Nasab seorang anak harus dihubungkan kepada ayahnya dengan syarat kelahiran paling sedikit

Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc, MA Tue 29 October 2013 06:24 | 41307 views

Bagikan lewat

Maha besar Allah SWT yang sudah mnciptakan hambaNya berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan, yang keduanya saling membutuhkan satu dengan  yang lain. Maka menikah adalah satu-satunya jalur resmi yang harus ditempuh agar keduanya bisa bersatu dalam keridhoaan Allah SWT.

Menikah adalah cara terhormat bagi manusia untuk melestarikan keturunan mereka, agar bisa terus tumbuh dan hidup di muka bumi ini. “Menikahlah kalian dan perbanyaklah keturunan, karena saya akan bangga dengan banyaknya jumlah kalian nanti di hari kiamat”, begitu salah satu pesan Rasulullah SAW.

Maka dalam tabiatnya rasanya tidak ada perempuan yang menikah dengan maksud agar tidak mempunyai keturunan, bahkan kita akan mendapati berbagai macam cara yang ditempuh oleh sepasang suami istri jika dalam kurun waktu tertentu belum nampak bagi mereka cikal-bakal keturunan, ikut program ini dan itu, semua dilakukan sebagai usaha agar mereka semua dikarunia anak keturunan.

Usia Kehamilan Versi Fiqih

Para ulama fiqih menyepakati bahwa umur bayi yang berada di dalam kandungan ibunya minimal enam bulan, batasan ini disandarkan kepada sebuah atsar (perkataan sahabat) bahwa dulunya ada seorang laki-laki yang menikah, lalu dalam kurun waktu enam bulan dari pernikahannya mereka sudah memperoleh anak. Melihat kenyataan seperti ini maka Utsman bin Affan ra. seakan kaget, dan terdetik didalam hatinya untuk menghukum mereka dengan sangkaan zina, lalu datanglah Ibnu Abbas ra, kemudian beliau memberikan penjelasan.

Mula-mula, Ibnu Abbas membacakan potongan sebuah sebuah ayat berikut:

وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا

“Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(QS. Al-Ahqaf: 15)

Lalu kemudian Ibnu Abbas melanjutkan penjelasannya dengan membaca ayat lainnya:

وَالْوَالِدَاتُ يَرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ   

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh” (QS. Al-Baqarah: 233)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat yang pertama memberikan penjelasan kepada kita tentang rentang  waktu kehamilan hingga menyapih anak dari susuan ibunya selama tiga puluh bulan, sedang ayat kedua menjelaskan kepada kita tentang waktu menyusui yaitu selama dua tahun (atau sama dengan dua puluh empat bulan).

Jadi jika waktu hamil sampai menyapih dikurangi waktu menyusui maka hasilnya adalah enam bulan, dan itulah sekurang-kurangnya umur kehamilan.

Waktu tersebut dihitung dari adanya aqad nikah dan adanya kemungkinan berkumpulnya suami dan istri, begitu menurut mayoritas ulama, sedang dalam madzhab Hanafi waktu tersebut terhitung dari mulai adanya aqad saja.

Sedangkan untuk umur kehamilan paling lama, disini para ulama fiqih berbeda pendapat, ada yang berpendapat umurnya sembilan bulan, ada juga yang berpendapat umurnya dua tahun, pendapat lainnya menyebutkan empat tahun, dan ada lagi yang berpendapat bahwa usia kehamilan paling lama itu adalah lima tahun. Semua pendapat itu berdasarkan data-data riwayat kehamilan yang didapat, baik melalui riwayat atau juga lewat data usia kehamilan yang ada pada masyarakat dimana mereka hidup.

Penjelasan tentang umur kehamiln ini bisa kita temukan dibanyak kitab-kitab fiqih, seperti pada kitab Bidayah Al-Mujtahid, Juz 2, hal. 352, Al-Bada’i' wa As-Shana’i', juz 3, hal 211, Mughni Al-Muhtaj¸ juz 3, hal. 373, dan kitab Al-Mughni¸ juz 7, hal. 477-480, serta kitab-kitab lainnya.

Usia Kehamilan Versi Kedokteran

Dalam dunia kedokteran, normalnya usia kandungan itu berkisar antara 32 sampai 42 minggu. Jika kurang dari umur 32 minggu itu disebut dengan prematur, dan jika lebih dari 42 minggu disebut dengan posmatur.

 Dan biasanya bayi prematur itu umurnya tidak kurang dari 28 minggu. Memang ada bayi yang terlahir dibawah usia 28 minggu, akan tetapi kelahiran seperti ini sangat memprihatinkan, berat bayi biasanya kurang dari 1000 gr (1 kg), untuk itu kemungkinan hidup sangat sulit.

Dunia kedokteran juga mengenal istilah abortus, untuk kelahiran dalam usia kandungan kurang dari 20 minggu, dan biasanya berat cabang bayi juga kurang dari 500 gr (0,5 kg). Kelahiran dalam katagori ini lebih sangat tidak mungkin, karena yang seperti ini dianggap keguguran, dan memang istilah abortus itu sendiri artinya adalah keguguran.

Hanya bayi prematur sajalah yang kemungkinan bisa diselamatkan, dan pastinya bayi prematur itu terlahir dari usia kandungan diatas 20 minggu dan dibawah 32 minggu.

Jadi, dari penjelasan ini setidaknya kita akan mendapat titik temu antara pendapat fiqih dan pendapat kedokteran, dimana hanya bayi yang lahir prematur sajalah yang memungkinkan untuk hidup, rentang waktunya berkisar antara usia di atas 20 minggu (diatas 5 bulan) hingga usia 32 minggu (8 bulan).

 Jika kurang dari sana, maka dalam fiqih maupun kedokteran yang seperti ini sangat sulit terjadi (untuk tidak meyebutnya mustahil), karena kelahiran abortus dengan usia kehamilan dibawah 20 minngu, dan biasanya juga dengan berat badan kurang dari 500gr sangat sulit untuk selamat, apalagi untuk hidup hingga dewasa dengan sempurna.

Perbedaan dalam Memahami Hadits

Rasulullah SAW bersabda:

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

Artinya: “Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah  batu (dihukum)(HR. Bukhari dan Muslim)

Kata al-Firasy pada hadits diatas difahami dengan makna hubungan pernikahan (az-zaujiyyah), artinya anak itu bisa dinasabkan jika orang tuanya memiliki hubungan pernikahan dengan ibunya. Namun disini ada sedikit perbedaan antara mayoritas ulama dengan mazdhab Hanafi:

Jumhur ulama berpendapat bahwa hubungan pernikahan yang dimaksud dalam kata al-firasy pada hadits di atas, harus memenuhi dua unsur sekaligus.

  • Adanya aqad yang sah
  • Memungkin dari aqad yang sah itu terjadinya kehamilan

Jika sang suami dari aqad yang sah tadi ternyata mempunyai penyakit impoten, maka anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut dipertanyakan. Atau jika ternyata istri melahirkan dalam usia kehamilan kurang dari enam bulan setelah aqad, maka yang demikian juga dipertanyakan. Atau jika seandainya terjadi aqad nikah jarak jauh, dimana tidak memungkinakna bagi suami istri ini bertemu dalam rentang enam bulan setelah aqad, maka jika dalam keadaan seperti ini ternyata istrinya melahirkan, maka anak ini dipertanyakan.

Lebih tegasnya tidak hanya dipertanyakan, namun menurut jumhur (mayoritas) ulama kasus seperti ini tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibu tersebut. Mungkin secara biologis kita bisa menasabkan anak tersebut dengan ayahnya, namun secara syariat itu tidak boleh dilakukan.

Berbeda dengan pendapat mazdhab Hanafi. Imam Al-Kasani dalam kitabnya Bada’i’ As-Shona’i', juga Ibnu Abdin dalam kitabnya menyebutkan bahwa sebatas adanya aqad nikah yang sah, maka cukup sudah alasan kita untuk menasabkan anak yang terlahir setelah aqad tersebut walaupun mungkin dalam anggapan kita mereka tidak bertemu, dengan syarat bahwa kelahiran tersebut minimal setelah enam bulan usia kehamilan setelah aqad.

Jadi pada akhirnya semua ulama tetap berpatokan kepada usia minimal kehamilan, dan sejauh yang penulis ketahui tidak ada pendapat yang berbeda perihal batasan minimal usia kehamilan. Enam bulan itu adalah satu-satunya angka yang disepakati oleh para ulama fiqih.

Jadi jika ada anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan usia pernikahan, maka indikasi kuatnya bahwa sudah terjadi pembuahan sebelum aqad, yang semestinya itu tidak boleh terjadi, karena yang demikian adalah perbuatan yang sangat keji dalam Islam, walaupun dalam hal ini hakim yang berwenang juga harus hati-hati dalam memutuskan perkara ini.

Mayoritas ulama menjadikan wali itu sebagai rukun nikah, artinya tidak sah suatu pernikahan jika tidak ada walinya. Keharusan adanya wali menurut jumhur ulama didasarkan pada banyak dalil, baik dari Al-Quran maupun dari Sunnah, antara lain firman Allah SWT :

 وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواَ

 “Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik hingga mereka beriman”.. (QS. Al-Baqarah : 221)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa dalam sebuah pernikahan itu harus ada wali yang tugasnya menikahkan seorang wanita dan bukan wanita itu yang menikahkan dirinya sendiri.

Di samping itu Rasulullah SAW yang menegaskan bahwa menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap berzina.

 أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ

 Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil, nikahnya itu batil dan nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)

 لاَ نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ

 Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,"Tidak ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan Empat)

 Di dalam hadits yang lain juga disebutkan :

 لاَ تُزَوِّجُ المَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تَزَوِّجُ نَفْسَهَا

 Dari Abi Hurairah radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Janganlah seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR. Ad-Daruquthny) 

 Abdullah bin Abbas juga memberikan fatwanya terkait masalah perwalian ini, dimana beliau mengatakan :

 كُلُّ نِكاَحٍ لَمْ يَحْضُرْهُ أَرْبَعَةٌ فَهُوَ سِفَاحٌ: الزَّوْجُ وَوَلِيُّ وَشَاهِدَا عَدْلٍ

 Semua pernikahan yang tidak dihadiri empat pihak maka termasuk zina : suami, wali dan dua saksi yang adil.

Urutan Wali dan Wali Hakim

Ulama-ulama mazhab yang empat sedikit berbeda pendapat terkait masalah tertib wali, namun di negri kita pendapat mazdhab Syafi’i lebih masyur dipakai. Imam Nawawi dalam kitabnya Raudhah At-Thalibin menuliskan bahwa tertib wali dalam madzhab Syafi’i itu adalah sebagai berikut:

Ayah kandung, ayahnya ayah (kakek), saudara kandung, saudara seayah, anak laki-laki dari saudara kandung, anak lak-laki dari saudara seayah, paman kandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung, dan anak laki-laki dari paman seayah, kemudian hakim.

Kaidah perwalian itu adalah mereka yang masuk dalam katagori ashabah, yaitu keluarga laki-laki dari pihak ayah, bukan dari pihak ibunya.

Sedang wali hakim itu berguna untuk menikahkan siapa saja yang tidak mendapati wali yang akan menikahkannya. Rasulullah SAW bersabda:

فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ

“Sulthan (hakim) adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)

 Fatwa MUI

Dalam fatwa MUI nomor:  11 Tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya berisikan penjelasan berikut:
  1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah,  waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
  2. Anak hasil zina  hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
  3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya
  4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
  5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk:

a.       mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;

b.      memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.

6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

Kompilasi Hukum Islam

 Dalam pasal 99 KHI berbunyi bahwa anak yang sah adalah:

  1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
  2. Hasil pembuahan suami istri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut

Pasal 100 KHI berbunyi: “ Anak yang lahir diluar perkawin hanya mempunyai hubungn nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Hal yang senada juga ada dalam pasal 42 UU Perkawinan, bab IX no 1 Tahun 1974. Diijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah, yang masuk dalam katagori ini adalah:

  1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu perkawinan yang sah.
  2. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
  3. Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.

Sesuai dengan KHI, maka akibat hukum yang muncul jika anak yang dilahirkan berstatus sebagai anak diluar perkawina adalah:

Jika seorang anak telah dihukumkan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan sebagaimana disebutkan diatas, maka terdapat beberapa akibat hukum menyangkut hak dan kewajiban antara anak, ibu yang melahirkannya dan ayah/bapak alaminya (genetiknya), yaitu :

a. Hubungan Nasab

Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan, dinyatakan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.

Hal demikian secara hukum anak tersebut saama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik) tersebut merupakan laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu.

Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara beban yang diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya dengan laki-laki yang menjadi ayah genetik anak tersebut, namun ketentuan demikian dinilai menjunjung tinggi keluhuran lembaga perkawinan, sekaligus menghindari pencenaran terhadap lembaga perkawinan.

b. Nafkah

Oleh karena status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya semata, maka yang wajib memberikan nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya saja.

Sedangkan bagi ayah/bapak alami (genetik), meskipun anak tersebut secara biologis merupakan anak yang berasal dari spermanya, namun secara yuridis formal sebagaimana maksud Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam diatas, tidak mempunyai kewajiban  hukum memberikan nafkah kepada anak tersebut.

Hal tersebut berbeda dengan anak sah. Terhadap anak sah, ayah wajib memberikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti nafkah kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya, sesuai

dengan penghasilannya, sebagaimana ketentuan Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, dalam hal ayah dan ibunya masih terikat tali perkawinan.

Apabila ayah dan ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan memberi nafkah kepada anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana maksud Pasal 105 huruf (c) dan Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.

Meskipun dalam kehidupan masyarakat ada juga ayah alami/genetik yang memberikan nafkah kepada anak yang demikian,maka hal tersebut pada dasarnya hanyalah bersifat manusiawi, bukan kewajiban yang dibebankan hukum sebagaimana kewajiban ayah terhadap anak sah. Oleh karena itu secara hukum anak tersebut tidak berhak menuntut nafkah dari ayah/bapak alami (genetiknya).

c. Hak – Hak Waris

Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang dikemukakan, maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam : “ anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarganya dari pihak ibunya”. Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan ayah/bapak alami (genetiknya).

d. Hak Perwalian

Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat darti perbuatan zina (diluar perkawinan) tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka ayah/bapak alami (genetiknya) tidak berhak atau tidak sah menjadi wali niksahnya, sebagaimana ketentuan wali nikah dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam.

Wallahu A'lam Bisshowab

Baca Lainnya :

more...

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA