Bagaimana pendapat anda tentang anak yang menggugat ibu kandungnya

Lihat Foto

KOMPAS.COM/IDHAM KHALID

Ibu Praya Tiningsih warga Kelurahan Semayan, yakni ibu uanh digugat anak kandungnya karena warisan

KOMPAS.com- Beberapa kasus anak menggugat ibu kandungnya tercatat pernah terjadi di Indonesia.

Tak hanya sekali, kebanyakan gugatan muncul lantaran persoalan harta warisan.

Ada pula gugatan yang muncul karena utang piutang.

Berikut Kompas.com merangkum sederet kasus anak kandung yang pernah menggugat ibundanya:

Baca juga: Emosi, Ibu yang Digugat Anaknya Soal Warisan, Ancam Minta ASI-nya Dibayar

1. Digugat anak kandung soal warisan, Praya meminta Rully membayar air susunya

Lihat Foto

SHUTTERSTOCK

ilustrasi ibu menyusui bayi.

Seorang lelaki bernama Asroni Husnan meninggal pada bulan Agustus 2019.

Sepeninggal Asroni, putranya yang bernama Rully menggugat sang ibu kandung, Praya Tiningsih (52) terkait harta warisan.

Harta yang digugat Rully adalah tanah seluas 4,2 are dengan bangunan rumah berdiri di atasnya.

Di rumah itulah sang penggugat, Rully dibesarkan oleh ayah dan ibunya.

Rully juga menggugat uang deposit peninggalan almarhum ayahnya.

Rupanya, menurut pengakuan Rully, gugatan dilayangkan didasari kekecewaan karena ibunya menolak ketika Rully ingin membuat ruang tamu dan dapur di rumah itu.

"Kita kan sudah berkeluarga, jadi saya ingin menambahkan untuk membuat ruangan tamu sama dapur, tapi oleh ibu tidak mengizinkan," kata Rully saat ditemui di rumah pamannya, Senin (9/8/2020)

Baca juga: Anaknya Ngotot Gugat Warisan, Ibu Ningsih: Dia Harus Bayar Air Susu Saya

Lihat Foto

DOK. Serambinews.com

Alkausar (72), ibu yang digugat anak kandungnya sendiri berinisial AH yang merupakan salah pejabat di lingkungan Setdakab Aceh Tengah saat ditemui wartawan di rumahnya pada 17 November 2021. Gugatan itu terkait rumah harta warisan.

KOMPAS.com - Seorang ibu bernama Alkausar (72) di Kota Takengon, Aceh Tengah, tak bisa menahan kesedihan menceritakan hari tuanya yang malah digugat oleh anak kandungnya AH gara-gara warisan rumah ke pengadilan. Padahal, rumah tersebut masih dihuninya bersama anak-anaknya yang lain. 

AH merupakan anak sulung Alkausar yang punya 11 anak. AH sendiri merupakan pejabat berstatus pegawai negeri yang bertugas di Sekretariat Daerah Kabupaten (Setdakab) Aceh Tengah. 

Baca juga: Marak Kasus Anak Gugat Ibu Kandungnya di Jawa Tengah, Ini Kata Kriminolog

Gugatan AH atas rumah warisan ayahnya ini dipertegas dengan pendaftaran perkara bernomor 9/dt.G/2021/PN Tkn tanggal 19 Juli 2021.

Selain menggugat rumah, AH diketahui juga meminta ganti rugi sebesar Rp 700 juta.

Alkausar bercerita, rumah yang ditempatinya tersebut telah dibuatkan surat kepemilikan atas nama AH, tanpa sepengetahuannya. 

Baca juga: Duduk Perkara Anak Gugat Ibu Kandung gara-gara Warisan Sawah Almarhum Ayah

Mengklaim rumah yang ditempati ibu jadi miliknya usai ayah meninggal

Dia mengatakan, AH sebagai anak sulung pernah meminta sertifikat rumah untuk disimpan dengan alasan tak hilang. 

“Dulu pernah dia minta sertifikat rumah ini dengan alasan agar tidak hilang. Karena dia anak yang paling besar, saya percaya dan menyerahkan sertifikat itu untuk disimpan," kata Alkausar seperti dilansir dari SerambiNews.com, Rabu (17/11/2021).

"Setelah bapaknya meninggal, tahu-tahu dia (AH-red) mengatakan kalau rumah ini untuk dia,” lanjutnya.

Baca juga: Lagi, Anak Gugat Ibu Kandung, Tuntut Tanah yang Diklaim Hasil Selama Jadi TKW

Alasan AH gugat Alkausar ke pengadilan

Menurut Alkausar, gugatan yang dilayangkan anak sulungnya itu ke pengadilan karena mengklaim bahwa rumah warisan tersebut, merupakan milik AH. Sedangkan keluarga besarnya tidak setuju.

Alkausar masih ingat pesan almarhum suaminya untuk tidak menjual rumah yang sekarang ia tempati. Tak heran ia sangat sedih dengan gugatan anak sulungnya di usia senjanya. 

"Bahkan ini menjadi rumah kalian bersama-sama. Tapi tahu-tahu sudah disuratkannya,” ungkap Alkausar.

BANDA ACEH (Waspada): Video dengan narasi seorang anak di Takengon, Aceh Tengah, menggugat ibu kandung dan saudaranya ke Pengadilan Negeri Takengon viral.

Rabu (17/11/2021), perempuan penggugat berinisial AH tampak meninjau rumah tiga lantai bersama sejumlah orang. Peninjauan itu disebut bagian dari sidang lapangan.

Di sekitar rumah, tampak ibu kandung penggugat serta sejumlah saudaranya. Ibu kandung penggugat sempat melontarkan kata ‘durhaka’ ketika perempuan itu melintas.

Fenomena menyedihkan ini semakin sering terjadi. Berikut beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia:

  1. Masalah TanahRE Koswara, 85 tahun, dituntut anaknya hingga Rp 3 miliar karena masalah rumah pada Januari lalu. Perkara ini berangkat dari keberatan anaknya, Deden, atas niat Koswara menjual lahan yang sedang ia sewa.

    Lahan yang disewa Deden tersebut diketahui berada di Jalan AH Nasution, Kota Bandung.

Menurut Koswara, nanti hasil penjualan lahan yang ditempati anaknya tersebut bakal dibagi rata kepada ahli warisnya.

Dalam masalah ini, Deden tidak sendiri melayangkan gugatan kepada Koswara. Dua anak Koswara lainnya, yakni Ajid dan Muchtar ikut serta. Selain itu, anak Koswara lainnya, Masitoh, yang berprofesi sebagai pengacara menjadi kuasa hukum kakak-kakaknya.

  1. Masalah Mobil
    Alfian Prabowo, pemuda dari Salatiga, menggugat kedua orang tuanya, Agus Sunaryo dan Dewi Firdaus, pada Oktober 2020.

Perkara ini berawal saat Dewi membeli Toyota Fortuner pada 2013. Mobil ini ia atas namakan Alfian karena Dewi baru saja menjual mobil lainnya dan belum mengurus balik nama.

Belakangan Alfian meminta mobil Fortuner tersebut. Bila tidak diberikan, Alfian menganggap ibunya menyewa dan menurut perhitungan dia, sewanya sudah mencapai Rp 200 juta.

  1. Tanah Warisan
    Ramisah, 67 tahun, warga Kelurahan Candiroto, Kendal, Jawa Tengah, digugat anak kandungnya, Mariyanah, 45 tahun, awal tahun ini.

Mariyanah menggugat ibunya karena masalah tanah warisan. Ia menganggap tanah yang dimiliki kedua orang tuanya sebagai tanahnya yang ia beli dari hasil bekerja di Malaysia.

Gugatan terhadap Fatimah, 90 tahun, yang dilakukan anak menantu dan anak kandungnya, Nurhakim dan Nurhana, sempat menyita perhatian publik pada 2014 lalu.

Perkara ini dimulai saat suami Fatimah, Abdurahman, membeli tanah Nurhakim pada 1987 seharga Rp 10 juta. Namun sertifikat tanah tersebut tak kunjung diurus proses balik nama hingga Abdurrahman wafat.

Beberapa tahun kemudian Nurhakim menggugat tanah tersebut dan mengaku orang tua istrinya itu tidak pernah membayar. Ia meminta Fatimah dan anak-anaknya yang lain membayar Rp 10 juta, lalu naik Rp 20 juta hingga Rp 1 miliar.

Pendapat Warga
Adalah Azka seorang mahasiswi Unsyiah mengomentari fenomena itu dengan mengatakan “Sudah gak ada lagi rasa sayang mereka pada orangtua mereka. Gak mikir mereka siapa yang mengasuh mereka selama ini. Aku aja melihatnya sakit hati, bagaimana lagi perasaan para orangtua itu ya.”

Menanggapi fenomena tersebut, Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Dr. Sonny Dewi Judiasih, M.H., C.N., mengatakan, secara norma anak tidak diperbolehkan mengajukan gugatan ke orang tua. Tindakan ini tidak sejalan dengan norma yang ditetapkan dalam Undang-undang Perkawinan.

“Ini sesuatu yang ironis,” ungkap Sonny saat diwawancarai Kantor Komunikasi Publik Unpad, Senin (25/1).

MASIH ingatkah anda, terhadap kasus anak menggugat ibu kandungnya di Garut? Nenek Siti yang sudah tua renta digugat anaknya sebesar Rp 1,8 miliar. Gugatan dilayangkan ke Pengadilan Negeri Garut oleh anaknya.

Kasus yang sama dan masih hangat dipendengaran kita adalah kasus Nenek Cicih yang juga digugat empat orang anaknya yaitu Ai Sukawati, Dede Rohayati, Ayi Rusbandi dan Ai Komariah. Mereka menggugat ibu kandungnya Cicih (78) ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung.

Cicih digugat anak-anaknya terkait persoalan warisan tanah. Mereka menggugat Cicih secara perdata senilai Rp 1,6 miliar. 

Ternyata di Pengadilan Negeri Bandung gugatan anak terhadap orang tua, tidak hanya pada nenek Cicih saja, tapi juga ada perkara lain yang juga tidak kalah menariknya, yaitu gugatan anak perempuan bernama Meymey (Oey Huei Beng) menggugat bapaknya Oey Tiauw Sioe yang sudah berumur 80 tahun lebih. 

Lebih mengkhawatirkan lagi, sang bapak yang digugat saat ini keadaannya tengah sakit keras kena serangan stroke. Oey Tiauw Sioe tidak bisa berjalan dan hanya terbaring di tempat tidur, bahkan untuk makan saja harus disuapi.

Gugatan terhadap Nenek Cicih disidangkan setiap hari Selasa, sedangkan Gugatan terhadap Oey Tiauw Sioe digelar tiap hari kamis di Pengadilan Negeri Bandung.

Pada Kamis pekan kemarin agenda sidang mediasi, namun di tingkat mediasi buntu hingga akhirnya sidang gugatan harus dilanjut. Materi yang digugat dalam perkara tersebut tidak lain masalah harta warisan. Anak perempuan tersebut menggugat harta warisan berupa dua puluh delapan bidang tanah.

“Klien kami sudah tak berdaya, kini hanya bisa terbaring ditempat tidur, makan saja harus disuapin dan saking parahnya, asupan makanan semuanya harus diblender. Dan kini harus mengahadapi gugatan di Pengadilan Negeri Bandung dari anak kandungnya sendiri,” ujar penasehat hukum tergugat, Wilson Tambunan saat dihubungi, Minggu, 25 Februari 2018.

Page 2

Menanggapi fenomena tersebut Psikiater Teddy Hidayat menyatakan bahwa kasus anak menggugat orang tua  tersebut sangat berhubungan dengan lunturnya budi pekerti dan moralitas. Dimana dahulu orang tua itu sangat dihormati dan menjadi pujaan, kini malah diperkarakan di pengadilan.

“Budi pekerti sekarang ini sudah luntur, bagiamana menghormati orang tua, sekarang malah gara -gara harta, anak malah menggugat orang tua ke pengadilan,” ujarnya.

Menurut Teddy, kalau pun orang tua melakukan satu kesalahan, seharusnya dimaafkan karena bagaimanapun dia itu yang melahirkan kita, membesarkan kita, mengurus hingga membesarkan kita. Kini setelah anaknya dewasa, seharusnya membahagiakan orang tua atau memberi kasih ke orang tua malah mempersoalkannya, lebih parahnya lagi persoalan itu dibawa ke pengadilan.

“Inilah moralitas sebagai anak terlihat jelas, sudah tidak ada lagi perasaan ikatan batin sebagai anak kepada orang tuanya,” katanya.

Lunturnya moralitas, menurut Teddy Hidayat akibat arus pertumbuhan teknologi informasi yang begitu dahsyat dan tidak diimbangi peningkatan moralitas. “Perbaikan moralitas berjalan lamban, sedangkan tenologi informasi begitu cepat. Inilah PR kita semua, bagaimana mengembalikan moralitas anak bangsa supaya kembali terjaga,” ujarnya.

Sementara itu Dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, Gianti Gunawan menyayangkan terjadi peristiwa anak menggugat orang tua. Apalagi orang tuanya sudah berusia lanjut.

Pola asuh yang salah

Menurut dia, secara psikologis, diusia lanjut, individu mengalami banyak penurunan, baik dalam hal kesehatan, kekuatan, peran sosial dan penghasilan. Justru di usia inilah, orang tua sangat memerlukan dukungan sosial, terutama dari keluarga terdekatnya, yaitu anak, menantu dan cucu-cucunya.

“Bagi anak, masa ini merupakan masa yang tepat untuk membalas jasa orang tua. Karena anak sudah berada pada usia dewasa, dimana mereka sudah mandiri, memiliki pekerjaan, memiliki pasangan dan anak,” ujar Psikolog yang kini menempuh S3 ilmu psikologi di Unpad itu.

Secara psikolog, menurut Gianti, fenomena anak gugat orangtua itu bisa aja terjadi dan diantaranya bisa disebabkan beberapa faktor. Seperti pola asuh yang salah, anak terlalu dimanjakan, semua keinginannya dipenuhi (nyaah dulang- dalam bahasa sunda), akibatnya anak memiliki toleransi yang rendah dan tidak bisa menahan keinginannya.  “Selain itu, prilaku agresi/kekerasan yang dilihat dikehidupan kemudian ditiru,” ujarnya.

Page 3

Kemudian menurut Gianti, bisa dipengaruhi lingkungan, seiring bertambahnya usia anak, dia akan bertemu banyak orang dan bisa jadi tidak selalu memberikan pengaruh yang positif. Baik dari teman maupun pasangan hidup. Sehingga ketika ada sedikit saja masalah dengan orang tua atau keluarga, ia akan lebih percaya orang lain yang dianggap ada dipihaknya, seperti pengaruh menantu.

Selanjutnya bisa dikarenakan gaya hidup hedonis saat ini seringkali membuat orang terlena dan membuat menghalalkan segala cara untuk dapat menikmatinya. “Komunikasi yang tidak berjalan dua arah secara memadai antara anak dan orang tua sehingga maksud antara kedua belah pihak tidak diterima secara objektif dan terjadi kesalahpahaman,” ujarnya.

Tentu saja solusinya, menurut Gianti, salah satunya komunikasi, bagaimana ikatan antara anak dan orang tua tidak ada kata “mantan” atau “blood thicker than water”. Dengan begitu bila bersama sama duduk, berbicara dengan hati dan kepala dingin dikembalikan ke “singgasana” masing-masing sesuai perannya sebagai anak dan Orang Tua, masalah akan dapat terurai lebih jelas dari dua sudut pandang.

Solusi dicari bersama-sama dengan mengutamakan kepentingan dan kebahagiaan orangtua. “Tentu saja tameng yang paling utama mendekatkan diri pada agama,” katanya.***

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA