Mengapa pertahanan tidak diserahkan kepada pemerintah daerah?

TEMPO Interaktif, Jakarta:Presiden Abdurrahman Wahid setuju kewenangan masalah keamanan dilimpahkan ke daerah dan dipegang oleh gubernur selaku kepala daerah. Namun, teknis pelimpahan tersebut akan dibicarakan antara Polri, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah serta Asosiasi Pemerintahan Propinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Demikian dikatakan oleh ketua APPSI, R. Nuryana kepada wartawan usai bertemu Presiden di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (3/4).

Dikatakan, gubernur sebagai kepala wilayah mempunyai kewajiban menjaga keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Kalau tidak disertai dengan kewenangan keamanan, pemerintah daerah sangat sulit untuk menentukan sikap. Untuk itu, kewenangan pertahanan dan keamanan yang ada di pusat diusulkan untuk diberikan kepada daerah. “Sehingga tugas dan kewajiban kami untuk melaksanakan ketentraman dan ketertiban daerah mempunyai back-up dari pemerintah pusat.” ujar Nuryana yang juga Gubernur Jawa Barat.

Presiden menyadari bahwa pemerintah pusat pun mengalami kesulitan bila harus mengkoordinasikan masalah keamanan di daerah. Karena, selama ini pemerintah daerah tidak mendapat kewenangan di bidang tersebut. Namun, kata Nuryana, seyogyanya kewenangan keamanan bagi pemerintah daerah itu tidak berlaku jika terjadi pemberontakan atau makar. Karena hal itu telah menyangkut lingkup nasional dan bukan lagi kewenangan daerah.

Selama ini, pelaksanaan ketentraman dan ketertiban langsung berada di bawah kepolisian, dalam hal ini Kapolda, yang berkoordinasikan dengan Pemda.

Sementara itu, Kapuspen Polri Irjen (Pol) Didi Widayadi, melihat pelimpangan wewenang itu bisa dilakukan jika hanya sebatas penegakan peraturan daerah. Karena itu, tidak tepat Gubernur memperoleh kewenangan dalam masalah pertahanan dan keamanan di daerah.

Ia mengungkapkan, ada beberapa hal penting yang menjadi pertimbangan mengapa konsep kepolisian nasional lebih dipilih. Pertama, kecenderungan kejahatan kini telah berkembang meliputi bidang dan wilayah yang sangat luas. Tidak hanya mencakup lintas propinsi atau lintas daerah tetapi juga telah mencapai lintas negara. “Jadi polisi muatan lokal malah akan menjadi tidak kompetitif,” ungkapnya.

Selain itu, polisi memiliki tanggung jawab penegakan hukum yang berlaku secara nasional. “Akan sangat rawan jika penegakan hukum berada di bawah wewenang eksekutif di daerah (pemerintah daerah),” ujar Kapuspen. Pemerintah daerah sebenarnya tidak dapat bertanggung jawab pada masalah keamanan umum, seperti kejahatan negara (makar, pelecehan kepala negara) atau kejahatan internasional, seperti narkotika. Selain itu, dari segi anggaran, pendanaan polisi diatur dari pusat (Mabes Polri), dan “tidak pernah dibenarkan dari daerah.”

Ia juga menambahkan bahwa sebenarnya dari segi historis, kepolisian Indonesia awalnya berkembang dari kepolisian daerah dan kmudian menjadi kepolisian nasional. Karena dianggap lebih sesuai. Desentralisasi kepolisian berarti mengingkari proses sejarah itu. Jadi, apabila sistem kepolisian diubah menjadi terdesentralisasi, maka diperlukan perombakan terhadap sistem kepolisian secara keseluruhan.

Hal senada diungkapkan Adrianus Meliala. Menurut Kriminolog UI ini, desentralisasi kepolisian akan berdampak pada penafsiran hukum yang berbeda-beda di setiap daerah. Selama ini, dengan menganut sistem kepolisian nasional, terjadi penafsiran yang berbeda antara kepolisian dan instansi lainnya dalam sistem peradilan pidana. “Tetapi itu wajar. Tetapi bukan malah terjadi di antara polisi sendiri,” katanya.

Sebenarnya, secara struktur dan tradisi, kepolisian Indonesia sudah terbiasa dengan konsep Kepolisian Nasional. Sehingga, kalau statusnya dialihkan ke daerah, akan ada banyak hal yang harus diubah. Kendati demikian, ia mengakui ada sejumlah kelemahan yang dimiliki oleh sistem kepolisian nasional. Pertama, kepolisian cenderung lambat bergerak terhadap situasi. “Misalnya ada kecenderungan untuk melempar kasus ke tingkat yang lebih tinggi jika kepolisian pada tingkat yang rendah merasa tidak mampu untuk menanganinya,” jelasnya.

Akibatnya, proses penanganan menjadi lebih panjang dan memakan waktu. Selain itu, pihak kepolisian tidak terlalu sensitif terhadap keragaman situasi di setiap daerah. Padahal masing-masing daerah memiliki kekhasannya tersendiri. Bahkan karena bertanggung jawab pada pusat, Kepala Kepolisian di daerah (Kapolda atau Kapolres) dinilai tidak memiliki loyalitas terhadap daerah.

Namun kelemahan itu bukannya tidak bisa diperbaiki. Sebagai jalan tengah, Adrianus mengusulkan adanya dekonsentrasi kepolisian, yaitu dengan mengurangi intervensi pusat terhadap daerah dalam memberdayakan kemampuan kepolisian di daerah. “Sehingga polisi daerah dapat memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah dengan lebih baik, tanpa harus selalu meminta bantuan kepada Jakarta,” tegasnya. Caranya antara lain melalui penambahan sumber daya manusia dan meningkatkan kualifikasinya, serta meningkatkan fasilitas bagi Kendali Operasional Daerah (KOD).

Di samping itu, kepolisian daerah juga harus meningkatkan akuntabilitasnya supaya tidak dikontrol oleh gubernur atau Dewan Perwakilan Daerah I (DPRD I). Menurut amandemen UU No. 28/Tahun 1997 tentang Kepolisian, kata Adrianus, diperlukan perangkat-perangkat publik yang dapat mengawasi kinerja kepolisian di daerah, untuk menjadi masukan bagi pengambil keputusan di Jakarta. “Dengan demikian tetap ada akses publik yang mengontrol akuntabilitas polisi kendati telah ada dekonsentrasi,” ungkapnya. (MIS/Dara Meutia Uning/Siti Marwiyah)

Jakarta -

Pemerintah Pusat Republik Indonesia memiliki enam kewenangan dalam menjalankan pemerintahan. Wewenang ini dilimpahkan kepada Pemerintah Pusat sebagai pemegang komando negara.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengartikan Pemerintah Pusat sebagai Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tidak semua urusan merupakan area wewenang dari Pemerintah Pusat. Kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah sebagai berikut:

1. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara2. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas negara3. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah provinsi atau lintas negara4. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat

5. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional

Berdasarkan kriteria tersebut dan dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, kewenangan Pemerintah Pusat dibagi menjadi enam bentuk yakni urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, hukum, agama, dan moneter/keuangan.

Simak penjelasannya di bawah ini.

1. Urusan Politik Luar Negeri

Sebagai negara yang berpartisipasi aktif dalam membangun hubungan internasional dengan negara lain, Pemerintah Pusat memiliki wewenang untuk mengatur urusan yang menyangkut politik luar negeri. Segala kebijakan mengenai politik luar negeri diatur oleh Pemerintah Pusat.

2. Urusan Pertahanan

Dalam urusan pertahanan, Pemerintah Pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah guna mewujudkan pertahanan negara yang kuat dan solid. Hal ini karena menjaga pertahanan negara berkaitan dengan menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seperti misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan keadaan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negaa dalam keadaan bahaya, dll.

3. Urusan Keamanan

Wewenang Pemerintah Pusat dalam mengatur keamanan nasional meliputi keamanan di darat, laut, maupun udara. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Pusat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah agar keamanan nasional dapat tercapai secara maksimal.


4. Urusan Hukum

Urusan hukum menyangkut penegakan hukum dalam skala nasional. Pemerintah Pusat memiliki wewenang mengatur sistem hukum maupun menentukan pihak yang bertanggung jawab pada lembaga hukum terkait.

Seperti misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, memberikan grasi, dll.

5. Urusan Agama

Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk memeluk agamanya sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Hak tersebut diatur oleh Pemerintah Pusat dan dilindungi oleh Undang-undang.

6. Urusan Moneter

Pemerintah Pusat memiliki wewenang untuk membuat kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter mencakup kebijakan pengaturan uang yang dimiliki oleh negara untuk menjaga keseimbangan internal yaitu pertumbuhan ekonomi dan keseimbangan eksternal yaitu keseimbangan neraca pembayaran. Sementara kebijakan fiskal bertujuan untuk menstabilkan ekonomi negara melalui pajak dan suku bunga.

Itulah enam kewenangan Pemerintah Pusat yang perlu kamu pahami. Dalam pelaksanaannya, kewenangan Pemerintah Pusat tidak dapat berjalan sendiri. Perlu koordinasi yang baik dengan Pemerintah Daerah agar persatuan negara tetap utuh dan makmur.

Simak Video "Zelensky Minta Eropa Larang Tayangkan TV Pemerintah Rusia"



(pal/pal)

Oleh Liputan6 pada 09 Nov 2000, 06:41 WIB

Diperbarui 09 Nov 2000, 06:41 WIB

Perbesar

Liputan6.com, Jepara: Menjelang penerapan otonomi daerah pada Januari 2001 mendatang, tugas pemerintah bukan semakin enteng. Pasalnya, sistem pertahanan dan keamanan tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sementara itu, pemerintah daerah hanya diberikan kewenangan mengelola dan memberikan tambahan anggaran terhadap penanganan masalah pertahanan dan keamanan, disesuaikan kemampuan wilayah masing-masing. Penegasan ini disampaikan Ketua Komisi I Yasril Ananta Baharuddin, baru-baru ini di Jakarta. Menurut Yasril, penerapan otonomi daerah tidak akan berpengaruh terhadap sistem pertahanan dan keamanan. Soalnya, tanggung jawab penanganan pertahanan dan keamanan masih tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan kesepakatan bersama antara DPR, Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI. Dalam kesepakatan itu, menurut Yasril lagi, pemerintah daerah hanya dibatasi untuk mengelola pertahanan dan keamanan. Alhasil, daerah akan tetap memiliki kewenangan yang luas untuk menggunakan fasilitas pertahanan dan keamanan sesuai kebutuhan daerahnya.

Dalam pemahaman Yasril, mulai Januari 2001 mendatang, pemerintah pusat akan mengalihkan seluruh kewenangannya ke daerah secara bertahap termasuk penanganan sistem pertahanan dan keamanan. Namun, keberhasilan pengalihan kewenangan tersebut masih bergantung pada kepemimpinan daerah dan kecakapannya dalam mengelola sistem pertahanan dan keamanan.(BMI/Machmud dan Joseph H.L.)

TOPIK POPULER

POPULER

  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • 5
  • 6
  • 7
  • 8
  • 9
  • 10

Berita Terbaru

Berita Terkini Selengkapnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA