Tawaran perdamaian Al kamil kepada pasukan Salib beberapa kali ditolak karena

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.

tirto.id - “Ketika Allah memberiku tanah Mesir, aku yakin bahwa Dia juga akan memberikan Palestina kepadaku."

Kalimat itu diucapkan Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi alias Salahuddin dengan penuh percaya diri setelah berhasil menaklukkan Suriah dan Mesir pada 1175. Bagi Salahuddin, tanah Palestina menjadi penting karena di sana, tepatnya di Yerusalem, terdapat Masjidil Aqsa yang disucikan umat Islam. Dalam keyakinan Muslim, Masjid Al-Aqsa adalah kiblat pertama. Ia Tempat Nabi melakukan perjalanan Isra Mikraj yang melahirkan perintah salat lima waktu. Pendeknya, merebut tanah Palestina bukan hanya bermakna spiritual bagi Salahuddin, tapi juga jalan legitimasi dirinya sebagai khalifah besar di Timur Tengah.

Sekira tujuh dekade sebelum Salahuddin menyampaikan pidatonya, Yerusalem telah direbut oleh orang-orang Katolik dari tangan orang-orang Muslim. Perebutan ini dilakukan atas restu Paus Urbanus II lewat ekspansi militer yang disebut Perang Salib I.

Perang Salib I bermula dari permohonan bantuan militer yang disampaikan Kaisar Bizantium Alexius I Komnesus kepada sang Paus pada 1095. Ketika itu Kekaisaran Bizantium tengah berkonfrontasi dengan Kerajaan Turki Seljuk. Permintaan ini diamini Paus pada 27 November 1095 dengan menyiapkan ribuan tentara dari pelbagai negara di Eropa Barat. Tapi Paus juga punya misi lain. Ia ingin memastikan keselamatan para peziarah Kristen di Yerusalem dan menyatukan lagi kekuatan Kristen di Timur Tengah yang masih di bawah kekuasaan pasukan Fatimiyah pimpinan al-Afdhal.

Pasukan Perang Salib I melakukan perjalanan darat dan laut melalui Konstantinopel kemudian Yerusalem. Pada Juli 1099 Pasukan Perang Salib tiba di Yerussalem. Di bawah komando Godfrey dari Buillon, pasukan Perang Salib menggempur habis-habisan benteng Yerusalem. Mereka akhirnya menaklukkan kota itu pada 15 Juli 1099, sekira seminggu sebelum bulan Ramadan 492 Hijriah.

Banjir Darah di Yerusalem

Tak cuma bagi umat Islam, Yerusalem juga menjadi kota suci bagi umat Yahudi dan Kristen. Sejak berabad-abad lamanya suara azan bercampur dengan suara lonceng gereja dan nyanyian orang-orang Yahudi Ortodoks. Sehingga tak sulit bagi siapa pun membayangkan betapa gembiranya pasukan Perang Salib saat kali pertama menjejakkan kaki di tanah yang memiliki sejarah erat dengan perjalanan Yesus Kristus ini. Di tanah ini Yesus pernah dielu-elukan dan dimakamkan.

Ironisnya, euforia itu jugalah yang membuat pasukan Perang Salib bersemangat membunuh dan meneror penduduk Yerusalem. Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Edinburg, menggambarkan kengerian yang dialami umat Islam dan Yahudi melalui sumber-sumber sejarah muslim yang ia dapatkan.

“Kaum Frank menyerbu kota itu dan merebutnya. Banyak penduduk Yerusalem yang melarikan diri ke tempat peribadatan dan banyak lagi yang tewas dibunuh. Kaum Yahudi berkumpul di sinagoga dan kaum Frank membakarnya. ... mereka menghancurkan kuburan-kuburan termasuk makam Ibrahim," tulis Hillenbrand dalam Perang Salib: Sudut Pandang Islam (2015).

Sumber lain yang didapat Hillenbrand menyebutkan pasukan Perang Salib telah membunuh lebih dari 70.000 orang di dalam Masjid Aqsa. Di antaranya banyak terdapat imam, ulama, ahli ibadah, orang yang sedang iktikaf, para pendatang dan mereka yang tinggal di dekat tempat suci itu.

“Kegilaan itu diresmikan atas nama agama oleh Paus Urbanus II pada 1095," tulis James Reston dalam Warriors of God: Pasukan-Pasukan Tuhan Perang Salib (2007).

Di luar kritik tersebut, Perang Salib I juga dinilai sebagai simbol kepahlawanan, sikap kesatria, dan kesalehan yang mendorong lahirnya sastra, filsafat, dan roman abad pertengahan di Eropa.

Melunasi Janji

Awal Juli 1187 atau 12 tahun setelah bersumpah akan membebaskan Palestina, Salahuddin mulai memobilisasi tentaranya menyeberangi sungai Yordan untuk merebut Yerusalem. Serangan pertama ia alamatkan ke Benteng Tiberias.

Serangan ini memicu perdebatan di kalangan pasukan Perang Salib: Apakah menunggu Salahuddin tiba di Yerusalem atau melakukan tindakan preventif dengan mengirim serangan balasan ke Tiberias? Kamis malam, 2 Juli, Raja Guy dari Lusignan yang menjadi penguasa Yerusalem memutuskan membantu Tiberias.

Celaka! Keputusannya menjadi blunder besar bagi pasukan Perang Salib. Serangan Salahuddin ke Benteng Tiberias ternyata hanyalah jebakan untuk memancing pasukan Perang Salib di Yerusalem ke luar sarang. Perjalanan jauh di bawah terik matahari membuat Raja Guy dan pasukannya kehausan. Di saat yang sama, Salahuddin dan pasukannya telah memblokir satu-satunya akses jalan menuju sumber air di Danau Galilea. Akhirnya, lewat serangan sporadis pada 4 Juli 1187, Salahuddin menekuk pasukan Raja Guy di lembah Hattin. Benteng Tiberias diserahkan pada 5 Juli esok harinya.

“Itu adalah kesalahan fatal yang membawa bencana ke kerajaan tentara Salib, mereka harus menempuh perjalanan sekitar 20 kilometer di bawah teriknya matahari Juli. Mereka tidak memiliki air dan tidak menyediakan jalur pasokan apa pun," ujar Muhammad Moenes Awad, profesor sejarah dari Universitas Sharjah, dilansir dari Al Jazeera.

Jonathan Phillips, sejarawan dari Universitas London, mengatakan pertempuran Hattin merupakan pertempuran kunci dalam sejarah Perang Salib. Kemenangan Salahuddin membuat sebagian besar pasukan Perang Salib mati dan ditawan.

“Ia menghancurkan tentara Frank, ia menangkap raja Yerusalem, ia merebut Salib Sejati. Dan ini adalah kemenangan militer besar yang akan membuka jalan untuk merebut kembali Yerusalem itu sendiri," kata Phillips.

Yang menarik—tanpa sumber dan bukti sahih—sejumlah artikel mengenai perang Hattin dalam bahasa Indonesia menyebutkan bahwa peristiwa itu berlangsung pada bulan Ramadan. Padahal, berdasarkan kalender hijriah, tanggal 4 Juli 1187 bertepatan 16 Rabiul Akhir 583.

Kemenangan di Hattin meningkatkan semangat moral pasukan Salahuddin sekaligus menjatuhkan mental pasukan Perang Salib. Pada hari-hari berikutnya, sebelum tiba di Yerusalem, Salahuddin dan pasukannya berhasil menaklukkan kota-kota penting seperti Acre/Akko (10 Juli), Tyrus (14 Juli), Toron (26 Juli), Sidon (29 Juli), Gibelet (4 Agustus), Beirut (6 Agustus), dan Ashkelon (5 September).

Minggu, 20 September 1187, Salahuddin dan pasukannya tiba di Yerusalem. Mereka mendirikan kemah dan mulai melakukan pengepungan. Keesokan harinya, Salahuddin menyerang sisi utara dan barat laut tembok Yerusalem. Namun, kekuatan pasukan perang Salib di Benteng Yerusalem, yang dipimpin Balian dari Ibelin, masih cukup kuat.

Perlawanan sengit membuat Salahuddin mengendurkan serangan. Pada 29 September, Salahuddin akhirnya berhasil merobohkan dinding benteng. Pada 2 Oktober, Raja Balian menyerah tanpa syarat. Tanggal ini memiliki makna simbolis bagi Salahuddin dan pasukannya karena bertepatan 27 rajab, hari berlangsungnya peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad.

Usai penyerahan kekuasaan tersebut, Salahuddin mengizinkan tentara Salib pergi. Tak ada pembantaian terhadap penduduk setempat seperti saat kota itu ditaklukkan pasukan Perang Salib.

“Adegan ini benar-benar kebalikan dari pembantaian berdarah pada Juli 1099. Tentara Salib diizinkan untuk pergi. Keluarga-keluarga dan rakyat jelata melakukannya dalam sebuah konvoi damai tanpa dilecehkan oleh orang-orang muslim," kata Qassem Abdu Qassem, kepala sejarah dari Universitas Zagaziq, Mesir.

Baca juga artikel terkait SEJARAH ISLAM atau tulisan menarik lainnya Jay Akbar
(tirto.id - jay/fhr)

Reporter: Jay Akbar Penulis: Jay Akbar Editor: Fahri Salam

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Mesir sedang bergolak. Dua kekuatan yang sama-sama keras kepala sedang bertarung. Rakyat yang jadi korban. Yang tidak bersalah harus berlumur darah, demi ambisi para pemimpin yang merasa paling benar sendiri. Entah mana yang malaikat, mana yang iblis. Mana yang Firaun, mana yang Musa. Jangan-jangan, semuanya iblis, semuanya Firaun. Dan keduanya sedang ongkang-ongkang kaki, bertepuk tangan gembira, Ini pendukungku, mana pendukungmu, ayo kita berseteru, sampai salah satu jadi abu.

Dan ketika gelombang perseteruan itu sampai ke negeri sini, orang-orang pun berselancarlah di atas riak-riaknya, berdebat hingga berbusa-busa. Masing-masing punya versi, panutan, dan sumber berita. Entah sumber kedua, ketiga, atau keberapa. Entah dari bahasa Arab, bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Arab, bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Inggris yang diterjemahkan dari bahasa Arab, atau bahkan cuma dari konon kabarnya yang tertulis di status Facebook atau kicauan twitter. Dan kalau kita percaya bahwa media membawa misi-misi tertentu dalam mengabarkan suatu peristiwa, maka kita seharusnya tidak boleh meyakini sepenuhnya apa yang kita dengar dan baca. Karena selalu ada tiga sisi dalam sebuah cerita: sisi yang kau yakini dan yang ingin kau yakini, sisi yang mereka yakini dan yang ingin mereka yakini, dan sisi yang sebenarnya. Dan sisi yang sebenarnya inilah yang di luar jangkauan, karena kita tidak berada di tengah-tengah peristiwanya sendiri.

Beberapa waktu lalu, kebetulan saya membaca sebuah buku sejarah tentang Perang Salib Kelima yang terjadi di Mesir pada abad ke-12, dan khususnya tentang sebuah peristiwa menarik yang barangkali bisa menjadi ibroh bagi upaya perdamaian antara pihak-pihak mana pun yang tengah berseteru mengatasnamakan agama ataupun kepentingan lainnya: pertemuan antara Malik al-Kamil, sultan Mesir dan Fransiskus dari Assisi, yang kini dikenal sebagai Santo Fransiskus, pendiri ordo Fransiskan.

Diceritakan, setelah Paus Innosensius III meluncurkan Perang Salib Kelima, pasukan Kristen mulai berkumpul dan bergerak ke kota Damietta, gerbang masuk ke Mesir, tempat Bani Ayyub berkuasa. Target mereka adalah menaklukkan Mesir dan merebut kembali Yerusalem. Pada 1218, Pasukan Tentara Salib berhasil sampai di dekat Damietta, pintu gerbang Mesir, yang memiliki pertahanan yang kuat. Dengan dinding benteng berlapis tiga dan menara-menaranya yang kukuh, Damietta sulit ditaklukkan. Akhirnya, pengepungan kota pun dilakukan. Berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun.

Malik al-Kamil, Sultan Mesir, keponakan Salahudin al-Ayyubi, yang telah berhasil merebut Yerusalem pada 1187, mengerahkan pasukan dari Mesir untuk mematahkan pengepungan dan mengirimkan pasokan ke dalam kota yang penduduknya kian sekarat oleh kelaparan dan penyakit tersebut. Namun, setelah pertempuran demi pertempuran berlangsung, dia tidak berhasil menembus kepungan pasukan Tentara Salib terhadap Damietta. Akhirnya dia pun menawarkan sebuah perjanjian damai, dia bersedia menyerahkan kembali Yerusalem dan wilayah-wilayah lain yang pernah direbut oleh Salahudin kepada Tentara Salib, asalkan mereka menarik mundur pasukannya dari Damietta.

Selama berlangsungnya pengepungan, Fransiskus dari Assisi, seorang biarawan Kristen yang telang mengabdikan dirinya dalam kehidupan kemiskinan dan perdamaian, bertekad untuk menemui sang sultan setelah seruan perdamaiannya terhadap Tentara Salib dan para pemimpinnya tidak digubris. Biarawan yang kelak dikenal sebagai Santo Fransiskus, salah satu santo paling kudus dalam Kristen tersebut berharap untuk mengkristenkan sang sultan demi menghentikan peperangan lebih lanjut. Berseberangan dengan para panglima Tentara Salib dan bahkan kepausan, yang bersikeras untuk terus melancarkan serangan, Fransiskus menemui Sultan Al-Kamil di perkemahannya.

Dalam situasi perang dan pengepungan, sang sultan bisa saja langsung memenggal kepala Fransiskus, atau menjadikan pendiri ordo Fransiskan itu sandera untuk ditukar dengan kebebasan kota Damietta—pada waktu itu, pengikut Fransiskan sudah cukup banyak untuk menjadikan dirinya cukup diperhitungkan. Lebih-lebih, berani-beraninya Fransiskus berkhotbah tentang Kristen di hadapan sang Sultan yang penganut Sunni taat tersebut.

Akan tetapi, Sultan al-Kamil justru menerima Fransiskus dengan ramah, menghormatinya sebagai orang beriman, dan mengizinkannya berkhotbah di hadapan dirinya dan para penasihat keagamaannya. Maka terjadilah dialog antaragama yang damai di tengah kecamuk peperangan yang paling mematikan. Hingga kemudian, setelah berminggu-minggu berada di perkemahan sang Sultan, dan setelah dengan leluasa berkhotbah di depan para prajurit Mesir karena mendapat izin dari sang Sultan, Fransiskus pun diantarkan kembali dengan aman ke perkemahan Tentara Salib.

Damietta akhirnya jatuh ke tangan Tentara Salib, penduduknya yang tadinya 80.000 jiwa tinggal 3.000 saja. Sultan al-Kamil mundur ke Mesir untuk mempertahankan kerajaannya dari ambisi Kardinal Pelagius Galvani, wakil kepausan yang terus mendesak untuk menaklukkan seluruh Mesir. Perlu dicatat, di Mesir sendiri pada waktu itu sudah hidup komunitas-komunitas Kristen, tetapi karena Sultan al-Kamil sudah terkenal karena toleransinya, mereka tidak bertindak sebagai musuh dari dalam.

Perjanjian damai dari Sultan al-Kamil sekali lagi ditolak. Kardinal Pelagius dan para pimpinan Tentara Salib yang ambisius ingin terus menyerang Mesir demi menaklukkan kota itu seluruhnya.

Pertempuran demi pertempuran terus berlangsung, korban terus bergelimpangan di kedua belah pihak, hingga ketika pasukan Tentara Salib yang terus bergerak maju ke wilayah Mesir, terjebak dalam rawa-rawa Sungai Nil. Mereka tidak paham medan Sungai Nil yang rumit, oleh karena itu pasukan Sultan al-Kamil berhasil mengepung mereka dan memutus jalur pasokannya dari garnisun di Damietta. Sang sultan kini berada di atas angin, apalagi dengan datangnya pasukan bantuan dari wilayah kekuasaan adik-adiknya di Damaskus dan Jezireh. Tentara Salib jelas kalah jumlah.


Lihat Humaniora Selengkapnya

Video yang berhubungan

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA