Salah satu kasus yang diselesaikan melalui pengadilan HAM Ad Hoc adalah

Pengadilan Hak Asasi Manusia (“HAM”) Ad Hoc

Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi  sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”), sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 43 UU Pengadilan HAM, yang berbunyi:

  1. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.

  2. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

  3. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.

Adapun yang dimaksud dengan pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[1]

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:[2]

  1. membunuh anggota kelompok;

  2. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

  3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;

  4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau

  5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:[3]

  1. pembunuhan;

  2. pemusnahan;

  3. perbudakan;

  4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

  5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

  6. penyiksaan;

  7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

  8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

  9. penghilangan orang secara paksa; atau

  10. kejahatan apartheid.

Sebagai catatan, berdasarkan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM di atas, pengadilan HAM ad hoc menganut asas retroaktif atau berlaku surut, hal ini juga telah kami jelaskan dalam artikel Pengadilan HAM Ad Hoc Bersifat Retroaktif?.

Menurut Penjelasan Umum UU Pengadilan HAM, terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif.

Selain itu, ketentuan lain yang dapat dijkadikan dasar penggunaan asas retroaktif dalam pengadilan HAM adalah Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), yang menegaskan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pengadilan HAM

Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat,[4] yang merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum.[5] Tugas dan kewenangan dari pengadilan HAM adalah, sebagaimana definisinya, memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat.[6] Yang dimaksud dengan "memeriksa dan memutus" termasuk juga menyelesaikan perkara yang menyangkut kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[7]

Sebagai catatan, pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia,[8] namun tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.[9]

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hal utama yang membedakan antara pengadilan HAM dengan pengadilan HAM ad hoc adalah bahwa pengadilan HAM ad hoc dikhususkan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM.

Hukum Acara Pengadilan HAM Ad Hoc

Menjawab pertanyaan Anda mengenai mekanisme peradilan dalam pengadilan HAM ad hoc, adalah benar sebagaimana yang Anda sampaikan bahwa mekanismenya sama dengan Pengadilan HAM. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 44 UU Pengadilan HAM.

Adapun mekanisme peradilan, atau yang dikenal dengan hukum acara, di pengadilan HAM sendiri diatur khusus dalam UU Pengadilan HAM sebagai lex specialis (aturan khusus) dari aturan hukum acara pidana yang berlaku secara umum. Namun, untuk hal-hal yang tidak diatur dalam UU Pengadilan HAM, maka yang berlaku adalah hukum acara pidana pada umumnya.[10]  

Di antara ketentuan hukum acara khusus yang diatur dalam UU Pengadilan HAM adalah kewenangan penyelidikan yang diberikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (“Komnasham”),[11] dan kewenangan penyidikan di tangan Jaksa Agung.[12] Adapun mengenai pengaduan yang Anda tanyakan, Komnasham sebagai penyelidiklah yang berhak menerima laporan atau pengaduan.[13]

Selain itu, mengenai pembentukan pengadilan HAM ad hoc yang menurut Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dilakukan atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang memang berwenang untuk itu.[14] Selain itu, Putusan MK 18/2007 juga telah menyatakan bahwa kata “dugaan” dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (hal. 95), sehingga, sebagaimana dijelaskan dalam DPR Tak Bisa Lagi Tentukan Sendiri Dugaan Pelanggaran HAM, Hakim Konstitusi Natabaya menjelaskan bahwa DPR tak boleh serta merta menduga sendiri tanpa memperoleh hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnasham dan Kejaksaan Agung dalam mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-V/2007.

[1] Pasal 7 UU Pengadilan HAM

[2] Pasal 8 UU Pengadilan HAM

[3] Pasal 9 UU Pengadilan HAM

[4] Pasal 1 angka 3 UU Pengadilan HAM

[5] Pasal 2 UU Pengadilan HAM

[6] Pasal 4 UU Pengadilan HAM

[7] Penjelasan Pasal 4 UU Pengadilan HAM

[8] Pasal 5 UU Pengadilan HAM

[9] Pasal 6 UU Pengadilan HAM

[10] Pasal 10 UU Pengadilan HAM

[11] Pasal 18 ayat (1) UU Pengadilan HAM

[12] Pasal 21 ayat (1) UU Pengadilan HAM

[13] Pasal 19 ayat (1) huruf b UU Pengadilan HAM

Didalam lingkungan Peradilan Umum, ada Pengadilan HAM sebagai salah satu Pengadilan Khusus yang tugasnya buat menangani pelanggaran HAM di Indonesia.

Pengadilan HAM di Indonesia sendiri ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat sementara. Nah, pengadilan HAM yang bersifat sementara itu disebut juga dengan Pengadilan HAM Ad Hoc.

Kenapa kok, pengadilan HAM Ad Hoc disebut sifatnya sementara? Sebenarnya apa sih, yang dimaksud dengan Pengadilan HAM Ad Hoc itu?

Kamu penasaran dan ingin tahu? Makanya, yuk langsung aja simak ulasannya yang ada dibawah ini!

Apa Itu Pengadilan HAM Ad Hoc?

Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan suatu pengadilan yang dibentuk buat menangani pelanggaran HAM yang sifatnya berat dan juga merugikan.

Dimana, bisa dilakukan baik itu oleh seseorang atau kelompok terhadap orang lain atau kelompok lainnya.

Tujuan dari pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc ini yaitu buat melindungi HAM dan memberikan perlindungan, keadilan, kepastian, dan perasaan aman atau memelihara perdamaian buat setiap orang atau kelompok masyarakat.

Sedangkan menurut pendapat dari Mahfud MD dan Jimly Asshiddique, Pengadilan HAM Ad Hoc yaitu:

Salah satu pengadilan yang mempunyai sifat gak permanen dan dibentuk cuma buat menangani suatu peristiwa atau pelanggaran HAM tertentu aja.

Tujuannya yaitu buat mengurangi tindak kejahatan dan pelecehan terhadap HAM buat seseorang ataupun kelompok masyarakat tertentu.

Di Indonesia sendiri juga ada istilah Pengadilan HAM Ad Hoc sebagai salah satu Pengadilan HAM yang di bentuk di lingkungan Peradilan Umum.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia, Pengadilan HAM Ad Hoc sendiri di pahami sebagai suatu pengadilan yang dibentuk dan punya wewenang buat menangani pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU No. 26 Tahun 2000 dibentuk dan diberlakukan di Indonesia.

Jadi, Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia juga gak berwenang terhadap pelanggaran HAM umum, tapi cuma akan dibentuk buat menangani pelanggaran HAM tertentu aja yang terjadi sebelum dasar hukumnya di bentuk.

Sifat Pengadilan HAM Ad Hoc

Ada beberapa sifat dari pengadilan HAM Ad Hoc tersebut, diantaranya yaitu sebagai berikut ini:

1. Bersifat Khusus

Pengadilan HAM Ad Hoc mempunyai sifat khusus terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM tertentu aja.

Karena, Pengadilan HAM Ad Hoc gak dipakai buat menangani pelanggaran HAM secara umum. Kondisi ini juga berlaku buat Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia.

Makanya, Pengadilan HAM Ad Hoc ini mempunyai sifat khusus, karena pelanggaran HAM yang ditangani juga sifatnya khusus atau tertentu aja.

Apalagi di Indonesia Pengadilan HAM Ad Hoc cuma bisa menangani pelanggaran HAM yang diajukan oleh DPR, dimana pelanggaran itu terjadi sebelum UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM di Indonesia diberlakukan.

Jadi, pelanggaran HAM yang berat setelah diberlakukan dasar hukum tentang Pengadilan HAM gak ditangani oleh Pengadilan HAM Ad Hoc.

Makanya, Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia juga bersifat khusus.

Ada beberapa contoh kasus pelanggaran HAM berat yang ditangani oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, yaitu:

  • Pelanggaran HAM yang terjadi di Tanjung Priok, dimana terjadi peristiwa kerusuhan pada 12 September 1984 yang menyebabkan banyak korban tewas, luka-luka, dan merusak fasilitas.
  • Peristiwa upaya Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia, dimana dianggap ada pelanggaran HAM didalamnya selama proses integrasi berlangsung.

Contoh kasus Pengadilan HAM Ad Hoc itu adalah peristiwa yang terjadi sebelum dibentuknya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Jadi, pelanggaran HAM yang terjadi didalamnya yaitu suatu kewenangan Pengadilan HAM buat ditangani, karena bagian dari jenis pelanggaran HAM yaitu Extraordinary Crimes.

2. Bersifat Sementara

Pengadilan HAM Ad Hoc juga mempunyai sifat sementara atau gak permanen.

Di Indonesia hal itu juga bisa di lihat dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dimana Pengadilan HAM Ad Hoc akan dibentuk saat DPR mengusulkan adanya peristiwa tertentu yang dianggap sebagai pelanggaran HAM.

Usulan itu pastinya juga didasarkan pada Keputusan Presiden dan peristiwa yang diusulkan terjadi sebelum Undang-undang tersebut diberlakukan di Indonesia.

Dimana, nantinya Pengadilan HAM Ad Hoc akan berwenang menangani perkara tersebut aja sampai menghasilkan putusan yang seadil-adilnya.

Artinya, kalo Pengadilan HAM Ad Hoc ini cuma bersifat sementara, dimana kalo ada suatu kejadian atau pelanggaran HAM tertentu aja.

3. Bersifat Retroaktif

Retroaktif yaitu sebagai suatu hukum yang bisa mengubah konsekuensi hukum terhadap peristiwa atau perkara hukum yang ada sebelum hukum dibelakukan.

Konsekuensi itu bisa berupa mengurangi atau bahkan membebaskan seseorang dari hukuman atas tindakannya.

Makanya, karena Pengadilan HAM Ad Hoc sendiri di Indonesia diberlakukan buat punya wewenang terhadap pelanggaran yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diberlakukan, maka Pengadilan HAM Ad Hoc juga di pahami punya sifat retroaktif.

Emang banyak perdebatan mengenai sifat Pengadilan HAM Ad Hoc yang satu ini, terutama disebabkan karena dianggap menyimpang dari UUD 1954 sebagai hukum dasar di Indonesia.

Tapi, sesuai dengan Putusan MK No. 065/PUU-II/2004, dinyatakan kalo Pengadilan HAM Ad Hoc gak bertentangan dengan UUD 1945.

Walaupun, Pengadilan HAM Ad Hoc mengesampingkan asas non-retroaktif tapi hal itu dilakukan dengan sangat hati-hati, sesuai dengan beberapa hal berikut ini:

  • Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc cuma buat peristiwa tertentu aja, dimana dibatasi dengan locus delicti dan tempus delicti dan gak buat semua pelanggaran atau peristiwa HAM secara umum.
  • Pengadilan HAM Ad Hoc cuma dibentuk atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR sebagai wakil rakyat Indonesia sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku. Hal tersebut berarti, kalo sebenarnya rakyatlah yang menentukan kapan pelanggaran HAM yang berat membutuhkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc yang mana berlangsung sebelum UU Pengadilan HAM diberlakukan.

Syarat Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc

Dimana, dalam pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc ini harus memenuhi beberapa syarat seperti dibawah ini:

  • Ada dugaan kejahatan atau pelanggaran terhadap HAM berat yang sebelumnya udah dilakukan penyelidikan dulu oleh Komnas HAM Indonesia.
  • Peristiwa atau pelanggaran terhadap HAM berat tersebut juga harus sudah dilakukan penyeledikan oleh Kejahatan Agung Indonesia.
  • Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc harus didasarkan atas usul atau rekomendasi dari DPR sebagai wakil rakyat Indonesia, disertai juga dengan tempus dan locus delicti tertentu.
  • Dikeluarkannya Keputusan Presiden atau Keppres yang menyatakan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc buat menangani peristiwa atau pelanggaran HAM berat tersebut.

Itulah tadi penjelasan lengkap mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc yang perlu kalian semua ketahui.

Semoga pembahasannya mudah dipahami dan bermanfaat. Jangan lupa share ke teman-teman kalian yak 😀

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA