Balai Pustaka yang mulanya bernama Commissie voor de Volkslectuur didirikan pada tahun

Di samping sistem pengarang, sistem penerbit juga terma-suk komponen penting dalam sistem sosial atau komunikasi sastra. Dikatakan demikian karena penerbit merupakan salah satu sistem atau faktor yang berfungsi menghubungkan karya sastra dengan masyarakat pembaca. Dalam kaitan ini penerbit meme-gang peranan dalam menerbitkan sekaligus menyebarluaskan karya sastra.

Mengingat paparan ini hanya memberi tekanan pembi-caraan pada karya sastra terbitan Balai Pustaka, pembipembi-caraan sistem penerbitan berikut terbatas pada peran Balai Pustaka dalam menerbitkan dan menyebarluaskan karya sastra (berupa buku atau melalui surat kabar/ majalah) kepada khalayak pembaca. Pada tataran ini perlu diingat bahwa Balai Pustaka adalah penerbit resmi pemerintah yang tidak lepas dari misi atau ideologi tertentu. Untuk itu, perlu kiranya diketahui terlebih dahulu latar belakang sejarah didirikannya Balai Pustaka.

Pada akhir abad XIX, jumlah masyarakat Indonesia yang melek huruf semakin banyak sehingga pemerintah Hindia Belanda meman-dang perlu untuk memelihara kepandaian membaca, memenuhi kege-maran membaca, menambah pengetahuan, dan

menjauhkan masyarakat dari pengaruh buku-buku yang berbau politik dan anti pemerintah. Untuk maksud tersebut dibentuklah suatu komisi yang diberi nama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur melalui Kepu-tusan Pemerintah nomor 12 tanggal 14 September 1908. Komisi tersebut dibentuk pemerintah melalui Departement van Onderwijs en Eeredienst dengan tugas memberi pertimbangan dalam memilih bahan-bahan bacaan yang

“sesuai” dengan masyarakat Hindia. Dengan kata lain, lembaga itu bertujuan memberi motivasi terhadap minat baca rakyat pribumi yang berpendidikan dengan cara menyediakan dan menyebar-luaskan bacaan yang dianggap baik.

Dalam suatu karangannya (Setiadi, 1991:33), Rinkes yang menjabat sekretaris komisi mencatat beberapa persoalan yang berkaitan dengan geschikte boeken, die konden strekken ala lectuur voor de Inlandsche bevolking. Dalam catatan itu Rinkes menyebut beberapa tema buku yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti pela-jaran keterampilan, pertanian, tanaman, dan ilmu alam. Tema-tema yang berkaitan dengan sikap dan perilaku, seperti men-didik anak dan nasihat tentang tingkah laku yang baik, mendapat tekanan agar tidak dilandaskan pada ajaran agama tertentu. Dalam catatan tersebut tidak tertera tema-tema yang berkaitan dengan perkembangan politik, baik di Hindia Belanda maupun interna-sional. Dipisahkannya tema-tema itu dari

daftar “bacaan yang layak” bukan tanpa alasan. Pemerintah

kolonial melihat persoalan politik sebagai hal “yang tidak baik”

bagi pengetahuan rakyat.

Pesatnya perkembangan tugas Commissie voor de Inland-sche School en Volkslectuur (dipegang oleh Dr. A.J. Hazeu) me-nyebabkan pemerintah --ketika Hindia Belanda berada di bawah pimpinan Gubernur Jendral van Limburg Stirum-- berdasarkan Keputusan Pemerintah nomor 36 tanggal 22 September 1917 mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur yang dikepalai oleh seorang Hoofdambtenaar. Lembaga ini sekaligus mendapat nama baru yang tetap bertahan sampai saat ini, yaitu Balai Pustaka. Nama ini diusulkan oleh Haji Agus Salim yang bekerja sebagai

redaktur lembaga itu pada tahun 1917--1919 (Rosidi, 1979:5; Setiadi, 1991:36). Dengan berdirinya Balai Pustaka, pekerjaan Komisi Bacaan Rakyat telah diambil alih. Jabatan ketua pertama dipegang oleh D.A. Rinkes yang sebelumnya --selama tujuh tahun-- telah berhasil mengatur pola kerja Komisi Bacaan Rakyat.

Di sisi lain, sebagaimana diketahui umum, sejarah didiri-kannya Balai Pustaka juga berkaitan dengan masalah pendidikan (sekolah) di Indonesia, termasuk di Jawa. Pada mulanya, tujuan didirikannya sekolah di Jawa adalah untuk memenuhi keperluan pengadaan pegawai pemerintah. Berdasarkan keputusan Raja Belanda nomor 95 tanggal 30 September 1848, Gubernur Jenderal diberi kuasa untuk mengeluarkan uang dari anggaran belanja Hindia sebesar f 25.000 setahun untuk keperluan belanja sekolah-sekolah bagi orang Jawa, terutama mereka yang akan menjadi pegawai negeri (Pamoentjak, 1948:3; Setiadi, 1991:25). Kepu-tusan tersebut dibuat karena pihak swasta telah cukup lama menyelenggarakan sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi. Selain itu, melalui keputusan tersebut, ada upaya agar pemerintah tetap memegang pimpinan dalam bidang pengajaran (Surat Minister kepada raja tanggal 16 Januari 1845) (Pamoentjak, 1948:3).

Dengan dikelolanya sekolah-sekolah rendah bagi orang Jawa, pemerintah kolonial ternyata merasa khawatir karena pengetahuan masyarakat pribumi (khususnya Jawa) yang rendah diduga akan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan; misalnya rasa iri hati, hilangnya rasa loyalitas, timbulnya keja-hatan, dan lebih jauh lagi akan timbul semacam pergerakan atau agitasi yang merugikan pemerintah. Hal semacam itu oleh peme-rintah dipandang sebagai suatu kendala bagi kemajuan peng-ajaran. Akan tetapi, bagaimanapun pengajaran tetap dijalankan secara luas di tengah kekhawatiran pemerintah. Berkenaan dengan hal itu, D.A. Rinkes (Pamoentjak, 1948:5--6) mengatakan sebagai berikut.

“... Dahoeloe jang dioetamakan hanja akan mengadakan pegawai negeri jang agak pandai oentoek

djabatan negara, sekarang pengadjaran rendah itoe teroe-tama oentoek memadjoekan ketjerdasan rakjat .... Tetapi peladjaran itoe beloem tjoekoep. Tambahan lagi haroes poela ditjegah, djanganlah hendaknja kepandaian mem-batja dan kepandaian berpikir jang dibangkitkan itoe mendjadikan hal jang koerang baik dan djanganlah daja oepaja itoe dipergoenakan oentoek hal-hal jang koerang patoet, sehingga meroesak tertib dan keamanan negeri dan lain-lain.

Hasil pengadjaran itoe boleh joega mendatangkan bahaja, kalaoe orang-orang jang telah tahoe membatja itoe mendapatkan kitab-kitab batjaan jang berbahaja dari saoedagar kitab jang koerang soetji hatinja dan dari orang-orang jang bermaksoed hendak mengharoe.

Oleh sebab itoe bersama-sama dengan djaran membatja itoe serta oentoek menjamboeng penga-djaran itoe, maka haroeslah diadakan kitab-kitab batjaan jang meme-noehi kegemaran orang kepada membatja dan memadjoekan pengetahoeannja seboleh-bolehnja menoe-roet tertib doenia sekarang. Dalam oesaha itoe haroes didjaoehkan segala hal jang dapat meroesakkan kekoea-saan pemerintah dan ketentraman negeri."

Pernyataan Rinkes itulah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa pemerintah Belanda pada tahun 1908 mendirikan lembaga yang bernama Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur dengan tugas pokok memberi pertimbangan dalam hal memilih bacaan yang baik bagi sekolah-sekolah dan rakyat pribumi. Pemikiran Rinkes tersebut sekaligus memperlihatkan keseriusan dalam kewenangan memper-timbangkan naskah. Oleh sebab itu, sangat beralasan jika Balai Pustaka diberi hak untuk menerbitkan naskah-naskah yang menjadi bahan pertimbangan. Pada zaman pemerintah kolonial, badan ini memonopoli penerbitan buku, khususnya buku-buku pelajaran dan bacaan umum. Jumlah rata-rata terbitan Balai Pustaka mencapai 55 judul

buku per tahun. Data menunjukkan bahwa sepanjang tahun 1917--1987 telah diterbitkan 3.909 judul yang meliputi kelompok ilmu penge-tahuan 1.561 judul, kelompok sastra/bahasa 1.505 judul, dan kelompok bacaan anak-anak/remaja 843 judul. Sumber lain menunjukkan bahwa koleksi buku Balai Pustaka sebelum perang jumlahnya mencapai 2.000 jilid.

Dapat dikatakan bahwa pada masa awalnya, Balai Pustaka mewakili pikiran-pikiran golongan kolonial yang agak enligh-tened yang di dalamnya terkandung semangat etische politiek

(Alisjah-bana, 1992:20--21). Balai Pustaka sebagai lembaga pe-nerbit resmi peme-rintah memang merupakan bagian integral dari politik etis. Seperti program-program politik etis lainnya, kegiatan Balai Pustaka memiliki keterbatasan ruang gerak yang disebabkan oleh adanya penyesuaian diri dengan kerangka struktur sosial kolonial, kemapanan kekuasaan pemerintah, dan orang Belanda di Indonesia (Faruk, 1994: 370--371).

Dalam hal penyediaan bacaan bagi rakyat pribumi, Balai Pustaka memiliki dua tujuan yang bertentangan; di satu pihak ditujukan untuk emansipasi bagi rakyat pribumi, dan di lain pihak sebagai upaya agar pemerintah senantiasa menjadi pemimpin (ter-depan) dalam hal penyeleksian bacaan untuk rakyat pribumi (dengan memanfaatkan Nota Rinkes). Dengan demikian, rakyat pribumi dapat terhindar dari pengaruh ideologi gerakan nasional dan pengaruh bacaan-bacaan dari penerbit swasta yang dianggap membahayakan dan merusak keten-teraman.

Balai Pustaka bertujuan menyediakan bacaan-bacaan yang dapat membimbing rakyat agar tidak tertarik pada aliran-aliran sosialisme atau nasionalisme yang lambat laun mulai menentang pemerintah Belanda (Alisjahbana, 1992:20). Balai Pustaka juga menerbitkan buku-buku yang dapat memperluas pengetahuan rakyat pribumi. Bahkan, Balai Pustaka memberikan peluang yang luas kepada para pengarang untuk ikut berpartisipasi aktif dalam berkarya, baik menulis cerita (roman/novel anak-anak/dewasa) maupun pengetahuan umum (seperti pertanian, kesehatan, dan sebagainya, baik karya asli maupun terje-mahan).

Dalam mencapai tujuan tersebut Balai Pustaka menempuh bermacam-macam cara, baik dalam hal perekrutan sejumlah penga-rang maupun penyebarluasan bahan (buku) bacaan yang telah diterbitkan. Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mendapatkan tulisan-tulisan dengan kualitas yang memadai dari beberapa pengarang yang tersebar di berbagai wilayah. Upaya yang dilaku-kan antara lain dengan mengadakan lomba menga-rang. Lomba itu telah dilakukan ketika Balai Pustaka bernama Komisi Bacaan Rakyat. Salah seorang pemenangnya adalah Hardjawiraga yang kemudian diterima sebagai redaktur untuk mengasuh majalahKejawen.

Pada tahun 1937 majalahPanji Pustakapernah pula meng-adakan sayembara untuk penulisan cerita atau fiksi dengan imbalan cukup menarik. Dengan cara demikian diharapkan akan terkumpul sejumlah karangan dengan kualitas yang diinginkan. Namun, pihak redaksi (penerbit) juga mempunyai bank naskah sehingga tidak terlalu repot mencari naskah jika majalahnya harus terbit. Dalam

Taman Bocah (l937), misalnya, dijelaskan oleh redaksi mengenai

wara-waralomba atau sayembara sebagai berikut.

WARA_WARA BAB SAJEMBARA

"Akoe boengah banget dene akeh sing ngleboni sajembara. Malah ija ana sing rangkep barang. Iki lo djenenge botjah-botjah sing ngleboni: Any, Jogja; P. Asmadi Jogja; Martinem, Sragen; Soem, Djepara; Hartono, Wonogiri ....

Karangan saiki lagi dakpriksa. Karampoengane besoek Djoemat ngarep dakkabarake, ngiras matjak pisan sing oleh pris. Kira-kira akeh."

‘BERITA SAYEMBARA

Saya senang sekali karena banyak yang mengikuti sayembara. Malahan ada yang rangkap. Adapun nama

anak-anak yang mengikuti sayembara itu sebagai berikut. Any, Yogya; P. Asmadi, Yogya; Martinem, Sragen; Soem, Jepara; Hartono, Wonogiri....

Karangan sedang saya periksa. Penyelesaiannya besok Jumat depan dan akan diumumkan hasilnya sekalian memuat yang mendapat hadiah. Kira-kira jumlahnya cukup banyak.'

Untuk mengkondisikan pengarang (secara ideologis), pemerin-tah kolonial juga mengeluarkan peraturan khusus sebagai upaya mengendalikan bacaan rakyat. Kebijakan ini diambil karena di samping Balai Pustaka, muncul pula penerbit swasta milik orang-orang Cina dan Belanda. Peraturan itu mulai diterapkan sejak pemerintah kolonial menguasai alat cetak (1856). Pada tahun 1906 pemerintah kolonial mengeluarkan Koninklijk Besluit

nomor 270 yang menetapkan bahwa setiap penulis bertanggung jawab langsung atas tulisannya; dan jika nama penulis tidak diketahui, tanggung jawab beralih ke penerbit, penjual, atau pengedar (Setiadi, 1991:28).

Pada tahun 1931 pemerintah kolonial mengeluarkan per-aturan baru, Persbreidel Ordonnantie, yang memberi hak kepada Gubernur Jenderal untuk melarang penerbitan yang dianggap mengganggu keten-teraman. Dengan peraturan ini pemerintah berhak melarang kegiatan percetakan selama delapan hari atau lebih jika penerbit yang bersang-kutan masih dianggap menentang peraturan. Dengan munculnya berbagai peraturan tersebut lahirlah karya-karya yang seragam sepanjang tahun 1917--1942: tidak ber-bicara masalah politik, tidak menentang pemerintah, dan tidak melawan hukum. Jadi, penanganan bacaan rakyat tidak sekedar memenuhi keinginan membaca (yang besar) bagi rakyat Hindia, tetapi berkaitan pula dengan rust en orde (ketertiban dan ke-amanan). Dalam konteks kolonialisme (Setiadi, 1991:32), rust en orde berhubungan erat dengan pelestarian kekuasaan kolonial terhadap tanah jajahannya.

Penyeragaman dari segi bahasa dilakukan oleh bagian redaksi Balai Pustaka (bagian ini sangat penting karena di sinilah dilakukan seleksi bacaan dari penggunaan bahasa sampai pengubahan isi cerita). Karya-karya yang meng-gunakan bahasa yang “kurang baik” sama sekali tidak mendapatkan tempat dalam penerbitan Balai Pustaka. Menurut Setiadi (1991:36), penolakan karya yang telah diajukan bukanlah merupakan sesuatu yang aneh, sekalipun penolakan tersebut hanya karena alasan bahasa. Dikatakan lebih jauh bahwa proses penyuntingan berjalan begitu ketat sehingga dari segi bahasa, karya-karya terbitan Balai Pustaka memiliki bentuk dan gaya yang seragam.

Sementara itu, cara-cara yang dilakukan Balai Pustaka untuk menyebarluaskan buku-buku bacaan hasil terbitannya adalah berikut. Buku-buku yang diterbitkan dan disebar-luaskan itu diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu:

1.seri A(bacaan untuk anak-anak),

2.seri B(bacaan penghibur dan penambah pengetahuan untuk orang dewasa dalam bahasa daerah), dan

3.seri C(bacaan yang sama dengan B, tetapi bagi orang yang lebih lanjut pengetahuannya dan dalam bahasa Melayu) (Pamoentjak, 1948:7).

Pada mulanya buku-buku tersebut disebarkan secara gratis melalui kepala pemerintahan. Namun, cara tersebut dinilai kurang tepat sehingga akhirnya didirikan perpustakaan rakyat yang ber-nama Taman Pustaka (Volksbibliotheek). Taman Pustaka dikelola oleh kepala sekolah beserta para pegawai di bawahnya (Pamoen-tjak, 1948:7). Taman Pustaka didirikan atas desakan Rinkes dan disetujui melalui Keputusan Pemerintah nomor 5 tanggal 13 Oktober 1910. Tempat peminjaman buku berada di sekolah-sekolah pribumi. Meski berada di sekolah-sekolah-sekolah-sekolah, perpus-takaan tetap dibuka untuk umum dan diawasi oleh Inlandsche Schoolcommissie. Walaupun buku-buku yang disediakan di

Taman Pustaka meliputi berbagai seri (A, B, dan C), yang paling utama adalah buku seri B. Hal ini mengingat Taman Pustaka bukan hanya untuk siswa-siswa sekolah, melainkan juga untuk pembaca umum yang telah lulus sekolah.

Ketika Balai Pustaka baru saja berdiri, jumlah Taman Pustaka sekitar 700 buah; itu pun hanya berada di daerah Jawa dan Sunda. Lalu pada tahun 1918 di Madura dibuka 75 Taman Pustaka. Tahun 1919 ditambah lagi 371 Taman Pustaka di daerah berbahasa Melayu. Jumlah tersebut terus meningkat hingga mencapai puncak-nya pada tahun 1931, yaitu 1326 di Jawa, 447 di Sunda, 115 di Madura, dan 745 di daerah berbahasa Melayu. Akan tetapi, sepuluh tahun kemudian (1940), tanpa sebab yang jelas, jumlah Taman Pustaka menurun, sehingga tinggal 1214 di Jawa, 410 di Sunda, 91 di Madura, dan 625 di daerah Melayu. Jika dilihat komposisinya, Taman Pustaka paling banyak berada di Jawa.

Pada masa 1917 hingga 1942, buku-buku bacaan yang paling banyak disediakan di setiap Taman Pustaka adalah buku-buku cerita karena sejak awal berdirinya Balai Pustaka telah menyiapkan sejumlah naskah cerita yang siap terbit, baik karya asli maupun terjemahan. Sebelumnya, pada tahun 1916, buku cerita berbahasa Jawa menduduki tempat pertama dalam hal jumlah (cerita anak-anak 25, cerita dewasa 23) (Pamoentjak, 1948:9). Gambaran tersebut menandai bahwa buku-buku sastra Jawa berpotensi besar untuk berkembang. Selain mengelola Taman Pustaka, Balai Pustaka juga mendukung usaha pendirian perpus-takaan rakyat swasta dengan cara menyediakan hasil terbitan dengan potongan khusus. Jumlah perpustakaan rakyat itu sebanyak 327 buah pada tahun 1917 menjadi 478 buah pada tahun 1931, meski akhirnya tinggal 476 pada tahun 1940 (Pamoentjak, 1948: 15--17; Christantiowati, 1996:52--53).

Di samping dilakukan dengan cara peminjaman, penye-baran buku-buku bacaan itu oleh Balai Pustaka juga dilakukan dengan penjualan yang diserahkan kepada Depot van Leermiddelen (Bagian Perlengkapan Departemen Peng-ajaran).

Akan tetapi, upaya tersebut gagal karena kurang adanya promosi. Di bawah lembaga ini hasil penjualan sama sekali tidak mendatangkan keuntungan. Hanya orang-orang Cina yang membeli buku-buku bacaan yang kemudian menjualnya kembali dengan harga cukup tinggi apabila dibandingkan dengan harga jual Balai Pustaka (Pamoentjak, 1948:8). Oleh karena itu, Balai Pustaka lalu meng-angkat agen-agen di bawah pengawasannya; dan agen tersebut mendapat provisi sebesar 25% dari harga penjualan. Untuk men-jaga agar harga buku tidak dinaikkan oleh para agen, label harga diterakan pada bagian sampul.

Mulai tahun 1925, Balai Pustaka melakukan terobosan baru dengan mengadakan perpustakaan dan bursa buku dengan empat mobil keliling. Daerah operasinya sampai ke pelosok Jawa, Sumatra, Kali-mantan, dan Sulawesi. Mulai saat itu Balai Pustaka mengalami perkem-bangan pesat, baik menyangkut jumlah buku yang diterbitkan sekaligus jumlah pembacanya maupun menyang-kut pandangan masyarakat terhadap Balai Pustaka.

Pada awalnya Balai Pustaka kurang mendapat tang-gapan positif dari masyarakat. Masyarakat meragukan kejujuran Balai Pustaka yang bermaksud menyediakan bacaan yang dapat mema-jukan masyarakat. Balai Pustaka bahkan sempat dituduh sebagai lembaga pemerintah kolonial yang bertujuan me-”nina-bobo”-kan masyarakat pribumi (Pamoentjak, 1948:27). Namun, lama-kela-maan pandangan tersebut berubah. Balai Pustaka kemudian berhasil mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, bahkan mulai dijadikan contoh oleh lembaga-lembaga lain. Ini berarti bahwa Balai Pustaka benar-benar berhasil menjadi pemimpin bagi barisan penerbit lainnya. Dengan adanya kepercayaan itu, akhirnya banyak karangan para tokoh terkemuka Indonesia, termasuk tokoh-tokoh dari Jawa, yang diterbitkan Balai Pustaka, baik berupa karangan umum maupun sastra.

Keberhasilan Balai Pustaka menjadi pemimpin di antara barisan penerbit lain (dan memperoleh kepercayaan yang besar) ternyata membawa dampak yang cukup negatif. Hal itu menjadi penyebab timbulnya rasa ketergantungan pengarang pada Balai

Pustaka karena pengarang baru merasa bangga dan puas apabila karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kondisi itu memberi kesempatan dan keleluasaan bagi pemerintah kolonial untuk memaksakan ideologinya ke dalam karya para pengarang yang hendak diterbitkan Balai Pustaka. Pengarang sering terpaksa harus "membelenggu" imajinasi dan kreativitasnya karena mempunyai keinginan agar karyanya diterbitkan Balai Pustaka. Dengan demi-kian, pengarang harus mengorbankan idealisme estetik dan sosial-nya (Faruk, 1994: 375).

Berkat adanya kecenderungan misi ideologis-politis pemerintah (dalam hal ini penerbit) itulah, karya-karya sastra Jawa Balai Pustaka umumnya tidak mengemukakan citra buruk orang Belanda yang dapat menimbulkan sikap antipati masyarakat terhadap kelompok sosial tersebut. Berbagai peristiwa politik yang terjadi yang melibatkan penindasan pemerintah Belanda terhadap pergerakan nasional dan hubungan pergundikan laki-laki Belanda dengan wanita Indonesia yang telah dianggap sebagai simbol kesewenangan Belanda, juga tidak muncul dalam karya-karya sastra yang terbit (Faruk, 1994:374). Oleh karena itu, bahan cerita karya-karya sastra yang diterbitkan Balai Pustaka memiliki kecenderungan mempergunakan dunia imajiner. Meskipun sinya-lemen tersebut berkenaan dengan karya-karya sastra Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa karya-karya sastra Jawa juga tidak dapat melepaskan diri dari kondisi yang sama; hampir tidak ada karya sastra Jawa yang mengungkap kebobrokan kaum penjajah.

Hal di atas mengindikasikan bahwa Balai Pustaka sangat serius dan berhati-hati dalam menjaga nilai-nilai moral dalam masyarakat. Dengan kata lain, moralitas masyarakat merupakan salah satu faktor yang sangat diperhatikan oleh Balai Pustaka. Untuk mencapai tujuan tersebut Balai Pustaka selalu berupaya menjaga isi buku-buku yang diterbitkan agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral yang ada dalam masyarakat. Hal tersebut antara lain tampak dalam upaya Balai Pustaka menghindarkan diri dari hal-hal yang bersifat cabul, sex and violent, cerita-cerita

kejahatan, dan sebagainya karena hal itu dianggap dapat memberi pengaruh buruk bagi masyarakat.

Karena ada kecenderungan demikianlah akhirnya tradisi kritik sastra (pada masa itu), baik Jawa maupun Indonesia, tidak berkembang. Sebab utamanya ialah karena sebelum diterbitkan karya-karya itu telah disensor dengan ketat oleh redaktur penerbit sesuai dengan kebi-jakannya sehingga ketika terbit karya-karya itu memiliki ciri yang seragam, baik dari segi tema, bahasa, maupun gaya. Apabila muncul kritik, karya kritik itu pun akan dianggap sebagai sikap oposan --dan pemerintah anti terhadap sikap ini--sehingga sebelum kritik tersebut muncul ke permukaan (diter-bitkan, misalnya) telah terlebih dulu disensor oleh redaksi penerbit. Di samping itu, stagnasi kritik sastra dimungkinkan juga karena sebagai masyarakat terjajah, posisi orang-orang pribumi tidak memungkinkan untuk dapat melakukan kritik terhadap apa pun, apalagi kritik terhadap sesuatu yang menjadi kehendak pemerintah.

Di samping hal-hal di atas, penerbitan yang berupa surat kabar dan majalah agaknya perlu pula diperhatikan. Dikatakan demikian karena surat kabar dan terbitan berkala (Setiadi, 1991:31) juga meru-pakan salah satu hasil perkembangan dunia cetak di Hindia Belanda. Dalam waktu yang relatif singkat muncul berbagai surat kabar dalam jumlah yang cukup banyak. Pada tahun 1890 di beberapa kota besar di Pulau Jawa telah ada 11 surat kabar (dalam berbagai bahasa). Angka ini terus berkembang pada tahun 1912 dengan munculnya 36 surat kabar. Arti penting kelahiran berbagai surat kabar tersebut (Setiadi, 1991:31) adalah sebagai sarana diskursus modern ketika berbagai golongan dalam masyarakat dapat menggerakkan gagasan mereka melalui pener-bitan, melalui sarana yang juga digunakan penguasa kolonial untuk maksud tertentu.

Pada tahun 1918 Balai Pustaka menerbitakan majalah bulanan Sri Pustaka. Majalah itu menggunakan bahasa Melayu dan memuat berbagai rubrik ilmu pengetahuan dengan cara sederhana. Majalah tersebut dibagikan ke berbagai Taman

Pustaka. Lima tahun kemudian (1923) terbit majalah Panji Pustaka dengan meng-gunakan bahasa Melayu dan memuat berbagai rubrik tentang kejadian sehari-hari. Sejak tahun 1929 diterbitkan pula majalah mingguan berbahasa Sunda yang isinya tidak jauh berbeda dengan Panji Pustaka, yaitu Parahi-angan. Perkembangan majalah-majalah tersebut seperti berikut.

Nama Majalah Jumlah terbitan dalam tahun 1923 1925 1926 1927 1929 1941 Panji Pustaka 1500 2500 3000 4500 - 7000

Kejawen - - 2300 2100 - 5000

Parahiangan - - - - 1250 2500

(Sumber: Pamoentjak, 1948:15)

Majalah berbahasa Jawa yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka adalah Kejawen (1926). Terbitan berbahasa Jawa milik kolonial tersebut berupa majalah mingguan dengan staf redaksi orang-orang pribumi, tetapi modal dan kendali tetap dipegang pemerintah (kolonial). Majalah tersebut memiliki perwajahan dengan gambar tetap dan pewarnaan berganti-ganti. Penampilan sampul seperti itu secara tersirat menunjukkan konsistensi badan penerbitan pemerintah. Konsistensi lainnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA