Dian Puji Nugraha Simatupang
Keuangan negara di Indonesia belum sepenuhnya dideterminasi faktor keadilan sosial (social equity) karena lebih cenderung dideterminasi faktor kepemimpinan pemerintahan negara, sehingga makna keuangan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara sangat bergantung pada model dan tipikal Presiden selaku pemegang pengelolaan keuangan negara tertinggi di Indonesia. Kondisi demikian menyebabkan keuangan negara direncanakan, dianggarkan, dan dipertanggungjawabkan dengan model dan mekanisme sesuai dengan konsep manajemen Presiden, dan tidak pada konsep mewujudkan tujuan bernegara untuk mencapai keadilan sosial. Tulisan ini menjelaskan segi strategi kebijakan keuangan negara yang paradimatik dan kebijakan keuangan negara pada masa kepemimpinan pemerintahan Indonesia, serta perlunya reformasi hukum keuangan negara di Indonesia yang mendukung terwujudnya tujuan bernegara
Keuangan Negara, Anggaran Negara, Regulasi
DOI: //dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no2.3061
- There are currently no refbacks.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.
CHRYSANT YUNITA SETIAWAN
EDITED HARI SRIYANTO
Keadilan sosial merupakan sila ke 5 sila dari Pancasila. Berbicara mengenai keadilan sosial, pertanyaan yang sering muncul adalah, apa sebenarnya arti keadilan sosial itu sendiri, dan apakah keadilan sosial sudah terwujud di Indonesia?
Menurut KBBI kata adil sendiri mengandung artian sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak: keputusan hakim itu –; 2 berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Dan keadilan yang berarti sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil.
Setelah kita melihat definisi keadilan itu sendiri bisa saya simpulkan bahwa maksud dari sila ke lima dari Pancasila adalah bahwa diharapkan seluruh warga negara/rakyat Indonesia dapat berlaku adil terhadap satu sama lain, tidak membeda-bedakan, dan seterusnya. Seperti yang kita ketahui Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai beragam perbedaan baik suku, budaya, agama, etnis, ras, dan yang lainnya. Sehingga adanya sikap saling menghormati antar sesama menjadi tujuan utama dari adanya sila kelima ini.
Tapi, benahkah keadilan social sudah terwujud di negara ini? Menurut penulis keadilan belum sepenuhnya terjadi di Indonesia. Pasalnya belakangan ini kita sering melihat kasus hukum yang tidak adil. Anggapan “hukum tajam kebawah dan tumpul keatas” seakan bukan hanya slogam belaka. Dalam banyak kasus, ketidakdilan terhadap rakyat kecil sangat terasa. Sementara mereka yang memiliki kekuasaan seakan tak tersentuh oleh hukum.
Kita pernah mendengar, seorang nenek yang mencuri tiga batang kayu harus mendekam di tahanan selama beberapa bulan, sementara koruptor yang mencuri uang rakyat milyaran rupiah mendapat hukuman yang hampir sama. Hukum masih berpihak pada mereka yang memiliki kuasa dan uang.
Keadilan sosial ini tertulis dalam sila kelima Pancasila. Inti isi keadilan sosial pada prinsip kelima Pancasila, merupakan perwujudan yang terkandung dalam Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sesuai dengan kenyataan yang adil, artinya memenuhi segala sesuatu yang menjadi haknya dalam kaitannya hidup berdampingan dengan sesama, keadilan sosial harus ada dalam hidup dan keadilan sosial syarat mutlak dan penting dalam kehidupan yang harus ditanam di hati manusia, yaitu manusia sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial.
Keadilan sosial, terkandung didalamnya makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, kesejahteraan umum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu, kepentingan sosial dan negara. Misalnya saja setiap warga negara indonesia mendapatkan kesamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum yang berarti hukum tidak dapat membeda-bedakan semua warga negara indonesia yang melanggar aturan wajib berhadapan dengan hukum. Hukum tidak membeda-bedakan golongan warga negara baik itu golongan atas, golongan menengah, ataupun golongan terbawah. Hal ini dikarenakan hukum pada dasarnya sama dan tanpa terkecuali. Keadilan sosial yaitu adil yang berarti menyeluruh dan tanpa terkecuali yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada diskriminasi atau merugikan satu diantara banyak pihak yang terlibat. Serta tidak melibatkan status sosial, agama, ras, adat, warna kulit ataupun keanekaragaman yang terdapat di Indonesia yang artinya yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah.
“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” seperti bunyinya, makna sila kelima menjelaskan mengenai keadilan yang harus didapatkan oleh seluruh masyarakatnya.
Keadilan ini berlaku untuk seluruh aspek kehidupan, termasuk juga hak dan kewajiban yang dimiliki masing-masing individu. Keadilan Sosial juga memiliki berarti kita tidak boleh mementingkan diri sendiri. Kita harus mengutamakan kepentingan umum dalam hidup bermasyarakat. Sangat penting untuk mengetahui seberapa pentingnya keadilan social dalam kehidupan bermasyarakat sehingga tidak menutup kemungkinan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan adil terbentuk.
Keadilan sosial yang berlaku di hukum Indonesia juga menurut saya belum sepenuhnya merata dan terlaksana. Karena masih di dapati banyak kasus-kasus hukum yang mempermudah orang kaya/yang punya jabatan, dsb tetapi mempersulit mereka yang berada di kalangan bawah padahal mungkin kasus yang dilakukan oleh para pejabat/orang kaya itu jauh lebih berat.
Jadi, untuk menciptakan negara yang lebih adil lagi kedepannya kita sebagai generasi milenial harus menanamkan dan melakukan hal-hal seperti menghormati dan menghargai sesama sedini mungkin sehingga pada nanti saatnya kita yang memimpin atau berpengaruh di negara kita, kita merupakan generasi yang saling menghargai dan menghormati antar sesama. Sehingga kedepannya ke lima sila dari Pancasila, terutama sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ini dapat terlaksana dan berjalan dengan sebaik-baiknya.
PERWUJUDAN KEADILAN DAN KEADILAN SOSIAL
DALAM NEGARA HUKUM INDONESIA:
Perjuangan yang Tidak Mudah Dioperasionalkan.
Purwanto
Fakultas Hukum Univesitas Panca Bhakti Pontianak
Email korespondensi:
Abstrak
Keadilan dan keadilan sosial memiliki sejarah pemikiran yang panjang dalam
diskursus hukum dan negara. Negara merupakan figur sentral dalam perwujudan
keadilan dan keadilan sosial. Dalam negara hukum Indonesia perwujudan
keadilan dan keadilan sosial merupakan perjuangan yang tidak mudah
dioperasionalkan. Metode`yang dipergunakan dalam kajian ini adalah yuridis
normatif, dengan titikberat pada penulusuran studi pustaka. Dalam
pembahasannya mengkonfirmasikan bahwa keadilan dan keadilan sosial
memiliki pertemalian yang erat. Perwujudannya merupakan unsur utama,
mendasar, paling rumit, luas, struktural dan abstrak. Keadilan sebagai kemauan
yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang,
apa yang seharusnya diterima. Keadilan sosial selalu ditujukan untuk
mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, melalui
pemerataan sumber daya agar kesenjangan sosial ekonomi di tengah-tengah
masyarakat dapat dikurangi.
Kata Kunci: Keadilan, Keadilan Sosial, Konstitusi
A. Pendahuluan
Perwujudan keadilan dan
keadilan sosial dalam Negara
hukum merupakan unsur utama,
mendasar, sekaligus unsur yang
paling rumit, luas, struktural dan
abstrak. Kondisi ini karena konsep
keadilan dan keadilan sosial,
terkandung didalamnya makna
perlindungan hak, persamaan derajat
dan kedudukan di hadapan hukum,
kesejahteraan umum, serta asas
proporsionalitas antara kepentingan
individu, kepentingan sosial dan
negara. Keadilan dan keadilan
sosial tidak selalu dapat dilahirkan
dari rasionalitas, tetapi juga
ditentukan oleh atmosfir sosial yang
dipengaruhi oleh tata nilai dan
norma lain dalam masyarakat.
Dalam posisi apapun,
menurut menurut Gustav Radburg1
1 Sudikno Mertokusumo, Penemuan
Hukum: Sebuah Pengantar,
Liberty,Yogyakarta, 1993, hal 1-2.
kehadiran hukum harus dapat
mewujudkan 3 (tiga) nilai dasar,
yaitu: (i) nilai keadilan (justice), (ii)
kepastian (certainty), dan (iii) nilai
kemanfaatan (utility). Aplikasi
secara sinergi dari ketiganya
tentulah tidak mudah, namun
demikian idealnya dalam setiap
penyusunan produk hukum maupun
penegakan hukum, kehadiran
ketiganya harus mendapatkan
proporsi yang seimbang. Di samping
pemenuhan secara seimbang ketiga
unsur dasar tersebut. Sudharto P.
Hadi2, mengkonstatasikan bahwa
hukum yang baik (good norm)
adalah hukum yang memuat prinsip-
prinsip keberlanjutan,
keadilan dan demokrasi. Sementera
itu FX. Adji Samekto3, mengartikan
keadilan sebagai kemauan yang
bersifat tetap dan terus-menerus
untuk memberikan kepada setiap
orang, apa yang seharusnya
diterima. Peran hukum dalam
persoalan keadilan adalah
mewujudkan ide keadilan kedalam
bentuk kongkret, agar dapat
memberi manfaat bagi hubungan
antar manusia.
Implementasi ketiga nilai
dasar keadilan, kepastian dan
kemanfaatan, seringkali terdapat
suatu pertentangan/antinomi, antara
unsur yang satu dengan unsur yang
lainnya. Satjipto Rahardjo 4
2Sudharto P. Hadi, Dimensi Hukum
Pembangunan , UNDIP, Semarang, 2002,
hal. v 3 FX.Adji Samekto, Ilmu Hukum
Dalam Perkembangan Pemikiran Menuju
Post Modernisme, Indepth Publising,
Bandar Lampung, 2012, hal 1.
4 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
Citra Aditya Bhakti, Bandung, cetakan
ketiga, 2000, hal 19.
menyebutkan pertentangan tersebut
terjadi, karena ketiga unsur hukum
tersebut, sejatinya telah
mengandung potensi pertentangan
(tegangan) antara nilai-nilai
idealnya (das sollen) dan nilai-nilai
kenyataannya (das sein). Hukum
dan keadilan memiliki pertemalian
yang sangat erat, menurutnya:
“Setiap pembicaraan
mengenai hukum (baik secara
jelas maupun samar)
senantiasa merupakan
pembicaraan tentang
keadilan. Membicarakan
hukum tidak cukup hanya
sampai wujudnya sebagai
suatu bangunan yang formal,
tetapi perlu juga melihatnya
sebagai ekspresi dari cita-
cita-cita keadilan
masyarakat.”
Idealnya hukum yang pasti,
seharusnya juga adil, dan hukum
yang adil, juga seharusnya
memberikan kepastian. Di sinilah
kedua nilai itu mengalami situasi
yang antinomis, karena menurut
derajat tertentu, nilai-nilai kepastian
dan keadilan, harus mampu
memberikan kepastian terhadap hak
tiap orang secara adil. Untuk itu
dalam membuat dan melaksanakan
hukum harus benar-benar
mempertimbangkan bahwa
dibuatnya hukum adalah untuk
kebahagiaan dan kesejahteraan,
tidak hanya mengandalkan pada
landasan pemikiran dari perilaku
manusia yang rasional-formal
belaka. Jika hal tersebut terjadi,
maka tujuan hukum untuk
mewujudkan keadilan menjadi
tereliminasi dan yang muncul
adalah kekuatan otoritas dari
pemegang kekuasaan.
Apabila perwujudan
keadilan menurut Theo Huijbers 5
diserahkan pada penguasa negara,
maka unsur keadilan dalam hukum
sangat ditentukan oleh jiwa baik
dari para penguasa Negara, baik
jiwa pikirannya (logistikon), jiwa
perasaan dan nafsunya
(epithumetikon), maupun jiwa
perasaan baik dan jahat
(thumoedes).
Sementara itu, menurut Frans
Magnis Suseno6, ada beberapa kata
kunci yang terkait dengan
perwujudan keadilan serta keadilan
sosial, seperti: hak, kewajiban,
kontrak, fairness, ketimbalbalikan,
struktur kekuasaan dan otonomi.
Semua tindakan yang cenderung
untuk memproduksi dan
mempertahankan kebahagiaan dan
kesejahtaraan masyarakat adalah
adil. membangun keadilan sosial
berarti menciptakan struktur yang
memungkinkan pelaksanaan
keadilan sosial. Masalah keadilan
sosial ialah bagaimanakah
mengubah struktur-struktur
kekuasaan yang seakan-akan sudah
memastikan ketidakadilan , artinya
yang memastikan bahwa pada saat
yang sama dimana masih ada
golongan-golongan miskin dalam
masyarakat, terdapat juga
kelompok-kelompok yang dapat
5 Theo Hujbers, Filsafat Hukum
Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta, 1995, hal 23.
6 Frans Magnis Suseno, Pijar-Pijar
Filsafat: dari Gatholoco ke Filsafat
Perempuan Dari Adam Muller ke
Postmodernism, Kanisius, Yogyakarta,
2005, hal 238.
hidup dengan seenaknya karena
mereka menguasai sebagian besar
dari hasil kerja dan hak-hak
golongan yang miskin.
Dalam perkembangnnya
pengertian keadilan dan keadilan
sosial, selalu mengikuti
perkembangan kondisi kehidupan
masyarakat dan struktur kekuasaan
dan otonomi. Oleh karena itu
perwujudan keadilan dan keadilan
sosial dalam negara hukum
Indonesia merupakan perjuangan
yang tidak mudah dioperasionalkan,
karena dalam praktiknya secara
politis seringkali diaktualisasikan
dalam bentuk dominasi kekuatan-
kekuatan yang saling bertarung.
Metode
Mempergunakan metode
yuridis normatif, dengan titikberat
pada penulusuran studi pustaka,
dengan cara menelaah (terutama)
data sekunder yang berupa: bahan
hukum primer, yiatu UUD NRI
1945 dan bahan hukum sekunder
diperoleh melalui pengkajian hasil
penelitian, seminar, buku-buku,
jurnal ilmiah yang memuat doktrin
dari para pakar. Proses analisis
digunakan metode analisis
kualitatif.
Hasil dan Pembahasan
Penulusuran Makna Keadilan: Asal-
Usul dan Sejarah Pemikirannya
Penulusuran terhadap asal-
usul katanya, keadilan berasal dari
kata “adil” dari bahasa Arab al-
adl, yang berarti lurus dalam jiwa,
tidak dikalahkan oleh hawa napsu,
berhukum dengan kebenaran, tidak
zalim, seimbang, setara dan
sebagainya. Dalam bahasa Inggris,
istilah keadilan, disebutkan dengan
berbagai term, seperti: justice
(diterjemahkan: keadilan,
kepantasan, ketepatan dan
peradilan), fairness (diterjemahkan
dengan keadilan, kejujuran,
kewajaran), equaty (diterjemahkan:
keadilan, kewajaran dan hak
menurut keadilan) dan impartiality
(diterjemahkan dengan keadilan,
sifat tidak memihak, sikap jujur,
sikap adil, kejujuran dan sikap
netral)7. Dalam bahasa Indonesia,
keadilan adalah sifat tidak berat
sebelah, tidak memihak, berpihak
kepada yang benar, berpegang
kepada kebenaran, sepatutnya dan
tidak sewenang-wenang. Secara
etimologis, keadilan adalah kondisi
kebenaran ideal secara moral
mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau oran.8
Perdebatan mengenai keadilan
terbagi atas 2 arus pemikiran,
pertama adalah keadilan yang
metafisik, sedangkan yang kedua,
keadilan yang rasional. Keadilan
yang metafisik, diwakili oleh Plato,
sedangkan Keadilan yang rasional
diwakili oleh pemikiran Aristoteles.
Keadilan yang metafisik,
sebagaimana diutarakan oleh Plato
kebijaksanaan 9 . Basis pandangan
Plato tersebut, mengkonsepsikan
keadilan pada tataran moral,
dimana keadilan menjadi nilai yang
sangat dijunjung tinggi oleh segenap
lapisan masyarakat.
Keadilan yang rasional
mengambil sumber pemikirannya
dari prinsip-prinsip umum dari
rasionalitas tentang keadilan.
Keadilan yang rasional pada
dasarnya mencoba menjawab
perihal keadilan dengan cara
menjelaskannya secara ilmiah, atau
setidak-tidaknya kuasi-ilmiah, dan
itu semua harus didasarkan pada
alasan-alasan yang rasional.
Sementara keadilan yang metafisik,
mempercayai eksistensi keadilan
sebagai sebuah kualitas atau suatu
fungsi di atas dan di luar mahkluk
hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat
dipahami menurut kesadaran
manusia berakal.
Pengertian keadilan memiliki
sejarah pemikiran yang panjang,
dalam diskursus hukum, sifat dari
Keadilan itu dapat dilihat dalam 2
arti pokok, yakni dalam arti formal
yang menuntut bahwa hukum itu
berlaku secara umum, dan dalam
arti materil, yang menuntut agar
setiap hukum itu harus sesuai
dengan cita-cita keadilan
masyarak10.
menyatakan bahwa keadilan itu
asalnya dari inspirasi dan intuisi.
dapat diperoleh dengan
7 Sulhani Hermawan, Tinjauan
Keadilan Sosial Terhadap Hukum Tata
Pangan Indonesia, Mimbar Hukum
Volume 24, Nomor 3 Oktober 2012, hal
491. 8 Ibid, hal 491.
9Maryanto, Refleksi dan Relevansi
Pemikiran Filsafat Hukum Bagi
Pengembangan Ilmu Hukum, Jurnal
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam
Sultan Agung Semarang, Vol. 13 (1) tahun
2003, hal 52-54.
10 Frans Magnis Suseno, Etika
Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka
Utama, 1991, hal 81.
Namun apabila ditinjau dalam
konteks yang lebih luas, pemikiran
mengenai keadilan itu berkembang
dengan pendekatan yang berbeda-
beda, karena perbincangan tentang
keadilan yang tertuang dalam
banyak literatur. Sehingga
perbincangan tentang keadilan,
tidak mungkin tanpa melibatkan
tema-tema moral, politik dan teori
hukum. Menjelaskan mengenai
keadilan secara tunggal hampir-
hampir sulit untuk dilakukan.
Thomas W Simon 11 ,
menyatakan bahwa para pembuat
teori mendefinisikan keadilan
(justice) dalam istilah (term) yang
berbeda-beda. Kelompok
libertarian, mendefinisikan dengan
istilah kebebasan (liberty),
kelompok sosalis mendefinisikan
dengan istilah kesetaraan, kelompok
liberal mendefinisikan dengan
gabungan istilah kebebasan dan
keseteraan, sedangkan kaum
communitarian melihat keadilan
dengan istilah commod good
(kebaikan umum).
Konsepsi Ajaran Keadilan dan
Keadilan Sosial
Ditelisik dari aspek lintas
ruang dan waktu, awalnya ajaran
keadilan bertumpu pada prinsip tata
kelola masyarakat egalitarianism,
menyusul prinsip perbedaan, prinsip
berbasis sumberdaya, prinsip
berbasis kesejahteraan, prinsip
11 Sulhani Hermawan, Tinjauan
Keadilan Sosial Terhadap Hukum Tata
Pangan Indonesia, Mimbar Hukum
Volume 24, Nomor 3 Oktober 2012, hal.
490.
berbasis balasan dan terakhir prinsip
libertanian. Penekanan arti keadilan
yang berbeda-beda tersebut dengan
sangat baik dipetakan oleh Markus
Y Hage12:
Perbandingan Prinsip-prinsip
Keadilan Kontemporer
Pokok ajaran
tentang keadilan,
dalil-dalil keadilan
yang kedepankan
Pengusung
Egalitarianisme
(1)
Keadilan sosial
berkenaan
dengan
kedudukan
atau ting-katan
yang setiap
orang yang
seharusnya
sama dalam
distribusi
barang dan
jasa;
(2)
Jika setiap
orang itu sama,
maka
diperlukan
pembatasan
bagi kebebasan
individu agar
kedudukan
sama
(masyarakat
tanpa
perbedaan)
terwujud.
Pengusung
Prinsip
Perbedaan
Dalam
(1) Keadilan sosial
berkenaan
dengan
masalah
12 Markus Y. Hage, Kepentingan
Ekonomi dan Komodifikasi Dalam Hukum,
Disertasi Pada PDIH UNDIP, 2011, hal.
278.
maksimum
pada
masyarakat
miskin.
Pengusung
Prinsip
Berbasis
Sumber Daya
(1)
Setiap orang
harus dibuat
menerima
akibat-akibat
dari pilihannya,
karenanya
setiap orang
yang memilih
bekerja keras
untuk
memperoleh
pendapatan
lebih tidak
dikehendaki
untuk
mensubsidi
mereka yang
malas dan
karenanya
kurang
pendapatan.
(2)
Setiap orang
tidak boleh
merasakan
penderitaan
akibat dari
lingkungan
yang berada
diluar kendali
mereka,
karenanya
setiap orang
yang terlahir
dengan cacat,
sakit atau
anugerah
alamiah yang
rendah tidak
bertanggung-
jawab atas
lingkungan.
distrubusi
primary social
good;
(2)
Pendistribusian
beban dan
keuntungan
sosial itu harus
berdasarkan
prinsip
kesederajatan
(equality)
(3)
Tidak ada
diskriminasi
yang
dibolehkan
kecuali hal itu
menguntungka
n semua pihak,
dan terutama
segmen
masyarakat
yang paling
tertinggal atau
kurang
beruntung
standard
hidupnya.
(4)
Situasi
ketidaksamaan
harus diatur
melalui
prosedur
standard
sehingga
menguntungka
n segmen
masyarakat
yang kurang
beruntung
melalui
jaminan
maxsimum
minimoru.
Suatu jaminan
hukum yang
total, dan
kondisi orang
lain.
(3) Setiap orang
relative mudah
untuk
memperoleh
hak-hak
obsolut atas
pembagian
dunia yang
tidak
proporsional,
karenanya,
kepemilikan
pribadi sangat
layak, pasar
bebas dalam
akumulasi
capital dan
pekerjaan
secara moral,
sangat tepat
dan
dikehendaki.
Keadilan merupakan salah
satu tujuan hukum yang paling
banyak dibicarakan sepanjang
perjalanan sejarah filsafat hukum.
Aristoteles 13 dalam tulisannya
Retorica membedakan keadilan
dalam dua macam yaitu keadilan
distributif (justitia distributiva)
sebagai keadilan yang memberikan
kepada setiap orang didasarkan atas
jasa-jasanya atau pembagian
menurut haknya masing-masing,
serta keadilan komulatif (justitia
cummulativa) sebagai keadilan
yang diterima oleh masing-masing
anggota tanpa memperdulikan jasa
13Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim
Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu
Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat
yang Berkeadilan dan Bermartabat,
Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hal. 367-368.
Pengusung
Prinsip
Berbasis
Kesejahteraan
(1) Memaksimalka
n
kesejahteraan
masyarakat
secara
keseluruhan.
(2) Utiltarianisme,
the great
happiness for
the grat
number
Pengusung
Prinsip
Berbasis
Balasan
(1)
Setiap orang
harus diberi
balasan/upah
berdasarkan:
Kontribusi
actual dan
usahanya;
(2)
Mengangkat
standar hidup
dengan
membayar
usaha dan
capaian.
(3)
Hanya
diterapkan
pada pekerjaan
dewasa.
Pengusung
Prinsip
Libertarian
(1)
Setiap orang
memiliki
dirinya sendiri
karena pada
dasarnya dunia
ini tidak ada
yang memiliki.
(2)
Setiap orang
dapat
memperoleh
hak-hak mutlak
atas pembagian
dunia yang
tidak
proporsional,
asalkan tidak
memperburuk
masing-masing.
Dimensi kedua cakupan
keadilan Aristoteles tersebut,
dapat katagorikan sebagai keadilan
hukum dan keadilan kesetaraan.
Aristoteles membuat pembedaan
penting antara kesamaan numerik
dan kesamaan proporsional.
Kesamaan numerik
mempersamakan setiap manusia
sebagai satu unit. Inilah yang
sekarang biasa dipahami tentang
kesamaan atau persamaan di depan
hukum. Kesamaan proporsional
atau kesetaraan memberi tiap
orang apa yang menjadi haknya
sesuai dengan kemampuan,
prestasi, dan sebagainya. Tidak
semua yang adil menurut hukum
adalah setara dan tidak semua
ketidak-setaraan tidak adil menurut
hukum.
Makna keadilan sebagai
kesetaraan menurut aristoteles ini,
dipertegas dan dikembangkan lebih
lanjut oleh Cicero dengan menolak
hukum positif dari suatu
masyarakat sebagai standar
keadilan mutlak. Menurut Cicero14
keadilan itu satu, mengikat semua
masyarakat dan bertumpu diatas
satu sumber, yaitu akal budi yang
benar. Pengesampingan nilai
keadilan demi kepastian hukum
merupakan suatu ironi. Cecero,
pernah berucap “Summum Ius
Summa Iniuria (hukum tertinggi
adalah ketidak adilan tertinggi).
Perkembangan berikutnya
pada abad pertengahan, makna
14 Theo Huijbers, Filsafat Hukum
Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta, 1999, hal. 32-33.
keadilan sebagai kesetaraan
diulas oleh Thomas Aquinas, yang
membedakan keadilan dalam dua
kelompok yaitu keadilan umum
(justitia generalis) dan keadilan
khusus (justitia specialis). Keadilan
umum adalah keadilan menurut
kehendak undang-undang yang
harus ditunaikan demi kepentingan
umum, sedangkan keadilan khusus
adalah keadilan atas dasar
kesamaan atau proporsional.
Keadilan khusus kemudian
dijabarkan dalam tiga bentuk, yaitu:
1.
Keadilan distributif (justitia
distributiva) adalah keadilan
yang secara proporsional yang
diterapkan dalam lapangan
hukum publik secara umum;
2.
Keadilan komutatif (justitia
commutativa) adalah keadilan
dengan mempersamakan
antara prestasi dengan
kontraprestasi.
3.
Keadilan vindikatif (justitia
vindicativa) adalah keadilan
dalam hal menjatuhkan
hukuman atau ganti kerugian
dalam tindak pidana.
Seseorang akan dianggap adil
apabila dipidana badan atau
denda sesuai dengan besarnya
hukuman yang telah
ditentukan atas tindak pidana
yang dilakukannya15.
Hans Kelsen sebagai
penganut mazhab Analitical
Jurisprudence dalam Andi Ryza
Fardiansyah16 , menyebutkan:
15 .
//id.wikipedia.org/wiki/Pancasila#Sila_
kedua, diakses, 10 Nopember 2014.
16 . Andi Ryza Fardiansyah, Keadilan
Menurut Hans Kelsen,
//ryzafardiansyah.wordpress. com/
“Bahwa keadilan sebagai
kesetaraan dapat
dipersamakan dengan
perwujudan kebahagiaan
secara umum, yaitu hadirnya
sebuah kondisi sosial dimana
setiap orang mendapatkan
kepuasan dan kebahagiaan
secara umum. Kelsen melihat
bahwa keadilan adalah
sesuatu yang sangat subjektif.
Keadilan adalah sesuatu hal
yang memiliki makna yang
sangat identik dengan
kebahagiaan umum”.
Konsep keadilan sosial (social
justice) berbeda dari ide keadilan
hukum, keadilan politik, keadilan
ekonomi, keadilan individual dan
sebagainya. Tetapi konsep keadilan
sosial tentu juga tidak hanya
menyangkut persoalan moralitas
dalam kehidupan bermasyarakat
yang berbeda-beda dari satu
kebudayaan ke kebudayaan lain.
Namun, keseluruhan ide tentang
keadilan itu pada akhirnya dapat
dicakup oleh dan berujung pada ide
keadilan sosial 17 . Meskipun
tag/keadilan- menurut-hans-kelsen, diakses
tanggal 4 Januari 2015.
17 Keadilan sosial memang harus
dibedakan dari pelbagai dimensi keadilan,
seperti keadilan hukum, keadilan politik,
keadilan ekonomi, dan sebagainya,
meskipun dapat juga dipahami bahwa
keseluruhan ide tentang keadilan itu pada
akhirnya dapat dicakup oleh dan berujung
pada ide keadilan sosial. Karena pada
akhirnya, keadilan hukum dan keadilan
ekonomi harus membuahkan hasil akhir
pada perwujudan keadilan sosial bagi
semua. Di dalamnya, terkandung pengertian
bahwa (i) Ketidakadilan yang ada selama
ini harus ditanggulangi sampai ke titik yang
terendah, (ii) Redistribusi kekayaan,
kekuasaan dan status individu, komunitas,
meminjam istilah Bertens 18 ,
Keadilan sosial merupakan cita-cita
yang bisa dihampiri semakin dekat,
tapi tidak pernah bisa direalisasikan
dengan sempurna.
Suteki 19 mengkonstasikan
perbedaan antara keadilan sosial
dan keadilan individual, sebagai
berikut:
“Keadilan individual adalah
keadilan mikro, yaitu suatu
keadilan yang pelaksanaannya
tergantung pada kehendak
pribadi. Bentuk yang
dituntutpun jelas,
“perlakukanlah setiap orang
secara adil”. Jika yang
dibicarakan adalah keadilan
sebagai fenomena sosiologis,
maka keadilan itu sudah tidak
lagi bersifat individual,
melainkan sosial bahkan
struktural. Oleh karena itu,
disebut dengan keadilan sosial
atau keadilan makro.
Keadilan sosial adalah
keadilan yang
pelaksanaarmya tidak lagi
tergantung pada kehendak
pribadi, atau pada kebaikan-
kebaikan individu yang
bersikap adil, tetapi sudah
bersifat struktural”.
dan kekayaan sosial (societal good), dan
(iii)
Negara c.q. Pemerintah
bertanggungjawab, pemerintahan untuk
memastikan kualitas dasar kehidupan bagi
seluruh warga negaranya. Hakekatnya,
keadilan sosial sebagai pucuk kesejateraan
sosial kolektif dalam suatu negara dan/atau
dalam suatu daerah.
18 Bertens, K. Pengantar Etika
Bisnis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2000, hal. 93-94
19Suteki, Desain Hukum di Ruang
Sosial….., Op. Cit., hal. 249.
Pelaksanaan keadilan sosial
tersebut sangat tergantung kepada
penciptaan struktur-struktur
sosial yang adil. Jika ada
ketidakadilan sosial,
penyebabnya adalah struktur
sosial yang tidak adil.
Mengusahakan keadilan sosial
pun berarti harus dilakukan
melalui perjuangan memperbaiki
struktur-struktur sosial yang tidak
adil.
Keadilan sosial berarti
keadilan yang berlaku dalam
masyarakat di segala bidang
kehidupan, baik materil maupun
spiritual. Hal ini berarti keadilan
itu tidak hanya berlaku bagi
orang kaya saja, tetapi berlaku
pula bagi orang miskin, bukan
hanya untuk para pejabat, tetapi
untuk rakyat biasa pula, dengan
kata lain seluruh rakyat Indonesia
baik yang berada di wilayah
kekuasaan Republik Indonesia
maupun bagi Warga Negara
Indonesia yang berada di negara
lain.
Konsep keadilan sosial
merupakan simpul dari semua
dimensi dan aspek kemanusiaan
tentang keadilan. Istilah keadilan
sosial tersebut terkait erat dengan
pembentukan struktur kehidupan
masyarakat yang didasarkan atas
prinsip-prinsip persamaan
(equality) dan solidaritas. Dalam
konsep keadilan sosial
terkandung pengakuan akan
martabat manusia yang memiliki
hak-hak yang sama yang bersifat
Adapun syarat yang harus
dipenuhi terlaksananya keadilan
sosial adalah sebagai berikut: (1)
Semua warga wajib bertindak,
bersikap secara adil, karena
keadilan sosial dapat tercapai
apabila tiap individu bertindak
dan mengembangkan sikap adil
terhadap sesame; (2) Semua
manusia berhak untuk hidup
sesuai dengan nilai-nilai
manusiawi, maka berhak pula
untuk menuntut dan mendapatkan
segala sesuatu yang bersangkutan
dengan kebutuhan hidupnya.
Makna Perwujudan Keadilan dan
Keadilan Sosial dalam Negara
Hukum
Makna Perwujudan Keadilan
Secara lebih operasional
perwujudan dari keadilan menurut
Satjipto Rahardjo 20 terkait dengan
pendistribusian yang ada didalam
masyarakat. Pendistribusian ini
tidak selalu bersifat fisik tetapi juga
non fisik (intangible), antara lain:
barang, jasa, modal usaha
kedudukan, peranan sosial,
kewenangan, kekuasaan,
kesempatan dan sebagainya yang
memiliki nilai-nilai tertentu bagi
kehidupan manusia. Untuk itu
cakupan hakekat dari keadilan,
menurut beliau meliputi:
a.
memberikan kepada setiap
orang yang seharusnya
diterima;
b.
memberikan kepada setiap
orang yang menurut aturan
asasi dalam hubungan antar
pribadi terhadap keseluruhan baik
material maupun spiritual.
20 Satjipto Rahardjo Satjipto Rahardjo,
Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI
Press, Jakarta, 2006, hal. 56.
hukum menjadi haknya;
c.
kebajikan untuk memberikan
hasil yang telah menjadi
bagiannya;
d.
memberikan sesuatu yang
dapat memuaskan
kebutuhan orang;
e.
persamaan pribadi;
f.
pemberian kemerdekaan
kepada individu untuk
mengejar kemakmurannya;
g.
pemberian peluang kepada
setiap orang untuk mencari
kebenaran;
h.
memberikan sesuatu secara
layak.
Terkait dengan hal tersebut
Satjipto Rahardjo 21 mensyaratkan
pentingnya konsistensi Negara,
untuk menjalankan tugas
penyelenggaraan Negara,
sebagaimana diamanatkan oleh
konstitusinya, agar keadilan benar-
benar terwujud. Suatu
pemerintahan yang adil adalah
pemerintahan yang menjalankan
roda pemerintahan dengan
memenuhi kewajibannya sesuai
dalam konstitusi dengan sebaik-
baiknya.
Sementera itu, John Rawls22
dalam karya monumentalnya A
Theory of Justice, membagi
konsepsi keadilan berdasarkan tiga
prinsip utama yakni: liberty
(kebebasan), equality (kesamaan)
21 Satjipto Rahardjo, Membedah
Hukum Progresif, Editor I Gede
A.B.Wiranata, Joni Emirzon, Firman
Muntaqo, Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Maret 2007, hlm.18
22 John Rawls, A Theory of Justice
(Oxford: Oxford University Press, 2000),
hlm: 52-65.
dan rewards (ganjaran). Prinsip
kebebasan mengacu kepada
kebebasan yang bersifat merata
(equal liberty) di mana prinsip hak
dan kewajiban menjadi dasar
utama bagi kebebasan. Prinsip
kesamaan (equality), bukan berarti
bahwa Rawls menolak sama sekali
ketidaksamaan dalam masyarakat
(misal kaya-miskin, atasan-
bawahan, dsb), melainkan bahwa
Rawls menerima ketidaksamaan
sosial dan ekonomis dengan dua
syarat: ketidaksamaan itu
diperoleh demi keuntungan pihak
yang paling lemah dalam
masyarakat (the difference
principle) dan merupakan hasil
dari kompetisi terbuka dan fair
(fair equality of opportunity) atas
posisi-posisi dan jabatan-jabatan
yang ada dalam masyarakat.
Menurut Rawl 23 ,
ketidaksamaan dalam beberapa hal
harus dapat diterima, seperti
perbedaan terhadap perolehan
keuntungan dalam hubungan
atasan-bawahan, di mana prinsip
ganjaran (rewards) menjadi acuan
dalam melihat hubungan ini. Bagi
Rawls selama setiap individu dapat
memperoleh keuntungan melalui
cara yang fair, maka pada level ini
prinsip keadilan telah berjalan
sebagaimana mestinya. Dengan
kata lain hal prinsipil yang paling
masuk akal dalam konsep keadilan
adalah: keadilan sebagai tujuan
dari pencapaian kesepakatan
bersama antar individu dalam
kondisi yang fair. Terkait prinsip
23 Zainal Asikin,
//asikinzainal.blogspot.com/2012/01/te
ori-keadilan.html, diakses tanggal 11
Nopember 2014
demokrasi dapat berjalan dengan
baik, jika prinsip pencapaian
keadilan yang fair telah berjalan
dengan baik. Proyek pemikiran
Rawls dalam konspesinya tentang
liberalisme adalah mencari titik
temu antara kebebasan (liberty)
dan kesamaan (equality). Namun
prinsip kebebasan sebagai prinsip
utama tidak boleh dikalahkan oleh
prinsip kesamaan.
Mencermati begitu luas dan
abstraknya konsep keadilan,
Michael Walzer dalam Suharto 24
mencoba untuk memetakan watak
atau karakteristik dari keadilan,
sebagai berikut:
“Bahwa konsep keadilan
watak atau karakteristiknya
adalah pluralistik-radikal,
tidak ada suatu hukum
universal tentang keadilan.
Keadilan harus dilihat
sebagai ciptaan dari suatu
komunitas politik dalam
suatu kurun waktu tertentu,
dan penilaiannya haruslah
berdasarkan yang diberikan
dari dalam komunitas
tersebut sendiri. Sangatlah
tidak masuk akal, untuk
menyatakan bahwa
masyarakat yang memiliki
tipe yang hirarkis bersifat
tidak-adil (unjust), karena
distribusi kebutuhan sosial
tidaklah berlangsung
menurut prinsip kesetaraan”.
Pendapat Walzer diatas
menekankan, bahwa keadilan
bukanlah hanya sebuah pertanyaan
24 Edi Suharto, Negara Kesejahteraan
Sosial Indonesia: Antara Hasrat dan Jerat
Globalisasi Neoliberal, 2010, hlm: 43
atas intepretasi dan aplikasi
mengenai kriteria distribusi,
melainkan juga perbedaan-
perbedaan dan batas-batas di
antara ruang-ruang yang berbeda.
Bagi Walzer sangatlah pokok,
bahwa tidak ada barang sosial
yang boleh digunakan dalam artian
dominasi, dan karena itu Walzer
menolak pandangan bahwa
konsentrasi kekuasaan politik,
kekayaan, kehormatan dan
terutama pemerintahan, berada di
satu tangan.
Kesetaraan dan kebebasan
yang merupakan landasan utama
praktik hukum, sebenarnya juga
tidak dapat dilepaskan dari ideologi
tertentu, yaitu ideologi liberalisme
atau neoliberalisme. Dalam konteks
hukum internasional, yang mengatur
masalah ekonomi, konsep
kesetaraan ini juga ditekankan
sedemikian rupa, sehingga negara-
negara dengan latar belakang
ekonomi yang berbeda-beda, bahkan
yang sangat jauh berbeda, dianggap
memiliki posisi setara. Penyetaraan
ini tentu saja sangat merugikan
negara-negara miskin dan negara
berkembang seperti Indonesia. Sama
seperti hukum nasional, hukum
internasional juga tidak bebas
kepentingan.
Kesetaraan di hadapan
hukum, mengandaikan bahwa
subjek hukum adalah individu-
individu yang dalam dunia sosial
memiliki posisi yang juga setara,
yang dalam pandangan filsafat
Negara barat disebut dengan
egaliterial. Paham demikian sangat
absurd, mengingat kesenjangan
merupakan fakta yang tidak dapat
disangkal lagi. Konsep kesetaraan
di hadapan hukum, sejatinya
merupakan penyeragaman apa
yang sebenarnya tidak seragam
(mis: aspirasi buruh vs
kepentingan pemilik pabrik,
pemodal kebun vs buruh kebun).
Penyeragaman ini pada akhirnya
hanya menguntungkan kelompok
sosial yang kuat dan
meminggirkan yang lemah.
Merujuk pada argumen
Walzer diatas, maka intervensi
negara dimungkinkan dan sejauh
dalam melindungi keadilan dan
pluralisme. Pandangan tersebut
dikenal dengan istilah
komunitarian Walzer. Inti
ajarannya menolak model
pandangan liberal dan libertarian
yang mengandaikan bahwa
keadilan dan kebijakan ekonomi
neoliberal bisa diberlakukan secara
universal, tanpa campur-tangan
negara dalam perekonomian dan
kebebasan individu.
Makna Perwujudan Keadilan Sosial
Dalam Konstitusi
Dalam konstitusi kata
keadilan yang kemudian diikuti
kata sosial seperti termatub pada
Alinea IV Pembukaan UUD NRI
1945, bukan sebuah kebetulan
karena kelaziman, melainkan
lebih sebagai aktualisasi norma
yang mengatur hubungan sosial
antar orang-orang dalam sebuah
ruang sosial. Hal ini merupakan
manifestasi prinsip kesederajatan
dalam kehidupan bersama secara
wajar, yang dalam kehidupan
keseharian berwujud kesediaan
untuk berguna bagi orang lain.
Keadilan sosial dirumuskan
sebagai sila kelima dalam
Pancasila, namun maknanya
menjadi lebih terasa, apabila kita
langsung membacanya dari
rumusan Alinea IV Pembukaan
UUD NRI 1945. Dalam Alinea IV
Pembukaan UUD 1945 itu, sila
pertama, kedua, ketiga, dan
keempat dirumuskan secara statis
sebagai objek dasar negara,
sebaliknya keadilan sosial
dirumuskan dengan kalimat aktif.
Rumusan Alinea IV Pembukaan
UUD NRI 1945 tersebut tertulis
sebagai berikut: “…. Susunan
negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusywaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
Memperhatikan rumusan
diatas dapat diketahui, bahwa:
Pertama, keadilan sosial itu
dirumuskan sebagai “suatu” yang
sifatnya konkrit, bukan hanya
abstrak-filosofis yang tidak
sekedar dijadikan jargon politik
tanpa makna; Kedua, keadilan
sosial itu bukan hanya sebagai
subjek dasar negara yang bersifat
final dan statis, tetapi merupakan
sesuatu yang harus diwujudkan
secara dinamis dalam suatu bentuk
keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Yudi Latif 25
menegaskan, satu-satunya sila
Pancasila yang dirumuskan dalam
Pembukaan UUD NRI 1945
dengan menggunakan kata kerja,
adalah pernyataan tentang salah
satu tujuan negara dalam rangkaian
kata mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakayat
Indonesia. Suatu konstruksi
keadilan sosial sebagai kristalilasi
moral.
Sejatinya keadilan sosial
menurut UUD NRI 1945
mengusung kredo equalitarianism
(paham masyarakat dengan
perbedaan yang oleh karena itu
perlu diasumsikan sama atau
sederajat), bukannya kredo
egalitarianism (faham tentang
masyarakat tanpa perbedaan dan
oleh karena itu semua orang sama
tanpa kecuali). Makna asasi dari
kredo kesederajatan dalam konteks
ke-Indonesia-an adalah ajaran
untuk tidak menyamakan sesuatu
yang berbeda dan tidak
memaksakan persamaan untuk
mengatasi perbedaan 26 . Keadilan
sosial haruslah diartikan dengan
sikap untuk .memperlakukan sama
terhadap hal-hal yang sama dan
memperlakukan berbeda terhadap
hal-hal yang memang berbeda
karena apabila terhadap hal-hal
yang berbeda diperlakukan sama
justru akan menjadi tidak adil.
25 Yudi Latif, Negara Paripurna:
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila, PT. Gramedia, Jakarta,
hlm:606
26 Markus Y. Hage, Kepentingan
Ekonomi dan Komodifikasi, Op Cit., hlm:
358
Apabila ditelusuri makna
keadilan sosial dalam Pasal 33
UUD NRI 1945 sebelum
amandemen dan setelah
amandemen mengalami
pergeseran. Sebelum amandemen
UUD NRI 1945, keadilan sosial
lebih diartikan pada pemaknaan
sistem perekonomian yang bersifat
sosialis atau lebih tepat dikatakan
sosialisme Indonesia. Sedangkan
setelah diamandemen, makna
keadilan sosial di bidang
perekonomian lebih diarahkan
pada pengertian yang bersifat Neo-
sosialisme Indoenesia karena
penambahan ayat (4) pada Pasal 33
UUD NRI 1945. Pada ayat (4) ini
telah diintroduksi prinsip-prinsip
baru sistem perekonomian
”liberal” bukan lagi komunal-
seperti demokrasi, efisiensi,
kemandirian dan sebagainya yang
seringkali memarginalkan spirit
kebersamaan sebagai esensi dari
keadilan sosial27.
Sementara itu, menurut Darji
27 Keadilan sosial acapkali
disamakan dengan sosialisme, padahal
keduanya terdapat perbedaan yang
mendasar. Sosialisme lebih
mementingkan sifat kebersamaan dalam
persaudaraan, sedangkan keadilan sosial
lebih mementingkan perlakuan hak
manusia sebagaimana mestinya. Tetapi
kedua-duanya bertujuan untuk mencapai
kesejahteraan bersama, tetapi
kesejahteraan bersama dalam keadilan
sosial jelas untuk mencapai masyarakat
yang adil dan makmur spiritual maupun
material. Irwan Soleman, Keadilan Sosial
Sebagai Amanah Konstitusi,
//morotaiprogres.blogspot.com
/2013/03/keadilan-sosial-sebagai-
amanah.html, diakses tanggal 12
Nopmber 2014
Darmodiharjo 28 , keadilan sosial
menuntut supaya manusia hidup
dengan layak dalam masyarakat.
Masing-masing harus diberi
kesempatan menurut menselijke
waardigheid (kepatutan
kemanusiaan). Pelaksanaan
pembangunan tidak hanya perlu
mengandalkan dan mewujudkan
keadilan, melainkan juga
kepatutan. Istilah kepatutan
kemanusiaan dapat pula disebut
dengan kepatutan yang wajar atau
proporsional.
Merujuk ketentuan Pasal
33 UUD NRI 1945, meskipun
tanpa mengurangi keterkaitan
dengan dimensi keadilan yang
lainnya. Tampaknya makna
keadilan sosial yang tersirat lebih
dominan keterkaitannya dengan
keadilan ekonomi. Louis Kelso
dan Mortimer Adler yang
pemikirannya dikutip Jimly
Asshiddiqie29, menyebutkan ada 3
(tiga) prinsip esensial yang bersifat
interdependen dalam konsep
keadilan ekonomi, yaitu:
Pertama, prinsip partisipasi,
bahwa setiap orang bebas
berpartisipasi untuk memberikan
masukan (input) ke dalam proses
ekonomi untuk membangun
kehidupan bersama. Harus ada
kesempatan yang sama bagi semua
28 Darji Darmodiharjo dan
Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat
Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008, hlm. 156-157.
29. Jimly Asshiddiqie, Pesan Konstitusional
Keadilan Sosial, Makalah Seminar
Nasional disampaikan di Universitas
Brawijaya Malang, tanggal 12 April 2011,
hlm: 4-5
orang (equal opportunity), baik
untuk memperoleh hak milik
pribadi ataupun terlibat dalam
pekerjaan produktif. Prinsip
partisipasi ini tentu belum atau
tidak menjamin hasil yang sama
(equal results). Prinsip partisipasi
hanya membuka akses bagi semua
untuk ikut serta dalam proses
produksi, baik dengan dirinya
sebagai pekerja (as a worker)
ataupun dengan kekayaannya
sebagai pemilik (as an owner).
Karena itu, keadilan ekonomi
menolak monopoli, hak-hak
khusus dan rintangan-rintangan
yang bersifat eksklusif lainnya.
Sedangkan prinsip distribusi
berurusan dengan soal hasil, soal
keluaran (output) yang diperoleh
dari sistem ekonomi bagi setiap
orang (worker) dan bagi setiap
capital (owner). Melalui pola
distribusi kekayaan pribadi dalam
pasar yang bebas dan terbuka,
keadilan distributif (distributive
justice) secara otomatis terkait dan
harus terkait secara berimbang
dengan keadilan.
Kedua, prinsip distribusi,
prinsip distribusi berurusan dengan
soal hasil, soal keluaran (output)
yang diperoleh dari sistem
ekonomi bagi setiap orang
(worker) dan bagi setiap capital
(owner). Melalui pola distribusi
kekayaan pribadi dalam pasar yang
bebas dan terbuka, keadilan
distributif (distributive justice)
secara otomatis terkait dan harus
terkait secara berimbang dengan
keadilan partisipatif (participative
justice), dan pendapatan menjadi
terkait dengan peranserta dalam
proses produksi (productive
contributions). Dalam keadilan
distributif, yang diutamakan adalah
bekerjanya sistem pasar bebas dan
terbuka (feee and open
marketplace), bukan pemerintah.
Pasar bebas dan terbuka itulah
yang dianggap merupakan sarana
paling objektif dan demokratis
dalam menentukan harga (price),
upah (wage), dan keuntungan
(profit) yang adil. Namun
demikian, tanpa peran negara
sebagai pengendali, distorsi dalam
sistem pasar yang bebas akan
menciptakan ketidakadilan dalam
dirinya sendiri.
Ketiga, prinsip harmoni.
Perlunya prinsip harmoni, karena
pada prinsip partisipasi dan
distribusi itu sendiri dalam praktik
tidak pernah bersesuaian secara
penuh, sehingga selalu saja timbul
konflik sebagai akibat
ketidakseimbangan dalam
kehidupan bermasyarakat. Prinsip
harmoni merupakan prinsip
pengimbang yang sangat
diperlukan untuk mengatasi
distorsi baik dalam input maupun
output ekonomi dan melakukan
koreksi yang diperlukan untuk
memulihkan tata ekonomi yang
adil dan seimbang bagi semua
orang (justice for all).
Prinsip keseimbangan ini,
akan menjadi rusak jika diganggu
oleh adanya pelbagai kendala yang
tidak adil yang membatasi
partisipasi dengan monopoli atau
dengan menggunakan kekayaan,
untuk merugikan atau
mengeksploitasi hak-hak orang
lain. Prinsip ini memberikan
panduan untuk pengendalian
monopoli, penerapan sistem checks
and balances di antara institusi-
institusi sosial, dan sinkronisasi
kembali antara distribusi (out-take)
dengan partisipasi (in-take).
Selanjutnya dalam rumusan
Pasal 33 Ayat (2) UUD NRI 1945
menyebutkan: “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh
negara”. Frasa tersebut, merupakan
dasar pemikiran agar “sesuatu
yang menguasai hajat hidup orang
banyak” (public goods) tidak boleh
didominasi oleh individu,
melainkan oleh negara, untuk
kepentingan masyarakat secara
adil dan merata.
Ketentuan Pasal 33 Ayat (2)
UUD NRI 1945 tersebut
merupakan wujud demokrasi
ekonomi, yang merupakan
landasan tata kelola Sistem
Ekonomi Pancasila . Dalam
demokrasi ekonomi, produksi
dikerjakan oleh semua, untuk
semua, di bawah pimpinan dan
atau pemilikan masyarakat.
Konsepsi ini yang sejalan dengan
visi transformasi struktur ekonomi
di mana tidak akan ada lagi
segelintir elit yang menguasai
mayoritas asset (omset) ekonomi
nasional.
Konsepsi demokrasi
ekonomi sebagai suatu bentuk
usaha bersama dan didasarkan asas
kekeluargaan, merupakan antitesa
dari ekonomi kolonial yang
individual dan eksploitatif.
Semangat inilah yang mendorong
pemikiran bahwa negara harus ikut
campur dalam perekonomian.
Pemikiran bahwa negara
merupakan figur sentral dalam
perekonomian didasarkan pada
pandangan bahwa hanya jika
perekonomian berada di bawah
kontrol negara, sekalipun tidak
sepenuhnya maka kesejahteraan
rakyat mungkin akan tercapai,
karena jika perekonomian
diserahkan sepenuhnya pada
kalangan swasta dan individu,
maka pemenuhan kesejahteraan
rakyat akan sulit tercapai.
Keadilan sosial selalu
ditujukan untuk mewujudkan atau
terciptanya kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagaimana yang dikatakan oleh
Mahfud MD30, bahwa:
Keadilan sosial dalam negara
hukum pancasila mempunyai
makna bahwa pendistribusian
sumber daya ditujukan untuk
menciptakan kesejahteraan sosial
terutama bagi kelompok
masyarakat terbawah atau
masyarakat yang lemah sosial
ekonominya. Selain itu keadilan
sosial juga menghendaki upaya
pemerataan sumber daya agar
kelompok masyarakat yang lemah
dapat dientaskan dari kemiskinan
dan agar kesenjangan sosial
ekonomi di tengah-tengah
masyarakat dapat dikurangi.
Dengan demikian, distribusi
sumber daya yang ada dapat
dikatakan adil secara sosial jika
dapat meningkatkan kehidupan
30 Mahfud MD, Perdebatan
Hukum Tata Negara Pasca
Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm. 10-11
sosial ekonomi kelompok yang
miskin sehingga tingkat
kesenjangan sosial ekonomi antar
kelompok masyarakat dapat
dikurangi.
Tujuan keadilan sosial
adalah tersusunnya suatu
masyarakat yang berkeadilan,
tertib dan teratur, dimana setiap
orang mendapatkan kesempatan
membangun kehidupan yang
layak sehingga tercipta
kesejahteraan umum.
Kesejahteraan umum berarti
bahwa diakui dan dihormati hak
asasi manusia setiap warga
Negara dan tersedianya barang
dan jasa keperluan hidup
terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Perwujudan keadilan
sosial adalah perilaku untuk
memberikan kepada orang lain apa
yang menjadi haknya demi
terwujudnya masyarakat yang
sejahtera.
Simpulan dan Saran
Perwujudan keadilan dan
keadilan sosial dalam Negara
hukum Indonesia merupakan
unsur utama, mendasar, sekaligus
unsur yang paling rumit dan luas
dimensinya. Keadilan sebagai
kemauan yang bersifat tetap dan
terus-menerus untuk memberikan
kepada setiap orang, apa yang
seharusnya diterima. Untuk itu
semua tindakan yang cenderung
untuk memproduksi dan
mempertahankan kebahagiaan dan
kesejahtaraan masyarakat adalah
adil. Keadilan dan keadilan sosial
memiliki pertemalian yang erat,
dalam konteks negara hukum
Indonesia. Terwujudnya keadilan
sosial, harus didasarkan atas
keadilan, ketertiban dan
keteraturan, dimana setiap orang
mendapatkan kesempatan
membangun kehidupan yang
layak sehingga tercipta
kesejahteraan umum. Amanat
Konstitusi menegaskan Keadilan
sosial selalu ditujukan untuk
mewujudkan atau terciptanya
kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Perwujudan
keadilan sosial menghendaki
upaya pemerataan sumber daya
agar kelompok masyarakat yang
lemah dapat dientaskan dari
kemiskinan dan agar kesenjangan
sosial ekonomi di tengah-tengah
masyarakat dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Assad Said. 2009. Negara
Pancasila Jalan
Kemaslahatan Berbangsa.
Jakarta: LP3ES.
Asshiddiqie, Jimly. Pesan
Konstitusional Keadilan
Sosial, Makalah Seminar
Nasional disampaikan di
Universitas Brawijaya
Malang, tanggal 12 April
2011.
Bertens, K. 2000. Pengantar
Etika Bisnis. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Darmodiharjo, Darji dan
Shidarta. 2008. Pokok-
Pokok Filsafat Hukum,
Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum
Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hadi, Sudharto P. 2002.
Dimensi Hukum
Pembangunan. Semarang:
UNDIP, Semarang, 2002
Hage, Markus Y. 2011
Kepentingan Ekonomi
dan Komodifikasi Dalam
Hukum, Disertasi Pada
PDIH UNDIP, 2011.
Hermawan, Sulhani. 2012.
Tinjauan Keadilan Sosial
Terhadap Hukum Tata
Pangan Indonesia,
Mimbar Hukum Volume
24, Nomor 3 Oktober
2012.
//morotaiprogres.blogspot.c
om /2013/03/keadilan-
sosial-sebagai-
amanah.html.
//id.wikipedia.org/wiki/Pan
casila#Sila_kedua.
//asikinzainal.blogspot.com
/2012/01/teori-
keadilan.html.
Huijbers, Theo, 1999. Filsafat
Hukum Dalam Lintasan
Sejarah. Yogyakarta:
Kanisius.
Latif, Yudi. 2012. Negara
Paripurna: Historisitas,
Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila.
Jakarta: PT. Gramedia.
Mahfud MD, Moh. 2009.
Penegakan Hukum Dan
Tata Kelola
Pemerintahan Yang Baik,
Seminar Nasional.
, 2010. Perdebatan
Hukum Tata Negara
Pasca Amandemen
Konstitusi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Maryanto. 2003. Refleksi dan
Relevansi Pemikiran
Filsafat Hukum Bagi
Pengembangan Ilmu
Hukum, Jurnal Hukum,
Fakultas Hukum
Universitas Islam Sultan
Agung Semarang, Vol. 13
(1).
Mertokusumo, Sudikno. 1993
Penemuan Hukum:
Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Liberty.
Prasetyo, Teguh dan Abdul
Hakim. 2012.
Barkatullah, Filsafat,
Teori, dan Ilmu Hukum,
Pemikiran Menuju
Masyarakat yang
Berkeadilan dan
Bermartabat. Jakarta:
Rajawali Pers.
Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu
Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bhakti.
, 2005. Hukum Progresif,
Hukum Yang
Membebaskan:, edisi
Perdana Majalah Hukum
Progresif, Program
Doktor Ilmu Hukum,
UNDIP.
, 2006. Hukum Dalam
Jagat Ketertiban. Jakarta:
UKI Press.
, 2007. Membedah
Hukum Progresif, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Rawls, John. 2000. A Theory of
Justice. Oxford: Oxford
University Press.
Samekto, FX.Adji. 2012. Ilmu
Hukum Dalam
Perkembangan Pemikiran
Menuju Post Modernisme.
Bandarlampung: Indepth
Publising.
Suharto, Edi. 2010. Negara
Kesejahteraan Sosial
Indonesia: Antara Hasrat
dan Jerat
Globalisasi Neoliberal.
Suseno, Frans Magnis. 2001.
Kuasa dan Moral.
Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
, 2005. Pijar-Pijar
Filsafat: dari Gatholoco
ke Filsafat Perempuan
Dari Adam Muller ke
Postmodernism.
Yogyakarta: Kanisius.