Bidang yang mendapat perhatian serius pada periode KH Hisyam adalah

K.H. Hisyam adalah Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah ketiga. Pada periode kepemimpinannya, arah pergerakan lebih difokuskan pada bidang pendidikan. Salah satu Langkah strategis yang diambil oleh K.H. Hisyam adalah membuka kembali sekolah dasar tiga tahun (Volkschool atau sekolah desa) yang disesuaikan dengan persyaratan dan kurikulum volkschool gubernemen.

Sebagai pendidikan lanjutan, dibuka kembali Vervolgshcool dengan masa pendidikan dua tahun. Pendirian lembaga pendidikan ini, menambah daya baru untuk memperbanyak lembaga serupa untuk mewujudkan kecerdasan anak bangsa. Maka bermunculanlah banyak Volkschool dan Vervolgshcool di Indonesia, terutama di Pulau Jawa.

Menurut sejarahnya, pendirian lembaga pendidikan tidak semulus kelihatannya. Apalagi ada tekanan dari kolonialisme Belanda, maka upaya tersebut sangat sulit terlaksana. Dimulai dari kesadaran Van den Bosch yang menjabat sebagai gubernur jendral (1829-1834) bahwa pembangunan ekonomi di Hindia Belanda tidak akan berhasil tanpa bantuan penduduk pribumi yang terdidik.

Di tahun 1831, Van den Bosch mengeluarkan surat edaran sekaligus angket agar berdiri sekolah dasar di setiap karasidenan berdasarkan biaya Persekutuan Injil. Sayang sekali, angket ini tidak mendapatkan tanggapan yang sesuai karena dianggap menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menginginkan kenetralan dalam hal yang bersangkut-paut dengan agama.

Melalui serangkaian proses yang rumit, tahun 1848 berhasil diterbitkan Keputusan Raja tanggal 30 September 1848 Nomor 95, dimana gubernur jenderal diberi wewenang untuk memberikan biaya f25.000 setahun bagi pendirian sekolah-sekolah pribumi di pulau Jawa.

Baca juga:  Al-Ghazali, Sains, dan Jawaban atas Tuduhan Kemunduran Islam

Kebijakan tersebut membawa perubahan besar pada persebaran pendidikan di Indonesia. Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah berlomba-lomba membuat Lembaga Pendidikan guna mencerdaskan warganya, atau lebih luas ke masyarakat Indonesia. Gayung bersambut, K.H. Hisyam yang menjadi nahkoda kala itu, memiliki skema panjang tentang pendidikan yang diimpikannya. Satu per satu lembaga Pendidikan berhasil didirikan hingga menyusur ke wilayah-wilayah Jawa.

Sebelumnya, K.H. Hisyam berhasil terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Kemudian terpilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin tahun 1935. Dan terpilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) tahun 1936. Meskipun periode kepemimpinan beliau hanya berkisar 3 tahun, namun pergerakan yang telah dilakukan berhasil mereformasi semangat pendidikan Muhammadiyah.

Motivasi beliau dalam mendirikan lembaga pendidikan adalah ingin lepas dari kecanduan pendidikan Belanda. Beliau menginginkan sistem pendidikan langsung yang diajar oleh kader-kader Nusantara. Semangat Nasionalisme inilah yang membawa K.H. Hisyam bisa berdiri tegak dalam menyelesaikan misinya. Melawan berbagai macam tantangan hingga menemukan kejayaan dalam membangun pendidikan.

Karir organisasi K.H. Hisyam sendiri dimulai ketika beliau bersedia bergabung bersama K.H. Ahmad Dahlan membentuk kepengurusan Boedi Oetomo kring Kauman. Peawaran ini tidak terlalu mengagetkan, mengingat K.H. Hisyam termasuk murid yang mendapat pengajian dan pengajaran langsung dari K.H. Ahmad Dahlan. Selain alasan itu, sosok K.H. Hisyam yang sedari muda sudah dikenal cakap dan peduli akan pendidikan, menjadi problema lain dalam pemilihan itu.

Baca juga:  Gus Dur: Bapak Sosialisme dari Pesantren Abad ke-21 (2)

Oleh karena itu, tahun 1912-1919 menjadi awal rintisan model pendidikan yang baru. K.H Ahmad Dahlan merintis Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah yang dijadikan acuan bagi lembaga pendidikan di luar Kauman. Benar saja, pada tahun 1919, sekolah Muhammadiyah sudah meningkat berkali-kali lipat. Bahkan setelah Bagian Sekolahan (Departement van Onderwijs) terbentuk, pertumbuhan pendidikannya semakin pesat.

Dalam bukunya, Syujak (1989), rapat anggota Muhammadiyah yang diselenggarakan di Gedung Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah tanggal 17 Juli 1920 menempatkan K.H. Hisyam sebagai ketua Bagian Sekolahan. Sedangkan ketua Bagian Tabligh diisi oleh Fachrodin, dan ketua Bagian Taman Pustaka diisi oleh Mochtar. Dan terakhir ketua Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem diisi oleh Syujak.

Bagian yang diisi oleh K.H. Hisyam adalah bagian strategis dalam membangun kemajuan sekolah. Dalam bagian itu, K.H. Hisyam ditugaskan sebagai arsitek yang merancang roadmap sekolah Muhammadiyah. Menyelesaikan tanggung jawab itu, K.H. Hisyam dibantu oleh 2 tokoh besar, yaitu Sosrosoegondo dan Djojosoegito. Keterlibatan dua tokoh ini membawa dampak besar pada keberhasilan penyusunan roadmap yang disusun K.H. Hisyam.

Politik Kaum Modernis (2010) membahas lengkap biografi kedua tokoh itu. Alfian yang merupakan pengarang dalam buku ini memaparkan jika keduanya berlatar belakang sebagai guru. Sosrosoegondo yang berprofesi sebagai guru Kweekschool Jetis dan Djojosoegito adalah seorang guru sejarah yang menguasai Bahasa Inggris dan Belanda.

Baca juga:  Kiai Nawawi Abdul Jalil Sidogiri dan Hari Ahad yang Diimpikannya

Tahun 1920 HB Muhammadiyah di bawah Manajemen Bagian Sekolah merancang sekolah berbahasa Belanda, seperti Holland Inlandsche School (HIS) met de Qur’an. Sekolah ini berhasil menggaet perhatian Belanda, dan mendapatkan pengakuan dan bantuan biaya pendidikan. Sehingga jumlah HIS pada akhir tahun 1932 menjadi 69.

Keberhasilan-keberhasilan yang diperoleh tidak lepas dari tangan K.H. Hisyam yang merupakan inspirator di balik roda pendidikan. Keteguhan hatinya untuk membawa nusantara keluar dan mandiri dalam pendidikan, telah membawa banyak perubahan. Meskipun dahulu pemikirannya sering menimbulkan kontroversi, namun beliau berhasil membuktikan gagasan yang telah diyakini sejak lama.

Bahkan dalam puncak karirnya, K.H. Hisyam berhasil mendapat penghargaan anugerah bintang Ridder Orde van Oranje Nassau dari Ratu Belanda. Penghargaan ini diberikan kepada orang-orang yang telah berjasa membantu pemerintah Belanda. K.H. Hisyam berhasil menempatkan diri dalam posisi tengah, dimana beliau berhasil menggerakkan pendidikan Nusantara sekaligus membangun hubungan diplomatis dengan pemerintah Belanda. Maka apreasi tertinggi berhak kita sematkan pada K.H. Hisyam yang telah berjasa dalam dunia pendidikan.

EF Dhafi Quiz

Find Answers To Your Multiple Choice Questions (MCQ) Easily at ef.dhafi.link. with Accurate Answer. >>


Ini adalah Daftar Pilihan Jawaban yang Tersedia :

  1. Ekonomi
  2. Politik
  3. Ideologi
  4. Pendidikan
  5. Budaya

Jawaban terbaik adalah D. Pendidikan.

Dilansir dari guru Pembuat kuis di seluruh dunia. Jawaban yang benar untuk Pertanyaan ❝Bidang yang mendapat perhatian serius pada periode KH. Hisyam adalah… ❞ Adalah D. Pendidikan.
Saya Menyarankan Anda untuk membaca pertanyaan dan jawaban berikutnya, Yaitu Kepanjangan dari MKCHM adalah…..... (Jawaban-nya) dengan jawaban yang sangat akurat.

Klik Untuk Melihat Jawaban

Apa itu ef.dhafi.link??

ef.dhafi.link Merupakan situs pendidikan pembelajaran online untuk memberikan bantuan dan wawasan kepada siswa yang sedang dalam tahap pembelajaran. mereka akan dapat dengan mudah menemukan jawaban atas pertanyaan di sekolah. Kami berusaha untuk menerbitkan kuis Ensiklopedia yang bermanfaat bagi siswa. Semua fasilitas di sini 100% Gratis untuk kamu. Semoga Situs Kami Bisa Bermanfaat Bagi kamu. Terima kasih telah berkunjung.

Kiai Haji Hisyam lahir di Kauman, Yogyakarta, 10 November 1883 – meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun yaitu Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga. Dia memimpin Muhamadiyah selama tiga tahun. Dia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Dia yaitu murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan.

Asal mula

KH. Hisyam lahir di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November 1883.

Muhammadiyah

Pertama kali dia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, pengahabisan dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.

KH Hisyam sangat menonjol dalam ketertiban administrasi dan manajemen organisasinya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah semakin banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, patut pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini terjadi barangkali karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah diproduksi menjadi Ketua Ronde Sekolah (saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah.

Sekolah Muhammadiyah

Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah buka sekolah landasan tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, karenanya muncul bertali-tali volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda buka standaardschool, yaitu sekolah landasan enam tahun, karenanya Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah sebagai menyamai usaha warga Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse School met de Bijbel.

Kebijakan Hisyam mengarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Dia berpikir bahwa warga yang berhasrat memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum tidak perlu mesti memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai kualitas yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan sedang mampu pula dipelihara pendidikan agama untuk putra-putri mereka. Walaupun mesti memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah yang akhir sekalinya banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial ketika itu.

Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, karenanya pada yang akhir sekali tahun 1932, Muhammadiyah sudah mempunyai 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan 25 Schakel School, yaitu sekolah lima tahun yang hendak menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yang setingkat SLTP ketika ini) untuk murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah ketika itu adalah salah satu lembaga pendidikan yang didirikan pribumi yang mampu menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.

Bantuan keuangan

Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisyam bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan, dari pemerintah kolonial, walaupun banyaknya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen ketika itu. Hal inilah yang menyebabkan Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarekat Islam yang ketika itu melancarkan politik non-kooperatif.

Namun Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah ketika itu adalah hasil pajak yang diperas oleh pemerintah kolonial dari warga Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah dapat memanfaatkannya sebagai mendirikan kemajuan untuk pendidikan Muhammadiyah yang pada yang akhir sekalinya juga hendak mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut semakin patut daripada menolaknya, karena bila subsidi tersebut dihalau, karenanya subsidi tersebut hendak dialihkan pada sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya hendak memperkuat posisi kolonialisme Belanda.

Pendidikan keluarga

Putra-putrinya KH Hisyam disekolahkan di beberapa perguruan yang didirikan pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan diproduksi menjadi guru, yang ketika itu disebut sebagai bevoegd. Satu orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan studi di Europeesche Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut adalah sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda sebagai mendidik calon guru yang berwenang sebagai mengajar sekolah HIS milik pemerintah (gubernemen). Yang akhir sekalinya mereka diproduksi menjadi guru di HIS met de Qur'an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta.

Bintang perbuatan yang berfaedah

Berkat jasa-jasa Hisyam dalam memajukan pendidikan sebagai warga, karenanya dia pun yang akhir sekalinya mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda ketika itu berupa bintang tanda perbuatan yang berfaedah, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Dia dinilai telah bermanfaat kepada warga dalam pendidikan Muhammadiyah yang diterapkannya dengan mendirikan beragam jenis sekolah Muhammadiyah di beragam tempat di Indonesia.

Wafat

KH Hisyam wafat pada tanggal 20 Mei 1945.

Tautan Luar

  • Muhammadiyah - KH Hisyam ( Ketua 1934 -1936)

edunitas.com

Page 2

Kiai Haji Hisyam lahir di Kauman, Yogyakarta, 10 November 1883 – meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun yaitu Ketua Pengurus Mulia Muhammadiyah yang ketiga. Beliau memimpin Muhamadiyah selama tiga tahun. Beliau dipilih dan dikukuhkan sbg Ketua Pengurus Mulia Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Beliau yaitu murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan.

Asal mula

KH. Hisyam lahir di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November 1883.

Muhammadiyah

Pertama kali beliau dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, akhir dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.

KH Hisyam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan manajemen organisasinya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah banyakan diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini terjadi barangkali karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua Bagian Sekolah (saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Mulia Muhammadiyah.

Sekolah Muhammadiyah

Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah sbg lanjutannya. Dengan demikian, maka muncul terus-menerus volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga mendirikan Hollands Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah sebagai menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse School met de Bijbel.

Kebijakan Hisyam mengarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial. Beliau berpikir bahwa masyarakat yang ingin memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum tidak perlu mesti memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang hadir mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun mesti memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah kesudahannya banyak yang mendapat pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial masa itu.

Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada kesudahan tahun 1932, Muhammadiyah sudah hadir 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan 25 Schakel School, yaitu sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yang setingkat SLTP masa ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sbg bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah masa itu merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.

Bantuan keuangan

Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisyam mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan mau menerima bantuan keuangan, dari pemerintah kolonial, walaupun banyaknya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah untuk sekolah-sekolah Kristen masa itu. Hal inilah yang mengakibatkan Hisyam dan Muhammadiyah mendapat kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarekat Islam yang masa itu melancarkan politik non-kooperatif.

Namun Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah masa itu merupakan hasil pajak yang diperas oleh pemerintah kolonial dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah dapat memanfaatkannya sebagai membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada kesudahannya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut semakin baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut dihalau, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.

Pendidikan keluarga

Putra-putrinya KH Hisyam disekolahkan di beberapa perguruan yang didirikan pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru, yang masa itu disebut sbg bevoegd. Satu orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan studi di Europeesche Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda sebagai mendidik yang akan menjadi guru yang berwenang sebagai mengajar sekolah HIS milik pemerintah (gubernemen). Kesudahannya mereka menjadi guru di HIS met de Qur'an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta.

Bintang afal yang berguna

Berkat jasa-jasa Hisyam dalam memajukan pendidikan sebagai masyarakat, maka beliau pun kesudahannya mendapat penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda masa itu berupa bintang tanda afal yang berguna, yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Beliau dinilai telah berfaedah untuk masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilaksanakannya dengan mendirikan beragam jenis sekolah Muhammadiyah di beragam tempat di Indonesia.

Wafat

KH Hisyam wafat pada tanggal 20 Mei 1945.

Tautan Luar

  • Muhammadiyah - KH Hisyam ( Ketua 1934 -1936)

edunitas.com

Page 3

Kyai Haji Ibrahim (lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1874 – meninggal di Yogyakarta, 13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Ia yaitu ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan ia yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu ulama yang hafal Al-Quran (hafidh), pandai seni baca Al-Quran (qira'at), serta pandai dalam bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah banyak didirikan di berbagai tempat di Indonesia.

Keluarga

KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan ia merupakan saudara kandung yang lebih muda kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlanjut lama, karena istrinya wafat. KH. Ibrahim kesudahan menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH. Abdulrahman dan saudara kandung yang lebih muda kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.

KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit persangkaan lama.

Pendidikan

Saat kecil Ibrahim dilalui dalam bimbingan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam pengetahuan agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut pengetahuan di Mekkah selama bertambah kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, ia pulang ke tanah cairan karena ayahnya sudah lanjut usia.

Memimpin Muhammadiyah

Setibanya di tanah cairan dari menuntut pengetahuan di Mekkah, KH. Ibrahim mendapat sambutan yang adun dari warga, dan banyak orang mengaji kepadanya. Pengajian yang dididik KH. Ibrahim memakai metode sorogan dan weton. Sorogan yaitu mengaji dengan diajar satu per satu, terutama kepada anak-anak muda yang mempunyai di Kauman pada saat itu; sedangkan weton yaitu kyai membaca masih santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam melakukan dua jenis metode tersebut dipakai waktu yang berbeda, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan prosedur sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang bertambah pukul 17.00 dengan prosedur weton.

Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan agar kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim mencetuskan tidak sanggup, atas desakan sahabat-sahabatnya yang belakang sekalinya ia bersiap menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).

KH Ibrahim termasuk seorang yang tajam kecerdikan, lebar wawasannya, dalam pengetahuannya dan disegani. Ia yaitu seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan pandai qira'ah (seni baca Al-Quran), serta pandai bicara Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang dikata khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah mengembang di semua Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah merasakan perkembangan yang sangat pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di semua tanah cairan di bawah kepemimpinannya.

KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah agar rajin beramal dan beribadah menempuh sebuah perkumpulan yang diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak memberikan tingkah laku yang berguna kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya banyak membantu pencarian dana kepada Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Anggota Tabligh, dan anggota Taman Poestaka.

Peristiwa penting

Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada saat kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dinyatakan menonjol, penting dan benar dicatat adalah:

  • Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang berhaluan membiayai sekolah kepada anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan kepada menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke semua pelosok tanah cairan, yang kesudahan di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada saat kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu mempunyai gejala mengkultuskan dia. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan agar Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Kepada pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kesudahan hari dinamakan Adil.
  • KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Ia bertambah banyak memberikan kebebasan gerak bagi tingkatan muda kepada mengekspresikan keaktifannya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga berhasil dalam membimbing gerakan Aisyiyah kepada lebih maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
  • Dalam saat kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah merasakan fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus luhurnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibuat oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah kepada mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-budaya yang mempunyai hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang berhaluan kepada menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka kepada mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Luhur Muhammadiyah lebih luhur karena Pengurus Luhur Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah kepada memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Luhur Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak berlaku.
  • Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang sambung-menyambung memilihnya sebagai Ketua Pengurus Luhur Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah ditukar menjadi Kongres Muhammadiyah yang bertempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Pranala luar

  • Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)

edunitas.com

Page 4

Kyai Haji Ibrahim (lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1874 – meninggal di Yogyakarta, 13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Ia yaitu ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan ia yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu ulama yang hafal Al-Quran (hafidh), pandai seni baca Al-Quran (qira'at), serta pandai dalam bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah banyak dibangun di berbagai tempat di Indonesia.

Keluarga

KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan ia merupakan saudara kandung yang lebih muda kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlanjut lama, karena istrinya wafat. KH. Ibrahim selanjutnya menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH. Abdulrahman dan saudara kandung yang lebih muda kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.

KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih paling muda, 46 tahun, pada permulaan tahun 1934 sesudah menderita sakit persangkaan lama.

Pendidikan

Saat kecil Ibrahim dilalui dalam bimbingan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga diasuh memperdalam pengetahuan agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut pengetahuan di Mekkah selama bertambah kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, ia pulang ke tanah cairan karena ayahnya sudah lanjut usia.

Memimpin Muhammadiyah

Setibanya di tanah cairan dari menuntut pengetahuan di Mekkah, KH. Ibrahim memperoleh sambutan yang adun dari warga, dan banyak orang mengaji kepadanya. Pengajian yang dididik KH. Ibrahim memanfaatkan metode sorogan dan weton. Sorogan yaitu mengaji dengan diajar satu per satu, terutama kepada anak-anak muda yang mempunyai di Kauman pada saat itu; sedangkan weton yaitu kyai membaca masih santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam melakukan dua jenis metode tersebut dipakai waktu yang berbeda, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan prosedur sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang bertambah pukul 17.00 dengan prosedur weton.

Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan supaya kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim mencetuskan tidak sanggup, atas desakan sahabat-sahabatnya belakang suatu peristiwanya ia bersiap menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).

KH Ibrahim termasuk seorang yang tajam kecerdikan, lebar wawasannya, dalam pengetahuannya dan disegani. Ia yaitu seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan pandai qira'ah (seni baca Al-Quran), serta pandai bicara Arab. Sebagai seorang Jawa, ia paling dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang dikata khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah mengembang di semua Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah merasakan perkembangan yang paling pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di semua tanah cairan di bawah kepemimpinannya.

KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah supaya rajin beramal dan beribadah menempuh sebuah perkumpulan yang diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak memberikan tingkah laku yang berguna kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya banyak membantu pencarian dana kepada Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Anggota Tabligh, dan anggota Taman Poestaka.

Peristiwa penting

Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada saat kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang bisa dinyatakan menonjol, penting dan benar dicatat adalah:

  • Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang berhaluan membiayai sekolah kepada anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan kepada menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke semua pelosok tanah cairan, yang selanjutnya di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada saat kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu mempunyai gejala mengkultuskan dia. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Kepada pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di selanjutnya hari dikata Adil.
  • KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Ia bertambah banyak memberikan kebebasan gerak bagi tingkatan muda kepada mengekspresikan keaktifannya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga sukses dalam membimbing gerakan Aisyiyah kepada lebih maju, tertib, dan kuat. Ia juga sukses dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta sukses pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
  • Dalam saat kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah merasakan fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus luhurnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibuat oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah kepada mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam segi sosial-budaya yang mempunyai hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang berhaluan kepada menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka kepada mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Luhur Muhammadiyah lebih luhur karena Pengurus Luhur Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut mampu diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah kepada memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Luhur Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak berlaku.
  • Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang sambung-menyambung menentukannya sebagai Ketua Pengurus Luhur Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah ditukar menjadi Kongres Muhammadiyah yang bertempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Pranala luar

  • Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)

edunitas.com

Page 5

Kyai Haji Ibrahim (lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1874 – meninggal di Yogyakarta, 13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Ia yaitu ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan ia yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu ulama yang hafal Al-Quran (hafidh), pandai seni baca Al-Quran (qira'at), serta pandai dalam bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah banyak dibangun di berbagai tempat di Indonesia.

Keluarga

KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan ia merupakan saudara kandung yang lebih muda kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlanjut lama, karena istrinya wafat. KH. Ibrahim selanjutnya menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH. Abdulrahman dan saudara kandung yang lebih muda kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.

KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih paling muda, 46 tahun, pada permulaan tahun 1934 sesudah menderita sakit persangkaan lama.

Pendidikan

Saat kecil Ibrahim dilalui dalam bimbingan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga diasuh memperdalam pengetahuan agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut pengetahuan di Mekkah selama bertambah kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, ia pulang ke tanah cairan karena ayahnya sudah lanjut usia.

Memimpin Muhammadiyah

Setibanya di tanah cairan dari menuntut pengetahuan di Mekkah, KH. Ibrahim memperoleh sambutan yang adun dari warga, dan banyak orang mengaji kepadanya. Pengajian yang dididik KH. Ibrahim memanfaatkan metode sorogan dan weton. Sorogan yaitu mengaji dengan diajar satu per satu, terutama kepada anak-anak muda yang mempunyai di Kauman pada saat itu; sedangkan weton yaitu kyai membaca masih santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam melakukan dua jenis metode tersebut dipakai waktu yang berbeda, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan prosedur sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang bertambah pukul 17.00 dengan prosedur weton.

Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan supaya kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim mencetuskan tidak sanggup, atas desakan sahabat-sahabatnya belakang suatu peristiwanya ia bersiap menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).

KH Ibrahim termasuk seorang yang tajam kecerdikan, lebar wawasannya, dalam pengetahuannya dan disegani. Ia yaitu seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan pandai qira'ah (seni baca Al-Quran), serta pandai bicara Arab. Sebagai seorang Jawa, ia paling dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang dikata khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah mengembang di semua Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah merasakan perkembangan yang paling pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di semua tanah cairan di bawah kepemimpinannya.

KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah supaya rajin beramal dan beribadah menempuh sebuah perkumpulan yang diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak memberikan tingkah laku yang berguna kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya banyak membantu pencarian dana kepada Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Anggota Tabligh, dan anggota Taman Poestaka.

Peristiwa penting

Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada saat kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang bisa dinyatakan menonjol, penting dan benar dicatat adalah:

  • Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang berhaluan membiayai sekolah kepada anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan kepada menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke semua pelosok tanah cairan, yang selanjutnya di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada saat kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu mempunyai gejala mengkultuskan dia. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Kepada pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di selanjutnya hari dikata Adil.
  • KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Ia bertambah banyak memberikan kebebasan gerak bagi tingkatan muda kepada mengekspresikan keaktifannya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga sukses dalam membimbing gerakan Aisyiyah kepada lebih maju, tertib, dan kuat. Ia juga sukses dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta sukses pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
  • Dalam saat kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah merasakan fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus luhurnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibuat oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah kepada mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam segi sosial-budaya yang mempunyai hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang berhaluan kepada menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka kepada mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Luhur Muhammadiyah lebih luhur karena Pengurus Luhur Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut mampu diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah kepada memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Luhur Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak berlaku.
  • Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang sambung-menyambung menentukannya sebagai Ketua Pengurus Luhur Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah ditukar menjadi Kongres Muhammadiyah yang bertempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Pranala luar

  • Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)

edunitas.com

Page 6

Kyai Haji Ibrahim (lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1874 – meninggal di Yogyakarta, 13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Ia yaitu ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan ia yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu ulama yang hafal Al-Quran (hafidh), pandai seni baca Al-Quran (qira'at), serta pandai dalam bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah banyak didirikan di berbagai tempat di Indonesia.

Keluarga

KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Ia yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan ia merupakan saudara kandung yang lebih muda kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlanjut lama, karena istrinya wafat. KH. Ibrahim kesudahan menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH. Abdulrahman dan saudara kandung yang lebih muda kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.

KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit persangkaan lama.

Pendidikan

Saat kecil Ibrahim dilalui dalam bimbingan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Ia juga dibimbing memperdalam pengetahuan agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Ia menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut pengetahuan di Mekkah selama bertambah kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, ia pulang ke tanah cairan karena ayahnya sudah lanjut usia.

Memimpin Muhammadiyah

Setibanya di tanah cairan dari menuntut pengetahuan di Mekkah, KH. Ibrahim mendapat sambutan yang adun dari warga, dan banyak orang mengaji kepadanya. Pengajian yang dididik KH. Ibrahim memakai metode sorogan dan weton. Sorogan yaitu mengaji dengan diajar satu per satu, terutama kepada anak-anak muda yang mempunyai di Kauman pada saat itu; sedangkan weton yaitu kyai membaca masih santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam melakukan dua jenis metode tersebut dipakai waktu yang berbeda, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan prosedur sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang bertambah pukul 17.00 dengan prosedur weton.

Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, ia berpesan agar kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim mencetuskan tidak sanggup, atas desakan sahabat-sahabatnya yang belakang sekalinya ia bersiap menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).

KH Ibrahim termasuk seorang yang tajam kecerdikan, lebar wawasannya, dalam pengetahuannya dan disegani. Ia yaitu seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan pandai qira'ah (seni baca Al-Quran), serta pandai bicara Arab. Sebagai seorang Jawa, ia sangat dikagumi oleh banyak orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang dikata khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, ia menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah mengembang di semua Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah merasakan perkembangan yang sangat pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri hampir di semua tanah cairan di bawah kepemimpinannya.

KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah agar rajin beramal dan beribadah menempuh sebuah perkumpulan yang diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini banyak memberikan tingkah laku yang berguna kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya banyak membantu pencarian dana kepada Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Anggota Tabligh, dan anggota Taman Poestaka.

Peristiwa penting

Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada saat kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dinyatakan menonjol, penting dan benar dicatat adalah:

  • Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang berhaluan membiayai sekolah kepada anak-anak miskin. Pada tahun 1925, ia juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, ia juga mengadakan perbaikan badan perkawinan kepada menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar disebarluaskan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke semua pelosok tanah cairan, yang kesudahan di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada saat kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu mempunyai gejala mengkultuskan dia. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan agar Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Kepada pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di kesudahan hari dinamakan Adil.
  • KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Ia bertambah banyak memberikan kebebasan gerak bagi tingkatan muda kepada mengekspresikan keaktifannya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, ia juga berhasil dalam membimbing gerakan Aisyiyah kepada lebih maju, tertib, dan kuat. Ia juga berhasil dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
  • Dalam saat kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah merasakan fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus luhurnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang dibuat oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah kepada mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-budaya yang mempunyai hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang berhaluan kepada menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka kepada mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Luhur Muhammadiyah lebih luhur karena Pengurus Luhur Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari PEB yang merupakan kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah kepada memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Luhur Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak berlaku.
  • Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang sambung-menyambung memilihnya sebagai Ketua Pengurus Luhur Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah ditukar menjadi Kongres Muhammadiyah yang bertempat di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Pranala luar

  • Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)

edunitas.com

Page 7

Kiai Haji Hisyam kelahiran di Kauman, Yogyakarta, 10 November 1883 – meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun adalah Ketua Pengurus Luhur Muhammadiyah yang ketiga. Dia memimpin Muhamadiyah selama tiga tahun. Dia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Luhur Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Dia adalah murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan.

Asal mula

KH. Hisyam kelahiran di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November 1883.

Muhammadiyah

Pertama kali dia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, akhir dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.

KH Hisyam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan manajemen organisasinya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah semakin banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, adun pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini terjadi barangkali karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua Anggota Sekolah (saat ini dikata Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Luhur Muhammadiyah.

Sekolah Muhammadiyah

Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibentangkan pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka muncul bersamaan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Saat pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, adalah sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun membangun sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga membangun Hollands Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah kepada menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah membangun Hollands Inlandse School met de Bijbel.

Kebijakan Hisyam mengarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah propertti pemerintah kolonial. Dia berpikir bahwa masyarakat yang ingin memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah propertti pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah membangun sekolah-sekolah umum yang memiliki kualitas yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan sedang dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah propertti Muhammadiyah berhenti banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.

Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada belakang tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan 25 Schakel School, adalah sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yang setingkat SLTP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan propertti pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.

Pertolongan keuangan

Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisyam mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima pertolongan keuangan, dari pemerintah kolonial, walaupun banyaknya paling sedikit dan tidak seimbang dengan pertolongan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarekat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif.

Namun Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah saat itu merupakan hasil pajak yang diperas oleh pemerintah kolonial dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah mampu memanfaatkannya kepada membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada berhenti juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut semakin adun daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut didorong, maka subsidi tersebut akan dipindahkan pada sekolah-sekolah propertti pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.

Pendidikan keluarga

Putra-putrinya KH Hisyam disekolahkan di beberapa perguruan propertti pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru, yang saat itu dikata sebagai bevoegd. Satu orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan studi di Europeesche Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah propertti pemerintah kolonial Belanda kepada mendidik yang akan menjadi guru yang berwenang kepada mengajar sekolah HIS milik pemerintah (gubernemen). Berhenti mereka menjadi guru di HIS met de Qur'an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta.

Bintang kelakuan baik

Berkat jasa-jasa Hisyam dalam memajukan pendidikan kepada masyarakat, maka dia pun berhenti mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda kelakuan baik, adalah Ridder Orde van Oranje Nassau. Dia dinilai telah berguna kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilaksanakannya dengan membangun berbagai jenis sekolah Muhammadiyah di berbagai lokasi di Indonesia.

Wafat

KH Hisyam wafat pada tanggal 20 Mei 1945.

Pranala Luar

  • Muhammadiyah - KH Hisyam ( Ketua 1934 -1936)

edunitas.com

Page 8

Kiai Haji Hisyam kelahiran di Kauman, Yogyakarta, 10 November 1883 – meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun adalah Ketua Pengurus Agung Muhammadiyah yang ketiga. Dia memimpin Muhamadiyah selama tiga tahun. Dia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Agung Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Dia adalah murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan.

Asal mula

KH. Hisyam kelahiran di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November 1883.

Muhammadiyah

Pertama kali dia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.

KH Hisyam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan manajemen organisasinya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah semakin banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, elok pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini terjadi barangkali karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua Aspek Sekolah (saat ini dikata Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Agung Muhammadiyah.

Sekolah Muhammadiyah

Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibentangkan pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka muncul bersamaan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Saat pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, adalah sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun membangun sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga membangun Hollands Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah kepada menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah membangun Hollands Inlandse School met de Bijbel.

Kebijakan Hisyam mengarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga bersesuaian dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah propertti pemerintah kolonial. Dia berpikir bahwa masyarakat yang bersedia memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah propertti pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah membangun sekolah-sekolah umum yang memiliki kualitas yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan sedang dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah propertti Muhammadiyah beres banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.

Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada kesudahan tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan 25 Schakel School, adalah sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yang setingkat SLTP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan propertti pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.

Pertolongan keuangan

Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisyam bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima pertolongan keuangan, dari pemerintah kolonial, walaupun banyaknya paling sedikit dan tidak seimbang dengan pertolongan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarekat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif.

Namun Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah saat itu merupakan hasil pajak yang diperas oleh pemerintah kolonial dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah mampu menggunakannya kepada membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada beres juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut semakin elok daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut didorong, maka subsidi tersebut akan dipindahkan pada sekolah-sekolah propertti pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.

Pendidikan keluarga

Putra-putrinya KH Hisyam disekolahkan di beberapa perguruan propertti pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru, yang saat itu dikata sebagai bevoegd. Satu orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan studi di Europeesche Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah propertti pemerintah kolonial Belanda kepada mendidik yang akan menjadi guru yang berwenang kepada mengajar sekolah HIS milik pemerintah (gubernemen). Beres mereka menjadi guru di HIS met de Qur'an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta.

Bintang afal baik

Berkat jasa-jasa Hisyam dalam memajukan pendidikan kepada masyarakat, maka dia pun beres mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda afal baik, adalah Ridder Orde van Oranje Nassau. Dia dinilai telah berguna kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan membangun berjenis-jenis sekolah Muhammadiyah di berbagai lokasi di Indonesia.

Wafat

KH Hisyam wafat pada tanggal 20 Mei 1945.

Pranala Luar

  • Muhammadiyah - KH Hisyam ( Ketua 1934 -1936)

edunitas.com

Page 9

Kiai Haji Hisyam kelahiran di Kauman, Yogyakarta, 10 November 1883 – meninggal 20 Mei 1945 pada umur 61 tahun adalah Ketua Pengurus Agung Muhammadiyah yang ketiga. Dia memimpin Muhamadiyah selama tiga tahun. Dia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Agung Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Dia adalah murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan.

Asal mula

KH. Hisyam kelahiran di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November 1883.

Muhammadiyah

Pertama kali dia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934, kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935, dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 di Batavia (Jakarta) pada tahun 1936.

KH Hisyam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan manajemen organisasinya. Pada periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah semakin banyak diarahkan pada masalah pendidikan dan pengajaran, elok pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini terjadi barangkali karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua Aspek Sekolah (saat ini dikata Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Agung Muhammadiyah.

Sekolah Muhammadiyah

Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibentangkan pula vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka muncul bersamaan volkschool dan vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Saat pemerintah kolonial Belanda membuka standaardschool, adalah sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun membangun sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga membangun Hollands Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah kepada menyamai usaha masyarakat Katolik yang telah membangun Hollands Inlandse School met de Bijbel.

Kebijakan Hisyam mengarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga bersesuaian dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah propertti pemerintah kolonial. Dia berpikir bahwa masyarakat yang bersedia memasukkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah propertti pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah membangun sekolah-sekolah umum yang memiliki kualitas yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan sedang dapat pula dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang berat, sekolah-sekolah propertti Muhammadiyah beres banyak yang mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.

Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada kesudahan tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool, 69 Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan 25 Schakel School, adalah sekolah lima tahun yang akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yang setingkat SLTP saat ini) bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah Muhammadiyah tersebut juga digunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan propertti pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.

Pertolongan keuangan

Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisyam bersedia bekerjasama dengan pemerintah kolonial dengan bersedia menerima pertolongan keuangan, dari pemerintah kolonial, walaupun banyaknya paling sedikit dan tidak seimbang dengan pertolongan pemerintah kepada sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan Hisyam dan Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarekat Islam yang saat itu melancarkan politik non-kooperatif.

Namun Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah saat itu merupakan hasil pajak yang diperas oleh pemerintah kolonial dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah mampu menggunakannya kepada membangun kemajuan bagi pendidikan Muhammadiyah yang pada beres juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa ini. Menerima subsidi tersebut semakin elok daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut didorong, maka subsidi tersebut akan dipindahkan pada sekolah-sekolah propertti pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.

Pendidikan keluarga

Putra-putrinya KH Hisyam disekolahkan di beberapa perguruan propertti pemerintah. Dua orang putranya disekolahkan menjadi guru, yang saat itu dikata sebagai bevoegd. Satu orang putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan studi di Europeesche Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah propertti pemerintah kolonial Belanda kepada mendidik yang akan menjadi guru yang berwenang kepada mengajar sekolah HIS milik pemerintah (gubernemen). Beres mereka menjadi guru di HIS met de Qur'an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta.

Bintang afal baik

Berkat jasa-jasa Hisyam dalam memajukan pendidikan kepada masyarakat, maka dia pun beres mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda afal baik, adalah Ridder Orde van Oranje Nassau. Dia dinilai telah berguna kepada masyarakat dalam pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan membangun berjenis-jenis sekolah Muhammadiyah di berbagai lokasi di Indonesia.

Wafat

KH Hisyam wafat pada tanggal 20 Mei 1945.

Pranala Luar

  • Muhammadiyah - KH Hisyam ( Ketua 1934 -1936)

edunitas.com

Page 10

Kyai Haji Ibrahim (lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1874 – meninggal di Yogyakarta, 13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Beliau yaitu ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan beliau yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu ulama yang hafal Al-Quran (hafidh), pakar seni baca Al-Quran (qira'at), serta berbakat dalam bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah jumlah didirikan di berbagai tempat di Indonesia.

Keluarga

KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Beliau yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan beliau yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya wafat. KH. Ibrahim yang belakang sekali menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH. Abdulrahman dan saudara kandung yang lebih muda kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.

KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit lebih kurang lama.

Pendidikan

Masa kecil Ibrahim diseberangi dalam bimbingan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Beliau juga dididik memperdalam pengetahuan agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Beliau menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut pengetahuan di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, beliau pulang ke tanah cairan karena ayahnya sudah lanjut usia.

Memimpin Muhammadiyah

Setibanya di tanah cairan dari menuntut pengetahuan di Mekkah, KH. Ibrahim mendapat sambutan yang adun dari penduduk, dan jumlah orang mengaji kepadanya. Pengajian yang dididik KH. Ibrahim memakai cara sorogan dan weton. Sorogan yaitu mengaji dengan diajar satu per satu, terutama bagi anak-anak muda yang tidak kekurangan di Kauman pada saat itu; sedangkan weton yaitu kyai membaca masih santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam cara tersebut dipakai waktu yang selisih, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton.

Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, beliau berpesan supaya kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim menyatakan tidak sanggup, atas desakan sahabat-sahabatnya hasilnya beliau bersiap menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).

KH Ibrahim termasuk seorang yang cerdas, luas wawasannya, dalam pengetahuannya dan disegani. Beliau yaitu seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan pakar qira'ah (seni baca Al-Quran), serta berbakat berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, beliau sangat dikagumi oleh jumlah orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang dikata khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, beliau menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah menjadi lebih sempurna di seluruh Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri nyaris di seluruh tanah cairan di bawah kepemimpinannya.

KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah supaya rajin beramal dan beribadah melintasi sebuah perkumpulan yang diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini jumlah memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya jumlah membantu pencarian dana bagi Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Segi Tabligh, dan segi Taman Poestaka.

Peristiwa penting

Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dinyatakan menonjol, penting dan baik dicatat adalah:

  • Pada tahun 1924, Ibrahim membangun Fonds Dachlan yang berhaluan membiayai sekolah bagi anak-anak miskin. Pada tahun 1925, beliau juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, beliau juga mengadakan perbaikan badan perkawinan bagi menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar dipasarkan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah cairan, yang yang belakang sekali di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah membangun Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu tidak kekurangan gejala mengkultuskan beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Bagi pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di yang belakang sekali hari dinamakan Adil.
  • KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Beliau lebih jumlah memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda bagi mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, beliau juga sukses dalam membimbing gerakan Aisyiyah bagi lebih maju, tertib, dan kuat. Beliau juga sukses dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta sukses pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
  • Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus akbarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang diwujudkan oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah bagi mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-budaya yang tidak kekurangan hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB membangun perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang berhaluan bagi menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka bagi mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Akbar Muhammadiyah lebih akbar karena Pengurus Akbar Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari PEB yang yaitu kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah bagi memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Akbar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak sah.
  • Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang terus-menerus menentukan pilihannya sebagai Ketua Pengurus Akbar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti dijadikan Kongres Muhammadiyah yang berlokasi di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Pranala luar

  • Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)

edunitas.com

Page 11

Kyai Haji Ibrahim (kelahiran di Yogyakarta, 7 Mei 1874 – meninggal di Yogyakarta, 13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Beliau yaitu ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan beliau yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu ulama yang hafal Al-Quran (hafidh), berbakat seni baca Al-Quran (qira'at), serta berbakat dalam bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah jumlah didirikan di berbagai tempat di Indonesia.

Keluarga

KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Beliau yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan beliau yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya wafat. KH. Ibrahim yang belakang sekali menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH. Abdulrahman dan saudara kandung yang lebih muda kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.

KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit lebih kurang lama.

Pendidikan

Masa kecil Ibrahim diseberangi dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Beliau juga dibimbing memperdalam pengetahuan agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Beliau menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut pengetahuan di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, beliau pulang ke tanah cairan karena ayahnya sudah lanjut usia.

Memimpin Muhammadiyah

Setibanya di tanah cairan dari menuntut pengetahuan di Mekkah, KH. Ibrahim mendapat sambutan yang adun dari masyarakat, dan jumlah orang mengaji kepadanya. Pengajian yang diasuh KH. Ibrahim memakai cara sorogan dan weton. Sorogan yaitu mengaji dengan diajar satu per satu, terutama bagi anak-anak muda yang tidak kekurangan di Kauman pada saat itu; sedangkan weton yaitu kyai membaca masih santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam cara tersebut dipakai waktu yang berbeda, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton.

Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, beliau berpesan supaya kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim menyatakan tidak sanggup, atas desakan sahabat-sahabatnya hasilnya beliau bersedia menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).

KH Ibrahim termasuk seorang yang cerdas, luas wawasannya, dalam pengetahuannya dan disegani. Beliau yaitu seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan berbakat qira'ah (seni baca Al-Quran), serta berbakat berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, beliau sangat dikagumi oleh jumlah orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang dikata khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, beliau menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri nyaris di seluruh tanah cairan di bawah kepemimpinannya.

KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah supaya rajin beramal dan beribadah melalui sebuah perkumpulan yang diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini jumlah memberikan kelakuan baik kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya jumlah membantu pencarian dana bagi Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Bidang Tabligh, dan bidang Taman Poestaka.

Peristiwa penting

Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat diistilahkan menonjol, penting dan baik dicatat adalah:

  • Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang berhaluan membiayai sekolah bagi anak-anak miskin. Pada tahun 1925, beliau juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, beliau juga mengadakan perbaikan badan perkawinan bagi menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar dipasarkan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah cairan, yang yang belakang sekali di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu tidak kekurangan gejala mengkultuskan beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Bagi pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di yang belakang sekali hari dinamakan Adil.
  • KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Beliau lebih jumlah memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda bagi mengekspresikan keaktifannya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, beliau juga berhasil dalam membimbing gerakan Aisyiyah bagi lebih maju, tertib, dan kuat. Beliau juga berhasil dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
  • Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus akbarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang diwujudkan oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah bagi mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-budaya yang tidak kekurangan hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang berhaluan bagi menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka bagi mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Akbar Muhammadiyah lebih akbar karena Pengurus Akbar Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari PEB yang yaitu kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah bagi memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Akbar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak sah.
  • Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang terus-menerus menentukan pilihannya sebagai Ketua Pengurus Akbar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah yang berlokasi di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Pranala luar

  • Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)

edunitas.com

Page 12

Kyai Haji Ibrahim (kelahiran di Yogyakarta, 7 Mei 1874 – meninggal di Yogyakarta, 13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Beliau yaitu ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan beliau yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu ulama yang hafal Al-Quran (hafidh), berbakat seni baca Al-Quran (qira'at), serta berbakat dalam bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah jumlah didirikan di berbagai tempat di Indonesia.

Keluarga

KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Beliau yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan beliau yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya wafat. KH. Ibrahim yang belakang sekali menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH. Abdulrahman dan saudara kandung yang lebih muda kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.

KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit lebih kurang lama.

Pendidikan

Masa kecil Ibrahim diseberangi dalam asuhan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Beliau juga dibimbing memperdalam pengetahuan agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Beliau menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut pengetahuan di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, beliau pulang ke tanah cairan karena ayahnya sudah lanjut usia.

Memimpin Muhammadiyah

Setibanya di tanah cairan dari menuntut pengetahuan di Mekkah, KH. Ibrahim mendapat sambutan yang adun dari masyarakat, dan jumlah orang mengaji kepadanya. Pengajian yang diasuh KH. Ibrahim memakai cara sorogan dan weton. Sorogan yaitu mengaji dengan diajar satu per satu, terutama bagi anak-anak muda yang tidak kekurangan di Kauman pada saat itu; sedangkan weton yaitu kyai membaca masih santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam cara tersebut dipakai waktu yang berbeda, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton.

Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, beliau berpesan supaya kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim menyatakan tidak sanggup, atas desakan sahabat-sahabatnya hasilnya beliau bersedia menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).

KH Ibrahim termasuk seorang yang cerdas, luas wawasannya, dalam pengetahuannya dan disegani. Beliau yaitu seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan berbakat qira'ah (seni baca Al-Quran), serta berbakat berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, beliau sangat dikagumi oleh jumlah orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang dikata khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, beliau menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah berkembang di seluruh Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri nyaris di seluruh tanah cairan di bawah kepemimpinannya.

KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah supaya rajin beramal dan beribadah melalui sebuah perkumpulan yang diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini jumlah memberikan kelakuan baik kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya jumlah membantu pencarian dana bagi Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Bidang Tabligh, dan bidang Taman Poestaka.

Peristiwa penting

Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat diistilahkan menonjol, penting dan baik dicatat adalah:

  • Pada tahun 1924, Ibrahim mendirikan Fonds Dachlan yang berhaluan membiayai sekolah bagi anak-anak miskin. Pada tahun 1925, beliau juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, beliau juga mengadakan perbaikan badan perkawinan bagi menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar dipasarkan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah cairan, yang yang belakang sekali di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu tidak kekurangan gejala mengkultuskan beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Bagi pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di yang belakang sekali hari dinamakan Adil.
  • KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Beliau lebih jumlah memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda bagi mengekspresikan keaktifannya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, beliau juga berhasil dalam membimbing gerakan Aisyiyah bagi lebih maju, tertib, dan kuat. Beliau juga berhasil dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta berhasil pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
  • Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus akbarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang diwujudkan oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah bagi mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-budaya yang tidak kekurangan hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB mendirikan perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang berhaluan bagi menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka bagi mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Akbar Muhammadiyah lebih akbar karena Pengurus Akbar Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari PEB yang yaitu kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah bagi memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Akbar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak sah.
  • Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang terus-menerus menentukan pilihannya sebagai Ketua Pengurus Akbar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti menjadi Kongres Muhammadiyah yang berlokasi di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Pranala luar

  • Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)

edunitas.com

Page 13

Kyai Haji Ibrahim (lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1874 – meninggal di Yogyakarta, 13 Oktober 1932 pada umur 58 tahun). Beliau yaitu ketua umum Muhammadiyah yang kedua yang menggantikan KH. Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sri Sultan Hamengkubuwono VII, dan beliau yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung dari Nyai Ahmad Dahlan. KH. Ibrahim yaitu ulama yang hafal Al-Quran (hafidh), pakar seni baca Al-Quran (qira'at), serta berbakat dalam bahasa Arab. Pada periode kepemimpinannya, cabang-cabang Muhammadiyah jumlah didirikan di berbagai tempat di Indonesia.

Keluarga

KH. Ibrahim dilahirkan di kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 7 Mei 1874. Beliau yaitu putra dari KH. Fadlil Rachmaningrat, seorang Penghulu Hakim Negeri Kesultanan Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono ke VII (Soedja`. 1933: 227), dan beliau yaitu saudara kandung yang lebih muda kandung Nyai Ahmad Dahlan.

Ibrahim menikah dengan Siti Moechidah binti Abdulrahman alias Djojotaruno (Soeja`. 1933:228) pada tahun 1904. Pernikahannya dengan Siti Moechidah ini tidak berlangsung lama, karena istrinya wafat. KH. Ibrahim yang belakang sekali menikah dengan Moesinah, putri bungsu dari KH. Abdulrahman dan saudara kandung yang lebih muda kandung dari Siti Moechidah. Moesinah berusia cukup panjang yaitu sampai 108 tahun, dan meninggal pada 9 September 1998.

KH. Ibrahim wafat dalam usia yang masih sangat muda, 46 tahun, pada awal tahun 1934 setelah menderita sakit lebih kurang lama.

Pendidikan

Masa kecil Ibrahim diseberangi dalam bimbingan orang tuanya dengan diajarkan mengkaji al-Qur'an sejak usia 5 tahun. Beliau juga dididik memperdalam pengetahuan agama oleh kakak tertuanya sendiri, yaitu KH. M. Nur. Beliau menunaikan ibadah haji pada usia 17 tahun, dan dilanjutkan pula menuntut pengetahuan di Mekkah selama lebih kurang 7-8 tahun. Pada tahun 1902, beliau pulang ke tanah cairan karena ayahnya sudah lanjut usia.

Memimpin Muhammadiyah

Setibanya di tanah cairan dari menuntut pengetahuan di Mekkah, KH. Ibrahim mendapat sambutan yang adun dari penduduk, dan jumlah orang mengaji kepadanya. Pengajian yang dididik KH. Ibrahim memakai cara sorogan dan weton. Sorogan yaitu mengaji dengan diajar satu per satu, terutama bagi anak-anak muda yang tidak kekurangan di Kauman pada saat itu; sedangkan weton yaitu kyai membaca masih santri-santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing. Pengajian dilaksanakan setiap hari, kecuali hari Jum`at dan Selasa. Dalam menerapkan dua macam cara tersebut dipakai waktu yang selisih, yaitu pada pagi hari mulai pukul 07.00 sampai 09.00 dengan cara sorogan, dan pada sore hari sesudah ashar sampai kurang lebih pukul 17.00 dengan cara weton.

Sebelum KH. Ahmad Dahlan wafat, beliau berpesan supaya kepemimpinan Muhamadiyah sepeninggalnya diserahkan kepada Kiai Haji Ibrahim. Mula-mula KH. Ibrahim menyatakan tidak sanggup, atas desakan sahabat-sahabatnya hasilnya beliau bersiap menerimanya. Kepemimpinannya dalam Muhammadiyah dikukuhkan pada bulan Maret 1923 dalam Rapat Tahunan Anggota Muhammadiyah sebagai Voorzitter Hoofdbestuur Moehammadijah Hindia Timur (Soedja`, 1933: 232).

KH Ibrahim termasuk seorang yang cerdas, luas wawasannya, dalam pengetahuannya dan disegani. Beliau yaitu seorang penghafal (hafidh) al-Quran dan pakar qira'ah (seni baca Al-Quran), serta berbakat berbahasa Arab. Sebagai seorang Jawa, beliau sangat dikagumi oleh jumlah orang karena keahlian dan kefasihannya dalam penghafalan Al-Qur'an dan bahasa Arab. Pernah orang begitu kagum dan takjub, ketika dalam pidato pembukaan (khutbah al-'arsy atau sekarang dikata khutbah iftitah) Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukit Tingi Sumatera Barat pada tahun 1939, beliau menyampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.

Semenjak kepemimpinan KH. Ibrahim, Muhammadiyah menjadi lebih sempurna di seluruh Indonesia, dan terutama tersebar di berbagai tempat Jawa dan Madura. Kongres-kongres mulai diselenggarakan di luar kota Yogyakarta, seperti Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, Kongres Muhammadiyah ke-17 di Solo, Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, dan Kongres Muhammadiyah ke-22 di Semarang pada tahun 1933 (Kongres Muhammadiyah terakhir dalam periode kepemimpinan KH. Ibrahim). Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres tersebut, maka Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat, bahkan cabang-cabang Muhammadiyah telah berdiri nyaris di seluruh tanah cairan di bawah kepemimpinannya.

KH. Ibrahim juga memimpin kaum ibu Muhammadiyah supaya rajin beramal dan beribadah melintasi sebuah perkumpulan yang diberi nama Adz-Dzakiraat (Soedja`, 1933: 136). Perkumpulan Adz-Dzakiraat ini jumlah memberikan jasa kepada Muhammadiyah dan `Aisyiyah, misalnya jumlah membantu pencarian dana bagi Kas Muhammadiyah, `Aisyiyah, PKU, Segi Tabligh, dan segi Taman Poestaka.

Peristiwa penting

Menurut catatan AR Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim, kegiatan-kegiatan yang dapat dinyatakan menonjol, penting dan baik dicatat adalah:

  • Pada tahun 1924, Ibrahim membangun Fonds Dachlan yang berhaluan membiayai sekolah bagi anak-anak miskin. Pada tahun 1925, beliau juga mengadakan khitanan massal. Di samping itu, beliau juga mengadakan perbaikan badan perkawinan bagi menjodohkan putra-putri keluarga Muhammadiyah. Dakwah Muhammadiyah juga secara gencar dipasarkan ke luar Jawa (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada periode kepemimpinan Ibrahim, Muhammadiyah sejak tahun 1928 mengirim putra-putri lulusan sekolah-sekolah Muhammadiyah (Mu`allimin, Mu`allimat, Tabligh School, Normaalschool) ke seluruh pelosok tanah cairan, yang yang belakang sekali di kenal dengan 'anak panah Muhammadiyah' (AR Fachruddin, 1991).
  • Pada Kongres Muhammadiyah di Solo pada tahun 1929, yaitu pada masa kepemimpinannya, Muhammadiyah membangun Uitgeefster My, yaitu badan usaha penerbit buku-buku sekolah Muhammadiyah yang bernanung di bawah Majelis Taman Pustaka. Pada waktu itu pula terjadi penurunan gambar Ahmad Dahlan karena pada saat itu tidak kekurangan gejala mengkultuskan beliau. Sementara dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar pada tahun 1932 memutuskan supaya Muhammadiyah menerbitkan surat kabar (dagblaad). Bagi pelaksanaannya diserahkan kepada Pengurus Muhammadiyah Cabang Solo, yang di yang belakang sekali hari dinamakan Adil.
  • KH. Ibrahim selalu terpilih kembali sebagai ketua dalam dalam sepuluh kali Kongres Muhammadiyah selama periode kepemimpinannya. Beliau lebih jumlah memberikan kebebasan gerak bagi angkatan muda bagi mengekspresikan aktivitasnya dalam gerakan dakwah Muhammadiyah. Di samping itu, beliau juga sukses dalam membimbing gerakan Aisyiyah bagi lebih maju, tertib, dan kuat. Beliau juga sukses dalam meningkatkan kualitas takmirul masajid (pengelolaan masjid-masjid), serta sukses pula dalam mendorong berdirinya Koperasi Adz-Dzakirat.
  • Dalam masa kepemimpinannya, Muhammadiyah pernah mengalami fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka akan kemajuan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan pengurus akbarnya dianggap sebagai kaki tangan Politieke Economische Bond (PEB), sebuah organisasi yang diwujudkan oleh persatuan pabrik gula yang dimiliki Belanda. Tujun PEB ialah bagi mengatur koordinasi dan kerjasama antar-pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam produksi, pemasaran, dan juga dalam aspek sosial-budaya yang tidak kekurangan hubungannya dengan politik-ekonomi pabrik gula. PEB membangun perkumpulan dengan nama Jam'iyatul Hasanah yang berhaluan bagi menghimpun guru-guru agama dan membiayai mereka bagi mengajarkan agama Islam kepada buruh-buruh di pabrik gula. Dengan demikian, fitnahan terhadap Pengurus Akbar Muhammadiyah lebih akbar karena Pengurus Akbar Muhammadiyah dianggap telah bekerjasama dan menerima dana dari PEB yang yaitu kaki-tangan Belanda. Namun fitnahan tersebut bisa diatasi dengan keterbukaan dalam kepemimpinan KH. Ibrahim dengan mengundang para utusan dari cabang-cabang Muhammadiyah bagi memeriksa keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Akbar Muhammadiyah di Yogyakarta, dan terbukti bahwa fitnahan tersebut tidak sah.
  • Pada periode kepemimpinan KH. Ibrahim telah diselenggarakan sepuluh kali Rapat Tahunan Muhammadiyah yang terus-menerus menentukan pilihannya sebagai Ketua Pengurus Akbar Muhammadiyah. Mulai tahun 1926, istilah Rapat Tahunan Muhammadiyah diganti dijadikan Kongres Muhammadiyah yang berlokasi di Surabaya sebagai Kongres Muhammadiyah ke-5.

Pranala luar

  • Kyai Haji Ibrahim (Ketua 1923 - 1933)

edunitas.com

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA