Padan menjadi ca 18. Air hujan dapat menjadi air tanah setelah melalui tahapan .... ordionali melalui proses Sublin
tolong jawab Dengan benar ya kak
Hai kakaBlh bantu aku kerjain nomor 6-10 gak? Jgn ngasal ya kak. Jgn ngambil point doang ka..
Berita 1 Kereta Argolawu jurusan Yogyakarta-Jakarta mengalami kecelakaan di sekitar Purworejo. Kecelakaan ini akibat pengendara sepeda motor yang meli … ntas di jalur kereta api tanpa palang pintu tidak memerhatikan saat ada kereta dari arah timur. Dilaporkan 12 orang meninggal akibat kejadian ini. Berita 2 Sebanyak 9 orang meninggal dan 23 orang luka-luka dalam kecelakaan kereta api Dwi Pangga dan sebuah mini bus. Kejadian ini terjadi di daerah Jakarta Timur, Selasa (12/4) sekitar pukul 03.45. Persamaan kedua teks berita tersebut adalah .... A. tempat kejadian C. waktu kejadian B. jenis kejadian D. korban kejadian 2. Seorang atlet harus menjunjung tinggi sportivitas. Kalimat tersebut bermakna .... A. sindiran B. kritikan C. denotasi D. konotasi 3. Kalimat-kalimat berikut ini mengandung kata sapaan, kecuali .... A. Saudara, tunggu di lantai dua sekarang! B. Saudara kandung Mira hanya seorang. C. Saudara-saudara, silakan duduk! D. Saudara sedang menunggu siapa di sini? 4. Kata paman sebagai kata sapaan terdapat dalam kalimat .... A. Kapan Paman berangkat ke kantor? B. Paman dan bibi akan menjenguk Kakek John di rumah sakit. C. Bayu ingin ikut membantu paman. D. Paman akan mengunjungi pameran buku. 5. Bacalah sepenggal dongeng berikut! Belalang Kecil Keluarga belalang sedang bercengkerama di hutan. Belalang Kecil bertanya apa yang ayahnya inginkan. Ayah Belalang berkata, “Anakku, ayah ingin dirimu menjadi anak yang baik. Anak yang penolong dan berbakti kepada orang tua.” “Jika demikian pesan Ayah, aku akan berusaha menjalankannya,” ujar Belalang Kecil. Kata Anakku dalam dongeng tersebut dapat diganti dengan .... A. Putraku B. Keponakanku C. Kakakku D. Adikku 6. Kalimat yang menggunakan kata sapaan adalah .... A. Pengemis itu diberi uang oleh ibu. B. Pamannya seorang profesor ternama. C. Ayah pergi, Dik? D. Kemarin saudara ayahku datang dari Malang. 7. Kakak berhasil menangkap ayam itu. Kalimat tersebut bermakna .... A. kritikan B. sindiran C. konotasi D. denotasi
Apa tujuan didirikannya badan usaha milik negara (BUMN)
tolong jawab plizzzzzz yang benar
1.jelaskan yg menjadi inti dari bacaan pantai karang bolong! 2.siapakahyg menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut?3.bagaimanakah sikap yg dimiliki t … okoh utama dalam cer ita tersebut?
5 contoh kata rela berkorban
minta tolong kak 30 poins.apa arti 5170 dan 3044 dalam rumus B.Infonesia.
setelah membaca surat dari Bang Andi Dapatkah kamu menemukan manfaat dari perkembangan teknologi komunikasi Tuliskan bersama teman Tuliskan hasil disk … usimuyang disebelah terpotong itu diatas yah soal nya plisss jawab
CUBLAK CUBLAK SUWENG DAN GOBAK
SODOR: PENGEMBANGAN KARAKTER
ANAK DALAM PERMAINAN TRADISIONAL
YOGYAKARTA
Oleh:
Indra Fibiona
DINAS KEBUDAYAAN (KUNDHA KABUDAYAN)
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
2021
“Cublak Cublak Suweng dan
Gobak Sodor: Pengembangan
Karakter Anak dalam
Permainan Tradisional
Yogyakarta” Seri Kajian
Warisan Budaya Takbenda
Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2021
Diterbitkan dalam rangka
Penyusunan Kajian Warisan
Budaya Takbenda
Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2021
Diterbitkan oleh
DINAS KEBUDAYAAN
(KUNDHA KABUDAYAN) DIY
Jalan Cendana Nomor 11
Yogyakarta
0274-562628
www.budaya.jogjaprov.go.id
Cetakan I, 2021
Penanggungjawab Program:
Dian Lakshmi Pratiwi, S.S.,
M.A.
Kepala Dinas Kebudayaan
(Kundha Kabudayan) Daerah
Istimewa Yogyakarta
Koordinator Program
Rully Andriadi, S.S.
Kepala Bidang Pemeliharaan
dan Pengembangan Warisan
Budaya ii
Dinas Kebudayaan DIY
Penulis
Indra Fibiona, S.S., M.PA.
(Tim Kajian WBTb DIY)
Tim Penyusun Program :
Sri Wahyuni Sulistiowati, S.Sn
Anis Izdiha, S.Ant.
Aldri Ismu Sanaky, S.Ant.
Ray Hanna Bulkis, S.Si.
Dwi Fitri Setiabudi, S.Pd.
Irva Bauty, S.S.
Layouter :
Anis Izdiha, S.Ant.
Foto dan Dokumentasi :
Dokumentasi Primer Penulis
Dinas Kebudayaan DIY
ISBN : 978-62-7332-95-4
KATA PENGANTAR
KEPALA DINAS KEBUDAYAAN (KUNDHA KABUDAYAN)
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SERI BUKU KAJIAN WARISAN BUDAYA TAKBENDA
TAHUN 2021
Buku Kajian Warisan Budaya
Takbenda memiliki peranan penting pada
upaya-upaya pendokumentasian dan
publikasi atas karya-karya warisan
budaya takbenda Daerah Istimewa
Yogyakarta. Warisan budaya takbenda (intangible) meliputi
tradis i atau ekspresi hidup, seperti tradisi lisan, seni pertunjukan,
praktek-praktek sosial, ritual, perayaan-perayaan, pengetahuan
dan praktek mengenai alam dan semesta atau pengetahuan dan
keterampilan untuk menghasilkan kerajinan tradisional.
Seri Buku Kajian Warisan Budaya Takbenda pada tahun
2021 terdiri dari sebelas judul buku yaitu Srimpi Muncar, Beksan
Panji Sekar, Babad Pakualaman, Cublak-Cublak Suweng, Gerit-
Gerit Lancung, Sego Abang Gunungkidul, Jangan Lombok Ijo,
Sayur Lodeh dan Jadah Tempe, Upacara Adat Mbah Jobeh,
Saparan Joyokusumo Kulon Progo, dan Upacara Adat Wot Galeh
Sleman Yogyakarta. Unsur takbendawi masing-masing karya
budaya diusahakan dideskripsikan dengan gerak, suara, rupa,
rasa, laku, ajaran, nilai, makna dan fungsi sosial maupun budaya
karya tersebut bagi masyarakat pendukungnya.
Pentingnya warisan budaya tak benda bukanlah terletak
pada manifestasi budaya itu sendiri, melainkan kekayaan
pengetahuan dan keterampilan yang ditularkan dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Proses regenerasi pengetahuan
merupakan modal penting bagi pembangunan sosial dan ekonomi
yang berkelanjutan. Oleh karenanya Dinas Kebudayaan (Kundha
Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki tugas dan
kewajiban untuk melakukan inventarisasi dan dokumentasi pada
karya budaya Daerah Istimewa Yogyakarta untuk selanjutnya
diteruskan pada upaya Penetapan Warisan Budaya Takbenda
Indonesia.
Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa
Yogyakarta selaku penerbit buku ini mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berpartipasi hingga buku ini dapat
diterbitkan. Kepada setiap pembaca, tegur sapa, kritik dan saran
senatiasa ditunggu agar seri-seri buku kajian Warisan Budaya
Takbenda dapat tampil lebih baik pada penerbitan berikutnya.
Selamat membaca.
Yogyakarta, November 2021
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………L
KATA PENGANTAR…………………………………………………LLL
DAFTAR ISI …………………………………………………………Y
ABSTRAK ……………………………………………………………
BAB I, PENDAHULUAN ……………………………………………
A. Latar Belakang ……………………………………………
B. Rumusan Masalah …………………………………………
C. Tujuanm Penelitian ………………………………………
D. Manfaat Yang Diharapkan ………………………………
E. Tinjauan Pustaka …………………………………………
F. Metode Penelitian ………………………………………
G. Metode Riset ……………………………………………
H. Sistematika Penulisan ……………………………………
BAB II. PERMAINAN TRADISIONAL CUBLAK-CUBAK
SUWENG ………………………………………………………
A. Asal usul Cublak-Cublak Suweng …………………………
B. Cara Bermain Cublak-Cublak Suweng …………………….
C. Konteks Keberadaan Cublak-Cublak Suweng ……………..
D. Nilai Makna Cublak-Cublak Suweng
E. Perbedaan Pemainan Cublak-Cublak Suweng dengan
permainan sejenis ………………………………………
F. Unsur Pembentukan Karakter dan MANFAAT Bagi
Tumbuh Kembang Anak …………………………………...50
G. Persebaran Cublak-Cublak Suweng di DIY ………………54
H. Tantangan Pelestarian ……………………………………. 63
BAB III. PERMAINAN GOBAK SODOR ……………………………. 66
A. Asal usul Gobak Sodor ………………………………….....66
B. Konteks Keberadaan Gobak Sodor ………………………...70
C. Cara Bermain Gobak Sodor ……………………………….72
D. Persebaran Gobak Sodor di DIY ………………………….83
BAB IV. PENUTUP ……………………………………………………93
A. Kesimpulan …………………………………………………93
B. Saran ………………………………………………………..94
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….97
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki beragam jenis permainan tradisional sebagai
media penghiburan dan pembelajaran nilai dengan cara
menyenangkan. Permainan tersebut dimainkan oleh anak-anak
sebagai kegiatan rekreasi. Permainan tradisional memperkaya
materi pembelajaran pendidikan jamani dan kesehatan, serta dapat
diadopsi dalam pebelajaran pendidikan tersebut. Selain itu,
pelibatan anak-anak dalam permainan tradisional bermanfaat bagi
tumbuh kembang anak melalui pengenalan nilai-nilai budaya dan
nilai-nilai kebangsaan. Permainan tradisional juga telah terbukti
meningkatkan kemampuan anak-anak dalam memecahkan masalah,
kekuatan verbal dan nonverbal, keterampilan sosial dan ekspresi
emosional (Hong, Zhouxiang, 2020).
Perkembangan permainan tradisional di berbagai wilayah di
Indonesia memiliki sejarah panjang. Salah satu wilayah yang
memiliki beberapa ragam permainan tradisional yaitu Daerah
Istimewa Yogyakarta. Beberapa naskah Jawa terutama yang berasal
dari wilayah Yogyakarta memberikan menjelaskan bahwa sebagian
besar permainan tradisional atau dolanan anak yang berasal dari
dalam keraton lebih bersifat rekreatif. Anak anak diajak bermain
sambil nembang, maupun dolanan sambil menggunakan gerak tari
maupun gerak fisik untuk pengembangan karakter dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam permainan tersebut (Pusat data dan Analisa
Tempo, 2019:32).
Tidak dapat dipungkiri, kekuatan budaya yang dimiliki
masyarakat Yogyakarta dan didukung oleh keberadaan pusat
kebudayaan, yaitu Keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman
menyebabkan perkembangan kebudayaan di Yogyakarta merambah
pada hampir semua aspek dalam kehidupan, termasuk
perkembangan karakter anak-anak. Perkembangan karakter anak
kemudian diwujudkan melalui permainan tradisional yang
diadaptasi dari tradisi adiluhung masyarakat (Sandholz, 2016).
Permainan tradisional yang banyak dijumpai di wilayah Yogyakarta
dan sekitarnya mengajak anak-anak untuk mengembangkan daya
imajinatif. Selain itu, perkembangan permainan tradisional juga
memanfaatkan ruang public (komunal) yang berada di Lingkungan
keraton Yogyakarta, seperti alun-alun dan ruang public lainnya
(Selin, 2008: 210). Permainan anak tradisional yang berkembang di
wilayah Yogyakarta ada yang menggunakan alat permainan, maupun
tanpa alat permainan. Permainan anak-anak tradisional diciptakan
sedemikian rupa dan bersifat konstruktif. Hal ini ditujukan agar
anak dapat membangun sesuatu dengan mengkoordinasikan antara
alat yang satu dengan imajinasi, serta alat lainnya (Khomaeny dkk,
2020: 243).
Alat alat bantu yang digunakan dalam permainan tradisional
sebagian besar berasal dari alam. Masyarakat hampir di seluruh
pelosok Indonesia banyak memanfaatkan bahan bahan yang berada
di lingkungan sekitar, antara lain biji-bijian, ranting dan benda benda
lainnya.bahan biji-bijian yang banyak digunakan sebagai bahan
permainan antara lain biji asam atau klungsu (Jawa), biji melinjo, biji
kemiri, biji Sawo atau Kecik (Jawa), buah pinang, biji karet, biji buah
Kuranji, biji Riladu, biji Donggulu dan biji bengguk (jenis kacang-
kacangan) (Hamzuri, Siregar, 1998:2).
Permainan tradisional sendiri sebenarnya memiliki beragam
didefinisi, salah satunya seperti yang diungkap oleh Bishop dan
Curtis (2001, dalam Iswinarti, 2017: 5). Permainan anak merupakan
permainan yang mengandung nilai-nilai “kebaikan’, “positif’, dan
“diinginkan secara bersama”serta diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Terdapat beberapa konsensus yang
menyatakan bahwa permainan tradisional merujuk pada beragam
aktivitas fisik, seperti halnya bermain hopscotch (engklek), kelereng,
dan sebagainya. Selain itu juga permainan yang bersifat mind games
(permainan pikiran), seperti lelucon, ritus iniasi, pemberian julukan
atau nama, dan sebagainya. Permainan tersebut masuk dalam
kategori tradisional apabila memiliki nilai dan sejarah yang panjang,
serta terdokumentasi (meskipun dalam memori kolektif
masyarakat). Permainan anak tradisional juga didefinisikan sebagai
permainan yang mengandung kebijaksanaan (wisdom), dan
memberikan manfaat untuk perkembangan anak. Selain itu juga
sebagai kekayaan budaya yang dimiliki bangsa, sekaligus
merefleksikan budaya dan tumbuh kembang anak. Permainan
tradisional juga merupakan permainan yang mengandung nilai-nilai
budaya sekaligus menunjukkan identitas budaya lokal (Iswinarti,
2017:6).
Terdapat perbedaan antara permainan tradisional dengan
olah raga. Perbedaan tersebut yaitu permainan tradisional memiliki
aturan yang lebih fleksibel atau bisa berubah sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan zaman. Pada olahraga, perubahan
aturan membutuhkan kesepakatan yang melibatkan publik secara
luas dalam penerapannya. permainan tradisional dengan olah raga
juga memiliki persamaan, salah satunya sebagai media pendidikan
dan perkembangan anak. Permainan tradisional dan olah raga
sebenarnya dapat diajarkan dan dimainkan bersama-sama,
melibatkan anak anak guna memberi intervensi terhadap
perkembangan anak. Selain itu, permainan tradisional berupa
keterampilan fisik juga dapat dijadikan pendidikan alternatif dan
perkembangan fisik pada anak-anak dan remaja awal (Iswinarti,
2017:6).
Permainan anak tradisional dapat berkembang dan secara
berkelanjutan diwariskan dari generasi ke generasi tentunya
memiliki beberapa karakteristik yang dapat diterima oleh kalangan
generasi muda. Karakteristik tersebut antara lain menyenangkan
(fun), terpisah (separate), tidak pasti (uncertain), diatur melalui
aturan yang merupakan bagian dari permainan (governed by rules).
Oleh karena itu, permainan tradisional yang terdapat di Indonesia
khususnya di wilayah Yogyakarta mengakomodasi hal tersebut.
Anak-anak pada umumnya lebih menyukai permainan yang
mempunyai peraturan yang sederhana, mudah dimengerti, mudah
dilaksanakan. Itulah yang menyebabkan permainan tradisional
anak-anak dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan
anak (Khomaeny dkk, 2020: 243).
Bermain merupakan sarana untuk menghibur, maka tidak
semua hal yang terdapat didalamnya dianggap sebagai sesuatu yang
sangat serius bagi para pemain. Memainkan sebuah permainan
merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan dengan santai, tidak
selalu berorientasi pada makna permainan, dan tidak harus
dilakukan dengan sempurna (tanpa kesalahan). Masa kanak-kanak
merupakan masa di mana manusia tumbuh dan belum dibebani hal
yang serius. Oleh karena itu, pada usia tersebut setiap aktivitas
pembelajaran nilai-nilai kehidupan yang dilakukan harus
mengandung unsur menyenangkan. Masa kanak-kanak juga
merupakan waktu yang tepat untuk mengembangkan berbagai
kompetensi. Oleh karena itu, melalui permainan anak-anak memiliki
kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan bakat yang
dimiliki. Permainan anak-anak menjadi salah satu wahana yang
memberikan rangsangan kepada anak-anaknya untuk menstimulasi
berbagai perkembangan kompetensi dalam ranah kognitif,
psikomotor, dan afektif. Indonesia, khususnya Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki permainan anak-anak dengan lagu yang berisi
nasehat, doa, atau nilai-nilai kehidupan yang bisa digunakan
pembelajaran bagi anak-anak (Astuti, et.al., 2019:365).
Beberapa permainan yang terdapat di Yogyakarta dan masih
sering dimainkan oleh anak anak antara lain Cublak Cublak Suweng,
Jamuran, Gobag Sodor, Benthik, dan permainan lainnya. Permainan
tersebut memiliki nilai penting khususnya untuk perkembangan
karakter anak, salah satunya Cublak-Cublak suweng dan Gobag
Sodor. Cublak Cublak Suweng sangat dikenal masyarakat Jawa
khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah dan hingga
wilayah Jawa Timur. Masyarakat mengenal lagu Cublak Cublak
Suweng yang digunakan untuk mengiringi permainan. Kemajuan
teknologi informasi begitu pesat yang terjadi saat ini banyak
mengubah budaya bermain anak. Hal ini berakibat pada perubahan
kehidupan anak-anak yang lebih banyak mengenal gawai daripada
permainan aktif secara fisik melalui permainan tradisional.
Permainan tradisional jika dimainkan dengan perasaan gembira
mampu mengembangkan kemampuan motorik dan mendorong
anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Permainan anak-anak, sebagian diciptakan dalam bentuk lagu
dolanan terlebih dahulu, lalu dilanjutkan dengan gerakannya. Lagu
dolanan tersebut tercipta untuk mengembangkan nilai-nilai dan
sikap luhur pada diri anak-anak ketika mereka menyanyikan lagu
tersebut dan mengingatnya hingga dewasa. Pencipta lagu dolanan
untuk anak –anak biasanya menyematkan nasihat berupa pesan
yang positif melalui lirik lagu. Selain lagu, nilai positif juga biasanya
disematkan dalam gerakan fisik sebuah permainan yang dapat
menjaga kesehatan maupun meningkatkan kemampuan motorik
tertentu pada anak yang memainkannya. Lagu Cublak-Cublak
Suweng pada perkembangannya digunakan untuk mengiringi
permainan Cublak-Cublak Suweng, dimana anak menebak anak
mana yang menyembunyikan benda di tangannya dan merupakan
latihan bagi anak untuk merasakan perasaan orang lain (Astuti, et.al.,
2019:365).
Selain Cublak-Cublak Suweng denngan permainan yang
diiringi lagu, Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki permainan
tradisional yang mengandalkan fisik, yaitu Gobag Sodor. Permainan
tersebut menggambarkan kerja keras dan juga kegigihan dalam
bekerjasama (Satiyoko, Prasetyo, 2013: 91). Baik Cublak Suweng
maupun Gobag Sodor memiliki nilai yang dapat digunakan dalam
edukasi dan pengembangan karakter bagi anak anak di wilayah
Yogyakarta dan sekitarnya. Hal ini sangat menarik apabila makna
dan nilai nilai pengembangan karakter dalam kedua permainan ini
dapat dikaji secara holistik. Oleh karena itu, sangat menarik apabila
kedua objek pemajuan kebudayaan tersebut bisa dikaji secara
holistic terutama dalam potensi pemanfaatan nilai yang terdapat di
dalamnya, terutama dalam pemanfaatan guna pengembangan
karakter sebagai dukungan pemajuan kebudayaan.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan penelitian yaitu bagaimana
pengembangan karakter anak melalui nilai-nilai dalam Permainan
Cublak-Cublak Suweng dan Gobag Sodor yang berasal dari
Yogyakarta? Pertanyaan utama tersebut juga diurai ke dalam
beberapa pertanyaan guna membantu menganalisis lebih mendalam
antara lain sebagai berikut.
1. Bagaimana asal usul serta perkembangan permainan tradisional
Cublak-Cublak Suweng dan Gobag Sodor?
2. Apa saja nilai nilai yang terkandung dalam permainan tradisional
Cublak-Cublak Suweng dan Gobag Sodor?
C. Tujuan
Kajian yang dilakukan ini tentu saja memiliki sasaran atau tujuan
yang ingin dicapai. Tujuan penelitian sangat diperlukan karena
kajian melihat pilihan prioritas dan kombinasi tujuan, serta cara
untuk mengejarnya. Hal tersebut yang kemudian memiliki korelasi
dengan scientific guidance (pembimbingan ilmiah) agar dapat
tercapai dengan maksimal (Jackson, et.al, 1972: 707). Tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut.
1. Menjelaskan asal usul serta perkembangan permainan tradisional
Cublak-Cublak Suweng dan Gobag Sodor?
2. Menjelaskan pengembangan karakter anak melalui nilai-nilai
dalam Permainan Cublak-Cublak Suweng dan Gobag Sodor yang
berasal dari Yogyakarta
D. Manfaat
Setiap kajian sudah semestinya memiliki manfaat, begitu juga
dengan kajian ini. Manfaat tersebut dibedakan menjadi manfaat
praktis maupun Manfaat akademis (Mancacaritadipura, dkk,
2009:14). Adapun manfaat tersebut dijelaskan sebagai berikut.
a. Manfaat Praktis
1.Manfaat praktis bagi Pemerintah (stakeholder)
. Secara teratur memperbarui data tentang substansi karya
budaya khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
mendaftarkannya dalam warisan budaya nasional, sehingga
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk terus
melestarikannya.
. memfasilitasi perencanaan dan pembuatan kebijakan untuk
menjaga Warisan Budaya Tak benda khususnya di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
. memfasilitasi persiapan laporan berkala pengembangan
elemen budaya Indonesia.
. Sebagai premis dalam membantu merumuskan kebijakan
terkait dengan pelestarian warisan budaya, terutama warisan
budaya tak benda berupa permainan tradisional di Yogyakarta
dan sekitarnya
. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai dan
pengetahuan dalam karya budaya permainan anak-anak
Cublak-cublak Suweng dan Gobag Sodor yang semakin
tergeser oleh kemajuan zaman.
2. Manfaat untuk Publik Secara Umum
. Mengetahui keragaman budaya yang ada di Indonesia
khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
. Menciptakan kreativitas budaya yang khas berbasis pada
permainan anak anak.
b. Manfaat Akademik
. Sumber informasi yang berguna untuk penelitian selanjutnya
. perkembangan ilmu pengetahuan
. Mengembangkan bahan ajar kurikulum muatan lokal untuk SD
SMP dan SMA.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka harus dilakukan dalam sebuah kajian untuk
menempatkan pengkajian yang dilakukan terhadap kajian kajian
terdahulu agar substansi penelitian tersebut dapat
dipertanggungjawabkan originalitasnya. Selain itu, tinjauan pustaka
berfungsi dalam menjelaskan hubungan kajian yang dilakukan
dengan kajian lainnya yang telah dilakukan dengan beberapa
pertimbangan, serta mengidentifikasi cara baru maupun celah
temuan baru berdasarkan penelitian sebelumnya (Fink, 2005).
Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa Penelitian yang
membahas mengenai permainan tradisional anak Cublak-Cublak
Suweng, serta Gobag Sodor, antara lain artikel yang terdapat dalam
majalah Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde edisi,
tahun 1901. Majalah tersebut diterbitkan oleh Koninklijk
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Anonim,
1901). Artikel tersebut menjelaskan tentang syair mengenai Cublak-
Cublak suweng, namun tidak terperinci terkait asal-usul syair lagu
tersebut. Sair mengenai Cublak-Cublak suweng juga dijelaskan oleh
H. Overbeck dalam buku Javaansche Meisjesspelen En Kinderliedjes
(Permainan Anak Perempuan dan Lagu Anak-Anak) yang dipublikasi
oleh Java Instituut Yogyakarta tahun 1933. Cublak Cublak Suweng
memiliki beragam varian syair yang membedakan antara wilayah
Yogyakarta, dengan wilayah lainnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur
(Overbeck, 1933). Kedua artikel tersebut bisa digunakan sebagai
rujukan mengenai perkembangan permainan Cublak-Cublak Suweng
khususnya perbedaan antara wilayah Yogyakarta dengan wilayah
lainnya, sehingga bisa mengetahui disimilaritas atau variasi lagu dan
maknanya yang menjadi ciri khas masing masing wilayah.
Artikel Gobag sodor juga ditulis oleh H. Overbeck dalam
Majalah Djawa, tahun 1934, volume 014, edisi 4., berjudul “Gobag
Sodor”. H. Overbeck menjelaskan bahwa permainan tersebut
merupakan permainan yang hampir mirip dengan sebuah
permainan bernama "Entai" berarti menginjak (menginjak garis dari
batang pohon), dalam thesis yang ditulis oleh Dr. J. Ph. Duyvendak
berjudul “Het Kakean-Genootschap van Seran". Gobag Sodor
memiliki beberapa variasi formasi pemain serta teknik. Artikel
tersebut lebih banyak membahas mengenai teknik permainan dan
tidak banyak membahas nilai yang terkandung dalam Gobag Sodor
terutama pengembangan karakter bagi anak-anak. (Overbeck,
1934). Oleh karena itu, kajian ini melengkapi apa yang telah ditulis
oleh H. Overbeck terutama dalam nilai-nilai pengembangan karakter
sehingga permainan tersebut memiliki value sebagai objek
pemajuan kebudayaan.
Penelitian lainnya yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh
Mayke S. Tedjasaputra, berjudul “Bermain, mainan dan permainan”,
dipublikasikan oleh Grasindo, tahun 2001. Tedjasaputra
menjelaskan bahwa bermain sama seperti berfantasi, di mana dalam
permainan seseorang dapat memproyeksikan harapan-harapan
maupun konflik pribadi. Oleh karena itu, bermain memegang peran
penting dalam perkembangan emosi anak. Anak-anak dapat
mengeluarkan semua perasaan negatif, seperti pengalaman yang
tidak menyenangkan/traumatik dan harapan-harapan yang tidak
terwujud dalam realita melalui bermain (Tedjasaputra, 2001:7).
Kajian tersebut dapat bermanfaat untuk menganalisis mengenai
nilai-nilai yang membangun karakter terutama dalam permainan
baik Cublak-Cublak Suweng maupun Gobag Sodor .
F. Kerangka Teori
Kajian ini menjelaskan secara deskriptif aspek terkait sejarah,
makna dan nilai nilai yang terdapat dalam permainan anak
tradisional Cublak-cublak Suweng dan Gobak Sodor, serta
perkembangannya sebagai objek pemajuan kebudayaan saat ini.
Kajian ini mengarah pada pelestarian yang dilakukan dan kaitannya
dengan makna serta pentingnya permainan tradisional tersebut bagi
pengembangan karakter anak hingga saat ini. Oleh karena itu, kajian
ini menyoroti jenis permainan tradisional. Tedjasaputra
menjelaskan bahwa bermain mempunyai efek katartis, di mana anak
dapat mengambil peran aktif dalam memindahkan perasaan negatif
menuju ke objek/orang pengganti. Pengulangan pengalaman negatif
melalui permainan, menyebabkan anak dapat mengatasi kejadian
yang tidak menyenangkan karena anak dapat membagi pengalaman
tersebut ke dalam bagian-bagian kecil yang dapat dikuasainya.
Secara perlahan, aktivitas tersebut dapat mengasimilasi emosi-
emosi negatif berkenaan dengan pengalaman sehingga timbul
perasaan lega (Tedjasaputra, 2001: 7).
Nilai nilai yang terdapat dalam permainan anak anak bisa
diserap oleh pemainnya apabila mereka saling berkomunikasi
dengan baik, sehingga pengembangan karakter positif pada anak
bisa terbangun. Oleh karena itu, membangun komunikasi menjadi
hal penting yang juga difasilitasi oleh permainan tersebut (Allsop,
2012). Permainan Cublak Cublak Suweng dan juga Gobag Sodor
tentu memiliki hal serupa. Selain itu, hal lain yang diperhatikan
adalah transformasi bentuk dan lirik permainan. Setiap permainan
yang bisa diterima oleh anak-anak tentunya akan mengalami
transformasi bentuk dan lirik sesuai dengan wilayah persebaran
(Sulistyaningtyas, Fauziah, 2018). Tentu saja hal tersebut
berpengaruh pada transformasi makna yang terkandung di
dalamnya.
Secara umum, permainan tradisional sejatinya dapat
dimainkan baik di taman kanak-kanak maupun di rumah dengan
bimbingan orang dewasa. Anak anak memiliki kecenderungan untuk
mengembangkan keterampilan melalui permainan dan ingin
menegaskan diri mereka sendiri apabila berhasil menang dalam
sebuah permainan. Kondisi tersebut membawa efek psikologis yang
besar dan berpengaruh signifikan dalam tumbuh kembang karakter
anak. Anak-anak juga menginginkan permainan yang melibatkan
permainan peran. Sebagian besar permainan tradisional mencakup
aktivitas fisik, membutuhkan kerjasama dan keterlibatan intelektual
(menghafal). Permainan yang menarik memberikan anak-anak
kegembiraan dan kepuasan. Selain itu, Anak-anak juga mampu
mengembangkan tanggung jawab dan kewajiban tugas mereka, serta
memahami dan menerima aturan yang ditetapkan atau disepakati
dalam permainan (Sulistyaningtyas, Fauziah, 2018). Hal tersebut
tentunya terdapat dalam permainan Cublak Cublak Suweng dan
Gobag Sodor, namun tentunya harus dianalisis lebih mendalam
untuk dapat mengungkap nilai-nilai yang ada di dalam permainan
tersebut.
G. Metode Riset
Riset dilakukan merupakan riset kualitatif dengan menggunakan
beberapa metode atau tahapan dari menentukan lokus dan fokus,
hingga teknik pengumpulan data.
1 Penentuan Lokasi Penelitian
Adapun locus dalam kajian warisan budaya takbenda terkait
permainan tradisional Cublak Cublak Suweng dan Gobag Sodor
dijabarkan sebagai berikut.
a. Cublak Cublak Suweng
Kajian ini memiliki locus di beberapa wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta, sesuai dengan persebaran,
pemanfaatan serta pelestarian karya budaya tersebut.
Berdasarkan penelusuran data, secara umum karya budaya
tersebut ada yang terpusat di wilayah kota Yogyakarta.
b. Gobag Sodor
Kajian ini juga memiliki locus di beberapa wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta. Namun demikian, karya budaya
tersebut masih dapat dijumpai di wilayah kota Yogyakarta
dan sekitarnya .
2 Penentuan Informan
Informan memiliki fungsi penting terutama dalam mengumpulkan
informasi yang relevan dengan kajian yang dilakukan. Informasi
yang komprehensif bisa digali apabila informan memahami topic
informasi yang sedang digali. Oleh karena itu, informan harus
memenuhi beberapa kriteria yang sesuai antara lain sebagai berikut.
1. Warga yang tinggal di wilayah Yogyakarta sejak lama dan
merupakan pelestari warisan budaya permainan tradsional
Cublak-Cublak Suweng dan Gobag Sodor.
2. Memiliki pengetahuan luas terkait kasusastraan anak-anak
terutama berkaitan dengan lagu Cublak-cublak Suweng serta
transformasi liriknya.
3. Memiliki pengalaman dan gambaran komparasi mengenai warisan
budaya permainan Cublak-Cublak Suweng dan Gobag Sodor
antara di Yogyakarta dngan wilayah lainnya sehingga bisa
dibedakan kriteria indegenous permainan tersebut.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebuah penelitian tentunya memiliki teknik dalam mengumpulkan
data. Adapun beberapa teknik dalam mengumpulkan data antara lain
sebagai berikut.
a. Observasi Partisipatoris
Melalui metode ini peneliti berusaha mengamati dan terlibat
secara langsung untuk mengidentifikasi dan mengetahui
bagaimana para perajin batik ini memaknai pekerjaannya
tersebut. Observasi ini lebih khusus bersifat partisipatoris atau
participant observation. Keterlibatan ini diwujudkan dalam
jangka waktu penelitian yang cukup dan tinggal bersama dengan
masyarakat yang diteliti. Dalam metode ini akan tercakup 3
kriteria dalam sebuah penelitian yakni reliabilitas, validitas dan
generalisasi. Dengan begitu diharapkan hasil analisis dan
intepretasi akan data yang didapat bisa semakin diperjelas.
b. Wawancara
Wawancara dalam penelitian diperlukan agar informasi yang
diterima lebih komprehensif dan saling berkaitan
(relevan).Wawancara dilakukan dengan menggunakan metode
in depth interview
dengan tujuan untuk menggali sedalam
Indepth interview (wawancara mendalam) merupakan usaha untuk menggali informasi dan
pemahaman dari individu mengenai topik yang terfokus. Indepth interview bersifat interaktif,
seperti halnya percakapan biasa. Percakapan "normal/umum" dalam wawancara ini terwujud
melalui komunikasikan ide. Peneliti berbicara seperlunya, tetapi terlibat dalam percakapan
melalui dukungan verbal dan penggunaan probe, menanggapi setiap poin dalam wawancara
untuk penggalian data, baik dengan pertanyaan lanjutan atau dengan frase untuk
menunjukkan keterlibatan aktif. Responden/informan berbicara pada dua tingkatan, yaitu dari
pengalaman dan persepsinya. Pendalaman dalam wawancara ini sangat berguna untuk
mungkin informasi yang berkaitan secara langsung maupun
tidak langsung terkait permainan tradisional Cublak-Cublak
Suweng dan Gobag Sodor yang terdapat di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Saturation point
dalam penelitian ini,
dipertimbangkan terkait dengan proses pengumpulan data
lapangan. Pengumpulan data akan dihentikan apabila tidak ada
lagi tambahan informasi baru untuk menghindari redundancy.
Metode wawancara sangat dibutuhkan untuk melengkapi
aspek yang tidak dapat dibaca oleh observasi partisipatoris.
Model wawancara yang dilakukan dengan pendekatan-
pendekatan antara lain melakukan sapaan, terbuka tidak ada
tujuan eksplisit, menghindari pengulangan, mengajukan
pertanyaan, menunjukkan ketidak tahuan, bergiliran dalam
berdialog sehingga tidak ada yang mendominasi atau
memonopoli pembicaraan, penyingkatan terhadap bahasa yang
disampaikan sehingga tidak berbelit-belit, ada jeda waktu atau
rehat agar pembicara dan lawan bicara dapat berpikir sejenak
mengakses pengetahuan serta informasi terkait sekelompok warga yang sering terpinggirkan
dalam masyarakat (Hesse-Biber dan Leavy, 2010: 98)
Saturation point tidak semata dimaknai hanya sebagai tahap di mana tidak ada lagi hal-hal
atau informasi baru yang ditemukan dalam penggalian data, melainkan lebih terikat dengan
tujuan dari penelitian. Apabila saturation point sudah tercapai, seharusnya bisa didukung oleh
bukti-bukti. (Ian Jones, Lorraine Brown, Immy Holloway. 2012. Qualitative Research in Sport
and Physical Activity. London: SAGE)
terhadap apa yang ingin diutarakan, dan penutup pembicaraan
(Spradley, 1997). Dalam metode ini, peneliti melakukan
wawancara tidak terstruktur dan juga wawancara terstruktur
disesuaikan dengan kondisi informan di lapangan. Peneliti
meminta para narasumber untuk mengetengahkan pendapatnya
sendiri terhadap peristiwa tertentu dan dapat menggunakan
posisi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya (Yin, 1987).
c. Studi Dokumen
Metode ini sebagai penunjang penelitian di lapangan, Dokumen
yang dipergunakan untuk melengkapi data penelitian antara lain
bukti-bukti sejarah di lapangan, buku-buku sejarah, dan
sebagainya. Metode ini merupakan cara sederhana, murah,
mudah di akses dan tentu saja memiliki pandangan historis di
dalamnya (Noorman &Lincoln, 1994).Dokumen tersebut
diperoleh dari perpustakaan, koleksi digital museum dan
penyedia arsip di Belanda, seperti Delpher, Rijkmuseum dan
lainnya.
H. Sistematika Penulisan
Bab I. Pendahuluan
Berisi tentang Latar Belakang, Permasalahan,Tujuan
Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode dan
Sistematika Penulisan
BAB II Permainan Tradisional Cublak Cublak Suweng
Berisi tentang sejarah atau asal usul permainan Cublak
Cublak Suweng di Yogyakarta, Cara bermain, Makna
permainan tersebut, Persebaran di wilayah DI Yogyakarta,
dan Tantangan Pelestarian
BAB III Permainan Tradisional Gobag Sodor
Berisi tentang sejarah atau asal usul permainan Gobag Sodor
di Yogyakarta, Cara bermain, Makna permainan tersebut,
Persebaran di wilayah DI Yogyakarta, dan Tantangan
Pelestarian
BAB IV. Penutup
Berisi Kesimpulan dan saran
BAB II
PERMAINAN TRADISIONAL CUBLAK CUBLAK SUWENG
A. Asal usul Permainan Cublak Cublak Suweng
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki pusat kebudayaan yaitu
keraton Kesultanan dan pura Pakualaman. Selain itu, beragam
kebudayaan juga muncul dari lingkungan masyarakat di sekitar
Keraton sebagai bentuk Tradisi kecil. Beragam budaya yang
diciptakan baik di dalam dan di luar tembok Istana disofistifikasi
dari dalam keraton, termasuk permainan anak-anak. Karya budaya
tersebut kemudian menyebarluas dan nilai nilai yang terdapat di
dalamnya sebagian menjadi ajaran penting untuk meniti kehidupan
(Anonim, 2000). Salah satu karya budaya yang disofistifikasi dan
terkenal di Yogyakarta yaitu perminan anak-anak bernama Cublak-
Sublak Suweng. Permainan tersebut telah lama dimainkan oleh para
elit di lingkungan keraton mataram Islam.
Lirik dan lagu permainan tersebut sebenarnya telah tercipta
sejak abad XV. Adalah Sunan Giri yang menciptakan Lirik dan lagu
Cublak Cublak Suweng. Kehadiran Sunan Giri di kalangan para Wali
membuat dakwah Islam semakin berkembang pesat di berbagai
wilayah Nusantara. Beliau memiliki beragam kontribusi bagi
pembangunan peradaban Islam, salah satunya menjadi penasehat
Kerajaan Demak pada saat penyerangan ke Kerajaan Majapahit.
Beliau juga terkenal sebagai Wali yang sangat dermawan. Beliau
sering bersedekah kepada masyarakat yang tengah dilanda
musibah. Kontribusi lainnya yaitu dalam bidang kesenian (yang
berkaitan dengan dakwah), beliau banyak menciptakan lagu, salah
satunya lagu dolanan. Sunan Giri membuat lagu-lagu yang berisi
falsafah dan ajaran Islam yang ditujukan untuk dakwah terhadap
anak-anak. Lagu –lagu tersebut antara lain cublak-cublak suweng,
jamuran dan lagu lainnya (Fitri, 2020: 41).
Sunan Giri tergolong sebagai seorang pendidik yang
demokratis. Beliau mendidik murid-muridnya melalui berbagai
macam permainan Islami serta substansi lagu permainan yang
bersifat Islami, seperti: Jetungan, Gula Ganti, Cublak-cublak Suweng
(Salam, 1989: 69). Lagu tersebut kemudian menyebar ke seluruh
pulau Jawa. Permainan dengan iringan lagu tersebut sangat
sederhana pada awal diciptakan oleh Sunan Giri. Seiring
berkembangnya waktu, permainan Cublak-Cublak Suweng yang
telah merambah wilayah Yogyakarta diminati masyarakat dan
banyak dimainkan anak-anak terutama di luar keraton Yogyakarta.
Beberapa abdi dalem Keraton juga mengajarkan permainan tersebut
dan dimainkan oleh putri-putri bangsawan keraton. Permainan
Cublak-cublak Suweng kemudian berkembang di dalam keraton
hingga akhirnya dikembangkan lirik dan gerakan permainannya. Di
Yogyakarta, cublak-cublak menjadi repertoar lagu yang berhasil
direkam dan dijual secara umum. Salah satu perusahaan yang
merekam lagu gending gamelan yaitu Columbia Graphophone
Company Ltd- Tan Bing Thay. Gending gamelan tersebut dijual
hingga ke wilayah Eropa, sebagai repertoar lagu anak-anak dengan
aransemen gending yang yang bagus untuk diperdengarkan.
Label piringan hitam hasil Perekaman lagu gendhing Gamelan
"Kjahi Kanjoet Mesem" tahun 1920an yang berisi lagu Jamuran,
Cublak-cublak Suweng dan lainnya di Yogyakarta oleh Columbia
Graphophone Company Ltd- Tan Bing Thay. Sumber
//otto10.fr/
Lihat gambar label piringan hitam “Kijahi Kanjoet Mesem” //otto10.fr/
Lagu dolanan anak pada dasarnya berisi tentang cerita yang
mengandung nilai bagi tatanan kehidupan di masyarakat. Lagu
tersebut juga merupakan bentuk ekspresi budaya sebagai seni dan
sastra. Lagu dolanan anak “cublak cublak suweng” digunakan untuk
mengiringi permainan anak yang juga disebut cublak cublak
suweng”. Permainan Cublak cublak suweng sendiri berdasarkan
memori kolektif masyarakat mengalami transformasi lirik dan juga
gerakan permainan, namun tidak dapat secara spesifik
direkonstruksi. lagu Dolanan anak memang diciptakan untuk
digunakan dalam permainan. Lagu “Cublak-cublak Suweng”
digunakan untuk mengiringi permainan tebak-tebakan yang
dilakukan oleh anak-anak yang mengekspresikan perasaan estetis
dan kebersamaan (McPherson, dan Sugeng, et al( ed. ), 2018: 75).
Keraton Mataram Islam sebagai pusat kebudayaan Jawa
sebenarnya telah melakukan sofistifikasi
beragam permainan
tradisional yang berasal dari luar tembok Istana dan permainan yang
telah diwariskan turun temurun. Karya budaya seni maupun
permainan tradisional jawa secara historis terkait erat dengan
praktik moral dalam kehidupan maupun spiritualitas. Oleh karena
itu, karya seni (termasuk permainan tradisional) oleh para
Sofistifikasi terhadap karya budaya didefinisikan sebagai ragam dan kerumitan seni dengan
nilai yang tinggi sebagai hasil pemikiran sesuai dengan nilai luhur dan rasa (anonim, 2000). Oleh
karena itu, Sofistifikasi sendiri merupakan proses denaturasi, sebagai ukuran penyempurnaan
dengan menunjukkan rasa, kebijaksanaan, dan kehalusan(Firat, Dholakia,2003: 52).
bangsawan yang ada dalam keraton direkonstruksi menjadi lebih
unggul. Hal ini menyebabkan para bangsawan melakukan
sofistifikasi agar nilai-nilai yang terdapat dalam kesenian tersebut
sesuai dengan praktik dan kehidupan spiritual. Jika ditinjau dari
Sofistifikasi yang telah dilakukan terhadap permainan cublak-cublak
suweng terutama di Yogyakarta (era setelah Mangkubumi), maka
permainan ini telah diwariskan lebih dari 10 generasi.
Di wilayah Yogyakarta , sejak akhir abad kesembilan belas,
kumpulan gendhing kecil mulai diinventarisasi berdasarkan melodi
vokal solo (tembang dalam bahasa Jawa ngoko (kasar), sekar dalam
bahasa Jawa kromo atau halus). Repertoar lagu tersebut sebagian
besar berbentuk ketawang dan ladrang, yang kerap digunakan dalam
mengiringi drama tari di mana karakter yang berperan
menyanyikan semua lirik lagu tersebut dan disebut sekar gendhing.
Sebagian besar repertoar lagu terdiri dari komposisi baru, salah
satunya tembang dolanan. Repertoar tersebut menjadi bagian yang
semakin signifikan dari perbendaharaan gamelan khususnya di
Yogyakarta, tembang tembang tersebut sebagian memberikan
penekanan kuat pada vokal, dan sering dinyanyikan oleh paduan
suara secara serempak dengan struktur formal lancaran atau
srepegan (salah satunya Cublak-Cublak Suweng) (Sutton,1991:31).
Wawancara GPH Pujaningrat,
Permainan cublak cublak suweng pada perkembangannya
memiliki perbedaan lirik di beberapa tempat. Hal tersebut
disebabkan oleh transmisi (penyebaran) permainan yang dilakukan
hanya dari mulut ke mulut, tanpa ada teks lengkap terkait lirik
sehingga masyarakat di wilayah lain menangkap lirik permainan
sesuai dengan apa yang didengar mereka. Hal tersebut yang
menyebabkan distorsi pada kalimat yang terdapat dalam lirik
Cublak Cublak Suweng. Perbedaan lirik lagu cublak cublak suweng
Yogyakarta dengan daerah lainnya sebenarnya telah diinventarisasi
oleh Overbeek pada tahun 1933. Hasil penelitian Overbeek tahun
1933 menjelaskan bahwa lirik tersebut mengalami perbedaan
karena distorsi idiom setiap kata yang terdapat dalam lirik
(Overbeek,1934: 109).
B. Cara bermain dan Instrumen permainan Cublak Cublak
Suweng
Cublak-Cublak Suweng dimainkan oleh tiga pemain atau lebih. Satu
orang bertugas untuk menebak. Permainan diawali dengan adu
pingsut
. Seorang yang kalah adu pingsutlah yang bertugas menebak.
Ia harus membungkuk (posisi bersujud), dikelilingi oleh pemain
yang lain. Pemain lainnya duduk (lesehan) sembari meletakkan
semacam hompimpa kemudian adu jari (gajah, manusia, semut). Gajah kalah dengan semut,
semut kalah dengan manusia, manusia kalah dengan gajah.
tangan di atas punggung pemain yang dalam posisi membungkuk.
Mereka kemudian menyanyikan lagu cublak-cublak suweng.
Permainan dilakukan dengan salah seorang pemain
menyembunyikan kerikil (bisa digantikan dengan kertas, biji salak
dan bahan lainnya) dalam genggamannya kemudian diteruskan pada
pemain lainnya seperti tongkat estafet hingga lagu selesai
dinyanyikan. Pemain terakhir yang memegang batu harus
menggenggam erat kerikil tersebut, serta berusaha agar penebak
(pemain yang membungkuk) tidak menaruh curiga sehingga sulit
untuk ditebak (Sasi, dkk, 2011: 292).
Formasi duduk melingkar yang dilakukan berjarak sangat
dekat, sehingga pemain yang berlutut dan membungkuk di tengah-
tengah biasanya menyandarkan kepalanya di pangkuan salah satu
pemain yang duduk melingkar. Pemain yang membungkuk tersebut
meletakkan tangannya di depan kepala. Pemain yang duduk
melingkar meletakkan tangan mereka dengan posisi telapak tangan
menghadap ke atas. Posisi tersebut seperti halnya memangku bayi di
mana kedua tangan menahan kepala dan kaki. Posisi tersebut sering
disebut dengan "Bokbokan". Pemain yang duduk melingkari pemain
yang membugkuk ibarat menjadi ibu. Mereka kemudian meletakkan
tangan kirinya di punggung pemain yang bertugas menebak, dan
mengambil suweng (anting-anting) menggunakan tangan kanannya.
Mereka kemudian bernyanyi lagu Cublak –Cublak Suweng secara
bersama-sama mengalihkan perhatian pak Empo (pemain yang
membungkuk). Pada saat menyembunyikan Suweng, pemain
melakukan Sir Gosir (gerakan jari-jari). Sir Gosir dilakukan untuk
mengecoh pemain yang membungkuk/ sujud agar tidak mudah
menebak dimana letak suweng yang disembunyikan. Gerakan Sir
Gosir tidak begitu banyak karena hanya digunakan sebagai distraksi
pak Empo dalam menebak. Sang "Ibu" (pemain yang duduk
melingkar harus bisa memprediksi kapan lagu berakhir untuk
menyembunyikan Suweng melalui tangan kanannya. Setelah lagu
selesai, semua tangan tertutup, pak Empo harus berusaha menebak
dengan benar siapa “Ibu” yang memiliki suweng. Pemain lainnya
menggoda dengan menidurkannya (menggosok hidung dengan jari
telunjuk). Beberapa teks menjelaskan bahwa sebenarnya lagu
Cublak Cublak Suweng diakhiri dengan "pak empong orong-orong",
"pak empong léra-léré" dan lirik lainnya
.
Apabila pemain yang bertugas menebak mampu menjawab
dengan benar dimana kerikil tersebut disembunyikan, orang yang
terakhir menyembunyikan kerikil tersebut berganti peran sebagai
pemain yang menebak (jaga). Jika salah menebak, maka penebak
(pemain yang jaga) harus tetap dalam posisi semula (membungkuk).
lirik pada baris ke 4/5/6 (H. Overbeek. 1934.) hlm 109
H. Overbeek. 1934. Javaansche Meis-Jesspelen En Kinderliedjes. Java -Instituut. Jogjak Arta
hln 109
Permainan tersebut melatih intuisi dan indera peraba,bagaimana
yang jaga bisa menebak siapa yang membawa kerikil, misalnya
dengan memperhatikan di mana ketukan tangan berhenti (Sasi, dkk,
2011: 292).
Sebutan lain bagi pemain yang jaga (membungkuk) yaitu Pak
Empo (tokoh yang disebut dalam lirik lagu). Pak Empo berbaring
telungkup di tengah, anak-anak lain duduk melingkar. Buka telapak
tangan menghadap ke atas danletakkan di punggung Pak Empo.
Salah satu anak memegang biji/ kerikil dan dipindah dari telapak
tangan satu ke telapak tangan lainnya diiringi lagu Cublak-Cublek
Suweng.
“Cublak cublek suweng, suwenge ting gelenter,
mambu ketundung gudel. Pak empo lirak-lirik,
sapa mau sing delekke. Sir sir pong dele gosong, sir
sir pong dele gosong”.
Pemain pada saat lirik lagu mencapai kalimat "Sapa mau sing
delekke” (siapa tadi yang menyembunyikan) harus menyerahkan
suweng atau kerikil ke tangan salah satu pemain (yang duduk
melingkar) untuk disembunyikan dalam genggaman. Pada akhir
lagu, semua pemain harus sudah menggenggam kedua tangan
masing-masing dan berpura-pura menyembunyikan kerikil sembari
menggerakan tangan agar sulit ditebak. Pak Empo bangun dan
menebak di tangan siapa biji/ kerikil disembunyikan (Nur, 2019: 32).
Foto Permainan Cublak Cublak Suweng yang dimainkan anak-anak
Sekolah Dasar, Dokumentasi Dinas Kebudayaan DIY tahun 1997
Menurut beberapa naskah, permainan Cublak-cublak Suweng
di Yogyakarta pada tahun 1930an mengenal beberapa lirik. Jika
pemain yang menebak tidak dapat menebak dengan benar siapa
yang memiliki suweng, pemain tersebut harus tetap dalam posisinya
dan lirik lagu "Cublak - Cublak" tidak dinyanyikan. Lirik tersebut
diganti dengan lagu "Kentung".
"Kentung" adalah bunyi pukulan
balok padi. Kentung berfungsi sebagai kata untuk menunjukkan atau
menghitung berapa kali pemain yang membungkuk tidak bisa
menebak dengan benar siapa yang memiliki suweng. Hal tersebut
harus diperhatikan oleh setiap pemain dengan mengubah kata
tertentu menjadi angka di baris pertama lagu. Misalnya pemain yang
pernah menjadi Pak Empo, salah satu dari mereka tidak menebak
dengan benar pertama kali, mereka menyanyikan entuk sak kentung
(punya satu kentung), Kemudian kedua kali menyanyikan dengan
lirik entuk rong kentung (dapat dua kentung), dll. Ketika salah satu
dari sesama pemain mencapai sepuluh kenioeng, maka mereka
berhenti bermain Cublak-Cublak Suweng. Pemain yang mendapat
sepuluh kentung harus menjadi Den Bisu (Overbeek, 1934: 110).
Lihat lirik Cublak Cublak Suweng pada bagian T 3, 9a, 13, 16, '7, 27, 29 , (H.
Overbeek. 1934: 109.)
Jika ditinjau dari Instrumen yang digunakan, dimensi ukuran
volume instrumen permainan termasuk lama permainan, cublak
cublak suweng merupakan permainan yang termasuk mudah untuk
dimainkan dengan insrumen sederhana. Instrumen yang paling
penting dalam permainan tersebut yaitu Suweng. Adapun instrumen
yang digunakan sebagai Suweng bervariasai sesuai dengan
kemudahan menemukan instrumen dan fleksibilitas
penggunaannya. Suweng biasanya menggunakan bahan berupa batu,
gaco (pecahan genting), granit, ataupun koin (Iswinarti, 2017: 45).
Benda-benda tersebut memiliki ukuran tidak lebih besar dari batu
ketapel agar mudah digenggam dan disembunyikan.
Instrumen lain yang digunakan yaitu Gamelan sebagai
pengiring lagu. Gending Cublak suweng masuk dalam kategori
Gendhing Lesan. Selain itu, lagu tersebut juga termasuk dalam
kategori Gendhing Cilik, dimana gamelan yang dimainkan
disesuaikan untuk vokal anak anak, serta tidak menggunakan
instrumen Gamelan yang tergolong sulit (Becker, Feinstein, 1984:
419). Penggunaan gamelan sebagai instrumen pengiring lagu pada
permainan Cublak-Cublak Suweng sebenarnya jarang dijumpai.
Permainan biasanya dilakukan hingga para pemain bosan. Secara
umum durasi permainan berlangsung selama 1 hingga 2 jam.
C. Konteks Keberadaan Permainan, Fungsi sosial budaya
ekonomi bagi masyarakat DIY dulu dan kini
Memainkan sebuah permainan merupakan hal yang penting
guna membangun karakteristik dan perilaku anak-anak. Nilai
tersebut berlaku secara universal terutama dalam tumbuh kembang
anak untuk menghadapi kehidupan sosial di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, permainan anak menjadi media pembelajaran
karakter secara alami bagi mereka. Bermain dapat memiliki konteks
di mana anak-anak mengalami proses pembelajaran yang mendalam
melalui integrasi nilai-nilai intelektual, fisik, moral, dan spiritual dan
memberikan mereka kesempatan untuk berkomitmen pada
pembelajaran, perkembangan, dan pertumbuhan. Interaksi melalui
hiburan antaranak atau orang dewasa saat bermain merangsang
perkembangan mereka dalam berbagai bidang. Permainan memiliki
kontribusi penting untuk perkembangan kognitif anak-anak dan
perkembangan psikososial. Bermain permainan menjadi kunci
penentu ekspresi semangat di masa kanak-kanak. Bermain
permainan sangat penting untuk perkembangan dan kualitas hidup
anak-anak. Bermain merupakan proses pembelajaran. Beberapa
karakteristik utama dari bermain sebuah permainan yaitu hiburan
dan bersenang-senang. Oleh karena itu, permainan menjadi media
yang sangat penting untuk membuat proses pembelajaran semakin
menarik. Saat bermain permainan anak-anak belajar berbagai
keterampilan sosial seperti berbagi, memahami perspektif dari
sudut pandang lain, dan bergiliran. Permainan juga memberikan
konteks kepada anak-anak untuk belajar tentang budaya yang
mereka miliki. Dengan kata lain, permainan anak anak (seperti
halnya cublak-cublak suweng) menjadi alat yang efektif dan penting
untuk pembelajaran budaya bagi anak-anak. Sebagian besar
interaksi satu sama lain memang dipengaruhi oleh konteks budaya
di mana mereka tinggal. Hal ini terkait dengan pemikiran individu,
perasaan, perilaku, dan pembentukan realitas mereka sendiri
melalui budaya yang dimiliki. Budaya memberikan individu
informasi tentang identitas yang mereka miliki dan yang paling
bermakna. Selain itu, budaya juga memberikan masyarakat simbol-
simbol yang diperlukan untuk berinteraksi secara sosial dan
mengelola lingkungan mereka. Permainan anak-anak seperti halnya
Cublak-cublak Suweng digunakan orang tua untuk mengenalkan
dan menjelaskan pada anak tentang dunia melalui budaya. Hal
tersebut membuat anak anak tumbuh dewasa dalam lingkungan
sosial dengan memiliki budaya yang sama cenderung memiliki
sikap, nilai, pemikiran, serta perilaku yang kurang lebih mirip,
sehingga menguatkan kohesi sosial (Aypay, 2016). Hal itulah yang
menjadi fungsi sosial-budaya yang terdapat pada permainan Cublak-
Cublak Suweng. Permainan anak seperti Cublak-cublak suweng dan
lainnya mampu merangsang pertumbuhan anak, mengembangkan
kualitas hidup anak agar mereka mampu berkembang lebih baik
dalam menghadapi realitas sosial.
Menjelang tahun 1930an, pemanfaatan permainan
tradisional seperti halnya Cublak-cublak suweng bisa dijumpai
dalam kurikulum pendidikan, seperti yang dilakukan Sariswara.
Metode Sari Swara di Taman Siswa sendiri berisi pembelajaran
untuk anak anak berupa permainan tradisional. Pembelajaran juga
dilakukan dengan menyanyikan dan mempraktikan permainan
bersama-sama antara guru dan siswa. Permainan anak yang sering
diajarkan dalam Sariswara adalah cublak-cublak suweng, lepetan,
jamuran, ancak-ancak alis, sluku-sluku bathok, gumregah, dan
permainan lainnya. Permainan tersebut pada dasarnya menganut
kebebasan berekspresi, gotong royong, dan kegembiraan (Sari,
Sayuti, Pardjono, 2019). Adalah K. H. Dewantara yang menjelaskan
bahwa permainan anak Jawa seperti permainan dakon, cublak-
cublak suweng, dan kubuk dapat mendidik anak tentang berhitung
dan pengiraan. Permainan gobak sodor, trebung, raton, geritan,
obrog, panahan, jamuran, dll mendidik anak untuk memiliki tubuh
yang kuat serta sehat, kecekatan, berani, cermat, fokus dan memiliki
penglihatan yang tajam. Permainan anak anak (dolanan) seperti
Cublak-Cublak Suweng merupakan bentuk penyatuan gerak wirama
dengan nyanyian serta cerita diramu untuk tujuan pengembangan
ilmu pendidikan bagi anak-anak. Permainan anak anak juga
digunakan untuk melatih konsentrasi pelajaran, melatih anak untuk
bisa berkesenian dan memiliki unsur pendidikan estetik. Selain itu,
permainan tersebut juga mampu mengembangkan rasa etik dalam
jiwa pribadi kanak-kanak untuk menyokong kebudayaan bangsa.
Taman Indria, di bawah Taman Siswa, menyelenggarakan
pembelajaran melalui permainan-permainan tradsional seperti
Cublak Cublak Suweng (permainan berjenis tembang dan dolanan
anak) sebagai bagian dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Ki Hajar
Dewantara menjelaskan bahwa permainan kanak-kanak merupakan
permulaan latihan kesenian pada umumnya, khususnya latihan
suara, tari dan sandiwara, dan semua itu sebagai dasar-dasar
pendidikan budi pekerti. Selain itu, permainan kanak-kanak
merupakan bentuk pembelajaran kesenian bagi kanak-kanak yang
bersifat sederhana baik bentuk dan isinya, tetapi dapat memenuhi
syarat-syarat etis dan aestetis secara alamiah dan kultural (Rahayu,
Sugito, 2018).
Selain bidang pendidikan, pemanfaatan lain dari permainan
Cublak Cublak Suweng tidak banyak ditemukan. Pemanfaatan terkait
komodifikasi (nilai ekonomis) permainan cublak-cublak suweng
yang terlihat salah satunya hanya penjualan hasil rekaman Label
piringan hitam hasil Perekaman lagu gendhing Gamelan "Kjahi
Kanjoet Mesem" tahun 1920an yang berisi lagu Jamuran, Cublak-
cublak Suweng dan lainnya di Yogyakarta oleh Columbia
Graphophone Company Ltd- Tan Bing.
Perekaman tersebut
merupakan bentuk penyelamatan repertoar lagu-lagu gendhing yang
banyak digunakan untuk pelatihan gamelan. Repertoar lagu-lagu
dari Gendhing Ageng hingga permainan anak anak pada tahun
1920an hingga 1930an memang banyak diubah ke dalam bentuk
rekaman suara. Salah satu tokoh pengumpul repertoar gendhing
adalah bupati Patih dan Kadipaten, K.R.T. Wiroguno yang dikenal
sebagai praktisi budaya yang bergelut dalam bidang seni musik Jawa.
Beliau merupakan tokoh yang banyak merekam musik gamelan
dalam notasi musik di Yogyakarta (Soerabaijasch handelsblad, 29
Agustus 1936). Beliau berhasil menginventarisasi beberapa karya
gendhing sehingga koleksi arsip musikologis Hindia Belanda menjadi
sangat lengkap. Perekaman tersebut banyak dibantu oleh
cendekiawan Eropa yang tergabung dalam Java Instituut. Lembaga
tersebut memiliki salinan koleksi notasi kraton yang sangat lengkap
dihimpun oleh KRT Wiraguna dan tokoh lainnya. Koleksinya notasi
tersebut berisi sekitar 750 komposisi musik terdari dari gendhing
utama, gendhing pengiring, notasi gendhang dan notasi lagu
Lihat Label piringan hitam hasil Perekaman lagu gendhing Gamelan "Kjahi Kanjoet
Mesem" tahun 1920an yang berisi lagu Jamuran, Cublak-cublak Suweng dan lainnya
di Yogyakarta oleh Columbia Graphophone Company Ltd- Tan Bing Thay. Sumber
//otto10.fr/
pengiring permainan (salah satunya Cublak Cublak Suweng).
Notasi tersebut banyak digunakan untuk pengajaran gamelan.
Adapun lagu yang direkam dan dikomersilkan biasanya untuk
dinikmati suaranya sekaligus sebagai koreksi pembelajaran gamelan
pengiring (tempo/ alunan gendhing).
Saat ini, permainan Cublak Cublak suweng juga masih
digunakan sebagai media pembelajaran di laboratorium Sariswara
taman siswa. Permainan tersebut juga telah dikemas dalam bentuk
buku interaktif. Kegiatan pembelajaran muatan lokal terutama
permainan anak-anak di Taman Indria Ibu Pawiayatan masih terus
berlangsung walaupun terdapat pengurangan jam pembelajaran.
Pembelajaran instrumen musik Cublak-Cublak Suweng juga masih
digunakan sebagai repertoar, salah satunya bisa dijumpai di
pawiyatan gamelan Gambir Sawit Yogyakarta.
D. Nilai, Makna yang Terdapat dalam Cublak Cublak Suweng
proses bermain permainan membuat anak-anak siap melakukan
pembelajaran apa pun. Selain itu permainan anak anak yang
diciptakan oleh para pendahulu sebagai warisan budaya memiliki
Darto Harnoko, Indra Fibiona. 2020. Kagunan sekar padma : kontinuitas dan
perkembangan kesenian tradisional di Yogyakarta awal abad XX. Yogyakarta: BPNB
DIY
Eka Pamuji Rahayu , S. Sugito. JPPM (Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat), 5
(1), 2018, 19-32
makna yang mendalam terutama bagi kehidupan. Hal tersebut
sebagaimana terdapat pada permainan Cublak cublak suweng.
Karya sastra pada umumnya memiliki pemaknaan yang berkaitan
dengan nilai moral. Nilai moral tersebut yang berorientasi terhadap
himbauan dalam bentuk nasehat dan amanat mengenai nilai-nilai
benar tidaknya sikap manusia dalam menjalani hidup
bermasyarakat. Begitu juga dalam lirik lagu dolanan Cublak-cublak
suweng juga mengandung inti ajaran nilai moral yang bisa lebih
dicerna manusia dalam penerapan di kehidupannya.
Nilai dan
makna yang terdapat pada permainan tersebut terbagi menjadi dua
jenis yaitu nilai dan makna yang tersurat serta yang tersirat. Adapun
penjelasan terkait makna yang tersurat yaitu Cublak-Cublak Suweng
adalah bentuk Geguritan Jawa yang berisi tentang analogi terkait
kehidupan manusia. Syair tersebut memuat tentang kisah burung
bangau yang bertelur di ladang luas yang sepi. Burung bangau
tersebut melambangkan isbat alam yang tergelar. Jika Telur burung
bangau tersebut diambil, maka dunia akan terjadi ketidakstabilan.
Telur tersebut pada hakikamya merupakan simbol dari hawa yang
hanya berada di udara awang-awang (alam kosong). Hawa dan udara
tidak dapat dipegang, tetapi benda tersebut eksis. Hawa pada
hakikatnya diam dan hanya akan bergerak karena pengaruh dari
Daniel Rusyad (editor). 2020. Kompilasi Permainan Rakyat Menggali Nilai-nilai Budaya pada
Khazanah Folklor Indonesia. Abqarie Books Hlmn 36-37
Hyang Bayu (Dewa Angin). Hawa yang terkena pengaruh tersebut
kemudian bergerak menjadi angin dan membangunkan nafas
manusia (manusia tidak dapat hidup tanpa bernafas).
Kata cublak berarti tempat untuk menyimpan atau
menyembunyikan sesuatu, suweng 'giwang' diibaratkan sebgai
suwung 'kosong', sedangkan ting gelenter diartikan seagai berjalan
terus, 'tidak berhenti'. Kata Mundhing berarti 'anak kerbau'. Dengan
demikian, hidup manusia di dunia beserta isinya senantiasa
dipengaruhi oleh napas yang selalu keluar dan masuk. Manusia
sebenamya bodoh seperti kerbau, ia tidak dapat melihat itu
walaupun semua ada dan nyata. Nafas merupakanbentuk eksistensi
manusia yang selalu ada di dalam hidup. Empak empong berarti
sering keluar dan masuk. Dengan adanya napas yang bersemayam di
dalam manusia, manusia diaharapkan selalu dalam kesadaran untuk
mencapai arti hidup yang sebenamya.
Kata suweng pada lagu cublak cublak suweng sangat
ditekankan. Suweng merupakan bentuk lain Suwung, Sepi, Sejati
menjadi representasi harta yang abadi. Kata Gelenter berarti
Dhanu Priyo Prabowo, V. Risti Ratnawati, Suyami, Titi Mumfangati. 2002 Geguritan
Tradisional Dalam Sastra Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional hlmn
150
Dhanu Priyo Prabowo, V. Risti Ratnawati, Suyami, Titi Mumfangati. 2002 Geguritan
Tradisional Dalam Sastra Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional hlmn
150
berserakan yang memiliki makna bahwa sesungguhnya harta yang
kita cari berserakan (tersebar) di seluruh penjuru bumi. Gudel
merupakan istilah yang menunjuk anak kerbau. Masyarakat Jawa
menggunakan kata gudel (anak kerbau) sebagai simbol orang
bodoh. Oleh karena itu, kalimat “mambu ketundhung gudel” (bau
kotoran anak kerbau) memiliki makna bahwa orang bodoh (minim
pendidikan) akan mencari harta yang bersifat duniawi dengan penuh
nafsu, tindakan korupsi, jual beli jabatan hanya untuk mencari
kebahagiaan sesaat (di dunia).
Orang bodoh tersebut ibarat orang sudah tua dan tidak lagi
memiliki gigi dan mengalami kebingungan (Pak empo lera-lere).
Meskipun berlimpah harta, kekayaan (limpahan harta) tersebut
bukan merupakan harta yang abadi (kebahagiaan abadi). Orang-
orang tersebut selalu merasa kebingungan dan gelisah karena
dikuasai oleh keserakahannya sendiri. Sopo ngguyu Ndhelikake
diartikan siapa yang tertawa dialah yang menyembunyikan. Lirik
tersebut memiliki pesan bahwa orang yang bijaksana, akan
menemukan kebahagian yang hakiki. Orang tersebut adalah orang
yang penuh senyum dalam menjalani setiap cerita kehidupan,
meskipun dunia dipenuhi keserakahan dan ketamakan. Sir (hati
nurani/suara hati) pong dele kopong (kedelai yang kosong tanpa isi),
yang maknanya hati nurani yang kosong. Kebahagiaan yang abadi
dan hakiki hanya dapat dicapai dengan menghindar dari kecintaan
terhadap kekayaan duniawi. Selain itu, juga memiliki sikap rendah
hati, peduli terhadap sesama dan senantiasa melatih kepekaan hati
nurani (Sir).
Makna lirik yang terkandung pada lirik Cublak-cublak suweng
secara general menunjukkan bahwa sebagai manusia, kita tidak
diperkenankan mencari harta dengan menuruti hawa nafsu,
melainkan dengan hati nurani yang bersih. Hal tersebut akan
mengantarkan kita pada kemudahan dalam menemukan
kebahagian, sehingga tidak tersesat di dunia yang fana hingga lupa
akan akhirat. Lagu dolanan Cublak-cublak suweng mengajarkan
anak-anak agar tidak menuruti hawa nafsu. Selain itu juga
mengajarkan tentang harmoni dengan alam, menjaga hubungan baik
sesama manusia dan orang tua. Lirik tersebut menjadi karya sastra
yang merefleksikan pengarang untuk bersikap dalam kehidupan
bermasyarakat.
Cublak Cublak Suweng memiliki makna tersirat yang terdapat
dalam gerakan ataupun proses permainan. Anak-anak dapat
mengembangkan keterampilan adaptasi seperti berpikir kreatif,
memecahkan masalah, dan berperilaku sosial yang baik, yang
penting untuk perkembangan proses kognitif, afektif, dan
Daniel Rusyad (editor). 2020. Kompilasi Permainan Rakyat Menggali Nilai-nilai Budaya pada
Khazanah Folklor Indonesia. Abqarie Books Hlmn 36-37
interpersonal melalui permainan, salah satunya Cublak Cublak
Suweng. Dansky pernah melakukan studi tentang mengajarkan
permainan kepada anak-anak, menemukan bahwa permainan anak-
anak mampu meningkatkan keterampilan dan imajinasi mengenai
permainan peran. Oleh karena itu, permainan yang dirancang dan
dimainkan dengan baik (khususnya permainan anak tradisional
seperti halnya Cublak-Cublak Suweng) mengajarkan nilai-nilai yang
merupakan elemen penting dari interaksi sosial budaya. Pesan-
pesan terhadap nilai-nilai pembelajaran dalam permainan
diaktualisasikan dalam perilaku anak-anak melalui bermain peran
sebagai bagian dari permainan, pesan-pesan ini kemudian berubah
menjadi perasaan, pikiran, dan perilaku yang mencerminkan
interaksi di masyarakat.
Selain makna tersurat, permainan tradisional (seperti halnya
Cublak-cublak Suweng) memiliki makna tersirat. Makna tersebut
mendorong anak anak untuk memiliki karakter yang baik. disiplin,
jujur, sportif, saling menghargai, dan sopan santun.
Permainan
seperti Cubklak Cublak Suweng sebenarnya melibatkan aspek
Aypay, A. (2016). Investigating the role of traditional children’s games in teaching ten
universal values in Turkey. Eurasian Journal of Educational Research, 62, 283-300,
//dx.doi.org/ 10.14689/ejer.2016.62.14
Gary G. McPherson, Bambang Sugeng, et. al. 2019. 21st Century Innovation in Music
Education
Proceedings of the 1st International Conference of the Music Education Community
(INTERCOME 2018), October 25-26, 2018, Yogyakarta, Indonesia. CRC Press Hlmn 81
kognitif, motorik dan psikomotorik. ketika mereka bermain, mereka
akan membedakan mana yang baik dan mana buruk.
Cublak-
cublak Suweng merupakan media efektif untuk menanamkan nilai-
nilai luhur kehidupan dan seni sesuai atmosfir kehidupan anak-anak
yang menyenangkan dan sederhana. Permainan tersebut juga
meningkatkan kepekaan sosial melalui interaksi dan kerjasama
antara sesama pemain, sehingga menepis sikap individulalistis.
Cublak-cublak Suweng juga melatih perkembangan motorik pada
anak-anak melalui gerak dan lagu yang terdapat di dalamnya.
Konsep Terkait dengan Nilai
Sukses, mampu, ambisius, berpengaruh, cerdas,
harga diri
Penolong, jujur, pemaaf, setia, bertanggung
jawab, persahabatan sejati, kehidupan spiritual,
cinta dewasa, makna dalam hidup
Sopan santun, menghormati orang tua dan yang
lebih tua, patuh, disiplin diri
Kekuatan sosial, otoritas, kekayaan, menjaga
citra publik, pengakuan sosial
Gary G. McPherson, Bambang Sugeng, et. al. 2019. 21st Century Innovation in Music
Education
Proceedings of the 1st International Conference of the Music Education Community
(INTERCOME 2018), October 25-26, 2018, Yogyakarta, Indonesia. CRC Press Hlmn 81
Daniel Rusyad (editor). 2020. Kompilasi Permainan Rakyat Menggali Nilai-nilai Budaya pada
Khazanah Folklor Indonesia. Abqarie Books Hlmn 36-37
Bersih, keamanan nasional, ketertiban sosial,
keamanan keluarga, balas budi, sehat, rasa
memiliki
Kreativitas, rasa ingin tahu, kebebasan, memilih
tujuan sendiri, mandiri, kehidupan pribadi
Berani, hidup yang bervariasi, hidup yang
menyenangkan
Taat, menerima bagian dalam hidup, rendah
hati, moderat, menghormati tradisi
Peduli lingkungan, keindahan dunia, kesatuan
dengan alam, berwawasan luas, keadilan sosial,
kebijaksanaan, kesetaraan, Dunia yang damai,
harmoni batin
Aypay, A. (2016). Investigating the role of traditional children’s games in teaching
ten universal values in Turkey. Eurasian Journal of Educational Research, 62,
283-300, //dx.doi.org/ 10.14689/ejer.2016.62.14
Berdasarkan universalitas nilai permainan tradisional anak
anak yang dijelaskan oleh Aypay, Cublak-Cublak suweng memiliki
nilai pencapaian antara lain dalam konsep sukses dan cerdas, yaitu
keberhasilan dalam menebak keberadaan suweng/batu. Selain itu
juga terdapat konsep harga diri, dimana pemain harus bisa menebak
sebelum menjadi bisu (kalah). Para pemain memang harus cermat
agar bisa menebak dengan benar maupun menyembunyikan suweng
agar sulit tertebak.
Nilai selanjutnya yaitu Kebajikan, terutama konsep jujur,
dilihat dari sportivitas dalam permainan terutama ketika lawan
berhasil menebak. Selain itu pada hitungan permainan yang
dilakukan. Pemain yang tidak jujur tentunya akan merasa malu,
sehingga mengajarkan integritas bagi para pemainnya. Nilai lainnya
yaitu Kesesuaian terutama patuh terhadap aturan yang terdapat
dalam permainan cublak cublak suweng. Pemain harus menaati
perturan yang telah disepakati dalam permainan tersebut.
Nilai lainnya yaitu Kekuatan, terutma konsep pengakuan
sosial dan menjaga citra publik. Pemain harus mampu bersikap
sportif, selain itu cerdas untuk menjaga citranya di mata pemain
yang lain. Nilai berikutnya yaitu Keamanan, yaitu rasa memiliki dan
ketertiban sosial. Pemain harus saling mengingatkan berapa kali pak
Empo (penebak Suweng) telah berada dalam posisi tersebut
sehingga menggunakan lirik yang sesuai. Selain itu, nilai arahan diri
yaitu Kebebasan, memilih tujuan sendiri, dalam hal ini seperti yang
dilakukan oleh Pak Empo (pemain yang membungkuk), ia memiliki
kebebasan untuk menjawab dan menentukan di mana suweng
tersebut terletak dan tentunya kebebasan yang diambil memiliki
konsekuensi tanggung jawab apabila dia salah menebak.
Permainan Cublak Cublak suweng juga memiliki nilai
Stimulasi Berani, dalam hal ini hidup yang menyenangkan.
Permainan tersebut memang diciptakan untuk kegembiraan
(kesenangan) terutama bersama sama, sehingga menorehkan
kenangan yang berkesan untuk saling mengingat di masa depan. Hal
tersebut bisa meningkatkan kohesi sosial. Selain itu terdapat nilai
tradisi, dalam hal ini menerima bagian dalam hidup (Nrimo Ing
Pandum). Pemain diajarkan berlapang dada meskipun mendapatkan
kekalahan. Nilai lainnya yaitu Universalisme, dalam hal ini kesatuan
dengan alam, keadilan sosial, kedamaian dan harmoni batin.
E. Perbedaan permainan Cublak cublak suweng dengan
permainan sejenis lainnya
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Perbedaan
permainan cublak suweng yogyakarta dengan wilayah lainnya yaitu
terletak pada lirik. Namun demikian, saat ini lirik yang terdapat
dalam permainantersebut pada perkembangannya mengalami
kesamaan karena sulitnya mengingat lirik yang bervariasi. Terdapat
permainan lain yang memiliki beberapa persamaan dengan Cublak
cublak Suweng, antara lain Gerit-Gerit Lancung dan Gotri Nogosari.
Persamaan tersebut terletak pada inti permainan yaitu menebak
benda. Permainan tersebut memiliki perbedaan khususnya pada
nilai-nilai yang terkandung terutama dari lirik lagu. Gerit-Gerit
Lancung mengisahkan sindirian seorang istri yang ditinggal
suaminya bermain judi hingga lupa waktu dan menguras harta
benda, sehingga permainan ini lebih cocok untuk dilakukan oleh
anak anak yang menginjak remaja.
Permainan lain yang memiliki
kemiripan yaitu Gotri Nogosari. Namun demikian, permainan Gotri
Nogosari memiliki makna kebersamaan kesediaan menerima
tanggung jawab dan risiko atas perbuatannya (jika salah menjawab).
Perubahan lirik menjadi bahasa betawi terutama dijumpai di
wilayah Batavia (Jakarta dan sekitarnya). Permainan tersebut
kemudian berubah menjadi Cublak Cublak Uang. Adapun liriknya
sebagai berikut.
Cublak-Cublak uang,
uangnya manggulèntèng (menggelenteng),
ambu tata ambu titi,
pedati ware-wiri,
tangsi nyonyé tangsi babé,
ketelong bumbung,
bok éré - éré, si Sidin mau kawin,
potong kerbo pèndèk,
potong kerbo tinggi,
Bhekti Suryani. 2018. Ini Dia Permainan Tradisional Gerit-Gerit Lancung dan Goco yang Harus
Dilestarikan dalam ogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/05/11/513/915548/ini-dia-
permainan-tradisional-gerit-gerit-lancung-dan-goco-yang-harus-dilestarikan
gamelan jenggar jenggur,
kirana 'kiratu kebeneran pégang
batu,
salé satu didepan pintu,
taéta, taéta.
F. Unsur pembentukan karakter Dan Manfaat bagi Tumbuh
Kembang Anak
Usia 6 tahun merupakan usia tumbuh kembang anak. Mereka banyak
belajar dengan bernyanyi, mencocokkan ritme lagu dan gerakan
tangan, mengenal bahasa lokal (terutama bahasa Jawa), melatih
motorik halus, belajar menaati aturan, belajar untuk bekerja sama
dan belajar menyimpan rahasia.
Hal ini banyak ditemukan dalam
permainan anak-anak tidak terkecuali Cublak Cublak Suweng.
Permainan anak-anak seperti halnya Cublak-cublak Suweng melatih
perkembangan motorik dengan melibatkan koordinasi anggota
tubuh ketika bermain. Posisi pemain yang harus menelungkupkan
badan dengan menghadap ketanah dan posisi dada menempel paha
dapat menguatkan otot perut dan juga melancarkan peredaran
darah.
H. Overbeek. 1934. Javaansche Meis-Jesspelen En Kinderliedjes. Java -Instituut. Jogjak Arta
hln 111-114
Miftachun Nur. 2019. Permainan Tempo Dulu : era 90'an. Hlmn 33
Permainan Cublak-cublak Suweng juga meningkatkan
kemampuan kognitif yaitu dengan melatih konsentrasi,
meningkatkan kemampuan berfikir dan problem solving, Konsentrasi
dan berfikir menjadi perhatian utama dalam permainan ini agar
tidak terkecoh atau bisa menebak siapa yang membawa batu. Selain
itu, permainan tersebut melatih kepekaan indra peraba, khususnya
pihak yang menebak suweng. Batu (suweng) pada saat diedarkan
dari tangan pemain ke pemain yang lain pasti memberikan tekanan
di setiap telapak tangan pemain guna mengelabuhi pemain yang
kalah. Seringkali ketika mengedarkan suweng dengan tekanan
tangan lebih besar biasanya suweng disembunyikan oleh pemain
yang menekan tangan lebih keras.
Ciblak-cublak suweng juga meningkatkan kemampuan anak
terutama terkait perkembangan sosial. Mereka dilatih agar mampu
bersosialisasi dengan teman sebaya sehingga mampu lebih baik
dalam berkomunikasi. Selain itu, permainan tersebut juga
membangun kerjasama. Menjalin komunikasi antar pemain yang
bertugas menyembunyikan suweng (batu) dengan jalan
mengelabuhi pemain yang harus menebak keberadaan suweng agar
kesulitan menebak siapa yang membawa suweng.
Menyanyikan lagu cublak-cublak suweng secara bersama-
sama mampu Meningkatkan perkembangan kepribadian, seperti
rasa percaya diri, menumbuhkan sportifitas dan rasa empati kepada
sesama. Selain itu, bernyanyi lagu Cublak Cublak Suweng juga
bermanfaat untuk menjalin keakraban anak dan menimbulkan rasa
kebersamaan. Di sisi lain, menebak keberadaan Suweng merupakan
sarana untuk belajar mengambil keputusan secara matang dan
tanggung jawab. Permainan seperti halnya Cublak Cublak Suweng
juga memupuk perkembangan emosi, serta memberikan
kesempatan pada pihak yang kalah dengan tidak berbuat
kecurangan (mengelabui) agar bisa menebak siapa yang membawa
batu. Permainan tersebut juga melatih kesabaran dan pengendalian
diri, terutama dengan mengontrol emosi dan pengendalian diri
ketika kalah atau tidak berhasil menebak dengan benar.
Permainan Cublak cublak suweng merupakan bentuk
permainan peran yang dirancang dengan interaksi konstruktif
antarpemain. Seseorang menjalani simulasi seolah dalam situasi
kehidupan yang sulit, dan berhadapan dengan lawan main yang
berada dalam kondisi yang aman. Oleh karena itu, terdapat tuntutan
untuk memecahkan masalah. Kesulitan yang terdapat dalam
permainan membuat pemain merasakan untuk bernalar dan
memecahkan situasi tersebut. Permainan cublak cublak suweng juga
menjadi simulasi tindakan serta tanggung jawab atas apa yang
Iswinarti. 2017. Permainan Tradisional Prosedur dan Analisis Manfaat Psikologis. Hlmn 62-63
terjadi. Banyak jenis permainan yang ditujukan untuk
pengembangan kepribadian terutama adaptasi sosial, pembentukan
karakter yang sehat dan aktif secara sosial, serta motivasi untuk
bekerja keras dan mandiri (tidak terkecuali Cublak Cublak Suweng).
Hal ini tentu saja menjadi salah satu metode untuk pencegahan dan
sekaligus koreksi perilaku menyimpang. Nilai nilai humanistik dan
sosial-moral yang terdapat pada permainan anak-anak (seperti
halnya Cublak Cublak Suweng), memperkuat fokus pada
pengembangan pribadi, terutama dalam kemampuan mengatur diri
sendiri.
Catatan Overbeek mengemukakan bahwa permainan
tradisional seperti halnya Cublak Cublak Suweng dan permainan
tradisional jawa lainnya mengembangkan kemampuan fisik anak
anak saat bermain dan belajar mengalahkan musuhnya. Selain itu,
permainan Cublak Cublak suweng juga mendidik gadis Jawa sejak
usia dini terkait urusan rumah tangga dan pendidikan. Permainan
tersebut bertujuan untuk pembentukan karakter yang baik pada
masa muda. Akademisi seperti halnya Overbeek pada tahun 1930an
menjelaskan bahwa kemanfaatan permainan anak anak seperti
halnya Cublaka Cublak Suweng sangat baik terutama untuk tumbuh
V Shalaev , F Emelyanov,S Shalaeva. 2020. Social Functions of Games in Modern Society:
Educational Perspectives. Advances in Social Science, Education and Humanities Research,
volume 396 , 2020 hlmn 192-197
kembang anak, selain itu, nilai-nilai luhur yang terdapat dalam lirik
permainan dan gerakan bisa menjadi refleksi di masa yang akan
datang dalam bersikap. Banyak sekali permainan serupa yang bisa
dimanfaatkan untuk mengajarkan norma, beberapa lirik lagu
permainan anak di antaranya terdapat dalam buku “Lagoe botjah-
botjah” yang diterbitkan oleh Komisi De Volkslectuur.
. Persebaran di wilayah DI Yogyakarta dan Pelaku Budaya yang
Melestarikan
Cublak-cublak suweng dimainkan hampir di seluruh wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta bahkan hingga wilayah Jawa Tengah dan
bahkan Jawa Timur. Persebaran tersebut kemudian disesuaikan
dengan bahasa di wilayah masing masing. H. Overbeek mencatat
bahwa terdapat beberapa varian lirik sesuai dengan wilayah masing
masing. Adapun varian lirik tersebut sebagai berikut.
I) Cublak - Cublak suweng,
(9 a, b, e, 13 a, b, e, 14) Cubleg - Cubleg
(Cublek - Cublek) Suweng,
(36b) Cublak - Cublak,
(39a) Cublak - Cublak cengklong,
(39b) Cublek - Cublek kentung,
Majalah Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1922, no 42, 08-01-
1922, Drukkerij Volkslectuur, Weltevreden hlmn 149
2) Suwengé ting gelèndèr (gelèntèr,
galèntèr, gulèntèr),
(sa, 9b , 10, 12, 13a) Suwengé embok
Gelèndèr (bok Gelèntèr),
(9a) Suwengé ronga ireng,
(ge, 39b) lir kangkung,
(11) Suwengé angga iti,
(13b, 13e) Suwengé Landa ireng,
(14) Suwengé Singalètèr,
(26, 36a) Suwengé si Gulèntèr,
(27) Suwengé sing gelèntèr,
(36b) Suwengira si Gelèntèr,
(39a) cengkongé bok ti - ati,
3) mam bu ketungung gudèl,
(sa) mahmu ketungung gudèl,
(9a) kacentok kayu kesambi,
s)
(9b) kacanièl rik kesambi,
(ge) madu malang madu tekong,
(10) gelèndèr ketungung gudèl,
(11) ora kesasar, ra kesambi,
(12) dak tungung tuma gudèl,
(I3a) mendèr, mendèr, angambung sunguné
gudèl,
(I3b) kecèntèl kayu kesambi,
(I3e) kacantol ri kesambi,
(14) adja mambu susu gudèl,
(36b) mambu ketungung munging,
(39a) iwak kutuk saduluré génggong,
(39b) katé - katé wana,
pak empong orong - orong,
(2) mambu ketungung gugèl,
(3, Sb, 16, 17, 27, 29) pak empong léraléré.
(Slot van T 3).
(sa) pedota léra -Iéré,
(9a) lanang wédok randedesi,
(9b) ditungung tuma gudèl,
(ge) aja lara -Iara mas inten,
(10) ceniung lembajung,
(rr) kesambiné kèh semuté,
(12) cek - cek bé, sapa duwé,
(I3a) ceg embé, sapa mbagé.
(I3b) sambaté rengga - renggi,
(I3e) tangisé rengga - Ienggi,
(36a) pak empong lira - liru,
(36b) empak empong lira - liru,
(39a) génggong, agimu jaken mulih,
(39b) bayem dora ginawé sana,
pak empong orang - orang,
(Slot van T 2).
(sa) iung - iung kaliniung,
(5 b) sapa keri ngelikaké,
(9a) bok mas Empjung,
(9b) cek gembé sapa bagé.
(ge) wo hé grembijang,
(10) sabèdji bégung,
(I I) ora ota, ora oté,
(12) cek-cek bo, sap a gawa.
Slot van T 12).
(I3a) cek embé sapa mbagé.
(Slot van T I3a).
(13b) sambaté rengga-renggi.
(Slot van T I3b) .
(I3e) tangisé rengga- renggi.
(Slot van T I3e).
(14) alla embeb ator-ator,
(16) sapa ngguyu ndelikaké,
(17, 27, 29) pak empong (Iéra-) léré.
(Slot van T 17, 27, 29)·
(36a) pak empong lira-liru.
(Slot van T 36a).
(36b) mlebu-metu ingaranan lira-liru,
(39a) bok mu adang ketan,
(39b) uter - uter sana, brenggala,
6) sir gusir plak,
(sa) asekota katé wana,
(sb) sir pong, gelé gosong,
(9a) anakem djaluk kalung,
(9b) cek gembé .apa gawa.
(Slot van T 9b).
(9c) si grombyang baku I cuter- uter
pjal:,
(10) pitik tolak saba wana,
(II) tak bagé sapa jenengé.
(Slot van TIl).
(14) alla embeb ator-ator. (Slot van T 14).
(16) sir, ku, sir, pong, delé gosong,
(26) sir, sir, plak,
(36b) ing suwoeng kang mengku ana,
(39a) adang ketan go pupuran,
(39b) mari kemantènan,
7) gelé kaplak,
(sa) bajem radja sura,
(5 b) sir pang, gelé gosong,
(9a) adja cekak adja langung,
(9C) cegembé sap a bagé,
(10) hehem 10k. windana,
(16) sir, ku, sir, plak, gelé kaplak.
(Slot van T 16).
(36b) mungguh sadjroning ngaurip.
(Slot van T 36b).
(39a) adang sega gawé maca,
(39b) aduh biyung carang gantung,
8) ora énak. (Slot van T I, 26).
(sa) bayem radja sura,
(Sb) sapa guju ngelikaké.
(Slot van T 5 b).
(9') sadenga lara tanggung,
(9c) cegembé sapa gawa. (Slot van T 9c).
(Ia) sengok -sengok sapa nggawa.
(Slot van T 10).
(39a) adang pul i gawé laki,
(39b) song, song, klé, sira bagé.
(Slot van T 39b).
dan volgt nog:
9) (sa) sanakira ipé katemu kéné,
( 9a) ser telDe mantu,
(39a) adang karag gawé berkat,
10) (sa) ris pong djangan lornpong,
( 9a) ser papat madat,
(39a) gèk, begèk sinten sing bekta,
lI) (sa) ris pé djangan t érnpé.
(Slot van 5 a).
( 9a) ser lima gawa,
(39a) gèk, begèk, sinten sing bekta.
(Slot van T 39a).
T 9a geeft verder nog de volgende regels,
misschien als herhaling:
12) Cubleg - Cubleg Suweng,
13) Suwengé bok gelèntèr,
14) gelèntèr tinungung gugèl,
IS) cek gernbé sapa duwé.
En verder, als degeen, die 'm is, al is opgestaan
(en uitgesliept wordt?):
16) t jek gernbé sapa bagé,
17) cek gernba sapa gawa.
Baris-baris, yang dinyanyikan ketika siapa dia sudah bangkit,
diulang-ulang, mungkin sampai dia menyebut nama?
Terjemahan:
I) Nama permainan. (Cublak = penusuk, untuk melubangi
sesuatu, atau untuk menancapkan sesuatu. Suweng =
anting kuping, seperti yang dipakai oleh wanita Jawa),
2) Kancing telinga ada di suatu tempat (tanpa disimpan
dengan benar),
3) Baunya tergeser (dipacu) oleh anak kerbau(?),
4) Ayah (dari?) Empong (nama asli) (adalah?) Jangkrik (lira -
liru dalam teks lain = berpindah tempat berulang kali?
Ura - léré = menyelinap I),
5) Ulangi baris 4,
6) Sir Gosir ( = gerakan jari-jari saat tidur I). Tempel (=
penjualan
kaplak, lihat baris berikutnya),
7) lentil kerucut berongga tua,
8) Tidak enak. (Berbeda dari aturan varian
juga muncul di lagu "Kentung", lihat di bawah).
Saat ini lebih banyak dimainkan oleh anak anak terutama
yang berada di wilayah pedesaan, serta anak-anak yang diajar
dengan kurikulum Sariswara. Buku Sari Swara diterbitkan untuk
H. Overbeek. 1934. Javaansche Meis-Jesspelen En Kinderliedjes. Java -Instituut. Jogjak Arta
hln 111-114
pertama kali pada tahun 1930 merupakan karya besar Ki Hadjar
Dewantara berupa terciptanya notasi nyanyian Daerah Jawa.
Salah
satu tokoh yang aktif dalam Sariswara saat ini yang masih
menggunakan permainan Cublak Cublak Suweng dalam kurikulum
yaitu Listyo H.K. Sariswara memang menempatkan beberapa
permainan tradisional dan musik tradisional untuk mengembangkan
kepribadian anak. Ki Hajar Dewantara memiliki pemikiran bahwa
bahasa sastra dalam lirik dan cerita menjadi bagian penting dalam
transformasi pengetahuan dan sikap. Lagu/tembang merupakan
media agar yang terdidik perasaannya bukan intelektualnya (Teori
Anthroposophie). Namun demikian, Permainan tradisional dan
lagu/lirik/ucapan yang terdapat di dalamnya menjadi pendidikan
baik perasaan dan intelektualitas. Saat ini Listyo H.K. (lebih dikenal
dengan Cak Lis) mengembangkan Laboratorium Sariswara.
Laboratorium tersebut berhasil membuat karya kreatif
pembelajaran kurikulum Sariswara Karya berupa Buku dan Aplikasi
Android. Karya tersebut memuat Tembang Dolanan Anak khas
Tamansiswa (salah satunya Cublak Cublak Suweng) dengan Aplikasi
memakai basis Teknologi Immersif yaitu teknologi Augmented
Reality (AR). Teknologi tersebut dipilih karena mampu
Buku peringatan Tamansiswa 60 tahun, 1922-1982. (1982). Percetakan
Tamansiswa
berkolaborasi dengan Metode Sariswara untuk menjawab kemajuan
zaman saat ini serta tantangan di masa pandemi.
Buku yang ditulis juga berisi petunjuk teknis tata cara
memainkan tembang dolanan anak khas Tamansiswa. Kolaborasi
antara aplikasi teknologi AR dengan buku tersebut menghasilkan
aplikasi yang interaktif diberi nama : ARTDA versi 1.0 (Augmented
Reality Tembang Dolanan Anak).
H. Tantangan Pelestarian dan solusi
Permainan tradisional saat ini banyak ditinggalkan oleh anak anak
karena beberapa hal. Salah satunya yaitu ketergantungan anak
terhadap gawai. Hal tersebut menjadi salah satu hal yang tidak dapat
dihindari saat ini. Meski demikian, beberapa cara yang dilakukan
agar anak-anak bisa terus memainkan permainan tersebut. Salah
satunya dengan memasukkan kurikulum permainan anak anak
dalam proses belajar mengajar bagi taman anak-anak dan sekolah
dasar. Permasalahan lainnya yaitu adanya wabah Covid 19
menyebabkan pembatasan interaksi secara fisik. Anak anak tidak
dapat bermain secara bebas. Hal ini menjadi tantangan tersendiri
bagi pengembangan permainan tradisional seperti halnya cublak
cublak suweng. Oleh karena itu, perlu dibutuhkan bentuk
Agus Sigit. 2020. ‘Augmented Reality Tembang Dolanan Anak’ Inovasi Pendidikan
Karakter Masa Pandemi. Dalam //www.krjogja.com/
permainan virtual agar masyarakat khususnya generasi muda tetap
bisa mengenali ragam permainan tradisional yang terdapat di
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
Makna dan arti permainan dalam syair ataupun gerak
permainan alangkah baiknya jika bisa ditranformasikan ke dalam
bentuk cerita atau narasi yang mudah dipahami oleh anak anak,
sehingga nilai nilai yang ada dalampermainan trdadisional tersebut
bisa terinternalisasi dan menjadikan pengalaman bagi mereka dalam
menghadapi kehidupan kelak di masa yang akan datang. Salah satu
strategi yang perlu dilakukan yaitu pengembangan ensiklopedi
digital permainan tradisional lengkap dengan cara bermain.
Salah satu usaha untuk meningkatkan atensi, kesadaran akan
nilai permainan tradisional pada anak-anak sebenarnya juga
dilakukan melalui festival permainan tradisional/ dolanan anak.
Festival dolanan anak tersebut sering diselenggarakan oleh
beberapa organisasi pendidikan salah satunya Tamansiswa, salah
satunya pada acara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-87 (2009).
Dinas
Kebudayaan provinsi DIY dan tiap kabupaten di DIY juga
menyelenggarakan Festival dolanan anak, namun tidak setiap tahun
berkelanjutan. Strategi efektif untuk memotivasi anak anak agar
2009. Festival Dolanan Anak Kota Yogyakarta ; ’Jamuran’ Tak Kalah dengan ’PS’,
dalam //www.jogjainfo.net/
lebih mencintai permainan anak anak yaitu dengan mengadakan
kompetisi permainan tradisional.
BAB III
PERMAINAN TRADISIONAL GOBAK SODOR
A. Asal usul
Gobag sodor merupakan permainan ketangkasan yang biasa
dimainkan oleh anak anak remaja mengisi waktu luang. Kata Gobag
berarti bergerak dengan bebas, seperti halnya dalam konteks kata
"nggobag” berarti berjalan memutar. Sodor merupakan sebutan
untuk tombak kayu atau besi yang panjangnya 2 meter.
Tombak
kayu yang disebut "Sodor" di Yogyakarta berujung tumpul dan
dilengkapi bulu-bulu unggas berwarna indah di bagian ujung.
Senjata tersebut digunakan oleh sejenis pasukan kavaleri untuk
latihan. Ujung tombak tersebut hampir sama dengan yang digunakan
oleh ksatria Eropa pada saat melakukan Mordhau (permainan adu
tombak sambil naik kuda di Eropa termasuk Belanda). Sodor juga
berarti garis tengah yang memanjang.
Penjelasan tersebut
menguatkan memori kolektif masyarakat yang menjelaskan bahwa
Gobag sodor pertama muncul di sekitar lingkungan Keraton. Anak
H. A. Holtzappel, W. R. Geddes.1953. The Galah Game of Indonesia. A study in diffusion. THE
JOURNAL OF THE POLYNESIAN SOCIETY. Vol 62 issue 2, pp 1-12
Anonim. 1910. School en leven weekblad voor opvoeding en onderwijs in school en
huisgezin. Wolters, Groningen. Hlmn 539-540
laki-laki yang berada di sekitar alun alun beranggapan bahwa bahwa
menjadi prajurit Istana yang gagah merupakan impian cita-cita
mereka. Oleh karena itu timbul rasa penasaran untuk mencoba
berlatih layaknya pasukan yang sedang berlatih. Para pasukan
keraton kemudian melatih mereka kejar tangkap tanpa
menggunakan senjata, untuk menguatkan otot-otot mereka serta
melatih strategi.
Berdasarkan koleksi manuskrip dan buku-buku Pigeaud
terkait cerita rakyat Jawa dan permainan anak-anak, dijelaskan
bahwa "Gobag sodor" memang berasal dari Kraton Yogjakarta.
Gobag Sodor kemudian didokumentasikan oleh R. Soekardi alias
Prawira Winarsa (Guru di Imagiri) tahun 1912 dalam buku tentang
kumpulan permainan Anak Jawa yang dipublikasikan melalui
Mediasi Komisi Volkslectuur No. 25.
Gobag Sodor merupakan
permainan yang bersifat maskulin. Keraton Kasultanan Yogyakarta
lebih cenderung memiliki warisan karya budaya yang bersifat
maskulin. Hal ini sebagai pengaruh dari perjanjian Jatisari yang
dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I)
dengan Susuhunan PB III, 2 hari setelah perjanjian Giyanti dilakukan.
Meskipun demikian, warisan budaya feminim juga masih bisa
Wawancara GPH Pujaningrat, 4 Juni 2020
H. Overbeek. 1934. Gobag Sodor dalam Majalah Djawa Year 1934, volume 014,
issue 004 hlmn
dijumpai tetapi tidak mendominasi.
Gobag Sodor awalnya
merupakan permainan yang dimainkan oleh masyarakat kelas
menengah dan menjadi salah satu warisan budaya berupa
permainan tradisional yang berkembang di lingkungan sekitar
keraton yang kemudian juga banyak dimainkan oleh beberapa
kerabat dan keturunan Raja.
Gobag Sodor tercipta untuk menggembleng fisik anak anak
dan sekaligus meningkatkan mentalitas agar mereka menjadi kuat,
pemberani, cermat, memiliki tingkat kewaspadaan yang tinggi. Pada
perkembangannya permainan Gobag Sodor juga dimainkan oleh
perempuan. Gabungan kata Gobag Sodor berarti permainan dimana
pemain bergerak melewati penjanga, dengan pemimpin penjaga
berada di garis tengah. Memilih tempat Seperti yang ditunjukkan
oleh garis pada bidang tanah yang datar. Anak laki-laki yang lebih
kecil, yang menganggap permainan tersebut agak terlalu rumit.
Gobak Sodor sejatinya telah diulas secara ilmiah dalam
Majalah Djawa, yang diterbitkan oleh Java Instituut, tahun 1934,
volume 14, edisi 4. Saat ini gobag sodor telah dimainkan oleh
generasi ke 7. Gobag sodor dimainkan oleh anak anak usia 9 tahun
hingga orang orang dewasa usia 20an tahun. Permainan tersebut
Wawancara KPH Pujaningrat maret 2020 di Keraton Yogyakarta.
Anonim. 1910. School en leven weekblad voor opvoeding en onderwijs in school en
huisgezin. Wolters, Groningen. Hlmn 539-540
pada perkembangannya dimainkan juga oleh perempuan, namun
dengan gerak terbatas. Anak anak dari dalam lingkungan keraton
Yogyakarta dan di luar tembok keraton Yogyakarta banyak
memainkan permainan ini untuk mengisi waktu sore mereka.
Keseharian anak-anak para elit keraton Yogyakarta selain dituntut
belajar, mereka juga sering bermain di sekitar lingkungan Keraton.
Herjuno Darpito dan adiknya (kerabat HB X) tinggal di Keraton
Kulon, sering bermain Gobag Sodor.
Gobag Sodor juga diajarkan
dalam kurikulum Sariswara (sebagai bagian dari Taman Siswa).
Gobag Sodor yang dimainkan oleh wanita. Sumber: repro sketsa
gambar H. Overbeek
A. Ariobimo Nusantara. 1999. Sri Sultan Hamengku Buwono X meneguhkan tahta untuk
rakyat. Jakarta: Gramedia
Eka Pamuji Rahayu , S. Sugito. JPPM (Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat), 5
(1), 2018, 19-32
B. Konteks keberadaan permainan, fungsi sosial budaya
ekonomi bagi kehidupan masyarakat DIY dulu dan kini
Permainan gobak sodor, trebung, raton, geritan, obrog,
panahan, jamuran, dll mendidik anak untuk memiliki tubuh yang
kuat serta sehat, kecekatan, berani, cermat, fokus dan memiliki
penglihatan yang tajam. Permainan tersebut menjadi bagian dari
kurikulum Sariswara yang diselenggarakan oleh Taman Siswa.
Hal
yang membedakan permainan gobak sodor antara wilayah daerah
Istimewa Yogyakarta dengan wilayah lainnya yaitu kata-kata yang
diucapkan oleh para pemain terutama untuk mengecoh pemain yang
mendapat giliran untuk berjaga. Di Yogyakarta, pemain penyerang
mengecoh dengan kalimat
Dor, Sodoren Aku, Sing Nyodor Budëg Bisu.
Dor (Orang yang menjadi Sodor), tusuk aku
dengan sodor; Yang menusuk dengan sodor
tuli dan bisu
Di wilayah Yogyakarta dan Jawa tengah, terdapat sebutan yang sama
untuk permainan ini. Penjaga yang berdiri di garis tengah juga
memiliki sebutan yang sama yaitu sodor. Para pelari yang berhasil
meloloskan diri dari penjaga selalu meneriakkan Iwak (ikan) yang
Eka Pamuji Rahayu , S. Sugito. JPPM (Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat), 5
(1), 2018, 19-32
ditujukan untuk memberitahukan kelompoknya bahwa pelari
tersebut telah lolos dari penjagaan, sehingga menandakan
kemenangan bagi pihaknya. Selain itu, kode lainnya yaitu teriakan
kata Mentas yang berarti "Selesaikan!". Jumlah pemain bervariasi
biasanya antara enam hingga sepuluh pemain. Jika pemain
berjumlah 6 orang, maka formasi pemainnya yaitu tiga pemain
sebagai tim penyerang dan 3 orang sebagai tim yang bertahan. Tim
yang menyerang harus masuk dalam satu kotak di antara dua garis
silang dan garis tengah. Terdapat penjaga di setiap baris yang
bersiap menangkap atau menyentuh pemain lawan. Terkadang sulit
bagi lawan untuk mengalihkan perhatian agar dapat melarikan diri.
Jika tim penyerang beranggapan bahwa situasinya dianggap tidak
memiliki harapan untuk lolos dari penjagaan, pemain dari tim
penyerang kemudian menyerah, dan tim berganti. Permainan Gobag
Sodor juga menyebar hingga wilayah Periangan dan sekitarnya,
seperti yang dijumpai di wilayah Cirebon, Majalengka, dan wilayah
lainnya. Hal ini tercatata dalam memoar kunjungan Dr. Holtzappel.
Mereka menyebut permainan tersebut dengan sebutan Gobag Galah.
Sebagian wilayah juga masih menyebut dengan Gobag Sodor. Tidak
ada perubahan peraturan dalam permainan tersebut, hanya
penggunaan bahasa saja yang berubah disesuaikan dengan
lingkungan budaya di wilayah tersebut . Anak laki-laki desa-desa di
Preanger yang dikunjungi oleh Dr. Holtzappel banyak memainkan
permainan tersebut.
C. Cara bermain
Permainan tradisional Gobak dimainkan oleh dua kelompok yaitu
kelompok penyerang dan kelompok bertahan. Setiap kelompok
tersebut berisi minimal 3 pemain. Kelompok bertahan (defensif)
harus memblokir pemain penyerang (ofensif), yang akan berlari
melintasi baris pertahanan mereka dengan bergerak ke kiri dan
kanan atau maju mundur. Di sisi lain, kelompok penyerang harus
berusaha berlari melintasi garis yang dijaga oleh pemain bertahan.
Jika pemain yang berjaga (bertahan) berhasil menyentuh pemain
penyerang (berlari), maka pemain penyerang tersebut harus keluar
dari permainan. Permainan akan berakhir dan masing masing
kelompok akan bertukar posisi setelah semua atau sebagian besar
pemain penyerang berhasil melewati pemain bertahan. Permainan
bisa dibatasi dengan waktu, dan skor didasarkan pada jumlah total
anggota kelompok yang berhasil melewati batas.
Deskripsi permainan gobag sodor pada masa kolonial tidak
begitu jelas atau tidak lengkap. Berdasarkan penuturan, salah
H. A. Holtzappel and W. R. Geddes. 1953. THE GALAH GAME OF INDONESIA: A Study in
Diffusion. The Journal of the Polynesian Society, Vol. 62, No. 1 (March, 1953), pp. 1-12
Fan Hong, Lu Zhouxiang. 2020. The Routledge Handbook of Sport in Asia. London: Routledge
satunya oleh pemerhati permainan anak anak tahun 1930an dari R.
Kismana di Yogyakarta. R. Kismana juga pelaku yang melestarikan
permainan tersebut hingga tahun 1930an. Permainan gobag sodor
dimainkan oleh anak laki-laki maupun perempuan. Jumlah pemain
harus genap; minimal 4, maksimal 12 pemain.
Seperti yang telah dijelaskan, garis melintang panjang di
tengah-tengah lapangan disebut "sodor". Semua garis ini ditempati
oleh para pemain dan lawan harus mencoba melewati semua garis
tersebut tanpa tertangkap atau terpegang lawan. Selain itu, mereka
juga harus kembali ke posisi semula dengan melewati penjaga
(bolak-balik). Jika semua pemain bolak-balik tanpa tertangkap,
mereka sudah memenangkan 1 poin. Hal ini berlanjut sampai salah
satu diraih, lalu kelompok pemain berganti posisi.
Pemain dibedakan ke dalam 2 regu, yaitu penjaga garis dan
pelintas. "Gobag" merupakan nama permainan anak-anak yang
terdiri dari kotak persegi memanjang dengan garis melintang, di
mana salah satu pemain berjaga untuk mencegah penetrasi pihak
lawan. istilah dalam permainan Gobag, yang diserukan oleh salah
satu pemain yang menjaga semua lingkaran oleh tim lawan "Manis",
dalam beberapa daerah di Yogyakarta disebut "masin". Pemain
Ben Anthonio. Indische kinderspelletjes, dalam //www.indischhistorisch.nl/wp-
content/uploads/2013/05/Anthonio_kinderspelletjes.pdf diakses tanggal 30 juli 2021
terakhir harus melintas tanpa disentuh, sebagai tanda bahwa dia
telah menang .
Sebuah kotak besar memanjang digambar di atas tanah, dibagi
menjadi dua dengan garis tengah memanjang. Kedua bagian dibagi
menjadi kotak dengan ukuran yang sama dengan jumlah garis
melintang sebanyak setengah dari jumlah pemain. Keika tahun
1930an, ruang publik Yogyakarta memang masih luas. Oleh karena
itu ukuran area kotak besar gobag sodor untuk sepuluh pemain
biasanya memiliki lebar 4 m dan panjang 20 m. Pada setiap
kompartemen memiliki lebar 2 m dan panjang sekitar 6 m. Adapun
contoh konfigurasinya sebagai berikut.
6 pemain - 3 garis melintang - 4 kotak
8 pemain 4 garis melintang - 6 kotak
10 pemain 5 garis melintang - 8 kotak
Berikut adalah contoh konfigurasi 8 pemain dengan 4 garis melintng
dan berisi 6 kotak.
Delapan pemain tersebut dibagi ke dalam dua kelompok:
1. Kelompok bertahan, dengan pemain a, b, c, d,
2. Kelompok penyerang (pelintas), pemain f, g, h, i.
Ketika para pemain dibagi menjadi dua kelompok (regu),
ditentukan dengan cara "asat agung" untuk menentukan posisi
apakah menjadi penyerang atau pelintas. Untuk menentukan pemain
dari pihak lain harus menebak apakah itu menjadi "asat" atau " agung
" dilakukan dengan melempar pecahan batu, genting atau tembikar
di udara. Disebut "asat" (surut) apabila pecahan tembikar yang jatuh
ke tanah dengan sisi yang kering menghadap ke atas, sedangkan
"agung" (banjir) apabila tembikar jatuh dengan bagian yang
mengkilap (basah) menghadap ke atas. Kelompok yang kalah
menjadi penyerang.
Sebelum permainan dimulai pemain harus sepakat apakah
menggunakan cara "jawilan" (disentuh) atau "ceg-cëgan"
(dipegang/ditangkap)
. Setelah disepakati, pemain dari kedua
pihak kemudian berada dalam posisinya masing masing. Tujuannya
adalah agar pemain kelompok pelintas/ penyerang berlari melewati
rangkaian kotak besar, kemudian kembali lagi, dan pemain
kelompok bertahan atau penjaga mencegah atau memblokir
langkahnya. Permainan biasanya dimulai dari sebelah kanan
lapangan (area) ke sebelah kiri kemudian kembali lagi di babak
kedua. Susunan kelompok bertahan/ penjaga antara lain a bergerak
di garis AB dan juga JI, pemain a dianggap sebagai pemimpin
kelompok defensif dan disebut "sodor", garis tengah JI juga disebut
"sodor". Pemain b bergerak di baris CD, dia mempertahankan
wilayah di baris kedua. Pemain c bergerak di baris EF,dan pemain d
bergerak di baris GH. Masing masing pemain defensif tersebut hanya
diperbolehkan melangkah di jalurnya sendiri. Tidak satu pun dari
pemain tersebut diperbolehkan untuk meninggalkan garis
(melangkahkan kaki ke luar batas).
Para pemain penyerang / pelintas berdiri satu sama lain
dalam barisan di titik awal (depan garis kotak sebelah kanan)
Biasanya anak anak sekarang lebih menyukai cara "jawilan" (disentuh) daripada
"ceg-cëgan" (dipegang/ditangkap), karena menangkap/ memegang lebih sulit bagi
kelompok bertahan/penjaga
dengan jarak aman (tidak tersentuh/ terjangkau pemain yang
berjaga. Mereka kemudian mencoba memasuki kotak. Tidak ada
aturan baku yang mengatur siapa yang harus maju lebih dahulu.
Mereka harus berhasil melewati garis AB. Biasanya penyerang
lainnya mencoba mengalihkan perhatian dengan menggoda penjaga
garis dan berkata:
Dor, Sodoren Aku, Sing Nyodor Budëg Bisu.
Dor (Orang yang menjadi Sodor), tusuk aku
dengan sodor; Yang menusuk dengan sodor
tuli dan bisu
Ungkapan tersebut dilontarkan ketika pemain pelintas berdiri di
dekat garis AB, seolah ingin masuk ke dalam kotak.
Sumber: Majalah Djawa Year 1934, volume 014, issue 004 hlmn
Aturan yang berlaku bagi kelompok penyerang (ofensif) yaitu
setelah mereka memasuki wilayah kotak utama yang ada di dekat
sodor, mereka tidak diperbolehkan kembali. Mereka tetap berada di
tengah salah satu kotak, agar tidak bisa tersentuh pemain lawan.
Pemain tersebut harus menunggu kesempatan yang bagus untuk
maju ke kotak selanjutnya.
Rute, dan jalur yang harus ditempuh pemain penyerang tidak
ditentukan. Penyerang dapat memulai kapan saja mereka mau,
sehingga dapat memilih untuk masuk dari kotak sebelah kiri atau
kotak sebelah kanan dari pemain penyerang saat melintasi garis AB.
Penyerang tidak diperkenankan untuk berpindah kotak secara
diagonal, dan hanya diperbolehkan berpindah dari satu kotak ke
kotak di sebelahnya. Oleh karena itu, pemain pelintas atau
penyerang yang masuk melalui kotak 1 dapat berpindah ke kotak 4,
dan apabila masuk dari kotak 2, dapat berpindah ke kotak3. Pemain
yang masuk dari kotak 2 tidak diperkenankan melintas ke kotak 3.
Pemain yang melintas dari kotak 1, bisa ke kotak 2, pemain yang
melintas dari kotak 3 bisa melintas ke kotak 4 atau 6, tetapi tidak
diperkenankan ke kotak 5, dll. Larangan melintas secara diagonal
disebabkan pelintas memiliki peluang lebih besar menang, sehingga
tidak diperbolehkan. Langkah pemain penyerang antara satu dan
lainnya berbeda dan tergantung pada probabilitas atau peluang.
Pemain boleh melewati 1, 4, 5, tetapi juga boleh melewati 1, 2, 3, 4,
5, 6. Pemain dinyatakan kalah apabila melewati batas garis luar area
permainan Gobag Sodor (kecuali garis di akhir sebagai jalur lintasan.
Seluruh anggota pemain penyerang/ pelintas dengan pihak bertahan
harus bergerak sesuai aturan main.
Jika seorang pemain penyerang/ pelintas telah berhasil
melewati seluruh area utama (keluar melewati garis GH), dia harus
kembali lagi melintas hingga melewati AB. Rute yang diambil bebas,
namun tidak boleh diagonal (seperti aturan yang telah dijelaskan).
Jika pemain pelintas/ penyerang telah melewati garis GH dan akan
kembali, biasanya pemain bertahan/ penjaga yang melihat akan
berteriak “Maling, Maling!” (pencuri, pencuri). Hal tersebut
ditujukan untuk memperingatkan sesama pemain bahwa mereka
juga harus memperhatikan pelintas/ penyerang yang kembali dari
bagian belakang.
Seringkali pemain penyerang melakukan strategi menyusup
dari dua sisi, hal ini menyulitkan para pemain bertahan/ penjaga dan
membuat mereka harus menjadi lebih waspada. Jika aturan
permainan adalah dengan dijawil/ disentuh, apabila salah satu
pemain penyerang/ pelintas disentuh oleh salah satu pemain
bertahan/ penjaga, makan pemain penjaga berteriak “këjawil”, dan
permainan, permainan dihentikan sementara, dan pemain
penyerang harus bertukar posisi menjadi pemain penjaga. jika
aturan permainan menggunakan "cëg-cëgan", salah satu pemain dari
pelintas/ penyerang harus ditangkap dan ditahan oleh salah satu
pemain dari kelompok bertahan/ penjaga. Pemain penjaga yang
berhasil menangkap pemain pelintas biasanya berteriak "këcandak"
(tertangkap), permainan berhenti, dan kedua belah pihak berpindah
posisi.
Jika salah satu pemain kelompok penyerang berhasil
melintasi area utama gobag Sodor dan kembali dengan selamat
(tanpa tersentuh atau tertangkap) melewati garis AB. Setelah
berhasil melewati garis AB pemain tersebut berteriak: "Butul!" atau
" Masin” sebagai tanda bahwa kelompok pelintas/ penyerang
berhasil memenangkan pertandingan. Hal ini menandakan
permainan babak pertama berakhir. Para pemain kemudian
berkumpul di sebelah kanan area Gobag Sodor, dan setiap pemain
dari kelompok penjaga harus menjadi "ilon" dengan menggendong
pemain kelompok penyerang/ pelintas dari garis AB ke garis GH dan
kembali ke garis AB. Setelah itu, permainan dimulai lagi, dengan
bertukar peran (penyerang menjadi penjaga dan sebaliknya).
Para pemain dari masing-masing kelompok dapat bergantian
posisi selama permainan. Pemain yang ingin berganti posisi dengan
anggota kelompoknya yang lain berteriak: "Nas!", kemudian diikuti
dengan nama pemain yang ingin diajak bertukar posisi, kemudian
berteriak lagi "Alih lintang". "Nas" merupakan singkatan dari kata
"banas", artinya memberitahukan kepada seluruh pemain bahwa
akan ada pertukaran pemain dan permainan dihentikan sementara.
Setiap pemain tetap pada tempatnya. Alih lintang berasal dari kata
"Alih" yang artinya pindah, sedangkan "lintang" memang serupa
dengan kata lintang yang berarti bintang. Namun demikian dalam
permainan Gobag Sodor, kata lintang merujuk pemain lain atau liya,
alih lintang berarti pindah posisi. Pertukaran pemain dilakukan
karena alasan strategis. Pemerhati permainan tradisional di
Yogyakarta tahun 1930an (R. Kismani)menjelaskan bahwa alih
lintang boleh dilakukan jika pemain merasa kemampuannya tidak
seimbang dngan lawan, antara lain memiliki fisik yang lebih tingi,
langkah lari lebih panjang, dll. Pergantian posisi ini sering dilakukan
untuk strategi kepentingan permainan.
Foto repro permainan Gobag Sodor yang dimainkan anak-anak
Sekolah Dasar, Dokumentasi Dinas Kebudayaan DIY tahun 1997
Biasanya terdapat hukuman bagi pemain yang kalah yaitu pemain
yang kalah harus menggendong pihak yang menang di punggungnya.
Para pemain harus memperhitungkan kekuatan yang seimbang ke
dalam dua kelompok apabila menerima hukuman. Misalnya, a kira-
kira memiliki ukuran tubuh dan kekuatannya sama dengan f, maka
a akan meminta f dengan berkata: “Kowé dadi ilonku, ya? "(Kamu jadi
pasangan penggendong saya ya?). Mereka juga mencoba untuk
menggendong satu sama lain di punggung mereka. Siapa pun yang
menang, memilih berhak memilih sisi yang dia inginkan.
ǤPersebaran di wilayah ǤDI Yogyakarta dan Pelaku Budaya yang
Melestarikan
Dr. J Ph. Duyvendak juga menjelaskan dalam artikel berjudul "Het
Kakean-Genootschap van Seran" yang dikutip Overbeek, bahwa
permainan Gobag Sodor mirip dengan permainan yang berasal dari
Eropa yang disebut "Entai" yang berarti menginjak “garis tangga”.
Permainan tersebut dilakukan dengan menggambar garis
menggunakan kayu di sebidang tanah.
Meski demikian, tidak ada
penjelasan spesifik keterkaitan permainan tersebut dengan
keberadaan Gobag Sodor. Hampir sama dengan permainan Cublak
Cublak Suweng, permainan Gobag Sodor tersebar hingga ke seluruh
wilayah Yogyakarta, bahkan hingga ke luar wilayah Yogyakarta.
Permainan Gobag Sodor banyak diminati oleh anak anak di beberapa
wilayah dan memiliki nama lain di beberapa wilayah di Indonesia
H. Overbeek. 1934. Gobag Sodor dalam Majalah Djawa Year 1934, volume 014,
issue 004
antara lain Galah Asin, Blak Sodor, Galasin, Goblak Sodor, Kucing-
kucingan, Sodoran, Nakaminak, Kali Kadang, Main Galah, Adang-
adangan, Dang-adangan, Selodoran, Selodor, Asin Naga, Basinan,
Bahadangan, Baburungan, Galah Asor, Bermain Hadanag, Calabur,
Hadang Sodor
Aturan permainan memiliki kesamaan, hanya saja di
wilayah tersebut merupakan bentuk adaptasi dari menyebarnya
permainan tradisional. Masyarakat di wilayah lain menambahkan
kata-kata instruksi dalam permainan disesuaikan dengan bahasa
lokal. Gobag Sodor juga kemudian berkembang menjadi beberapa
permainan yang lebih ringan, seperti Gobag Gendul dan Gobag
Bunder.
Iswinarti. 2017. Permainan Tradisional: Prosedur dan Analisis Manfaat Psikologis. Hlmn 44
H. Overbeek. 1934. Gobag Sodor dalam Majalah Djawa Year 1934, volume 014,
issue 004
Ilustrasi permainan Gobag Bunder dan Gobag Gendul. Sumber: .
Overbeek. 1934. Gobag Sodor dalam Majalah Djawa Year 1934,
volume 014, issue 004
Gobag Sodor hanya menggunakan instrumen berupa kayu/
sodor dan atau genting untuk menggambar garis sodor. Dahulu,
penggunaan Sodor (tombak) ditujukan agar garis terlihat jelas dan
tidak mudah terhapus saat dilewati pemain yang berjaga. Selain itu
Instrumen yang digunakan dan Dimensi ukuran volume instrumen
permainan termasuk lama permainan. Pemain dihimbau
menggunakan pakaian yang memudahkan untuk bergerak agar
terhindar dari cedera. Pemain Gobag Sodor wanita pada periode
sebelum tahun 1950an biasanya bermain dengan gerak langkah yang
terbatas karena mereka memakai Jarik (tapih).
Permainan Gobag Sodor banyak dilakukan oleh anak anak
Sekolah dasar di waktu istirahat sekolah. Pemandangan tersebut
sering dijumpai hingga periode tahun 1990an. Saat ini permainan
tersebut masih terus dipertahankan salah satunya dalam kurikulum
Sariswara. Salah satu tokoh yang aktif dalam Sariswara saat ini yang
masih menggunakan permainan Gobag Sodor dalam kurikulum yaitu
Listyo H.K., atau lebih dikenal dengan sebutan Cak Lis.
Makna dan Nilai yang Terdapat dalam Permainan Gobag Sodor
Gobag Sodor merupakan permainan yang hanya mengandalkan
gerak, tanpa adanya lirik lagu sebagai pengiring permainan. Hanya
terdapat beberapa ucapan dalam permainan tersebut. Oleh karena
itu, permainan tersebut lebih banyak memiliki makna yang tersirat
daripada makna yang tersurat. Adapun makna yang tersurat
terdapat dalam ungkapan
Dor, Sodoren Aku, Sing Nyodor Budëg Bisu.
Dor (Orang yang menjadi Sodor), tusuk aku
dengan sodor; Yang menusuk dengan sodor
tuli dan bisu
Ungkapan yang dilontarkan oleh pemain dari grup penyerang/
pelintas tersebut memiliki makna untuk mengingatkan penjaga
bahwa dalam kehidupan, kta harus peduli terhadap lingkungan,
saling menjaga, jangan sampai lengah.
Konsep Terkait dengan Nilai
Sukses, mampu, ambisius, berpengaruh,
cerdas, harga diri
Penolong, jujur, pemaaf, setia,
bertanggung jawab, persahabatan sejati,
Kekuatan sosial, otoritas, kekayaan,
menjaga citra publik, pengakuan sosial
Bersih, keamanan nasional, ketertiban
sosial, balas budi, sehat, rasa memiliki
Kreativitas, kebebasan, memilih tujuan
sendiri, mandiri, kehidupan pribadi
Berani, hidup yang bervariasi, hidup
yang menyenangkan
Taat, menerima bagian dalam hidup,
rendah hati, moderat, menghormati
tradisi
Melindungi lingkungan, keadilan sosial,
kebijaksanaan, kesetaraan, harmoni batin
Aypay, A. (2016). Investigating the role of traditional children’s
games in teaching ten universal values in Turkey. Eurasian Journal
of Educational Research, 62, 283-300, //dx.doi.org/
10.14689/ejer.2016.62.14
Nilai pencapaian yaitu konsep sukses, mampu dan cerdas, terutama
terkait strategi bermain agar lolos dari penjagaan. Sebaliknya,
penjaga juga menerapkan strategi agar pemain lawan tidak bisa
lolos. Strategi tersebut mengasah kemampuan berfikir taktis anak
anak untuk menganalisis atas permasalahan yang dihadapi dan
mencari solusi secara tepat dan akurat. Nilai yang lain yaitu
kebajikan terutama kejujuran, berkaitan dengan sportivitas dalam
bermain gobag sodor. Selain itu persahabatan sejati, dalam hal ini
seluruh anggota kelompok harus bersatu dan saling menolong.
Kesesuaian terutama disiplin diri, menanamkan sikap kewaspadaan
serta terjaga dari kelengahan.
Nilai selanjutnya dalam permainan Gobag Sodor yaitu
kekuatan terutama kekuatan sosial. Dalam hal ini, kohesivitas sosial
dan kekompakan yang dibangun sebagai bagian dari simulasi untuk
menghadapi kehidupan sosial yang sesungguhnya. Selain itu nilai
Keamanan dalam hal ini ketertiban sosial. Para pemain harus
mengikuti aturan dan tertib dalam melaksanakan tugasnya sebagai
penyerang maupun penjaga. Nilai selanjutnya yaitu arahan diri
khususnya dalam memilih tujuan sendiri. Pemain harus bisa
memetakan kemampuan dan menentukan apakah bisa berhasil atau
tidak dalam mengambil langkah. Pemain juga memetakan apakah
lawan yang dihadapi masih bisa ditandingi dengan kemampuan
yang dimilikinya atau tidak. Nilai Stimulasi, khususnya yaitu berani
khususnya dalam menentukan sikap. Nilai lainnya berupa
universalisme, dalam hal ini melindungi lingkungan di sekitarnya.
Gobag Sodor menggunakan peralatan yang sederhana, sehingga
ramah lingkungan.
Manfaat bagi Tumbuh Kembang Anak
Beberapa kurikulum pendidikan merekomendasikan agar lebih
banyak perhatian diberikan pada pendidikan jasmani. Sekolah-
sekolah di Yogyakarta (khususnya sekolah Rakyat), pada tahun
1940-an banyak memasukkan kurikulum olahraga dan juga
permainan dalam kegiatan belajar mengajar. Permainan yang
masuk dalam kurikulum salah satunya yaitu Gobag Sodor. Alokasi
jam pelajaranyang digunakan berkisar antara 1-2 jam, untuk
memainkan permainan tersebut. Beberapa sekolah juga
menggiatkan kompetisi untuk mempopulerkan permainan
tradisional tersebut bagi anak-anak. Kompetisi tersebut melibatkan
anak anak dari berbagai sekolah rakyat. Kompetisi tersebut
melibatkan 3 orang wasit untuk mengawasi permainan. Seperti
halnya wasit sepak bola, satu orang bertindak sebagai wasit utama,
dua orang lainnya menunjukkan kesalahan pemain dengan bendera.
Kompetisi yang diadakan berjenjang dari sekolah rakyat tingkat
kecamatan hingga tingkat kabupaten. Permainan Gobag Sodor dan
berbagai permainan tradisional lainnya merupakan sarana untuk
menjaga generasi muda agar selalu tetap fit dan siap/ sigap.
Selain
itu, permainan tersebut seperti yang telah dijelaskan juga memupuk
rasa kesetiakawanan dan meningkatkan kohesi sosial.
Salah satu kriteria yang digunakan dalam mengelompokkan
permainan ke dalam kategori analisis adalah apakah setiap
permainan mengarah pada pembelajaran atau kesadaran terkait
dengan suatu nilai. Kriteria lain adalah adanya konsep yang
dikembangkan yang menekankan pada nilai (pemenang dan pihak
yang kalah, persaingan yang sehat, hukuman, hiburan, saling
bekerjasama,saling mendukung, dan kohesivitas sosial).
Hal
tersebut terdapat dalam permainan Gobag Sodor. Permainan
tersebut bisa membentuk karakter anak yang enerjik dan berfikir
taktis dan strategis. Anak yang bermain Gobag Sodor juga tumbuh
Sport en spel. De Indische courant 20-01-1941
Aypay, A. (2016). Investigating the role of traditional children’s games in teaching ten
universal values in Turkey. Eurasian Journal of Educational Research, 62, 283-300,
//dx.doi.org/ 10.14689/ejer.2016.62.14
menjadi orang yang peduli dan waspada terhadap lingkungan
sekitar.
Tantangan Pelestarian serta Solusi
Hampir sama dengan yang dialami oleh cublak-cublak suweng,
ketergantungan anak terhadap gawai juga manjadi ancaman
terhadap pelestarian permainan tradisional Gobag Sodor. Oleh
karena itu, dibutuhkan sosialisasi yang mampu meningkatkan
kesadaran orang tua untuk aktif mendorong anak agar mau
berinteraksi dengan anak lainnya melalui permainan tradisional.
Bermain permainan tradisional dengan pendampingan orang tua
juga sangat baik bagi pertumbuhan kesehatan mental anak.
Kendala lainnya yang menjadi kendala dalam pelestarian
permainan tradisional Gobag Sodor yaitu kondisi pandemi yang
belum kunjung mereda. Oleh karena itu, perlu adanya
penyelenggaraan Festival dolanan anak yang terpadu secara daring,
dilengkapi dengan permainan interaktif yang meningkatkan minat
dan mengedukasi anak anak terhadap permainan tradisional
khususnya Gobag-Sodor.
Permasalahan lainnya yang dihadapi yaitu permainan seperti
Gobag Sodor membutuhkan tanah yang lapang untuk bermain,
sementara itu, ketersediaan ruang terbuka untuk publik terutama di
wilayah kota Yogyakarta sangat terbatas. Gobag Sodor tersebut
lambat laun mulai ditinggalkan karena berkurangnya ruang publik
terutama di wilayah Kota Yogyakarta. Data tahun 2017
menunjukkan bahwa Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta hanya
tersisa sekitar 9,76%. Sementara itu, ruang terbuka hijau yang
bersifat privat 20,61%.
Penyediaan ruang terbuka publik ramah
anak juga menjadi salah satu hal krusial yang harus diperhatikan
oleh pemerintah.
Nisrina Mei Dhaniar. 2017. Evaluasi Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Dengan Pendekatan
Berbasis Objek Di Kota Yogyakarta Tahun 2017. Skripsi, Program Studi Geografi Fakultas
Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta hlmn 15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Permainan Cublak-Cublak Suweng memiliki asal-usul yang
panjang, liriknya merupakan manifestasi pemikiran cendekiawan
kala itu, yaitu Sunan Giri. Seiring dengan perkembangan zaman dan
dinamika sosial, permainan tersebut kemudian mendapat sentuhan
beberapa elit Mataram Islam sehingga menjadi tradisi dan
permainan yang banyak dimainkan oleh anak anak hingga saat ini.
Persebaran permainan tersebut hampir di seluruh pulau Jawa,
namun permainan Cublak Cublak Suweng yang terdapat di
Yogyakarta memiliki perbedaan terutama dalam hal lirik lagu yang
digunakan. Perbedaan lirik lagu tersebut sesuai dengan putaran
permainan. Pada perkembangannya, perbedaan lirik tersebut tidak
lagi digunakan karena kesulitan bagi anak anak untuk menghafalkan
seluruh lirik lagu.
Permainan tradisonal Gobag Sodor merupakan permainan
rakyat di Yogyakarta, yang tercipta karena anak-anak menginginkan
latihan fisik meniru prajurit keraton. Permainan tersebut kemudian
dimainkan juga oleh anak-anak para bangsawan di lingkungan
keraton. Gobag Sodor menjadi permainan yang banyak diminati
oleh masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Permainan tradisional
cublak-cublak Suweng maupun gobak sodor merupakan jenis
permainan yang sederhana, tidak membutuhkan media permainan
yang kompleks. Namun demikian, permainan tersebut mengajarkan
nilai-nilai yang bermanfaat bagi tumbuh kembang anak. Baik Cublak
Cublak suweng maupun Gobag Sodor mengajarkan nilai nilai yang
positif dan dapat bermanfaat bagi tumbuh kembang anak.
Permainan tradisional anak-anak baik yang menggunakan
alat bantu maupun tidak menggunakan alat bantu memiliki beragam
manfaat khususnya bagi tumbuh kembang anak. permainan anak-
anak juga mengajarkan beragam nilai, antara lain gotong royong,
kerjasama, kegigihan, sportivitas,dan nilai lainnya. Nilai nilai
tersebut bermanfaat dalam tumbuh kembang anak di masa
depannya Para pendahulu, memiliki pemikiran visioner terutama
dalam mendidik serta mengembangkan karakter anak-anak melalui
permainan yang bersifat edukatif serta memadukan aspek motorik
psikomotorik dan afektif.
B. Saran
Perlu dukungan dengan menyediakan ruang dan fasilitas terhadap
pengembangan komunitas bermain anak-anak, yang memanfaatkan
permainan-permainan tradisional, sekaligus sebagai wadah
pengembangan kognitif psikomotorik serta karakter. Penyediaan
ruang publik ramah anak, terutama di wilayah kota Yogyakarta dan
sekitarnya perlu dilakukan, agar masyarakat khususnya anak –anak
bisa belajar sekaligus berinteraksi khususnya melalui permainan
tradisional. Selain itu, perlu adanya pamong/ guru yang
membimbing anak anak untukbelajar melalui permainan tradisonal,
salah satunya dengan memfasilitasi Sariswara untuk
mengembangkan tenaga pendidik dan kurikulum. Dengan demikian,
internalisasi nilai dan pengembangkan karakter melalui permainan
tradisional diharapkan bisa
Masuknya permainan tradisonal anak anak seperti Cublak
Cublak Suweng dan Gobag Sodor dalam kurikulum muatan lokal,
maupun pendidikan jasmani dan kesehatan (tentunya dengan
sentuhan kearifan lokal) menjadi prioritas untuk digiatkan kembali.
Sudah seharusnya stakeholder lintas disiplin/ bidang terutama di
Daerah Istimewa Yogyakarta perlu berintegrasi dengan
memasukkan kurikulum permainan tradisional anak anak dalam
kegiatan belajar mengajar, diawali dengan pengenalan terhadap
permainan dan praktik permainan.
Kendala lainnya yang dihadapi yaitu seringkali lirik lagu
permainan anak anak masih banyak yang tersimpan dalam buku
beraksara Jawa. Oleh karena itu, perlu inventarisasi dan kajian
mendalam untuk membedah nilai nilai yang terdapat dalam lirik lagu
tersebut, sehingga bisa diaplikasikan oleh guru/ pendidik sesuai
dengan tujuan diciptakannya permainan tradisional tersebut.
Dengan demikian, pembelajaran permainan anak anak bisa sesuai
dengan tujuan diciptakannya permainan tersebut. Selain
itu,internalisasi nilai nilai yang terdapat dalam permainan tersebut
bisa maksimal pada anak- anak, sehingga mereka bisa tumbuh dan
berkembang dengan baik dengan menghargai tradisi dan peduli
terhadap lingkungan di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
“Kijahi Kanjoet Mesem” //otto10.fr/
Allsop, Y. 2012. Exploring the Educational Value of Children's Game
Authoring Practises: A Primary School Case Study.
Conference Paper at University College London
Anonim. 2000. Refleksi seni rupa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Anonim. 1901. Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde
edisi, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen
Anonim. 1910. School en Leven Weekblad Voor Opvoeding En
Onderwijs In School En Huisgezin. Wolters,
Groningen.
Anthonio, B. Indische kinderspelletjes, dalam Indische spelletjes –
Indischhistorisch, www.indischhistorisch.nl. Diakses
tanggal 29 februari 2021 pukul 21.30
Astuti, K. S. et.al. 2019. 21st Century Innovation in Music Education:
Proceedings of the 1st International Conference of the
Music Education Community (INTERCOME 2018),
October 25-26, 2018, Yogyakarta, Indonesia.
Routledge
Aypay, A. (2016). Investigating the role of traditional children’s
games in teaching ten universal values in Turkey.
Eurasian Journal of Educational Research, 62, 283-
300, //dx.doi.org/ 10.14689/ejer.2016.62.14
Denzin, Norman K. (Ed) Lincoln, Yvonna S. (Ed). 1994. Handbook of
qualitative research. Sage Publications, Inc.
Fanhas E., Khomaeny, F. dkk. Indonesian Parenting. Edu Publisher.
Fink, A. 2005. Conducting Research Literature Reviews: From the
Internet to Paper. 2nd ed. Thousand Oaks, CA: Sage
Firat, A. F., Dholakia, N. 2003. Consuming people: from political
economy to theaters of consumption. Routledge
interpretive marketing research series. London:
Routledge.
Fitri, A. Z. 2020. Integrasi Pengembangan Keilmuan di Perguruan
Tinggi Keagamaan Islam. Tulungagung : IAIN Tulung
Agung Press
Hamzuri, Siregar, T. R. 1998. Permainan Tradisional Indonesia.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan
Hesse-Biber, S. J., & Leavy, P. L. (2010). The practice of qualitative
research (2nd ed.). SAGE Publications.
Holtzappel, H. A., Geddes, W. R..1953. The Galah Game of Indonesia.
A study in diffusion. The Journal Of The Polynesian
Society. Vol 62 issue 2, pp 1-12
Hong, F., Zhouxiang, L. 2020. The Routledge Handbook of Sport in Asia.
London: Routledge
Iswinarti. 2017. Permainan Tradisional Prosedur dan Analisis
Manfaat Psikologis. Hlmn 62-63
Iswinarti. 2017. Permainan Tradisional: Prosedur dan Analisis
Manfaat Psikologis. UMMPress
Jackson, H. M., et.al. 1972. National Goals Symposium. U.S. Congress.
Senate. Interior and Insular Affairs
Jones, I., Brown, L., Holloway, I. 2012. Qualitative Research in Sport
and Physical Activity. London: SAGE
Khomaeny, E. F. dkk. Indonesian Parenting. Edu Publisher
Majalah Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers,
1922, no 42, 08-01-1922, Drukkerij Volkslectuur,
Weltevreden
Mancacaritadipura, G., dkk. 2009. Practical Handbook for Inventory
of Intangible Cultural Heritage of Indonesia. Jakarta
Kemenbudpar dan UNESCO
McPherson, G. G., Sugeng, B., et al( ed)). 2018. 21st Century
Innovation in Music Education Proceedings of the 1st
International Conference of the Music Education
Community (INTERCOME 2018), October 25-26,
2018, Yogyakarta, Indonesia.GRC
Nur, M. 2019. Permainan Tempo Dulu : era 90'an.
Nusantara, A. A. 1999. Sri Sultan Hamengku Buwono X meneguhkan
tahta untuk rakyat. Jakarta: Gramedia
Overbeck, H. 1933. Javaansche Meisjesspelen En Kinderliedjes.
Yogyakarta: Java Instituut
Overbeck, H. 1934. Gobag Sodor, dalam Majalah Djawa, Java Instituut
Yogyakarta tahun 1934, volume 014, edisi 4
Prabowo, D. P., V. Ratnawati, R., Suyami, Mumfangati, T. 2002
Geguritan Tradisional Dalam Sastra Jawa. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Pusat data dan Analisa Tempo. 2019. Menelisik Permainan Anak-
Anak dari Zaman Hindia. Jakarta: Tempo Publishing
Rusyad, D. (ed.). 2020. Kompilasi Permainan Rakyat Menggali Nilai-
nilai Budaya pada Khazanah Folklor Indonesia.
Abqarie Books
Salam, S. 1989. Nine Walis in the perspective of history. Kuning Mas
Sandholz, S. 2016. Urban Centres in Asia and Latin America: Heritage
and Identities in Changing Urban Landscapes. London:
Springer
Sari, M. K., Sayuti, S. A., Pardjono. 2019. Strengthening the Social
Character based on Traditional Children Game Sari
Swara at Taman Muda Ibu Pawiyata Elementary
School Yogyakarta. ICSTI 2019, September 20,
Yogyakarta, Indonesia. DOI 10.4108/eai.20-9-
2019.2292095
Sasi, G. A. dkk. 2011. Ngeteh di Patehan: Kisah di Beranda Belakang
Keraton Yogyakarta.Yogyakarta: Iboekoe
Satiyoko, Y. A., Prasetyo, A. 2013. Burung-burung kertas: antologi esai
dan cerpen pemenang lomba penulisan esai dan
cerpen bagi remaja tahun 2013. Yogyakarta: Balai
Bahasa D.I. Yogyakarta
Selin, H. 2008. Encyclopaedia of the History of Science, Technology,
and Medicine in Non-Western Cultures. Springer
Science & Business Media
Shalaev, V., Emelyanov, F., Shalaeva, S. 2020. Social Functions of
Games in Modern Society: Educational Perspectives.
Advances in Social Science, Education and Humanities
Research, volume 396 , 2020
Sigit, A. 2020. ‘Augmented Reality Tembang Dolanan Anak’ Inovasi
Pendidikan Karakter Masa Pandemi. Dalam
//www.krjogja.com/
Sport en spel. De Indische Courant 20 Januari 1941
Spradley.P. James. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta:Tiara Wacana
Sulistyaningtyas, R. E., Fauziah, P. Y. 2018. The Implementation of
Traditional Games for Early Childhood Education.
Advances in Social Science, Education and
Humanities Research, volume 326.
Suryani B. 2018. Ini Dia Permainan Tradisional Gerit-Gerit Lancung
dan Goco yang Harus Dilestarikan dalam
ogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/05/11/513
/915548/ini-dia-permainan-tradisional-gerit-gerit-
lancung-dan-goco-yang-harus-dilestarikan
Sutton, R. A. 1991. Traditions of Gamelan Music in Java Musical
Pluralism and Regional Identity. Cambridge
University Press
Tedjasaputra, M. S.. 2001. Bermain, mainan dan permainan. Grasindo
Yin, R. K. 1987. Case Study Research Design and Method. New York :
Sage. Publication
Maya Kartika Sari, Suminto A. Sayuti, Pardjono. Strengthening the
Social Character based on Traditional Children Game
Sari Swara at Taman Muda Ibu Pawiyata Elementary
School Yogyakarta. ICSTI 2019, September 20,
Yogyakarta, Indonesia, DOI 10.4108/eai.20-9-
2019.2292095
Nisrina Mei Dhaniar. 2017. Evaluasi Ketersediaan Ruang Terbuka
Hijau Dengan Pendekatan Berbasis Objek Di Kota
Yogyakarta Tahun 2017. Skripsi, Program Studi
Geografi Fakultas Geografi Universitas
Muhammadiyah Surakarta