Tari jaranan saat memperagakan nya dengan menunggang seekor kuda yang menggunakan properti berupa

(1)(2)

Kuda Lumping

Penerbit : PT. BENGAWAN ILMU Jln. Sriwijaya No. 59 G Telp. (024) 8442227 Cetakan : Tahun 2010

ISBN : 978 - 979 - 021 - 468 - 2 (Jilid Lengkap)

978 - 979 - 021 - 467 - 5 (MKN 12 Kuda Lumping)

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

Mengenal Kesenian Nasional 12

Pengarang Sri Winarsih Editor Yuni Winarti

Layout Prastuti Indra Handayani Perwajahan Indra

Ilustrator Indra Desain Sampul Gatot

(3)

K

ATA

P

ENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Penyayang, karena hanya berkat kasih sayang-Nya, buku ini dapat terselesaikan dengan baik. Buku ini disusun dengan tujuan untuk mengenalkan salah satu kesenian yang saat ini terancam kelestariannya yaitu kesenian Kuda Lumping.

Kuda lumping merupakan salah satu jenis kesenian tradisional yang menjadi pertunjukan rakyat terutama di Jawa. Kesenian ini berupa tarian menunggang kuda, yang dimainkan oleh sekelompok orang dengan iringan gamelan. Puncak acaranya adalah pertunjukan menegangkan yang dilakukan oleh para pemain yang kerasukan (kesurupan), seperti mengunyah dan menelan kaca bola lampu, mengupas kelapa dengan gigitan gigi, dan sebagainya.

Penyusun berharap, buku ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin lebih mengenal kesenian Indonesia khususnya Kesenian Kuda Lumping. Apalagi kita sebagai penerus bangsa merupakan pewaris dari seni budaya tradisional sehingga sudah semestinya kita menjaga dan memeliharanya dengan baik. Tugas kita adalah mempertahankan dan mengembangkannya, agar dari hari ke hari tidak pupus dan hilang dari khasanah berkesenian masyarakat kita.

Akhir kata, penyusun mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan buku ini di edisi selanjutnya. Terima kasih dan semoga bermanfaat.

(4)

D

AFTAR

I

SI

Kata Pengantar • iii Daftar Isi • iv

BAB 1 PENDAHULUAN • 1

BAB 2 SEKILAS TENTANG SENI • 4 A. Berbagai Bentuk Seni • 4 B. Seni Tari Jawa • 8

BAB 3 KESENIAN KUDA LUMPING • 10

A. Asal-Usul Tari Kuda Lumping • 11

B. Kesenian Kuda Lumping dalam Berbagai Versi • 13 BAB 4 UNSUR-UNSUR DALAM TARI KUDA LUMPING • 28

A. Alat Musik (Gamelan) • 28 B. Penari • 31

C. Kuda Tiruan • 33

BAB 5 ATRAKSI DALAM KUDA LUMPING • 35 A. Saatnya Pertunjukan Dimulai • 35 B. Hilang Kesadaran (Kesurupan) • 36

C. Di Balik “Kesaktian” Pemain Kuda Lumping • 40 BAB 6 FUNGSI DAN MAKNA SIMBOLIS KUDA LUMPING • 49

A. Kuda Lumping sebagai Panggung rakyat dan Simbol Perlawanan Terhadap Penguasa • 49 B. Kuda Lumping sebagai Media Dakwah • 50 C. Eksistensi Kesenian Kaum Pingiran • 54 D. Makna Simbolis dan Nilai Estetis Kesenian

Kuda Lumping • 54 BAB 7 PENUTUP • 57

(5)

Bab 1

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya budaya yang melimpah. Bangsa Indo-nesia merupakan bangsa yang serba multi, baik itu multisuku, multibudaya, multibahasa, maupun multiagama. Kesemuanya itu jika dikelola dengan baik dapat dijadikan sebagai potensi untuk memakmurkan rakyat dan memajukan bangsa.

Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum terbentuknya negara nasional Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia beraneka ragam. Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: www.prasetya.brawijaya.com.

Bab 1

PENDAHULUAN

(6)

Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan India, kebudayaan Tionghoa, dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama, masuk bersama penyebaran agama Hindu dan Budha di Nusantara, jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernapaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara yaitu Kutai, sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi. Kebudayaan Tionghoa masuk dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya).

Selain itu, banyak pula budaya yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal menghasilkan perpaduan kebudayaan

Pengaruh agama Budha pada bangunan dan relief Candi Borobudur. Sumber:

Sumber:Sumber:

(7)

Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia semisal kebudayaan Jawa dan Betawi. Kebudayaan Arab masuk bersama dengan penyebaran agama Islam oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Nusantara dalam perjalanan mereka menuju Tiongkok.

Sebagai salah satu warisan nenek moyang kita, kekayaan budaya Indonesia haruslah dijaga dan dilestarikan. Kekayaan Indonesia harus menjadi kebanggaan warga bangsanya. Secara garis besar, begitu banyak kesenian serta kebudayaan yang ada di Indonesia diwariskan secara turun-menurun dari nenek moyang bangsa Indonesia hingga ke generasi saat ini. Sayangnya, minat untuk melestarikan budaya itu sendiri masih rendah. Apabila permasalahan tersebut tidak segera diatasi maka, bukan tidak mungkin bangsa Indonesia akan kehilangan jati dirinya di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, minat generasi muda dalam melestarikan budaya Indonesia harus tertanam sejak dini. Salah satunya dengan mengenal dan mempelajari seni budaya asli Indonesia seperti seni Kuda Lumping sebagaimana dibahas dalam bab-bab selanjutnya di buku ini.

Pengaruh agama Hindu pada bangunan di Bali. Sumber: Sumber:Sumber: Sumber: Sumber: www.weltrekordreise.com.

(8)

Bab 2

SEKILAS

TENTANG SENI

Dalam perjalanan sejarah, boleh dikatakan pada setiap masa orang selalu bertanya tentang apa dan bagaimana bentuk seni itu. Bahkan, para filsuf sejak masa peradaban Yunani sampai sekarang telah memberikan beragam definisi.

Seni berasal dari kata Latin ars yang artinya keahlian, yaitu keahlian dalam mengekspresikan ide-ide dan pemikiran, termasuk mewujudkan kemampuan serta imajinasi penciptaan benda, suasana, atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah.

A. Berbagai Bentuk Seni

Dalam Ensiklopedi Indonesia , dipetik bahwa definisi seni yaitu penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama). Berikut beberapa dari bentuk seni.

1. Seni Musik

Seni musik (instrumental art) adalah bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar

Bab 2

SEKILAS

TENTANG SENI

(9)

dari alat musik tersebut. Bidang ini membahas cara menggunakan instrumen musik. Masing-masing alat musik memiliki nada tertentu.

Seni musik dapat disatukan dengan seni instrumental atau seni vokal. Seni instrumentalia adalah seni suara yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik, sedangkan seni vokal adalah melagukan syair yang hanya dinyanyikan dengan perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik.

2. Seni Pendengaran

Seni pendengaran (auditory art) adalah bidang seni yang menggunakan suara (vokal maupun instrumental) sebagai me-dium pengutaraan, baik dengan alat-alat tunggal (biola, pi-ano, dan sebagainya) maupun dengan alat majemuk seperti orkes simponi, band, juga lirik puisi berirama atau prosa yang tidak berirama, serta perpaduan nada dan kata seperti lagu asmara, qashidah, dan tembang (Jawa).

Seni musik. Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: www.ozarts.org.

(10)

3. Seni Rupa

Seni rupa merupakan bentuk penciptaan keindahan yang mampu berkomunikasi dengan penikmatnya terutama melalui mata. Termasuk di dalam seni rupa adalah seni lukis, seni patung, arsitektur, dan seni kerajinan.

4. Seni Tari

Seni tari adalah seni menggerakkan tubuh secara berirama dengan iringan musik. Gerakannya dapat sekedar dinikmati sendiri, merupakan ekspresi suatu gagasan atau emosi, dan cerita (kisah). Di beberapa daerah, seni tari juga digunakan untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau tak sadar diri) bagi yang melakukannya. Semua daerah di Indonesia, dari ujung Aceh sampai ujung Papua, memiliki seni tari masing-masing. Contohnya: Seudati, Tor-tor, Serampang Dua Belas, Zapin, Cokek, Jaipong, Cakalele, atau Maengket. Tentu saja masih banyak nama-nama tari yang lain.

Lukisan sebagai suatu karya seni rupa. Sumber:

Sumber: Sumber: Sumber:

(11)

Dari zaman dahulu, seni tari telah memainkan peranan penting dalam upacara kerajaan, di kalangan masyarakat maupun individu. Seni tari merupakan akar tari Barat yang populer pada masa kini. Bangsa-bangsa primitif bahkan percaya pada daya magis tari, seperti tampak pada tari untuk meminta kesuburan dan hujan, tari eksorsisme (ruwatan), tari perburuan dan perang. Begitu pula halnya tarian tradisional Asia Timur yang hampir seluruhnya bersumber dari keagamaan walaupun ada juga yang bersifat sosial. Selain itu ada pula tarian komunal (folk dance) yang umumnya berbentuk tarian rakyat (atau kreasi baru). Biasanya tarian seperti ini dijadikan sebagai perlambang kekuatan kerjasama secara kelompok dan sebagai perwujkdan saling hormat-menghormati. Semua itu didasari oleh tradisi-tradisi masyarakat.

Seni tari modern lebih mengutamakan keindahan dan irama gerak dengan fokus hiburan. Seni tari sekarang berbeda halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya, seperti balet, tapdances, ketoprak, atau sendratari. Gaya tarian abad XX kini berkembang dengan irama-irama musik pop singkopik, misalnya dansa cha-cha-cha, togo, soul, twist, dan sebagainya.

Seni tari. Sumber: Sumber:Sumber:

(12)

B. Seni Tari Jawa

Tari dalam Bahasa Jawa sering disebut juga beksan. Kata tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang luluh.

Seni tari adalah ungkapan yang disalurkan atau diekspresikan melalui gerak-gerak organ tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras dengan gending sebagai iringannya. Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa sebenarnya sudah ada sejak zaman primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam dan kemudian berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan upacara adat sebagai sarana persembahan. Tari mengalami kejayaan yang berangkat dari kerajaan Kediri, Singosari, dan Majapahit khususnya pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk.

Surakarta merupakan pusat seni tari Jawa. Sumber utamanya terdapat di Keraton Surakarta dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat inilah kemudian meluas ke daerah Surakarta seluruhnya dan akhirnya meluas lagi

Seni tari Jawa. Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: www.oswego.edu.com.

(13)

hingga meliputi daerah Jawa Tengah, terus sampai jauh di luar Jawa Tengah. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu sudah ada sejak berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli yang dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih keluarga Sri Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya Surakarta. Macam-macam tariannya Srimpi, Bedaya, Gambyong, Wireng, Prawirayuda, Wayang-Purwa Mahabarata-Ramayana. Yang khusus di Mangkunegaran disebut Tari Langendriyan, yang mengambil ceritera Damarwulan.

Dalam perkembangannya timbullah tari kreasi baru yang mendapat tempat dalam dunia tari gaya Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton (Hofdans), yang termasuk seni tari bermutu tinggi, di daerah Jawa Tengah terdapat pula bermacam-macam tari daerah setempat. Tari semacam itu termasuk jenis kesenian tradisional, seperti Dadung Ngawuk, Kuda Lumping (Kuda Kepang), Incling, Dolalak, Tayuban, Jelantur, Ebeg, Ketek Ogleng, Barongan, Sintren, Lengger, dan lain sebagainya. Diperkirakan tarian tersebut merupakan peninggalan budaya masa pra-Hindu atau prakerajaan. Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak yang ritmis dan tempo yang tetap sehingga ketentuan-ketentuan geraknya tidaklah begitu ditentukan sekali. Jadi lebih bebas, lebih perseorangan. Bentuk-bentuk seni pertunjukan pada masa ini, masih banyak terdapat di daerah pedalaman yang terpencil yang diwarnai oleh kepercayaan animisme. Perwujudan tari pada masa itu diduga merupakan refleksi dari satu kebulatan kehidupan masyarakat agraris yang terkait dengan adat istiadat, kepercayaan, dan norma kehidupannya secara turun temurun.

(14)

Bab 3

KESENIAN

KUDA LUMPING

Kuda lumping merupakan salah satu jenis kesenian tradisional sangat populer sehingga dapat dikatakan bahwa hampir semua orang Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya mengenal tarian ini. Tarian Kuda Lumping hingga kini masih tumbuh di banyak kelompok masyarakat khususnya di Pulau Jawa. Begitu populernya tari Kuda Lumping, hingga ada lagu, yang juga tidak kalah populernya, yang terinspirasi dari permainan kesenian rakyat ini. Berikut petikan lagu tersebut.

Kuda Lumping

Ada suatu permainan Permainan unik sekali

Orang naik kuda, tapi kuda bohong Namanya kuda lumping

Anehnya permainan ini Orangnya bisa lupa diri

Dia makan rumput, juga makan kaca Aduhai ngeri sekali

Itu kuda lumping, kuda lumping Kuda lumping, kesurupan

Bab 3

KESENIAN

KUDA LUMPING

(15)

Itu kuda lumping, kuda lumping Kuda lumping, loncat-loncatan

Kuda Lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda tiruan dari anyaman bambu (kepang). Dalam memainkan seni ini biasanya juga diiringan dngan musik khusus yang sederhana karena hanya permainan rakyat, yaitu dengan gong, kenong, kendang dan slompret, alat musik tradisional yang kini tidak lagi dikenal oleh anak-anak generasi muda kita karena telah tergantikan oleh dram, gitar dan lainnya.

A. Asal-Usul Tari Kuda Lumping

Tidak diketahui secara pasti mengenai asal-usul tari ini, karena telah disebut oleh banyak daerah sebagai kekayaan budayanya. Hanya dapat diperkirakan tarian Kuda Lumping sudah ada sejak kerajaan kuno tempo dulu atau pada masa pra-Hindu karena masih diwarnai dengan adanya kepercayaan animisme.

Kesenian Kuda Lumping tempo dulu. Sumber:

Sumber:Sumber:

(16)

Menurut versi umum Jawa Timur, kesenian Kuda Lump-ing diduga berasal dari zaman Kerajaan Daha. Menurut cerita, pada masa itu kuda merupakan kendaraan atau tunggangan utama para kesatria, pangeran, dan raja. Pada upacara-upacara kebesaran kerajaan, mereka muncul sambil menunggang kuda masing-masing. Hal tersebut menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi seluruh warga kerajaan. Pada masa selanjutnya, peranan para kesatria mulai mundur dan muncullah di kalangan rakyat suatu pemainan yang menirukan para kesatria penunggang kuda. Mereka membuat kuda-kudaan dari anyaman bambu (kepang) yang kemudian dikenal dengan sebutan jaran kepang. Kuda-kudaan itu mereka tunggangi sambil menari-nari dan bertingkah laku seperti seorang kesatria. Sejak itu, lahirlah kesenian rakyat Kuda Lumping.

Masih menurut versi Jawa Timur, kesenian ini juga mengisahkan lakon tokoh raja Jawa Timur. Diceritakan bahwa pada zaman dahulu, Kudawaningpati, raja dari Kerajaan Jenggala, ingin memperistri Dewi Sekartaji, ratu dari Kerajaan Kediri. Kudawaningpati kemudian menuju Kediri diiringi para pengikutnya. Dalam perjalanan yang sangat jauh ini mereka bertemu dan bertempur dengan Singabarong, Bujang Anom, Banaspati, Pentul, Kacung, Cepot, yang berakhir dengan kemenangan dipihak Raja Jenggala. Mereka yang berhasil dikalahkan kemudian menjadi pengikutnya. Setelah sekian lama dalam perjalanan, rombongan Raja Jenggala sampai di Kerajaan Kediri, dan raja berhasil mempersunting Dewi Sekartaji. Berdasarkan cerita ini, rombongan kesenian kuda Lumping mengikutsertakan tokoh-tokoh di atas, walaupun namanya berbeda-beda di setiap daerah. Bahkan, kesenian ini kemudian berkembang dengan penggunaan ilmu mistik sebagai puncak acaranya.

(17)

B. Kesenian Kuda Lumping dalam Berbagai

Versi

Tari atau permainan Kuda Lumping menyebar hampir di seluruh Pulau Jawa karena permainan ini dapat dimainkan oleh siapapun, meskipun dengan nama tarian yang berbeda, namun pada intinya sama. Di Jawa Timur saja seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, sebut saja Malang, Nganjuk, Banyuwangi, Ponorogo, dan Tulungagung, di samping daerah-daerah lainnya. Jika dilihat dari model permainan ini, yang menggunakan kekuatan dan kedigdayaan, besar kemungkinan berasal dari daerah-daerah kerajaan di Jawa. Di Jawa Tengah, tarian sejenis dengan kuda lumping ditemukan di daerah Banyumas, Tegal, dan sekitarnya. Bahkan, di Jawa Barat, juga ada tarian sejenis Kuda Lumping. Berikut beberapa versi tari Kuda Lumping.

1. Jatilan

Jatilan merupakan sebutan untuk tari Kuda Lumping di wilayah Yogyakarta, Magelang, dan sekitarnya. Di wilayah Yogyakarta, tari Jatilan selalu dipertunjukkan bersama-sama dengan tarian raksasa yang disebut Barongan dan dilengkapi dengan unsur magis. Selain itu, acara ini juga dibarengi dengan pelawak dengan topeng Pentul dan Tembem yang menyanyikan lagu-lagu

Penari Jatilan Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Indonesian Heritage, Performing Arts, 1998.

(18)

penuh humor dengan lawakan yang menjurus porno.Tarian ini digelar dengan iringan beberapa macam alat musik gamelan seperti: kendang, saron dan gong.

Jatilan adalah salah satu jenis tarian rakyat yang bila ditelusur latar belakang sejarahnya termasuk tarian yang pa-ling tua di Jawa.Tari yang selalu dilengkapi dengan properti berupa kuda kepang ini lazimnya dipertunjukkan sampai klimaksnya, yaitu keadaan tidak sadar diri pada salah seorang penarinya. Penari jatilan dahulu hanya berjumlah 2 orang tetapi sekarang bisa dilakukan oleh lebih banyak orang lagi dalam formasi yang berpasangan. Tarian jatilan menggambarkan peperangan dengan naik kuda dan bersenjatakan pedang.

2. Obeg

Kesenian ini berkembang di Cilacap. Pemain Obeg ini terdiri atas beberapa orang wanita atau pria dengan menunggang kuda yang terbuat dari anyaman bambu (kepang), serta diiringi dengan bunyi-bunyian tertentu. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang pawang (dukun) yang dapat membuat pemain dalam keadaan tidak sadar.

3. Jaran Kepang

Kesenian ini populer di daerah Temanggung. Biasanya diperagakan secara massal dan sering dipentaskan untuk menyambut tamu -tamu resmi atau biasanya diadakan pada waktu upacara

4. Ebeg

Ebeg adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di wilayah Banyumas, Tegal, dan sekitarnya. Tarian ini menggunakan “ebeg” yaitu anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan diberi

(19)

kerincingan. Penarinya mengenakan celana panjang dilapisi kain batik sebatas lutut dan berkacamata hitam, mengenakan mahkota dan sumping di telinganya. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang kerincingan sehingga gerakan tangan dan kaki penari Ebeg selalu dibarengi dengan bunyi kerincingan.

Jumlah penari Ebeg 8 orang atau lebih, dua orang berperan sebagai Penthul-Tembem, seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang, 7 orang lagi sebagai penabuh gamelan. Jadi, satu grup Ebeg dapat beranggotakan 16 orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu Ebeg sedangkan Penthul-Tembem memakai topeng. Tarian Ebeg termasuk jenis tari massal, pertunjukannya memerlukan tempat pagelaran yang cukup luas seperti lapangan atau pelataran atau halaman rumah yang cukup luas. Waktu pertunjukan umumnya siang hari dengan durasi antara 1–4 jam. Peralatan yang dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong dan terompet. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan lagu-lagu irama Banyumasan seperti Ricik-Ricik, Gudril, Blendrong, Lung Gadung, dan lain-lain. Para penari akan menunjukkan keperkasaan sebagai kesatria. Demikian pula pemain yang menaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit

Kesenian Ebeg Banyumasan. Sumber:

Sumber: Sumber: Sumber:

(20)

berkuda dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan Ebeg dilengkapi dengan atraksi Barongan. Dalam pertunjukannya, Ebeg juga diiringi oleh gamelan yang lazim disebut bendhe. Alat musik ini memiliki ciri fisik seperti gong akan tetapi berukuran lebih kecil terbuat dari logam.

Sebenarnya ada “pemanis” dalam pertunjukkan tersebut. Yaitu kehadiran sepasang “aul” yang mungkin agak mirip dengan ondel-ondel betawi. Hanya ukurannya lebih pendek karena aul ini sebenarnya adalah laki-laki yang didandani. Masing-masing mengenakan baju dari karung goni dan mengenakan topeng merah. Sepanjang jalan hanya lenggak lenggok saja. Mereka juga tetap sadar karena tidak dimasukkan roh halus ke dalam tubuhnya. Tetapi makhluk ini yang paling ditakuti anak-anak. Topengnya berwajah menyeramkan! Entah apa yang hendak digambarkan oleh penggagas pertunjukkan mengenai hal ini. Bisa jadi hendak melambangkan karakter jahat sepasang manusia. Manusia yang mana, belum ada yang tahu.

Di dalam suatu sajian Ebeg akan melalui satu babak yang unik yang biasanya di tempatkan di tengah pertunjukan. Babak tersebut sebagaimana dikenal dalam bahasa Banyumasan dengan Mendhem (intrans). Pemain akan kesurupan dan mulai melakukan atraksi-atraksi unik. Bentuk atraksi tersebut seperti halnya: makan beling atau pecahan kaca, makan dedaunan yang belum matang, makan daging ayam yang masih hidup, berlagak seperti monyet, ular, dan masih yang lainnya.

Tingkat kegalakan Ebeg ditentukan oleh seberapa susah ia disadarkan kembali. Proses penyadaran kembali ini pun menjadi tontonan yang tak kalah menarik. Beberapa orang pria yang kuat harus memegangi tangan, kaki, kepala, dan tubuh Ebeg. Kalau tidak, ia akan berlari lagi. Sepertinya roh

(21)

yang bersemayam di tubuhnya enggan beranjak. Permintaannya pun jadi bermacam-macam, dari air kepala muda hingga soft drink. Semakin lama Ebeg dapat disadarkan, semakin galak, semakin terkenal ia sebagai Ebeg papan atas. Tetapi semakin lunglai juga ia kalau sudah sadar dan kembali sebagai manusia.

Setelah prosesi penyembuhan selesai, usai pula rangkaian pertunjukkan Ebeg. Jalan kembali sepi hanya menyisakan bekas-bekas keriuhan. Tetapi di ruang-ruang pos ronda, beranda rumah, bahkan di langgar, perbincangan ataupun bisik-bisik menjadi semakin hangat. Para pemuda membanggakan diri dan puas karena pemudi incarannya pasti menyaksikan. Para wanita mulai bergunjing tentang siapa nama pemain pal-ing gagah di pertunjukkan hari ini. Asal tahu saja, pertunjukkan Ebeg selama bertahun-tahun telah menjadi ajang unjuk diri yang cukup efektif dan murah. Para pemudii berdandan, para pemuda beraksi menjadi yang paling keras dan paling dikejar, karena di situlah pusat perhatian.

Ebeg termasuk kesenian yang tergolong cukup diperhitungkan dalam hal umur. Diperkirakan kesenian jenis ini sudah ada sejak zaman purba tepatnya ketika manusia mulai menganut aliran kepercayaan animisme dan dinamisme. Salah satu bukti yang menguatkan Ebeg dalam jajaran kesenian tua adalah adanya bentuk-bentuk intrans atau wuru. Bentuk-bentuk seperti ini merupakan ciri dari kesenian yang terlahir pada zaman animisme dan dinamisme.

Akibat perkembangan budaya di Banyumas dan orentasi suatu seni pertunjukan juga yang dalam tahap awal merupakan sarana ritual telah bergeser pada bisnis seni pertunjukan, pembenahan dalam Ebeg-pun segera di lakukan. Penataan pada Ebeg yang dapat meliputi bentuk iringan, penghalusan

(22)

gerak tari, kostum ataupun propertinya banyak di lakukan oleh seniman Banyumas. Karya-karya baru yang bersumber pada pola gerek Ebeg-pun akhirnya banyak bermunculan. Gobyog

Jaranan adalah salah satu bentuk tarian baru yang diambil

dari ragam gerak Ebeg oleh Yusmanto sebagai penata iringan dan Agus Sungkowo sebagai koreografer tarinya.

5. Jaranan Senterewe

Jaranan Senterewe merupakan kesenian khas Kediri. Kesenian ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Ngurawan Kediri dan sampai sekarang terus dilestarikan oleh pemuda di daerahnya. Jaranan Senterewe membawakan cerita Diah Ayu Songgolangit. Songgolangit adalah putri dari Kerajaan Ngurawan Prabu Amiseno dan mempunyai seorang adik bernama Tubagus Putut. Untuk menambah wawasan Tubagus Putut menuntut ilmu dan mengabdi di Kerajaan Bantar Angin yang dipimpin Raja Kelono Suwandono.

Karena kesaktiannya, Tubagus Putut diangkat menjadi Patih Pujonggo Anom. Kemudian oleh Raja Kelono Suwandono, Putut disuruh melamar Songgolangit yang masih adiknya sendiri. Agar dia tidak diketahui adik dan ayahandanya ia memohon kepada Dewata Agung untuk menutupi wajahnya dengan topeng. Meskipun mukanya tertutup dengan topeng adik dan ayahnya tetap mengetahuinya.

Tarian Jaranan. Sumber: Sumber:Sumber: Sumber: Sumber: www.prasetya.brawijaya.com.

(23)

Songgolangit mau dijadikan permaisuri Kelono Suwandono asalkan diberi kendaraan atau titian yang tidak menyentuh tanah serta iring-iringan pengantinnya lewat bawah tanah. Patih Anom menyanggupi permintaan Songgolangit setelah meminta petunjuk Dewata Agung Patih Anom diberi bambu, besi, dan dan pecut. Lalu bambu dibuat kepang (kuda tiruan), besi dijadikan gamelan, dan pecut untuk menghela kuda.

6. Jaranan Turonggo Yakso

Kesenian Turonggo Yakso alias kuda lumping berkepala raksasa berkembang dari Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek. Jaranan khas Trenggalek ini terbuat dari kulit, lain dari Jaranan Senterewe yang terbuat dari anyaman bambu. Meskipun demikian, kesenian tradisi itu berakar pada tarian jaranan Reog Ponorogo.

Seperti halnya kesenian tradisional Jaranan ataupun Jaran Kepang, grup seni jaranan ini pun beraksi dengan pertunjukan atraktif-demonstratif. Penari jaranannya selalu genap, bisa dua, empat, atau enam orang penari.

7. Jaranan Buto

Kesenian ini berkembang di wilayah Banyuwangi. Peralatan yang dipakai meliputi kendang, gong, terompet, kethuk dan kuda kepang dengan kepala berbentuk raksasa atau bentuk babi hutan serta topeng berbentuk kepala binatang buas. Kesenian ini biasanya dilakukan pada pukul 10.00-16.00 WIB. Pada akhir pertunjukan biasanya pemainnya kesurupan sehingga mampu memakan kaca maupun benda keras lainnya. Sebagaimana musik dan lagu Banyuwangi, Jaranan Buto Banyuwangi memiliki musik khas yang sedikit berbeda dengan Kuda Kepang Jawa Tengah dan Blitar Tulungagung, yaitu ada nuansa musik Bali yang mempengaruhinya.

(24)

8. Kuda Lumping Marongan Sukomakmur, Kajoran

Kesenian Kuda Lumping Marongan menceritakan Prabu Klono Suwandono dan Panji. Kesenian yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat ini mulanya digunakan sebagai sarana penyembuhan, nadar, atau syukuran. Kesenian ini banyak berkembang di daerah lereng Gunung Sumbing. Kesenian yang dilakukan secara massal ini diiringi seperangkat gamelan slendro dan pelok.

9. Kuda Lumping Romo Turonggo Gopakan Windusari

Kesenian kuda lumping yang sangat digemari oleh masyarakat Windusari ini memiliki ciri khusus, terutama pada tokoh barong dalam permusuhannya dengan Prabu Klono Suwandono. Gerak tarinya yang ritmis dan dinamis, terutama pada gerak tari prajuritan. Kesenian kuda lumping ini juga diiringi oleh seperangkat gamelan slendro, pelok, serta angklung.

10. Jathilan dalam Reog Ponorogo

Secara sederhana, ada lima fragmen tarian disajikan dalam penampilan kelompok Reog yaitu sebagai berikut. 1. Tari Warok (prajurit sakti).

2. Tari Jathilan (penggambaran prajurit berkuda) 3. Bujangganong (patih buruk rupa yang jujur). 4. Tari Klana (Raja Klana Sewandono).

5. Dadak Merak (burung mjerak yang naik di atas harimau). Pada dasarnya, ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan

(25)

pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15.

Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari rekan raja yang beretnis Cina dalam pemerintahan dan perilaku raja yang korup. Ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan Sang Raja dan mendirikan perguruan yang mengajarkan seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan kepada anak-anak muda, dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kembali Kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan “sindiran” kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai Singa Barong atau raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang

Arak-arakan Reog Ponorogo. Sumber:

Sumber: Sumber: Sumber:

(26)

diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggang kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan Warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng Singa Barong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya.

Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya. Pemberontakan oleh Warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan Warok. Namun, murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dengan ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, dan Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning. Namun, di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singa Barong dari Kediri. Pasukan Raja Singa Barong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh

Tokoh Raja Kelono Sewondono. Sumber: Sumber:Sumber: Sumber: Sumber: www.oswego.edu.com.

(27)

Warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya). Warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan kerasukan saat mementaskan tariannya. Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. Mereka menganut garis keturunan pa-rental dan hukum adat yang masih berlaku.

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan, dan hari-hari besar nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka di-poles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada Reog tradisional, penari biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari Jathilan atau Jaran Kepang.

Tokoh Warok dengan dandanan dan kostumnya yang khas. Sumber:

Sumber:Sumber:

(28)

Menurut orang Ponorogo, Reog yang mereka tampilkan tidak memiliki unsur kuda kepang yang kesurupan. Aspek ini biasanya ditampilkan kelompok-kelompok Reog dari Tulungagung, Madiun, dan wilayah luar Ponorogo lainnya. Masyarakat Ponorogo melihat bahwa kesurupan ini adalah ketidakmurnian dalam Reog asli. Kesurupan ini kemungkinan lebih dekat ke kesenian Ebeg dari Banyumas (Jawa Tengah),

Seblang dari Banyuwangi (Jawa Timur), Jaranan Senterewe

dari Tulungagung (Jawa Timur), dan Kuda Lumping dari Cirebon (Jawa Barat). Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu. Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni Reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,

Reog dan jatilan ini fungsinya hanya sebagai tontonan atau hiburan, ini agak berbeda dengan fungsi reog pada zaman dahulu yang selain untuk tontonan juga berfungsi sebagai pengawal yang memeriahkan iring-iringan temanten atau anak yang dikhitan serta untuk kepentingan pelepas nadzar. Perbedaan antara Jatilan dan Reog antara lain adalah pertama, dalam permainan Jatilan penari kadang-kadang dapat rnencapai trance, sedangkan pada Reog penari tidak bisa mengalami hal ini. Kedua, pada Jatilan selama permainan berlangsung digunakan tempat atau arena yang tetap. Pada Reog selain permainannya tidak menggunakan arena atau tempat yang tetap, juga sering diadakan untuk mengiringi suatu perjalanan ataupun upacara.Mengenai kapan dan dimana lahirnya dua jenis kesenian ini orang tidak tahu. Para pemain Jatilan dan Reog hanya mewarisi kesenian tersebut dari nenek

(29)

moyang mereka.Orang-orang umumnya menyatakan bahwa Jatilan dan Reog sudah ada sejak dulu kala. Pendukung permainan ini tidak tentu jumlahnya tergantung pada banyak sedikitnya anggota. Meskipun demikian, biasanya pendukung tersebut sekitar 35 orang dan terdiri dari laki-laki dengan perincian: penari 20 orang; penabuh instrumen 10 orang; 4 orang penjaga keamanan atau pembantu umum untuk kalau ada pemain yang mengalami trance; dan 1 orang sebagai koordinator pertunjukan (pawang). Puncak tarian Jatilan ini kadang-kadang diikuti dengan keadaan mencapai trance (tak sadarkan diri tetapi tetap menari) pada para pemainnya.

Sebelum pertunjukan Jatilan dimulai biasanya ada pra-tontonan berupa tetabuhan dan kadang-kadang berupa dagelan atau lawakan.Kini keduanya sudah jarang sekali ditemui. Pertunjukan ini bisa dilakukan pada malam hari, tetapi umumnya diadakan pada siang hari. Pertunjukan akan berlangsung selama satu hari apabila pertunjukannya memerlukan waktu 2 jam per babaknya, dan pertunjukan ini terdiri dari 3 babak. Bagi group yang untuk 1 babak memerlukan waktu 3 jam maka dalam sehari dia hanya akan main 2 babak. Pada umumnya permainan ini berlangsung dari jam 09.00 sampai jam 17.00, termasuk waktu istirahat. Jika pertunjukan berlangsung pada malam hari, maka pertunjukan akan dimulai pada jam 20.00 dan berakhir pada jam 01.00 dengan menggunakan lampu petromak. Tempat pertunjukan berbentuk arena dengan lantai berupa lingkaran dan lurus.Vokal hanya diucapkan oleh Pentul dan Bejer dalam bentuk dialog dan tembang, sedangkan instrumen yang dipakai adalah angklung 3 buah, bendhe 3 buah, kepyak setangkep dan sebuah kendang.Peralatan musik ini diletakkan berdekatan dengan arena pertunjukan.

(30)

11. Jatilan Gaya Baru

Dewasa ini ada kemajuan dalam kesenian Jatilan dengan munculnya Jatilan Gaya Baru di desa Jiapan, Tempel, dan Sleman.Instrumen yang dipakai adalah kendang, bendhe, gong, gender dan saron. Jadi jenis Jatilan ini sudah tidak memakai angklung lagi.Yang menarik pada Jatilan ini adalah apabila pemain berada dalam keadaan tidak sadar (trance) dia bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dan kalau diperbolehkan dia bisa menunjuk orang yang telah mengganggu pertunjukan, seandainya gangguan ini memang terjadi. Sering pula dalam keadaan trance ini pemain meminta sebuah lagu dan ketika lagu itu dinyanyikan oleh pemain musik ataupun oleh Pentul dan Bejer. Penari yang trance tersebut berjoged mengikuti irama lagu tersebut. Dalam keadaan trance mata si penari tidak selalu tertutup, ada juga penari yang matanya terbuka seperti dalam keadaan biasa. Kuda lumping di sini tidak hanya 6 tetapi 10 buah. Dua kuda pasangan terdepan berwarna putih, sedangkan yang 8 buah berwarna hitam.Dua kuda pasangan yang ada di baris belakang adalah kuda kecil atau anak kuda (belo - Jawa). Anak kuda ini dibentuk sedemikian rupa sehingga memberi kesan kekanak-kanakan. Kepala kuda yang kecil memandang lurus ke depan, sedang kepala kuda yang lain tertunduk. Perbedaan sikap kepala kuda lumping itu bukan hanya model atau variasi, tetapi memang digunakan untuk menunjukkan atau memberi kesan bahwa peran kuda tersebut berbeda dengan kuda-kuda yang lain dan gaya tarian orang yang menunggang anak kuda agak berlainan, yaitu harus lebih lincah dan leluasa dalam bergerak atau bergaya, dan memberi kesan kekanak-kanakan.Di samping itu masih banyak keunikan-keunikan yang menambah kemeriahan pertunjukan Jatilan Gaya Baru ini.

(31)

12. Kuda Lumping atau Kuda Renggong Jawa Barat (Gunung Manglayang)

Selain beberapa kesenian tradisonal Sunda seperti Degung, Longser, Benjang, atau Tayuban lainnya, ada satu kesenian yang tidak kalah tersohor dikalangan masyarakat Sunda yaitu Kuda Lumping Jawa Barat atau disebut Kuda Renggong. Sebagai contoh, Desa Ciwaru yang terletak di kaki Gunung Manglayang, Kabupaten Bandung, Jabar, masih terkenal dengan adanya kesenian Kuda Renggong untuk memeriahkan berbagai hajatan seperti pernikahan atau khitanan.

Kegemaran terhadap seni ini biasanya berlangsung secara turun-temurun. Tak mengherankan, jika segala kegiatan yang berhubungan dengan Kuda Lumping maupun Kuda Renggong berpusat di beberapa tempat yang sudah dikenal sebelumnya misalnya di daerah Sumedang. Begitu pula dengan Kuda Lump-ing, masih sering muncul keberadaannya di sekitar Bandung Timur ini.

Kesenian ini biasanya diramaikan dengan bunyi-bunyian seperti terompet dan gendang. Bunyi-bunyian tersebut jika terdengar penduduk sekitar, menandakan ada suatu keramaian. Selanjutnya, hampir seluruh penduduk desa akan berdatangan dan tumpah ruah di depan rumah milik seorang warga yang akan menggelar acara hajatan tersebut.

(32)

Bab 4

UNSUR-UNSUR DALAM

TARI KUDA LUMPING

Seni Kuda Lumping merupakan jenis kesenian rakyat yang sederhana. Dalam pementasannya, tidak diperlukan suatu perlengkapan dan koreografi khusus. Peralatan gamelan seperti halnya karawitan atau gamelan untuk mengiringi seni Kuda Lumping juga cukup sederhana.

A. Alat Musik (Gamelan)

Di Jawa, gamelan tak bisa dipisahkan dari seni tari serta drama. Tak heran pemain gamelan akan mengerti dengan berbagai gerakan tari, sedangkan sang penari akan terbiasa dengan nada-nada gamelan.

Umumnya perangkat gamelan untuk mengiringi tari Kuda Lumping hanya terdiri atas kendang (drum besar), ketuk, kenong atau kempul (suspended gong), gong, dan sebuah selompret (seruling dengan bunyi melengking). Ada juga grup kesenian yang menggunakan saron, gong, demung, angklung (tiga pipa bambu) dan tipung (drum kecil). Bahkan, saat ini ada yang menggunakan organ atau drum modern sebagai variasi.

Bab 4

UNSUR-UNSUR DALAM

TARI KUDA LUMPING

(33)

1. Kendang

Kendang adalah instrumen dalam gamelan Jawa yang salah satu fungsi utamanya mengatur irama. Instrumen ini dibunyikan dengan tangan, tanpa alat bantu. Jenis kendang yang kecil disebut ketipung, yang menengah disebut kendang

ciblon atau lebar. Pasangan ketipung ada satu lagi bernama

kendang gedhe biasa disebut kendang kalih. Kendang kalih dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus seperti ketawang, gendhing kethuk kalih, dan ladrang irama dadi. Dapat juga dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran, ladrang irama tanggung. Kendang kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa. Kendang kebanyakan di mainkan sesuai naluri pengendang, sehingga jika dimainkan oleh satu orang dengan orang lain maka akan berbeda nuansanya.

Kendang besar dan kendang kecil. Sumber:

Sumber: Sumber: Sumber:

(34)

Kendang asimetris bersisi dua dengan sisi kulitnya ditegangkan dengan tali dan kulit atau rotan. Kendang diletakkan dalam posisi horizontal pada gawangannya (plangkan), dimainkan dengan jari dan telapak tangan.

2. Kethuk Kempyang, Kenong atau Kempul

Dua instrumen jenis gong berposisi horisontal ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu. Kethuk kempyang memberi aksen-aksen alur lagu gendhing menjadi kalimat kalimat yang pendek.

Pada gaya tabuhan cepat

lancaran, sampak, srepegan,

dan ayak ayakan, kethuk ditabuh di antara ketukan ketukan balungan, menghasil-kan pola jalin-menjalin yang cepat.

3. Gong

Gong berasal dari kata yang menirukan bunyi. Kata gong khususnya menunjuk pada gong gantung berposisi vertikal, berukuran besar atau sedang, ditabuh di tengah-tengah bundarannya (pencu) dengan tabuh bundar berlapis kain.

Gong menandai per-mulaan dan akhiran gendhing dan memberi rasa keseim-bangan setelah berlalunya kalimat lagu gendhing yang panjang. Gong sangat penting untuk menandai berakhirnya satuan kelompok dasar lagu,

Kethuk kempyang. Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: www.usd.edu.com.

Gong dalam berbagai ukuran. Sumber:

Sumber: Sumber: Sumber:

(35)

sehingga kelompok itu sendiri (yaitu kalimat lagu di antara dua tabuhan gong) dinamakan gongan. Ada dua macam gong sebagai berikut.

a. Gong Ageng (Besar)

Merupakan gong gantung besar yang ditabuh untuk menandai permulaan dan akhiran kelompok dasar lagu (gongan) gendhing.

b. Gong Suwukan

Merupakan gong gantung berukuran sedang, ditabuh untuk menandai akhiran gendhing yang berstruktur pendek, seperti lancaran, srepegan, dan sampak.

Gong merupakan sebuah alat musik pukul yang terkenal di Asia Timur. Gong ini digunakan untuk alat musik tradisional. Gong yang telah ditempa belum dapat ditentukan nadanya. Nada gong baru terbentuk setelah dibilas dan dibersihkan. Apabila nadanya masih belum sesuai, gong dikerok sehingga lapisan perunggunya menjadi lebih tipis.

B. Penari

Kesenian ini biasanya dilakukan oleh beberapa orang penari pria yang dirias sangat mencolok mata, dengan pakaian setengah wanita setengah pria. Pakaian para pemainnya berbeda antara daerah yang satu dan yang lainnya. Namun, pada dasarnya para pemain berpakaian ala kesatria, agak mirip pakaian wayang orang.

Gerakannya menyerupai gerak tari wayang, walupun sangat sederhana. Pemain wanita jarang atau bahkan tidak pernah ada, karena dalam upacara yang sifatnya magis itu para pemain akan kesurupan dan melakukan hal- hal yang dinilai membahayakan.

(36)

Pada umumnya iring-iringan kesenian Kuda Lumping terdiri atas kelompok pengawal yang bertugas sebagai pembuka jalan, pemberi komando, dan penanggung jawab kelompok. Kelompok ini biasanya terdiri atas dua sampai empat orang laki-laki. Di samping, ada pula kelompok lain yang jumlah dan tugasnya tidak jauh berbeda dengan kelompok pengawal, hanya mereka lebih giat memotivasi penonton untuk menyemarakkan suasana.

Kelompok pemain atau penari terdiri atas penari inti dan penari cadangan, yang masing-masing menunggang kuda tiruan (Kuda Lumping), dan penari tanpa kuda melakukan gerakan tari sesuai irama dengan irama gamelan. Kelompok terakhir adalah pengiring yang jumlahnya lebih banyak, dan tugasnya menyemarakkan suasana dan menjaga keamanan selama pertunjukan.

Selain menaiki kuda tiruan, ada juga para penari menggunakan pedang-pedangan yang dibuat dari bambu. Pada kelompok Jatilan atau Reog di antara para penari ada yang

Penari Kuda Lumping. Sumber:

Sumber: Sumber: Sumber:

(37)

memakai topeng hitam dan putih, bernama Bancak (Penthul) untuk yang putih, dan Doyok (Bejer/Tembem) untuk yang hitam.Kedua tokoh ini berfungsi sebagai pelawak, penari dan penyanyi untuk menghibur prajurit berkuda yang sedang beristirahat sesudah perang-perangan.

Ketika menari, para pemain mengenakan kostum dan tata rias muka yang realistis. Ada juga grup yang kostumnya non-realistis terutama pada tutup kepala; karena grup ini memakai

irah-irahan wayang orang. Pada kostum yang realistis, tutup

kepala berupa blangkon atau iket (udeng) dan para pemain berkacamata gelap, umumnya hitam. Selain itu ada juga yang menggunakan baju atau kaos, rompi, celana panji, kain, dan stagen dengan timangnya.

Permainan yang berlangsung sekitar satu sampai dua jam ini diadakan di lapangan terbuka. Pembayaran untuk melihat pertunjukan ini bersifat sumbangan sukarela. Salah seorang anggota kelompok berkeliling lapangan mendatangi penonton satu persatu sambil menadahkan tempat untuk menerima uang dari penonton. Penonton yang tidak mau memberi sumbangan tidak dipermasalahkan.

C. Kuda Tiruan

Kesenian tradisional Kuda Lumping menggunakan alat peraga pengganti kuda yang disebut kuda tiruan (kuda-kudana). Kuda tiruan itu dibuat dari anyaman bambu berbentuk mirip kuda lengkap dengan jambul di tengkuknya. Dulu, kuda-kudaan tersebut dibuat dari anyaman bambu) karena bahan tersebut mudah dikibas-kibaskan untuk memunculkan gerakan meliuk-liuk seperti halnya seekor kuda yang tengah menari.Kini, kuda tiruan juga dibuat dari kulit binatang. Kuda tiruan itu umumnya dicat warna hitam dengan hiasan warna

(38)

merah dan putih. Penari menempatkan kuda tiruan ini di antara kedua pahanya sehingga tampak seperti seorang kesatria yang menunggang kuda sambil menari dengan diiringi musik.

Menurut seorang pembuat kuda-kudaan tersebut tidak membutuhkan banyak modal karena untuk membuat dua buah kuda lumping ukuran kecil hanya dibutuhkan satu batang bambu tali. Untuk membuat Kuda Lumping ukuran besar yang biasa digunakan grup kesenian Kuda Lumping, dibutuhkan satu batang bambu.

Proses pembuatan kuda-kudaan ini yaitu: bambu yang sudah dibelah dibuat ukuran lebar satu sentimeter kemudian disayat tipis-tipis sebagai bahan anyaman. Anyaman bambu itu dibentuk seperti kuda dan ukurannya sesuai permintaan, dan bagian pinggir diberi bingkai bambu agar anyaman bambu tetap kokoh. Untuk pemanis, di bagian leher diberi genta logam sehingga kalau digerak-gerakkan akan menimbulkan bunyi.

Kuda tiruan sebagai properti utama dalam seni Kuda Lumping. Sumber:

Sumber: Sumber: Sumber:

(39)

Bab 5

ATRAKSI DALAM

KUDA LUMPING

Kesenian Kuda Lumping masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Seni ini lain dari seni lainnya karena di dalamnya terdapat atraksi di mana penarinya menunjukkan tingkah laku yang tidak mungkin dilakukan manusia biasa.

A. Saatnya Pertunjukan Dimulai

Atraksi dalam Kuda Lumping umumnya diawali dengan tarian pasukan berkuda yang dengan cekatan berjingkrak-kringkrak mengikuti alunan gamelan. Para pemain masih dalam tingkat kesadaran yang penuh. Mereka mempertontonkan kebolehannya menari. Kuda yang mereka tunggangi seolah-olah meringkik, meronta-ronta, mengangkat tinggi-tinggi kedua kakinya ke arah penonton yang berjubel lalu lari sekencang-kencangnya berputar-putar bagai di arena balapan kuda. Dinamis dan penuh gaya,

seperti saat menikung dengan kemiringan yang hampir me-nyentuh tanah. Lantas, perlahan-perlahan kecepatan dikurangi,

Bab 5

ATRAKSI DALAM

KUDA LUMPING

Pertunjukan Kuda Lumping dilakukan di arena terbuka. Sumber: Sumber:Sumber: Sumber: Sumber: www.farm.static.flickr.

(40)

berhenti, menyeringai dan mengangkat kembali kedua kakinya tinggi-tinggi menyalami penonton.

B. Hilang Kesadaran (Kesurupan)

Atraksi Kuda Lumping bersama para penunggangnya pun usai. Tetapi atraksi berikutnya tak kalah seru. Tanpa melibatkan kuda-kudaan tunggangannya, para pemain beratraksi akrobatik. Para pemain Kuda Lumping yang tampil garang dan juga eksotik itu beratraksi layaknya pemain pencak silat yang piawai: dengan posisi kuda-kuda yang kokoh, kedua tangan menggerakkan jurus-jurus silat dari memukul, menangkis, dan mematikan jurus lawan, sampai melepas posisi kuda-kuda di kedua kaki lantas menendang dalam berbagai jurus dan seolah bercanda dengan memainkan gerak-gerik kepala dan mata yang memandang tajam.

Ciri khas pada seni Kuda Lumping adalah terjadinya kesurupan (hilangnya kesadaran) pada penari. Bunyi sebuah pecutan (cambuk) besar yang sengaja dikenakan para pemain kesenian ini, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran si pemain. Adegan ini merupakan bagian yang paling ditunggu oleh penonton. Dalam masyarakat Jawa kuno yang menganut kejawen (gabungan antara animisme-dinamisme dan Hindu), seseorang

Penari Kuda Lumping yang hilang kesadarannya. Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: www.farm4.static.flickr.

(41)

mempercayai kehadiran dan peran roh-roh orang yang sudah meninggal. Roh-roh ini dapat dipanggil dan melakukan sesuatu yang diinginkan pemanjat doa (biasanya dukun atau pawang). Roh ini, menurut Dr Paul D. Stange dalam The Sumarah

Movement in Javanese Mysticism, memiliki pemikiran, perasaan

dan nafsu yang sama dengan manusia, dan roh ini berasal dari kematian yang tak sempurna. Roh ini kemudian masuk ke dalam tubuh penunggang Kuda Lumping, dan memanfaatkan fisik para penunggang untuk melakukan sesuatu yang mustahil dilakukan orang biasa. Tubuh mereka sesaat menegang, kemudian menari, melompat, menjungkirkan badan, dan memakan apa saja di meja sesajian. Fisik penari dapat berdarah dan kesakitan, namun mereka tak dapat merasakannya.

Secara faktual, proses kesurupan dalam Kuda Lumping meliputi proses pemanggilan roh lewat pembakaran kemenyan (incene) dan pembacaan mantra (doa) untuk meningkatkan ketahanan tubuh penunggang kuda sehingga ia tahan memakan kaca dan lainnya. Di satu sisi, adegan mistis ini mengundang decak kagum dan perasaan terhibur. Namun di sisi lain, adegan ini juga mengundang kontroversi terutama jika dipertemukan dengan ajaran agama Islam.

Menurut seorang pawang Kuda Lumping, roh masuk ke dalam tubuh dan berada di ruas-ruas tulang manusia. Semakin banyak roh atau arwah yang datang diundang, pesta akan semakin meriah, sehingga biasanya penari dapat kesurupan lebih dari tiga kali. Sering terjadi, penari yang sudah pulih, kembali hilang kesadarannya. Kalau sudah begini,Jik suasana memang kacau dan tidak terkendali. Tugas ketua rombongan atau pawanglah yang menjadi berat. Apabila jumlah roh yang datang lebih banyak dari penari, maka penonton yang menjadi

(42)

sasaran. Roh menggunakan mereka sebagai perantara. Masyarakat kadang menyebutnya mendem. Ada juga orang yang sengaja ingin mendem. Jika dikehendaki demikian, ketua rombongan atau pawang akan memberikannya.

Penonton yang sedang mendem atau kesurupan dapat juga menularkanya kepada temannya. Caranya dengan menyemburkan air kembang atau memandang lalu menjejakkan kakinya ke tanah tiga kali. Saat pertunjukan usai, pawang harus menepati janji untuk memulangkan kembali arwah ke tempat dimana mereka bermukim. Ini pekerjaan berat, karena ada saja roh yang tidak mau diantar pulang. Ia masih masih keluar masuk merasuki tubuh penari.

Kalau sudah begini, biasanya pawang akan mengucapkan kata-kata yang ditakuti oleh roh. Roh seharusnya dipulangkan dengan membuat dupa dan kemenyan, namun cara ini sangat merepotkan. Pawang memilih cara lain, yakni memasukannya ke dalam kendang, lalu dipulangkan secara bersamaan di halaman rumah yang punya hajat.

Dengan pengawasan seorang pawang, para penari yang kesurupan bertingkah semaunya. Ada yang bertingkah konyol sehingga membuat gelak tawa penonton. Namun, ada pula penari yang menunjukkan tingkah laku di luar kewajaran seperti mengambil tampah berisi tumpukan beling lalu

Penari Kuda Lumping melakukan atraksi berbahaya. Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: www.kotajambi.go.id.

(43)

dimakannya, lahap bagai orang kelaparan. Para penonton dibuat miris, menyaksikan penari dengan lahapnya memakan

beling. Namun, tak sedikit pun mulut dari penari itu terluka

akibat makan beling. Penari baru kembali sadar dari kesurupan, setelah sang pawang mengeluarkan roh yang merasuki tubuhnya. Penari yang telah disadarkan biasanya lunglai sejenak, kembali pada kondisi normal, minum air di ember, dan berakhir dengan menyemburkan asap dari mulut.

Bagi seorang dukun atau pawang Kuda Lumping, mengundang roh (indang) bukanlah pekerjaan sulit. Selain mantra Jawa, seorang dukun umumnya membutuhkan sesajian seperti beras, daun singkong, air, teh, kopi, air kelapa, kemenyan, dan empat macam bunga, yakni bunga kantil, melati, mawar, dan kenanga. Khusus bunga kantil mesti dimasukkan dalam gendang agar bisa memberi pengaruh magis kepada pemain.

Gendang merupakan alat musik utama dalam seni Kuda Lumping. Setiap tarian pemain Kuda Lumping menghadap gendang, begitupun pada saat mereka melepaskan diri dari roh. Selain gendang, pawang akan mengolesi semua alat musik seperti gong, demung, kethuk, dan lainnya dengan minyak air mata duyung untuk merangsang datangnya roh.

Jika dilihat dari keseluruhan permainan Kuda Lumping, bunyi pecutan yang tiada henti mendominasi rangkaian atraksi yang ditampilkan. Agaknya, setiap pecutan yang dilakukan oleh si penunggang terhadap dirinya sendiri, yang mengenai kaki atau bagian tubuhnya yang lain, akan memberikan efek magis. Artinya, ketika lecutan anyaman rotan panjang diayunkan dan mengenai kaki dan tubuhnya, si penari Kuda Lumping akan merasa semakin kuat, semakin perkasa, semakin digdaya. Umumnya, dalam kondisi itu, ia akan

(44)

semakin liar dan kuasa melakukan hal-hal mustahil dan tidak masuk diakal sehat manusia normal.

Semarak dan kemeriahan permainan Kuda Lumping menjadi lebih lengkap dengan ditampilkannya atraksi semburan api. Semburan api yang keluar dari mulut para pemain Kuda Lumping, diawali dengan menampung bensin di dalam mulut mereka lalu disemburkan pada sebuah api yang menyala pada setangkai besi kecil yang ujungnya dibuat sedemikian rupa agar api tidak mati sebelum dan sesudah bensin itu disemburkan dari mulutnya.

Sebagai sebuah atraksi penuh mistis dan berbahaya, tarian Kuda Lumping dilakukan di bawah pengawasan seorang ”pimpinan supranatural”. Biasanya, pimpinan ini adalah seorang yang memiliki ilmu ghaib yang tinggi yang dapat mengembalikan sang penari kembali ke kesadaran seperti sedia kala. Dia juga bertanggung jawab terhadap jalannya atraksi, serta menyembuhkan sakit yang dialami oleh pemain Kuda Lumping jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan sakit atau luka pada si penari. Oleh karena itu, walaupun dianggap sebagai permainan rakyat, Kuda Lumping tidak dapat dimainkan oleh sembarang orang, tetapi harus di bawah petunjuk dan pengawasan pimpinannya.

C. Di Balik “Kesaktian” Pemain Kuda Lumping

Kesenian Kuda Lumping yang dipertontonkan kerapkali diwarnai berbagai atraksi magis. Dalam keadaan tanpa sadar, mereka melakukan hal-hal yang tak wajar. Siapa yang tidak takjub melihat atraksi di mana para pemain Kuda Lumping memakan ayam hidup-hidup atau beling (pecahan kaca). Cuma pawanglah yang nantinya dapat menghentikan segala atraksi tersebut, seperti hal memulainya. Para pemain kuda lumping

(45)

dituntun untuk berbaring di atas tikar. Selanjutnya, pawang menyelimuti seluruh tubuh mereka dengan selembar kain. Setelah membacakan mantra, para pemain Kuda Lumping itu kembali sadar sediakala dan seolah tak pernah terjadi apa-apa. Namun, di samping diyakini memang ada kekuatan roh yang merasuki pemain Kuda Lumping, ternyata dalam atraksinya pemain Kuda Lumping diketahui juga menggunakan trik-trik tertentu. Trik ini juga dijumpai pada pemain Debus Cirebon.

1. Rahasia Kebal Api

Atraksi dengan api ternyata tidak hanya ada di Indone-sia. Atraksi dengan api diketahui juga dilakukan oleh banyak bangsa di dunia. Pada tahun 1885, suku Indian Navayo menjadi masyhur karena tari-tarian apinya. Mereka menari-nari telanjang bulat mengelilingi api unggun besar sambil membawa obor. Mereka menyapu-nyapukan nyala api itu pada badan mereka dan badan teman-temannya yang turut menari dengan cara yang mengagumkan sekali. Akan tetapi ternyata, sebelum menari mereka sudah menggosok dulu badannya dengan lumpur. Dengan cara yang demikian mereka tak mudah terbakar kulitnya.

Di Jepang, terkenal apa yang dinamakan Hi-Wattari, yakni suatu upacara keagamaan Shinto. Paderi-paderi Shinto berjalan di atas arang yang membara. Memang menakjubkan bagi mereka yang menyaksikan untuk pertama kalinya. Pertunjukan itu dilakukan di halaman kuil. Sebelum berjalan di atas arang api itu, paderi-paderi menanggalkan pakaiannya yang indah-indah dan lebih dulu menginjakkan kaki mereka pada semacam tikar basah yang ditaburi dengan sebangsa tepung atau garam. Lalu mereka berjalan di atas arang-arang yang menyala itu dengan tenang tidak ada bahaya apa-apa. Sesungguhnya

(46)

garam yang ditabur-taburkan di atas tanah pada ujung bidang yang membara itu adalah campuran garam dan sulfat rangkap aluminium dan potasium. Sejak itu, diketemukan bahan-bahan lain untuk membuat kebal terhadap api. Misalnya campuran amonium fosfat, amonium sulfat, dan amonium chorat. Pakaian-pakaian yang digunakan oleh pemain-pemain dalam opera-opera menjadi tak dapat terbakar dengan menggunakan campuran dari klorida seng.

Ada juga resep lainnya yang digunakan orang supaya dapat berjalan di atas besi yang terbakar atau mencuci tangannya dalam timah yang mendidih. Resep ini terdiri dari setengah ons rumput sumphiro yang dilebur ke dalam dua ons spiritus, satu ons storax yang cair, satu ons air raksa dan dua ons homatius. Semuanya itu digiling menjadi tepung. Apabila adonan ini digosokkan ke dalam jumlah yang cukup pada kaki, maka tak akan ada luka-luka. Apabila diinjakkan pada sebatang besi yang membara tidak akan luka bakar. Dengan menggosokkannya pada tangan, maka tangan itupun dapat dicuci dengan timah yang mendidih.

a. Atraksi Makan Arang yang Membara

Untuk makan arang yang membara, teknik yang biasa dipakai pemain Kuda Lumping dengan membuat api yang panas dari arang kayu yang didapat dari berbagai macam batang pohon yang kayunya dapat dibuat arang. Di sini, disisipkan di antara arang kayu itu beberapa potong kayu cemara yang empuk yang sama besarnya dengan arang itu. Apabila kayu cemara terbakar sampai hangus, maka tak ada bedanya dengan arang kayu biasa, kecuali apabila pemain menusuknya dengan garpu. Garpu itu akan menghujam sangat mudah pada kayu cemara yang tekstur kayunya empuk namun garpu tidak akan bisa menembus arang selain dari batang pohon cemara.

(47)

Selain itu, arang yang dibuat dari kayu yang bukan dari kayu pohon cemara akan benar-benar membara dengan sangat panas, sedangkan arang dari pohon cemara tidak akan membara dan tidak terlalu panas sehingga dapat diletakkan di atas lidah tanpa berakibat apa-apa seperti luka bakar. Apalagi jika lidah sudah dibasahi dengan air ludah sebanyak-banyaknya. Untuk atraksi biasanya pemain Kuda Lumping menusuk arang cemara itu dengan garpu, lalu masukkan ke dalam mulut dan dikunyah-kunyah seperti hendak memakannya.

b. Atraksi Menjilati Besi Membara

Dalam atraksi ini, sebatang besi tongkat dari besi dipanasi sampai merah membara lalu pemain api menjilatinya namun lidah mereka tidak terbakar hangus. Rahasianya adalah lidah harus diurapi dengan strerax encer, suatu bahan kimia yang dapat dibeli di apotek. Lidah dengan demikian kebal terhadap panas namun pada saat atraksi mereka tidak menempelkan lidah terlalu lama pada besi yang membara melainkan dilakukan secepat mungkin. Bibir juga diurapi dengan strerax, sehingga jika terkena besi panas tidak akan berakibat apa-apa.

c. Tangan Dijilati Api Berkobar-kobar

Sang pemain Kuda Lumping menyingsingkan lengan bajunya dan dengan sebuah obor besar dari minyak tanah,

Atraksi menyemburkan api. Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Indonesian Heritage, Performing Arts, 1998.

(48)

membakar sekujur tangannya namun tangannya tidak terbakar sama sekali. Rahasianya adalah dalam permainan ini, yang penting cara menyinggungkan api obor pada kulit, yaitu jangan ditekankan dan tidak boleh berhenti, melainkan sambil digerakkan agak cepat dari sisi satu ke sisi lainnya atau maju mundur sehingga tidak sempat membakar.

Bisa juga dalam atraksi kebal api ini menggunakan bantuan zat kimia khusus seperti dengan menggunakan zat Arab Bishom atau lem Arab yang diusapkan secara merata ke tangan. Selain itu bisa menggunakan storack cair atau ramuan yang terdiri dari amonium fosfat, amonium sulfat dan amonium chorat yang dapat diperoleh pada toko-toko yang menjual bahan kimia.

d. Atraksi Berjalan di Atas Api yang Membara

Demonstrasi berjalan di atas api cukup menarik tetapi memiliki resiko cukup tinggi jika kurang penguasaan dalam teknis dapat menimbulkan luka bakar pada bagian kaki.

Yang perlu diketahui sesungguhnya sifat api dapat membakar apabila ada waktu yang cukup untuk bersinggungan dengan benda lain. Sedangkan jika persentuhan itu hanya sesaat maka paling hanya meninggalkan kesan hangat saja. Dengan demikian, maka api tidak menimbulkan luka bakar jika pemain dapat mengatur irama atau kecepatan. Oleh karena itu, demonstrasi Kuda Lumping dengan berjalan di atas api sangat sedikit resikonya karena seseorang akan berupaya untuk melangkah agak cepat ketika kakinya bersentuhan dengan api. Pemain yang sudah berpengalaman tidak akan pernah ragu bahkan langsung menginjak api tersebut dengan telapak kaki mereka. Rahasianya adalah dengan mengetahui sifat api, bahwa api hanya membakar jika ada waktu yang cukup untuk bersinggungan dengan benda yang diam.

(49)

2. Kebal Pukulan Cambuk

Grup kesenian tradisional Kuda Lumping sering memperagakan kekebalan tubuhnya terhadap sebetan cambuk. Benarkah hal itu karena kekebalan tubuh atau karena teknis memukulnya?

Jawabnya tentu hanya trik saja. Tekniknya sebenarnya adalah bagaimana cara pemain dalam mencambuk seseorang. Pemukul harus berupaya untuk tidak memukul dengan ujung cambuk. Tetapi, harus menggunakan teknis “pukul putar” yang artinya ketika memukul harus menggunakan bagian tengah cambuk, sehingga memberikan efek ujung cambuk melingkari bagian yang terkena. Dengan demikian maka rasa sakit akan berkurang, karena yang menimbulkan sakit dari pukulan cambuk berasal dari ujung cambuknya dan bukan dari bagian tengah cambuk. Teknik “pukul putar” selain akan menghindarkan dari rasa sakit juga akan menimbulkan efek suara ledakan cambuk.

Selain itu ada juga teknik lain yaitu dengan menggunakan pelindung dari bahan kulit kambing atau kulit kerbau yang dipakai melingkar pada bagian dalam tubuh. Pelindung tersebut mempunyai fungsi ganda. Selain kulit tidak merasakan sakit, benturan ujung cambuk dengan pelindung tersebut akan menimbulkan suara yang keras. Tetapi, untuk penggunaan pelindung kulit binatang tersebut haruslah rapi dan hati-hati. Cara mengikat pada tubuh harus benar-benar kuat. Pemain Kuda Lumping mengupayakan menutupnya dengan kaos dalam, baru setelah itu mereka mengenakan baju atau kaos yang resmi. Fungsi kaos tersebut adalah untuk mengelabui penonton, sebab tanpa adanya kaos dalam maka penonton akan curiga.

(50)

Jika pemain Kuda Lumping kesulitan mendapatkan pelindung dari kulit, mereka biasanya menggunakan karton tebal. Ada juga pemain Kuda Lumping yang menggunakan pelindung dari bengkung atau ikat pinggang wanita yang melingkari perut secara berangkap-rangkap.

3. Bergulir pada Hamparan Duri Salak

Bagaimana kita tidak terheran-heran jika melihat atraksi kekebalan berguling pada hamparan duri salak yang terlihat tajam. Untuk mendapatkan kekebalan itu dikatakan oleh pemain debus haruslah belajar ilmu ghaib yang sangat berat. Sesungguhnya atraksi yang mereka lakukan itu hanyalah sebuah trik.

Mengapa para pemain Kuda Lumping atau debus selalu menggunakan duri salak? Rahasianya karena duri salak walau tajam dan panjang, namun memiliki sangat elastis sehingga ketika tertimpa oleh tubuh maka durinya akan rebah sehingga tidak menusuk kulit, apalagi kulit manusia sampai tekanan tertentu memiliki kekenyalan dan elastisitas yang tinggi. Setiap orang asal berani mencoba yakinlah tidak akan terjadi apa-apa, kecuali kulit orang tersebut akan sedikit memerah dan jikapun sampai lecet hanya akan mengenai kulit ari dan tidak pernah ada insiden duri salak akan masuk ke dalam tubuh pemain debus sebab mereka tahu tekniknya.

4. Mengunyah Beling dan Silet

Siapa yang tidak menggeleng-gelengkan kepala ketika para pemain Kuda Lumping dengan tenangnya mengunyah beling dan silet lalu ditelannya. Namun, semua itu ternyata ada tekniknya. Berikut ini penjelasan rahasianya.

(51)

a. Mengunyah Beling

Demonstrasi mengunyah dan memakan semprong lampu ini banyak dilakukan para pemain Kuda Lumping dan para pemain debus. Pada atraksi ini sebenarnya dapat dilakukan oleh siapa saja tidak perlu harus belajar ilmu ghaib yang aneh-aneh. Dalam memakan beling ini, biasanya pemain memilih beling yang tipis dan rapuh

seperti semprong lampu atau lampu neon yang terbuat dari

stum yang memang jika pecah

tidak tajam dan tidak membahayakan jika tertelan. Sebelum memakan beling pemain harus makan makanan yang lengket seperti pisang atau ketan. Fungsi makanan

tersebut akan mengamankan dan lebih melindungi usus dari kemungkinan adanya sisa-sisa beling yang tidak dapat dicerna. Untuk lebih amannya, sebelum dan sesudah atraksi makan beling tersebut para pemain Kuda Lumping atau debus makan makanan yang lengket. Kita tidak perlu menggolongkan keterampilan memakan beling sebagai permainan mistik dan magis, sebab sebagian besar orang dapat melakukannya asal tahu tekniknya dan berani.

Kunci atraksi makan beling adalah: • Tidak boleh ada gigi yang berlubang.

• Pilih jenis beling yang paling tipis dan paling rapuh seperti semprong lampu atau lampu neon.

• Beling (semprong lampu atau lampu neon) harus dikunyah sampai benar-benar halus barulah ditelan.

• Dalam mengunyah jangan ragu-ragu tetapi harus mantap dan tempatkan beling tersebut selalu diantara gigi.

Atraksi mengunyah beling. Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: Sumber: www.dimasnino.files.wordpress.

(52)

b. Mengunyah Silet

Satu lagi jenis permainan mengunyah yang lebih spektakuler yaitu mengunyah silet. Namun, rahasia permainannya juga tak jauh beda dengan cara mengunyah beling. Untuk melakukan atraksi ini seseorang jangan memilih jenis silet yang liat yang lebih rapuh dan mudah patah. Ada beberapa trik yang bisa dilakukan untuk membuat permainan ini lebih terkesan spektakuler, yaitu sebelum silet dikunyah dibuat untuk memotong-motong kertas terlebih dahulu.

Teknik pelaksanaannya adalah menghilangkan terlebih dahulu ketajaman silet dengan cara menggosokkannya pada benda-benda keras seperti besi, batu, dan sebagainya. Namun, sebagian kecil ujung dari salah satu sudut silet itu tajam, dan bagian itu nantinya akan digunakan untuk memotong-motong kertas. Penonton tak akan mengetahui trik tersebut kerena mereka menganggap bahwa seluruh bagian silet memiliki ketajaman semuanya.Ketika atraksi makan silet berlangsung seorang pemain harus tetap memegang ujung dari sudut silet yang masih tajam tersebut dan ujung silet tersebut dipatahkan dengan digigit lalu disembunyikan pada sela-sela jari jemari.

(53)

Bab 6

FUNGSI

DAN MAKNA SIMBOLIS

KUDA LUMPING

Menurut sejarah, seni Kuda Lumping lahir sebagai simbolisasi, bahwa rakyat juga memiliki kemampuan (kedigdayaan), dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elit kerajaan, yang memiliki bala tentara. Selain itu, menghadirkan hiburan yang murah meriah namun fenomenal kepada rakyat banyak.

A. Kuda Lumping sebagai Panggung Rakyat

dan Simbol Perlawanan Terhadap

Penguasa

Pada masa kekuasaan pemerintahan Jawa dijalankan di bawah kerajaan, aspirasi dan ruang berkreasil rakyat begitu dibatasi, karena perbedaan kelas dan alasan kestabilan kerajaan. Meski dalam kondisi tertekan, rakyat tidaklah mungkin melakukan perlawanan secara langsung terhadap penguasa. Rakyat sadar bahwa untuk melakukan perlawan, tidak cukup hanya dengan bermodalkan cangkul dan parang, namun dibutuhkan kekuatan dan kedigdayaan serta logistik yang cukup. Menyadari hal itu, akhirnya luapan perlawanan yang berupa sindiran diwujudkan dalam bentuk kesenian, yaitu Kuda Lumping.

Bab 6

FUNGSI

DAN MAKNA SIMBOLIS

KUDA LUMPING

(54)

Sebagai tontonan dengan mengusung nilai-nilai perlawanan, sebenarnya Kuda Lumping juga dimaksudkan untuk menyajikan tontonan yang murah untuk rakyat. Disebut sebagai tontonan yang murah meriah karena untuk memainkannya tidak perlu menghadirkan peralatan musik yang banyak sebagaimana karawitan. Dipilih kuda, karena kuda adalah simbol kekuatan dan kekuasaan para elit bangsawan dan prajurit kerajaan ketika itu yang tidak dimiliki oleh rakyat jelata. Permainan Kuda Lumping dimainkan dengan tanpa mengikuti pakem seni tari yang sudah ada dan berkembang dilingkungan ningrat dan kerajaan.

Dari gerakan tarian pemainnya tanpa menggunakan pakem yang sudah mapan sebelum-nya menunjukkan bahwa seni ini hadir untuk mem-berikan perlawanan terhadap kemapanan kerajaan.

B. Kuda Lumping sebagai Media Dakwah

Selain sebagai media perlawanan, seni Kuda Lumping juga dipakai oleh para ulama sebagai media dakwah, karena kesenian Kuda Lumping merupakan suatu kesenian yang murah dan cukup digemari oleh semua kalangan masyarakat, seperti halnya Sunan Kalijogo yang menyebarkan Islam atau dakwahnya lewat kesenian Wayang Kulit dan Dandang Gulo. Beliau dan para ulama Jawa juga menyebarkan dakwahnya melalui kesenian-kesenian lain yang salah satunya adalah seni Kuda Lumping.

Seni Kuda Lumping dulu merupakan simbol perlawanan terhadap penguasa. Sumber:

Sumber: Sumber: Sumber:

(55)

Bukti bahwa kesenian ini adalah kesenian yang mempunyai sifat dakwah dapat dilihat dari isi cerita yang ditunjukan oleh karakter para tokoh yang ada dalam tarian Kuda Lumping, tokoh-tokoh itu antara lain para prajurit berkuda, Barongan, dan Celengan. Dalam kisahnya para tokoh tersebut masing-masing mempunyai sifat dan karakter yang berbeda.

1. Simbol Kuda menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang penuh semangat, pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi serta keadaan apapun. Simbol kuda disini dibuat dari anyaman bambu. Anyaman bambu ini memiliki makna, dalam kehidupan manusia ada kalanya sedih, susah, dan senang, seperti halnya dengan anyaman bambu kadang diselipkan ke atas kadang diselipkan ke bawah, kadang ke kanan, juga ke kiri. Semua sudah ditakdirkan oleh yang kuasa, tinggal manusia mampu atau tidak menjalani takdir kehidupan yang telah digariskan-Nya.

2. Barongan dengan raut muka yang menyeramkan, matanya membelalak bengis dan buas, hidungnya besar, gigi besar bertaring serta gaya gerakan tari yang seolah-olah menggambarkan bahwa dia adalah sosok yang sangat berkuasa dan mempunyai sifat adigang, adigung, adiguno yaitu sifat semaunya sendiri, tidak kenal sopan santun dan angkuh.

3. Simbol Celengan atau babi hutan dengan gayanya yang

sludar-sludur,lari ke sana ke mari, dan makan dengan

rakus apa saja yang ada dihadapannya tanpa peduli makanan itu milik atau hak siapa, yang penting ia puas. Seniman Kuda Lumping mengisyaratkan bahwa orang yang rakus diibaratkan seperti Celeng atau babi hutan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA