Apa yang akan terjadi apabila rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama?

Tentang DPR

  • DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
  • Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
  • Rancangan undang-undang dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh Anggota, komisi, atau gabungan komisi.
  • Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Presiden.
  • Rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh DPD, dalam hal berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  • Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dan disertai dengan naskah akademis, kecuali rancangan undang-undang mengenai: 

a. APBN; b. penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; atau

c. pencabutan undang-undang atau pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

  • Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (2) disusun berdasarkan Prolegnas.
  • Dalam keadaan tertentu, hanya DPR dan Presiden yang dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Prolegnas.
  • Rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama antara DPR dan Presiden paling lambat 7 (tujuh) Hari disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
  • Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Untuk proses secara lengkap dapat dilihat di Tata tertib DPR RI BAB VI

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Prosedur Penolakan dan Pencabutan Perpu yang pertama kali dipublikasikan pada Senin, 21 Oktober 2013.

Penetapan Perppu oleh Presiden                                      

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam artikel-artikel di atas, Maria Farida Indrati Soeprapto dalam buku Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, mengatakan bahwa Perppu jangka waktunya terbatas [sementara] sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat [“DPR”], yaitu pada masa persidangan berikutnya [hal. 94].

Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan undang-undang. Sedangkan, apabila Perppu itu tidak disetujui [ditolak] oleh DPR, akan dicabut [hal. 94].

Persetujuan atau Penolakan Perppu

Hal ini sesuai dengan wewenang DPR yang terdapat dalam Pasal 71 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:

DPR berwenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.

Perlu Anda ketahui, proses pembahasan Perppu untuk disetujui atau ditolak, dilakukan oleh DPR melalui rapat paripurna.[1] Nantinya, DPR-lah yang menentukan persetujuan atau penolakan suatu Perppu tersebut melalui keputusan rapat paripurna.

Dalam hal Perppu tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna [ditolak], maka sebagai tindak lanjut atas Keputusan Rapat Paripurna DPR yang menolak Perppu yang bersangkutan, Perppu tersebut harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.[2]

Kami sekaligus meluruskan istilah ‘membatalkan’ yang Anda gunakan, karena mengacu pada Pasal 52 ayat [5] UU 12/2011, maka istilah yang tepat untuk digunakan adalah ‘mencabut dan menyatakan tidak berlaku’.

Produk Hukum yang Mencabut Perppu

Lalu, produk hukum apa yang dipakai sebagai bentuk penolakan atau pencabutan suatu Perppu itu? Untuk menjawabnya, kita berpedoman pada Pasal 52 ayat [6] dan ayat [7] UU 12/2011 yang berbunyi:

  1. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat [5], DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

  2. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat [6] mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Dari ketentuan di atas, dapat kita ketahui bahwa secara hukum, DPR atau presidenlah yang mengajukan Rancangan Undang-Undang ["RUU"] tentang pencabutan Perppu.

RUU yang diajukan itu juga mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Perppu.

Contoh

Dalam Bagian Menimbang huruf a UU 3/2010 dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [“Perppu 4/2009”] yang diajukan oleh presiden tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna pada 4 Maret 2010.

Kemudian, presiden mengajukan RUU tentang pencabutan Perppu 4/2009. RUU tersebut disahkan dengan diterbitkannya UU 3/2010 yang mencabut dan menyatakan Perppu 4/2009 tidak berlaku.

Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, produk hukum yang dipakai untuk mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Perppu yang ditolak oleh DPR adalah peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan Perppu, yaitu undang-undang.

Presiden atau DPR-lah yang mengajukan RUU tentang pencabutan Perppu yang ditolak oleh DPR itu.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum [lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya]. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Referensi:

Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Kanisius: Yogyakarta, 1998.

APAKAH boleh presiden tidak meneken undang-undang [UU] yang rancangannya dibahas bersama kemudian disetujui bersama DPR? Jawabannya boleh dan sesuai dengan ketentuan konstitusi meski secara etis boleh-boleh saja dipersoalkan.

Pasal 20 ayat [5] UUD 1945 menyatakan bahwa dalam hal rancangan undang-undang [RUU] yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Frasa ‘sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan’ sempat menimbulkan perdebatan saat pembahasan di Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR pada 1999. Perdebatannya ialah apakah frasa tersebut tidak bermakna memaksa presiden?

Ada pendapat yang muncul dalam rapat Panitia Ad Hoc III Badan Pekerja MPR pada 11 Oktober 1999. Pendapat itu mengatakan frasa itu memang bertujuan memaksa presiden. Argumentasinya, ada praktik pemerintahan yang ikut membahas RUU, malah dibahas kalimat per kalimat, tiba-tiba di ujungnya presiden tidak mau meneken.

Contoh yang diberikan dalam rapat itu antara lain RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya. RUU itu disetujui DPR bersama presiden pada 23 September 1999, tapi tak kunjung disahkan presiden. Tidak disahkan karena ada penolakan masyarakat.

Ada istilah bahasa Jawa yang muncul dalam rapat Panitia Ada Hoc III Badan Pekerja MPR, yaitu muspro. Artinya ialah melakukan sesuatu perkerjaan yang sia-sia. Disebutkan bahwa frasa ‘sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan’ bukanlah upaya memaksa, melainkan agar pembahasan bersama RUU oleh pemerintah dan DPR  tidak mengalami hal-hal yang muspro.

Pemfinalan Pasal 20 ayat [5] itu baru disahkan pada Sidang MPR 15 Agustus 2000. Disahkan setelah ada pemahaman bahwa Pasal 20 ayat [5] UUD 1945 itu merupakan sebuah penegasan bahwa karena presiden telah memberikan persetujuan bersama DPR atas RUU, tidak ada alasan lagi buat presiden untuk menolak. Dengan demikian, RUU yang telah mendapat persetujuan bersama tidak sia-sia dan berlaku walaupun presiden tidak menandatangani.

Dengan demikian, ada empat ayat dalam Pasal 20 UUD 1945 yang diputuskan pada Sidang MPR 1999 dan ayat [5] diputuskan dalam Sidang MPR 2000. Selengkapnya bunyi Pasal 20 ayat [1] ialah Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk UU. Ayat [2] ialah setiap RUU dibahas DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Selanjutnya, ayat [3] jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Ayat [4] presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU dan ayat [5] dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

UU yang berlaku otomatis diatur lebih lanjut di Pasal 73 UU 12/2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kalimat pengesahannya, menurut Pasal 73 ayat [3], UU ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat [5] UUD 1945. Kalimat pengesahan itu, menurut ayat [4], harus dibubuhkan pada halaman terakhir UU sebelum pengundangan naskah UU ke dalam lembaran negara.

Ambil contoh UU 19/2019 tentang KPK. Di lembaran terakhir tidak ada tanda tangan Presiden Joko Widodo. Di halaman itu ditulis: Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2019, diteken Tjahjo Kumolo selaku Plt Menkum dan HAM. Di bawah nama Kumolo tertera tulisan: UU ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat [5] UUD 1945.

Megawati Soekarnoputri selama menjabat presiden, 23 Juli 2001-20 Oktober 2004, juga tidak menandatangani lima UU yang telah disetujui bersama dalam Sidang Paripurna DPR. Kelima UU itu ialah UU tentang Kepulauan Riau [2002], UU tentang Penyiaran [2002], UU tentang Profesi Advokat [2003], UU tentang Keuangan Negara [2003], serta UU tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan [2003].

Mengapa presiden pilih-pilih untuk teken UU? Bukankah RUU diajukan ke DPR disertai amanat presiden [ampres] yang didalamnya terdapat penugasan menteri untuk ikut membahas dan menteri itu membacakan persetujuan pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR? Jika ada substansi RUU yang disetujui untuk diundangkan tidak sesuai dengan keinginan presiden, ada dua kemungkinan.

Pertama, lemahnya kontrol presiden atas menteri yang memberikan persetujuan tersebut. Tersirat bahwa menteri tidak pernah melaporkan perkembangan pembahasan RUU kepada presiden. Kedua, presiden berubah sikap setelah muncul penolakan masyarakat.

Meskipun UUD 1945 memungkinkan suatu RUU menjadi UU tanpa pengesahan presiden, apakah persetujuan semacam itu tidak merupakan anomali praktik ketatanegaraan? Itulah pertanyaan mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan ketika menjadi saksi ahli dalam uji materi UU 19/2019 tentang KPK.

Anomali yang dimaksud Bagir Manan ialah, baik prosedural maupun substansial, tidak sesuai dengan asas atau prinsip umum pembentukan UU yang baik. Menurut Bagir, sebagai suatu beleid atau diskresi dalam tatanan demokrasi dan negara hukum, presiden seharusnya memberikan penjelasan kepada publik terkait dengan alasan tidak menandatangani UU KPK hasil revisi tersebut.

Eloknya, ke depan, presiden perlu menjelaskan secara terbuka alasan tidak membubuhkan tanda tangan untuk mengesahkan UU agar tidak muncul tafsiran liar.

Video yang berhubungan

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA