam memahami paradigma fiqih secara universal bukan kembali kepada abad pertengahan serta menekankan larangan taqlid buta.

4. Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber yang otentik.

5. Syah Waliullah berusaha mengkompromikan ajaran syari’at dengan ajaran yang bersifat mistik.

SAYYID AMIR ALI 1. Riwayat Hidup Singkat

Umat Islam di India pada masa Sayyid Amir Ali kurang begitu maju dibandingkan dengan umat Hindu. Hal ini disebabkan umat Islam India masih menganut peradaban tradisional.

Ketika Inggris masuk ke India dan mulai menanamkan kekuasaannya, kemajuan peradaban Barat telah mulai dirasakan oleh rakyat India baik yang beragama Islam maupun yang beragama Hindu. Namun Keadaan umat Islam yang masih tradisional, cukup sulit beradabtasi dengan peradaban baru. Hal tersebut berbeda dengan pemeluk Hindu, yang cepat berorientasi dengan penjajah Inggris, yang membawa budaya dan peradaban modern.

Sayyid Amir Ali adalah salah satu pemikir pembaharu muslim di India. Beliau banyak mengajak umat Islam untuk meninjau sejarah masa lampau, untuk membuktikan bahwa agama Islam yang mereka anut bukanlah agama yang menyebabkan kemunduran dan menghambat kemajuan.

Amir Ali dilahirkan pada tanggal 6 April 1849 di Cuttack, Sussex, Inggris,12 dari keluarga Syi’ah13, yang pindah ke Khurasan, Persia dan menetap di Muhan, Oudh, India pada pertengahan abad 18. 11 John L Esposito, Islam The Straight, Oxford University Press, New York, 1998, hal. 124.

12 Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, hal. 142.

13 Maryam Jameela, Margaret Marcus hal. 86.

Keluarga Amir Ali bekerja di istana raja, kemudian pindah di East India Company. Amir Ali memperoleh pendidikan di Perguruan Tinggi Hoogly dekat Calcuta, dengan mempelajari bahasa Arab, Sastra dan Hukum Inggris14. Pada tahun 1869 ia melanjutkan pendidikannya di Inner Tample Inggris dan memperoleh gelar kesarjanaan di bidang hukum pada tahun 1873.

Amir Ali, seorang yang berpengalaman dan berpengetahuan luas.15 Sejak usia muda ia memiliki sikap bebas dari semangat kebudayaan Inggris. Dalam buku kenang-kenangannya mengakui betapa ia diperbudakkan oleh Gibbon sebelum ia berusia dua belas tahun. Pada umur 20 tahun ia membaca sebagian karya besar Shakespare, Milton, Keats, Byon, Longlellow dan beberapa penyair lainnya. Disamping itu, ia juga menguasai novel-novel Thackery dan Scoot, sekaligus mengenal Shally dengan sangat mendalam.

Pada tahun 1877 ia mendirikan “National Muhammadan Association”, sebuah organisasi nasioanal India. Organisasi ini dibentuk untuk memberi bekal kepada orang-orang Islam India agar memiliki pengalaman teknik politik Eropa, melindungi dan menjaga umat Islam. Ia berusaha mengembangkan kesadaran politik bagi orang-orang muslim India. Pada tahun 1883 dia diangkat menjadi The Viceruy’s Concil (Dewan Raja Muda) di India.

Pada tahu 1906 ia diangkat menjadi anggota “The Judicial Commite of The Privy Council” (Komite Kehakiman Dewan Raja) di London. Setelah berada di London ia mendirikan cabang “Liga Muslim” (tahun 1906). Dia terlibat dalam perundingan di London tentang rancangan politik di India. Setelah Perang Dunia I dia tampil paling depan dalam pergerakan Khilafat di London16.

2. Pokok-pokok Pikiran Amir Ali

Dalam membicarakan agama Islam yang membawa angin segar bagi kemajuan umatnya, Amir Ali terlebih dahulu mengupas ajaran-ajaran Islam tentang tauhid, ibadah, hari akhir, kedudukan wanita, perbudakan dan sebagainya. Tema-tema tersebut dikupas dengan menggunakan metode perbandingan. Mula-mula dia menguraikan ajaran serupa dalam agama-agama lain, untuk kemudia memaparkan tema serupa dalam agama Islam yang membawa perbaikan. Argumen-argumen yang dikemukakan adalah bahwa ajaran–ajaran Islam terkait 14 Ensiklopedi, hal. 120.

15 Ibid, hal. 121.

16 Mukti Ali, Op.Cit., hal. 142.

dengan tema-tema tersebut tidaklah bertentangan dengan aspek-aspek kemanusiaan, bahkan termasuk sejalan dengan akal17.

a. Masalah Perbudakan

Dalam perjalanan sejarahnya, sistem perbudakan hampir sama tuanya dengan adanya manusia18. Dalam membahas masalah perbudakan, Amir Ali menerangkan bahwa sistem perbudakan sejak zaman purba sudah ada dalam masyarakat seluruhnya. Bangsa Yahudi, Yunani, Romawi, dan Jerman di masa lampau memakai dan mengakui sistem perbudakan. Islam, berlainan dengan agama sebelumnya, datang dengan ajaran untuk membebaskan budak. Dosa-dosa tertentu dapat ditebus memerdekakan budak. Budak harus diberikan kesempatan untuk membeli kemerdekaannya dengan upah yang mereka peroleh. Budak harus diperlakukan baik dan tidak boleh diperbedakan dengan manusia lain. Oleh karena itu dalam Islam ada hak diantara budak-budak yang akhirnya menjadi Perdana Menteri19.

Dalam ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, sistem perbudakan diterima sebagai suatu kenyataan yang terdapat dalam masyarakat dan dapat diterima hanya sementara. Ajaraj-ajaranmengenai perlakuan baik dan pembebasab terhadap budak, pada akhirnya harus membawa pada penghapusan sistem perbudakan dalam Islam. Dan bentuk lain upaya penghapusan itu Rasulullah S.A.W. memperingatkan pengikutnya agar membebaskan budak-budaknya, karena perbuatan itu sangat diridhoi oleh Allah S.W.T.20.

Mengenai hal ini juga, ie berpendapat bahwa kenyataan historis menunjukkan adanya praktek perbudakan pada masa Rasulullah, namun kalau dilihat secara teliti, yang dilakukan pada masa itu justru usaha menghilangkan dan menghapus perbudakan. Tindakan memerdekakan budak dilakukan melalui berbagai cara, misalnya lewat hukuman bagi si pelannggar hukum, secara suka rela atau secara besar-besaran ketika umat Islam memenangkan peperangan21.

b. Poligami

Sebelum kita membahas tentang poligami lebih lanjut kita lihat arti atau definisi secara umum tentang pologami. Poligami adalah sistem perkawinan yang terjadi dalam masyarakat dimana seorang laki-laki 17 Ensiklopedi…, hal. 124.

18 Muktafi, Ahmad Amir, Op. Cit., hal. 92.

19 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 186.

20 Ensiklopedi, hal. 120.

21 Dirasat Islamiyah, Sejarah dan Pembaharuan Islam, hal. 163.

(suami) mempunyai dua orang istri. Sistem yang ada dalam hal ini atau yang sudah terkenal dengan poligami22.

Amir Ali menggunakan metode perbandingan dalam membahas dan menguraikan keunggulan Islam soal poligami. Ia mengemukakan juga bahwa diantara pembaharuan yang dikemukakan oleh Rasul adalah peningkatan kedudukan wanita, kalau sebelum Islam wanita tidak mempunyai kedudukan lain (dibawah pria), ditandai dengan penghapusan kawin kontrak (mut’ah) oleh Muhammad dalam tahun ketiga hijrah. Mereka tidak dibedakan dengan pria dalam menjalankan segala kekuasaan dan jabatan23.

Perlakuan yang terjadi pada wanita oleh Amir Ali pada khususnya dan umat Islam pada umunya. Perlakuan tersebut pada masa pra Islam dapat dilihat dalam kerangka poligami. Menurutnya poligami memang melembaga sebelum pra Islam. Bahkan beberapa kalangan para raja dan bangsawan misalnya, justru menganggapnya sebagai hal yang sakral. Pandangan semacam ini juga dianut oleh masyarakat Hindu, Babilonia, Astria, Persia, dan Israil. Di kalangan masyarakat Arab selain membudidayakan poligami juga menggunakan kawin sementara. Semua itu menunjukkan betapa rendahnya marabat kaum wanita pada masa pra Islam. Ketika Islam datang, secara perlahan masalah tersebut berubah, karena mendudukkan wanita dalam posisi terhormat24.

Poligami yang menjadi trend pada dan kecenderungan pada ajaran pra Islam ternyata mendapat batasan yang sangat ketat dalam Islam. Bahkan agama yang dibawa Muhammad tersebut menurut Amir Ali, sama sekali tidak mempunyai kecenderungan ke poligami melainkan monogami, karena hal tersebut jelas pada surat an-Nisa’ ayat 3, yang berbunyi:

ﻊﺑر و ثﻼﺛ و ﻲﻧﺛﻣ ءﺎﺳﻧﻟا نﻣ مﻛﻟ بﺎط ﺎﻣ اوﺣﻛﻧﺎﻓ ﻲﻣﺗَﯾْﻟا ﻲِﻓ ْوُطِﺳْﻘُﺗ ﱠﻻأ ْمُﺗْﻔ ِﺧ ْنِإ َو ﱠﻻأ مﺗﻔﺧ نﺈﻓ

اوﻟدﻌﺗ

اوﻟوﻌﺗ ّﻻأ ﻲﻧدأ كﻟذ مﻛﻧﺎﻣﯾأ تﻛﻠﻣ ﺎﻣ وأ ةدﺣاوﻓ

Artinya: Dan jika takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kau mengawininya), maka kawinilah wanta-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.--- kemudian kalau kami takut berlaku tidak adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

22 Ensiklopedi Umum, hal. 306-307.

23 Ensiklopedi Islam, hal 121.

24 Muktafi Sahal dan Ahmad Amir Aziz, Op. Cit., hal. 91-92.

Menurut ayat diatas jelaslah Islam tidak pernah mengajarkan poligami melainkan monogami. Dalam hal ini Amir Ali mengatakan sekalipun secara sekilas ayat tersebut memberikan lampu hijau pada praktik poligami. Namun semangat moral yang dikendalikannya adalah monogami. Syara diperbolehkan berpoligami pada ayat tersebut adalah berkemampuan bertindak adil, sebenarnya telah menunjukkan kecenderungan bermonogami, karena memang sulit untuk dipenuhi oleh seorang suami25.

Melihat pernyataan al-Qur’an dan keterangan yang dikembangkan dengan dikendalikannya poligami dengan pembatsan jumlah dan peraturan yang seadil-adilnya, maksudnya poligami terikat oleh dua peraturan diatas. Keadilan dalam hal ini adalah soal (cinta sayang, dan hormat) tidak mungkin, maka peraturan yang ada dalam Al-Qur’an sebenarnya adalah larangan26.

Sekalipun menekankan monogami, Amir Ali juga tidak memungkiri poligami. Hal ini menurutnya tergantung keadaan. Ada masa-masa, keadaan masyarakat, dimana poligami sangat diperlukan (sungguh-sungguh diperlukan) agar kaum wanita terhindar dari kemlaratan dan kemiskinan27.

Disamping mengangkat persoalan poligami tersebut, Amir Ali juga menandaskan bahwa perkawinan dalam Islam tidaklah menempatkan kedudukan wanita di bawah pria. Dalam kedaan tertentu, seorang istri bisa mengajukan cerai (gugat cerai) pada suaminya. Hal ini menurutnya menunjukkan penghargaan terhadap martabat wanita28.

Dengan sebutan yang ada yang diberikan kepada Sayyid Amir Ali sangatlah cocok bahwa beliau adalah seorang apologis, seorang yang memuja dan rindu pada masa kejayaan Islam.

Poligami yang telah diterangkan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasanya poligami menurut Al-Qur’an dan pendapat Amir Ali ada;ah terlarang, diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu.

25 Ibid., hal. 92.

26 Ensiklopedi Islam, hal. 121.

27 Muktafi Sahal dan Ahmad Amir Aziz, OP CIT, hal. 92

28 Ibid.

                                                               B. MUHAMMAD IQBAL

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA