Siapa sajakah yang dapat disebut sebagai orang fakir

Oleh: KH Ahmad Azhar Basyir

MA Islam mengajarkan bahwa memenuhi kebutuhan fakir miskin adalah kewajiban penguasa (pemerintah) dan menjadi beban kewajiban orang-orang kaya. Hak memperoleh kecukupan kebutuhan hidup bagi fakir miskin bila memang mengalami kelemahan untuk bekerja dalam memperoleh rizki. Atau bila mengalami kesukaran memperoleh pekerjaan sesuai dengan ketentuan agama, bukan bergantung kepada kebaikan hati orang yang diberi kuasa atas milik harta benda. Hak Fakir Miskin Ayat-ayat al-Quran yang menegaskan adanya hak fakir miskin tersebut antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:

Ayat 19 Surat adz-Dzariyat menegaskan bahwa hak orang-orang miskin yang meminta atau yang tidak meminta berada pada harta benda orang-orang yang takwa.

Ayat 24-25 Surat al-Ma’arij mengajarkan bahwa pada harta benda orang-orang yang menjalankan shalat tersedia hak tertentu bagi fakir miskin yang meminta atau yang tidak meminta.

Ayat 26 Surat al-Isra memerintahkan agar orang memberikan hak harta bendanya untuk mencukupkan kebutuhan hidup sanak kerabat orang miskin dan orang yang kehabisan perbekalan dalam perjalanan.

Ayat 14 Surat al-An’am memerintahkan agar hak harta benda hasil tanaman ditunaikan pada saat mengetam (waktu membayarkan zakat hasil tanaman ialah di waktu mengetam).

Dua Macam Hak Hak fakir miskin atas harta orang-orang kaya dapat dibagi menjadi dua:

Hak terbatas dan permanen. Yaitu yang berupa kewajiban zakat, yang ditentukan berapa kadarnya yang harus dibayarkan dan ditetapkan. Waktunya pembayaran dilakukan serta bersifat langsung, tidak pernah terputus. Meskipun orang yang memilikinya memerlukan harta yang sudah waktunya dibayarkan zakatnya. Kewajiban zakat ini merupakan kewajiban minimum atas harta si kaya yang dapat secara langsung disampaikan sendiri kepada fakir miskin yang berhak atau diserahkan kepada negara yang menyelenggarakan pengumpulan dan pembagian zakat.

Hak tidak terbatas dan tidak permanen. Yaitu yang dapat disebut infak untuk kepentingan umum. Hak macam kedua ini mempunyai kedudukan amat penting dalam ajaran Islam. Hak ini diberikan pada saat-saat mendesak, dalam keadaan-keadaan luar biasa, baik yang dialami oleh negara maupun oleh individu-individu. Misalnya, dalam keadaan perang yang memerlukan biaya persenjataan amat besar atau dalam keadaan paceklik epidemi dan sebagainya yang untuk mengatasinya diperlukan bantuan harta orang-orang kaya. Hak ini bersifat insidental berapa yang diperlukan amat bergantung kepada keadaan yang ketentuannya diserahkan kepada penguasa. Dalam keadaan seperti ini, infak dimaksudkan bukan bergantung pada suka rela mereka yang berharta tetapi merupakan kewajiban agama yang dapat dipaksakan terhadap mereka yang tidak mau mengindahkan. Sumber: artikel “Fungsi Harta Benda dan Wakaf Menurut Islam” karya Ahmad Azhar Basyir (Almanak Muhammadiyah 1394 H/1974 M, hal. 77-78). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id dengan penyuntingan.

Editor: Arif

Sumber:  //ibtimes.id/dua-macam-hak-fakir-miskin-atas-harta-si-kaya/

Dalam wacana kaum sufi atau secara sufistik, maka tentu saja makna fakir tidak semata-mata dikalkulasikan dengan konteks materi yang kasat mata. Dalam pandangan Farid Al-Din ‘Aththar, misalnya, kefakiran merupakan rangkaian tahapan dari perjalanan sp

Seorang pembaca tulisan perkenalan saya yang lalu mengingatkan bahwa pengertian fakir dan miskin-nya, terbalik. Berbeda dengan Oom Jon Pakir, Dul Pakir ini bukan lulusan pesantren, melainkan hanya sekolah madrasah sore hari pada masa kecil. Dan kemungkinan besar definisi itu memang terbalik. Dalam tulisan saya terdahulu, "fakir adalah orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal". Sedangkan miskin adalah "orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa”. Dan lantas uraian saya, berkembang sesuai dengan logika itu.Yang betul, kata pembaca yang mengoreksi, fakir, adalah mereka yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan, untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Sedangkan, miskin adalah mereka yang mempunyai harta dan pekerjaan, namun tidak mencukupi kebutuhan primer mereka.Ada yang mencatat lebih ilustratif bahwa, fakir adalah sangat melarat, bahwa kalau seseorang membutuhkan harta untuk bisa hidup layak sebanyak 10 rupiah namun hanya memiliki tiga rupiah; sementara miskin adalah orang miskin sedang, bahwa kalau seseorang membutuhkan harta untuk bisa hidup layak sebanyak 10 rupiah namun hanya memiliki tujuh rupiah. Jadi fakir itu kondisinya di bawah miskin. Kalau pengertian ini yang dipakai, maka pengertian saya dalam tulisan terdahulu, bahwa miskin itu di bawahnya fakir, adalah keliru. Tapi, apakah telah sepenuhnya keliru?Coba kita baca uraian Ustadz Quraish Shihab mengenai “Kemiskinan”, dalam bukunya “Wawasan Al-Qur’an” (Mizan, cetakan XVII, 2006). Ustadz Quraish mengulas soal dua istilah itu dalam konteks menjelaskan hakikat kemiskinan. “Kemiskinan dan pengentasannya,” catat Ustadz Quraish, “termasuk persoalan kemasyarakatan, yang faktor penyebab dan tolok ukur  kadarnya, dapat  berbeda akibat perbedaan lokasi dan situasi. Karena itu  Al-Quran  tidak  menetapkan  kadarnya,  dan  tidak  memberikan petunjuk operasional yang rinci untuk pengentasannya.”Selanjutnya, kita baca uraian Ustadz Quraish berikut ini: “Dalam  Kamus  Besar  Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan rendah).  Sedangkan  fakir diartikan sebagai orang yang sangat berkekurangan; atau sangat miskin.”“Dari bahasa aslinya (Arab) kata  miskin  terambil  dari  kata sakana yang  berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung.  Faqir  adalah orang  yang  patah  tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan”  tulang punggungnya.”    “Sebagai  akibat  dari  tidak  adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran  untuk  kedua  istilah  tersebut,  para  pakar  Islam berbeda  pendapat  dalam  menetapkan tolok ukur kemiskinan dan kefakiran.”“Sebagian mereka berpendapat  bahwa  fakir  adalah  orang  yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah yang berpenghasilan di  atas  itu,  namun  tidak cukup   untuk  menutupi  kebutuhan  pokoknya.  Ada  juga  yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan  si fakir relatif lebih baik dari si miskin.”Membaca keterangan Ustadz Quraish, agak lega juga. Sepenggal kalimat “Ada  juga  yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan  si fakir relatif lebih baik dari si miskin, ”seolah mengkonfirmasi bahwa, apa yang saya tulis terdahulu tidak sepenuhnya salah juga".Tapi, sungguh, saya tak hendak mengajak untuk berpolemik secara fiqiyah tentang definisi fakir dan miskin itu. “Al-Quran  dan hadis tidak menetapkan angka tertentu dan pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan  di  atas dapat  saja  berubah,” catat Ustadz Quraish.  Namun, tambahnya,  yang  pasti, Al-Quran menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu.Ustadz Quraish,  mencatat, “Islam  tidak  menjadikan  banyaknya  harta sebagai  tolok  ukur kekayaan, karena kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati dan kepuasannya.”Dalam literatur lain saya temukan, bahwa diskursus soal parameter fakir dan miskin, memang sudah dibahas oleh kalangan ulama sejak pada masa lampau, di mana mereka pun memiliki pandangan yang berbeda: mana yang lebih parah kondisinya, fakir ataukah miskin? Sebagian ulama cenderung memandang bahwa fakir lebih parah kondisinya daripada miskin. Ada lagi yang berpendapat fakir itu sama dengan miskin. Ada pula pendapat yang menyatakan miskin lebih parah kondisinya daripada fakir. Yang jelas mereka adalah kaum papa yang berhak memperoleh zakat. By the way, sudahkah anda mengkonsultasikan pada ahli zakat, apakah secara materi anda termasuk yang sudah wajib membayar zakat (mal)? Mungkin pertanyaan inilah, hikmah dari “kekeliruan” tulisan saya terdahulu.Dalam wacana kaum sufi atau secara sufistik, maka tentu saja makna fakir tidak semata-mata dikalkulasikan dengan konteks materi yang kasat mata. Dalam pandangan Farid Al-Din ‘Aththar, misalnya, kefakiran merupakan rangkaian tahapan dari perjalanan spiritual seorang mukmin. Tahapan tersebut adalah thalab (pencarian), ‘isyq (cinta), ma’rifah (pengenalan), istighna’ (merasa puas), faqr (kefakiran) dan fana’ (lebur). Ini perlu penjelasan lebih lanjut dari yang ahli sufi.Dari khasanah sufi, dicatat: seorang yang fakir adalah bilamana dia tidak memperoleh apa pun, dia diam; dan bilamana dia memperolah sesuatu, dia memandang orang lain lebih berhak memperolehnya dari pada dirinya, sehingga karenanya dia mudah memberikannya. Kefakiran adalah lautan kesulitan, dan semua kesulitan demi Dia adalah kemuliaan. Orang fakir yang qanaah dan ikhlas akan mendapatkan pahala. Sedangkan fakir yang rakus sama sekali tidak mendapatkan pahala dari kemiskinannya itu. Kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin dan fakir, karena kesabaran mereka. Wallahua’lam. Sungguh, Dul Pakir ini, sangat dangkal ilmunya, dan manakala ada “kekeliruan”, tentulah sangat berharap untuk dapat diluruskan. Dengan demikian, kita akan tetap terus belajar. (***)Penulis adalah dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah.

Oleh Alfan AlfianEditor: Bambang

COPYRIGHT © ANTARA 2010

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA