Sebutkan pendapat ulama dalam pembagian Aqidah

Ulama Salaf membagi jenis bid'ah.

Selasa , 18 Aug 2020, 08:26 WIB

republika.co.id

Pembagian Bida'ah Menurut Ulama Salaf. Foto: Unta di Padang Pasir

Rep: Ali Yusuf Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ustadz Abdul Somad (UAS) menanggapi pandangan yang menyebutkan bahwa bid'ah adalah apa saja yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAW. Dan umat yang melakukan bid'ah itu telah sesat."Jika demikian maka mobil bid'ah, maka kita mesti naik unta," kata

Ustadz Abdul Somad LC Ma dalam bukunya 37 Masalah Populer.

Tentu kata UAS, orang yang tidak setuju akan mengatakan. "Mobil itu bukan ibadah yang dimaksud bid'ah itu adalah masalah ibadah."

Baca Juga

Menurut UAS, dengan memberikan jawaban itu sebenarnya ia sedang membagi bid'ah kepada dua. Bid'ah urusan dunia dan bid'ah urusan ibadah. Bid'ah urusan dunia, boleh.  bid'ah dalam ibadah, tidak boleh.

"Kalau bid'ah dibagi menjadi dua; bid'ah urusan dunia dan bid'ah urusan ibadah, mengapa bid'ah tidak bisa dibagi kepada bid'ah terpuji dan bid'ah tercela," katanya.Maka dari itu, kata UAS, para ulama membagi bid'ah kepada dua bahkan ada yang membaginya menjadi lima. Terkait pembagian bid'ah, UAS menyampaikan pendapat para ulama dari kalangan Salaf (tiga abad pertama Hijriah).Imam Syafi'i berkata bidah itu terbagi dua. Bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah Madzmumah (tercela). Jika sesuai dengan sunnah, maka bid'ah mahmudah, namun jika bertentangan dengan sunnah, maka itu itu bid'ah madzmummah. Disebutkan oleh Abu Nua'im dengan maknanya dari jalur riwayat Ibrahim bin al-Junaidi dari Imam Syafi'i, disebutkan kriteria pembagian bidah mahmudah dan madzmumah.

"Perkara yang dibuat-buat, bertentangan dengan Alquran, atau sunnah, atau Atsar, atau Ijma, maka itu bid'ah dhalalah (bidah sesat)," katanya.Perkara yang dibuat-buat, dari kebaikan, tidak bertentangan dengan Alquran, Sunnah, Atsar dan Ijma, maka itu Bid'ah Ghair Madzemumah (bid'ah tidak tercela).

Sementara, kriteria pembagian bi'dah menurut al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan dua kali dengan dua istilah berbeda: Pertama bid'ah hasanah, bid'ah musaqbahah, bid'ah mubah. Berdasarkan penelitiannya, jika bid'ah itu tergolong dalam perkara yang dianggap baik menurut syariat Islam, maka itu disebut bid'ah hasanah. Jika tergolong dalam suatu yang dianggap buruk menurut syariat Islam maka itu disebut bid'ah mustaqbahah (Bid'ah buruk). "Jika tidak termasuk dalam kedua kelompok ini maka termasuk mubah," katanya.Kedua, bid'ah hasanah, bid'ah dhalalah, Bid'ah Mubah. Jika perbuatan itu sesuai dengan sunnah, maka itu adalah bid'ah hasanah. Jika bertentangan dengan sunnah, maka itu adalah bid'ah dhalalah itulah yang dimaksudkan."Oleh sebab itu Bid'ah dikecam. Jika tidak sesuai dengan sunnah dan tidak pula bertentangan dengan sunnah, maka hukum asalnya adalah mubah. Dasar pembagian bid'ah menurut Imam an-Nawawi adalah hadits yang berbunyi semua perkara yang dibuat-buat itu adalah bid'ah dan setiap yang bid'ah itu sesat. Hadis ini kata UAS, bersifat umum. Dikhususkan oleh hadits lain yang berbunyi.  "Siapa yang membuat tradisi yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan balasan pahalanya."Dan yang dimaksud dengan bid'ah dhalalah dalam hadits pertama adalah perkara yang diada-adakan yang batil dan perkara dibuat-buat yang tercela. Sedangkan bid'ah itu sendiri dibagi lima yaitu bid'ah wajib, bid'ah mandub, bid'ah haram, bid'ah makruh dan bid'ah mubah.Tapi ada yang menyebut, semua Bid'ah itu sesat."Apa maksudnya? Imam an-Nawawi menjawab, Sabda Rasulullah SAW, "semua bidah itu sesat," ini kalimat yang bersifat umum, tetapi dikhususkan. Maka maknanya, "pada umumnya bidah itu sesat.Bid'ah dibagi lima: Pendapat Imam al-Izz bin Abdissalam: Bid'ah terbagi kepada wajib, haram, mendub (anjuran) makruh dan mubah.Cara untuk mengetahuinya, bid'ah tersebut ditimbang dengan kaidah-kaidah syariat Islam.

Jika bid'ah tersebut masuk dalam keadaan wajib, maka itu adalah bid'ah wajib.Jika masuk dalam keadaan haram, maka itu bid'ah haram. Jika masuk dalam keadaan mandub maka itu bid'ah mandub. Jika masuk dalam keadaan makruh maka itu bid'ah makruh.Jika masuk dalam keadaan mubah, maka itu bid'ah mubah.Contoh bid'ah wajib: pertama, sibuk mempelajari ilmu Nahwu (Gramatikal bahasa Arab) untuk memahami Alquran dan sabda Rasulullah. Itu wajib, karena untuk menjaga syariat itu wajib. Syariat tidak mungkin dapat dijaga kecuali dengan mengetahui bahasa Arab. Jika sesuatu tidak sempurna karena ia, maka ia pun ikut menjadi wajib. Contoh kedua menghafal gharib (kata-kata asing) dalam Alquran dan Sunnah. Contoh ketiga menyusun ilmu ushul fiqih. Contoh keempat, pembahasan al-Jarh wa at-Ta'dil untuk membedakan shahih dan saqim (mengandung penyakit). Kaedah-kaedah syariat Islam menunjukkan bahwa menjaga syariat Islam itu fardhu kifayah pada sesuatu yang tidak yang lebih dari kadar yang tentu. Penjagaan syariat Islam tidak akan terwujud kecuali dengan menjaga perkara-perkara di atas.Contoh bidah haram. Mazhab qadariyah (tidak percaya kepada takdir), mazhab Jabariyyah (berserah kepada takdir), mazhab mujassimah (menyamakan Allah dengan makhluk), Menolak mereka termasuk perkara wajib.Contoh bid'ah mandub (anjuran): membangun prasarana jihad, membangun sekolah dan jembatan. Semua perbuatan baik yang belum pernah ada pada generasi awal Islam. Di antaranya shalat tarawih, pembahasan mendetail tentang tasawuf, pembahasan ilmu debat dalam semua aspek untuk mencari dalil dalam masalah-masalah yang tujuannya untuk mencari ridho Allah. Contoh bid'ah makruh: hiasan pada masjid-masjid, hiasan pada mushaf Alquran. Adapun melantunkan Alquran sehingga lafadznya berubah dari keadah bahasa Arab, maka itu tergolong bid'ah haram.Contoh bid'ab mubah: Bersalaman setelah selesai shalat Subuh dan Ashar. Menikmati yang nikmat-nikmat, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, memakai jubah kebesaran dan melebarkan lengan baju . Namun, kata UAS, ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama menjadikan ini tergolong bidah makruh sebagian lain menjadikannya tergolong ke dalam perbuatan yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW dan masa setelahnya, sama seperti isti'adzah (mengucapkan audzubillah) dan 'basmalah' (mengucapkan bismillah) dalam shalat.

  • bid'ah
  • pembagian bid'ah
  • jenis bid'ah
  • ulama membagi bid'ah

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Kata akidah atau i’tiqod secara bahasa berasal dari kata al ‘aqdu yang artinya berputar sekitar makna kokoh, kuat, dan erat. [1]

Adapun secara istilah umum, kata akidah bermakna keyakinan yang kokoh akan sesuatu, tanpa ada keraguan. [2]

Jika keyakinan tersebut sesuai dengan realitas yang ada maka akidah tersebut benar, namun jika tidak sesuai maka akidah tersebut bathil. [3]

Setiap pemeluk suatu agama memiliki suatu akidah tertentu. Namun kebenaran akidah hanya ada dalam islam. Karena dia bersumber dari Dzat yang Maha Mengetahui, yaitu Allah ta’ala. Sehingga karenanya tidak ada perbedaan antara akidah yang dibawa oleh para Nabi dari masa ke masa.

Adapun akidah yang bathil, mencakup semua akidah yang bertentangan dengan wahyu. Yaitu akidah yang hanya bersumber dari akal manusia, atau berasal dari wahyu namun dirubah dan diselewengkan. Seperti akidahnya orang yahudi bahwa Uzair adalah anak Allah, atau akidahnya orang Nashroni bahwa al masih adalah anak Allah, atau akidah syiah yang berkeyakinan bahwa Allah menyesal setelah berkehendak, yang dinamakan akidah bada’.

Dalam definisi syar’i, akidah dalam agama islam bermakna masalah masalah ilmiyah yang berasal dari Allah dan Rosulnya, yang wajib bagi setiap muslim untuk meyakininya sebagai pembenaran terhadap Allah dan Rosul Nya. [4]

Meskipun kata akidah dalam hal ini merupakan istilah baru[5] yang tidak dikenal dalam Al Qur’an maupun Sunnah[6], namun para ulama menggunakan istilah ini. Yang menunjukan kebolehan penggunaan istilah ini. Toh, tidak ada masalah dalam penggunaan istilah jika maknanya dipahami.

Diantara para ulama yang menggunakan istilah ini adalah Imam Al Laalakaai (418 H) dalam kitabnya Syarhul ushul I’tiqod ahlu sunnah wal jama’ah, kemudian Imam As Shobuni (449 H) dalam kitabnya Aqidas Salaf Ashaabul Hadits.

Baca juga: Pentingnya Aqidah Dalam Kehidupan Seorang Insan

Kemudian ada beberapa istilah yang semakna dengan akidah yang juga digunakan oleh para ulama, diantaranya:

Al Fiqhul Akbar

Pada awal kemunculannya kata fiqih dimaksudkan kepada ilmu tentang agama islam secara umum, dan terkhusus ilmu berkenaan dengan akherat, masalah masalah hati, penghancur amal dan sebagainya.[7] Namun kemudian makna ini berubah menjadi ilmu tentang hukum hukum dhohir praktis syar’I yang sekarang dikenal dengan ilmu fiqih.[8]

Sehingga karenanya ilmu fiqih di masa dahulu mencakup seluruh ilmu agama baik ilmu akidah yang bersifat bathin maupun ilmu hukum-hukum yang bersifat zahir. Dari sinilah kemudian muncul istilah Fiqhul Akbar yang dimaksudkan ilmu akidah. Karena ilmu akidah lebih agung dibandingkan ilmu cabang hukum-hukum zahir yang merupakan Fiqhul Ashghor.

Ulama yang pertama kali menggunakan istilah ini adalah Abu Hanifah (150 H) dalam kitabnya Al Fiqhul Akbar. Beliau berkata, “Al Fiqhul Akbar dalam agama lebih baik dari fiqih dalam ilmu, seseorang faqih tentang bagaimana cara beribadah kepada Rabb nya lebih baik dari mengumpulkan seluruh ilmu”[9]

Al Iman

Iman secara bahasa[10] bermakna At Tashdiq (pembenaran)[11] dan Al Iqroor (penetapan)[12]. Adapun secara istilah syar’i iman adalah pembenaran dan penetapan serta ketundukan terhadap kebenaran yang berasal dari wahyu.[13] Dan para ulama sepakat bahwa Iman mencakup perkataan dan perbuatan, perkataan hati dan lisan, perbuatan hati dan anggota badan.[14]

Istilah iman merupakan kata yang paling sering disebutkan dalam Al Qur’an maupun sunnah. Diantara para ulama yang menggunakan istilah ini adalah Ibnu Mandah (395 H) dalam kitabnya Kitabul Iman, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (728 H) juga dalam dua kitabnya yaitu Al Iman Ausath dan Al Imanul Kabir, kemudian juga Imam Bukhori dalam S- nya membuat bab di awal sohihnya dengan nama kitabul iman.[15]

As Sunnah

Kata sunnah memiliki makna yang bermacam macam tergantung disiplin ilmu masing masing[16]. Dalam ilmu fiqih sunnah adalah hal hal yang jika dikerjakan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak apa apa. Dalam ilmu ushul fiqih assunnah bermakna sumber wahyu kedua setelah Al Qur’an. Dalam ilmu hadits assunnah merupakan persamaan kata dari akidah, dan seterusnya. Terkadang juga sunnah digunakan sebagai antitesa dari kata bid’ah. Namun kemudian banyak ulama yang menggunakan istilah sunnah ditunjukan kepada makna akidah dikarenakan urgensi ilmu akidah yang merupakan pokok agama islam. Diantara para ulama yang menggunakan istilah sunnah adalah Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hambal (327 H) dalam kitabus Sunnah dan Imam Al Barbahaari (329 H) dalam kitabnya Syarhus Sunnah.

At Tauhid

Kata tauhid terdapat dalam hadits Mu’adz ketika diutus ke yaman diatas. Diantara para ulama yang menggunakan kata ini adalah Ibnu Khuzaimah (311 H) dalam Kitabut Tauhid Wa Itsbaatu Shifaatir Rabb ‘Azza Wa Jalla , juga Imam Al Maqriizi (845 H) dalam kitabnya Tajridut Tauhid Al Mufid, serta Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (1206 H) dalam Kitabut Tauhid Alladzi Huwa Haqqullah ‘Alal ‘Abid. Kitab kitab yang ditulis dengan istilah tauhid hanya membahas hal hal yang berkaitan dengan tauhid dengan ketiga macamnya, yang merupakan bagian dari ilmu akidah. Sehingga kitab kitab akidah lebih bersifat komprehensif (syumul). Selain membahas masalah tauhid, kitab kitab Akidah juga membahas hal hal lain seperti iman dan rukun rukunnya, islam dan rukun rukunnya, hal hal yang bersifat ghoib, kaidah kaidah dalam akidah yang pasti yang disepakati para ulama, wala dan baro, bantahan terhadap aliran sesat dll.[17]

As syari’ah

Secara umum akidah seperti sunnah, terkadang dimaksudkan seluruh yang disyariatkan oleh Allah kepada hambanya berupa hukum hukum yang disampaikan oleh para nabi. Terkadang dimaksudkan hanya masalah akidah, dan terkadang dimaksudkan masalah amaliyah fiqhiyah saja. Dalam Al Qur’an pun makna Syariah berbeda beda, terkadang syariat bermakna seluruh ajaran yang dibawa para nabi[18], terkadang dikhususkan ajaran setiap nabi yang berbeda antara satu nabi dengan yang lainnya[19], dan terkadang dikhususkan kepada kesamaan da’wah seluruh nabi yaitu tauhid.[20]

Adapun secara khusus makna Syari’ah adalah akidah yang diyakini oleh ahlu sunnah wal Jama’ah. Dan ini lah yang dimaksud oleh para ulama ketika menulis kitab kitab akidah dengan nama As Syari’ah. Diantara ulama yang menggunakan istilah ini adalah Imam Al Ajurri (360 H) dalam kitab beliau As Syarii’ah dan Ibnu Bathoh (387 H) dalam kitab beliau Al Ibaanah ‘Alaa Syarii’ati Firqotun Naajiyah.

Ushulud Din

Ashlu atau pokok adalah apa yang dibangun diatasnya sesuatu. Maka ushulud din adalah sesuatu yang agama dibangun diatasnya. Dan agama islam dibangun diatas akidah yang benar. Sehingga para ulama menggunakan istilah ini dengan makna ilmu akidah. Dan ini yang kita kenal dalam perguruan perguruan tinggi di timur tengah, saudi arabia khususnya fakultas yang berkonsentrasi membahas akidah adalah fakultas ushuluddin. Diantara ulama yang menggunakan istilah ini adalah Abu Hasan Al Asy’ari (324 H)dalam kitab beliau Al Ibanah ‘An Ushulid Diyanah, dan Ibnu Bathoh (387 H) dalam kitabnya Asy Syarhu wal Ibanag ‘An Ushulis sunnah Wad Diyanah. Wallahu ‘Alam.

Baca juga: Perbedaan antara Aqidah, Tauhid dan Manhaj

***

Catatan kaki

🔍 Bagaimana Wajah Allah, Tips Sholat Khusyuk, Hadis Hijrah, Pengertian Bulan Rajab, Bagaimana Gambar Surga

Tags: akidahAqidahas sunnahimanmakna akidahTauhidushuluddin

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA