Mengapa pers disebut sebagai pilar ke 4 demokrasi

BAEHAQI-Direktur Jawa Pos Radar Semarang

RADARSEMARANG.ID – Tanggal 9 Februari (lusa) 37 tahun lalu merupakan hari paling bersejarah bagi insan pers. Hari itu ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional (HPN) oleh Presiden Soeharto melalui Surat Keputusan RI No 5 Tahun 1985. Dewan Pers kemudian menetapkan HPN diperingati setiap tahun.

Boleh jadi HPN yang seusia kewartawanan saya itu mengalami ujian yang sangat berat. Euforia media sosial dan menjamurnya media online belum memberikan kesempatan untuk terjadi ekuilibrium baru. Eksistensi pers sebagai sendi demokrasi keempat masih tergerogoti.

Pers yang dulu diidentikkan sebagai media cetak sudah melebar. Media online menyamakan diri sebagai pers. Reporter televisi pun meleburkan diri dalam dunia jurnalistik. Bahkan belakangan para pegiat media sosial juga minta diakui sebagai wartawan. Belum lagi banyaknya media dan wartawan abal-abal.

Dalam Undang-Undang Pers memang semua lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, baik cetak maupun elektronik, disebut pers. Jumlahnya sekarang puluhan ribu. Dewan Pers sebagai pembina tidak menjangkau seluruhnya. Perkembangan pers lantas menjadi “liar”.

Sebagai saluran berkembangnya demokrasi barangkali sangat baik. Masyarakat lebih memiliki ruang untuk menyuarakan aspirasi. Tetapi sebagai pilar, banyak orang yang mempertanyakan. Yang mengkhawatirkan kalau pers tidak dipercaya lagi oleh masyarakat lantas demokrasi bisa jadi hancur. Sebab, pers telah diakui sebagai pilar terakhir demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Repotnya lagi, ada orang yang mengatakan pers sekarang diambang kehancuran. Pertanyaannya, pers yang mana? Kalau merujuk pada perusahaan, media cetaklah yang paling menjadi tersangka. Media itu digencet sana sini. Biaya produksinya melambung tidak keruan. Terutama setelah pandemi covid melanda dunia. Seiring dengan itu, pembacanya mengalami penurunan. Ladang ekonominya telah menjadi bancaan seluruh media.

Baca juga:  Pernah Diinterogasi Petugas dan Didatangi Preman

Penelitian boleh menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media tinggal 40 persen. Kalau angka ini rata-rata pasti ada yang tinggi dan ada yang rendah. Koran yang memiliki sistem jauh lebih rapi memiliki peluang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Tentu tidak semua koran. Hanya koran yang memiliki manajemen baik yang bisa menjaga kualitas.

Koran yang berkualitas akan tetap dicari orang. Untuk mengkonfirmasi banyaknya informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Baik yang beredar melalui media sosial, media online recehan, maupun media abal-abal.
Menjadikan media cetak pada kasta tertinggi tentu tidak gampang. Kunci utamanya ada pada idealisme yang menyunsum di seluruh relung insan di dalamya. Baik manajemen maupun wartawan.

Sekarang, media cetak digerogoti oleh beban ekonomi yang sangat tinggi. Banyak yang kemudian gulung tikar. Banyak pula yang menutup mata terhadap idealisme itu. Malah mereka mempertaruhkan integritas. Maka, lagi-lagi, hanya perusahaan dengan manajemen baiklah yang bisa mempertahankan eksistensinya. Dan, dengan begitu bisa mempertahankan idealismenya juga.

Baca juga:  Masih Kepikiran Liputan saat Jadi Korban Bencana

Sebenarnya bukan hanya media cetak yang berat. Media elektronik juga demikian. Televisi yang menjamur juga menghadapi tantangan. Apalagi tidak lama lagi memasuki dunia baru. Televisi digital. Perang besar terjadi di sini. Bisa jadi modal yang besar akan mengalahkan idealisme.
Media online tidak lepas permasalahan. Tumbuhnya bak jamur di musim penghujan memaksa tidak seluruh media hidup sehat. Mereka memang tidak terbebani oleh biaya cetak. Tetapi penghasilan yang terbatas bisa membikin mata terpejam juga.

So, semua media mengalami tantangan sendiri-sendiri. Namun seluruhnya dituntut untuk menegakkan idealisme sebagai pilar demokrasi. Selamat Hari Pers Nasional. Semoga tetap jaya. (*)


 

Jakarta (PWI News) - Jika di masa lalu ada pendapat bahwa pers menjadi pilar keempat demokrasi setelah lembaga yudikatif, legislatif dan yudikatif, maka dewasa ini pilar keempat demokrasi cenderung dikuasai oleh para pemilik bisnis/pengusaha pers, kata pakar ilmu komunikasi Prof. DR M. Alwi Dahlan.

"Pilar keempat ini berkembang tidak lagi mewakili kau pers yang semula diwakili para wartawan/jurnalis dan redaktur/editor, yang berpengaruh dan punya pendapat objektif untuk kemaslahatan masyarakat. Tetapi, makin lama makin dikuasai oleh penerbit atau pemilik/pengusaha, kapitalis atau investor yang datang di luar industri pers, kaum politisi, yang melihat pers lebih sebagai alat untuk mencari keuntungan atau menunjang kekuasaan politik," ujarnya di Jakarta, Rabu.

Guru Besar ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta tersebut mengemukakan pendapatnya itu dalam pertemuan tokoh pers nasional guna membahas rancang bangun pers Indonesia di Sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Gedung Dewan Pers Lantai 4, Jakarta.

Dalam pertemuan yang dibuka Ketua PWI Pusat, H. Margiono, dan dipandu oleh dua Anggota Dewan Penasehat PWI, Sabam Siagian dan Tribuana Said, itu Alwi Dahlan juga mengemukakan bahwa operasional pers bukan lagi murni, tetapi kait-berkait dengan berbagai kepentingan dalam kehidupan modern yang global, antara lain industri periklanan global, sejumlah institusi ideologi dan kepentingan khusus, antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Selain itu, Alwi Dahlan mengarisbawahi, pentingnya pendidikan bagi wartawan berkaitan dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi informasi (TI) yang mempengaruhi pergeseran karakter media massa. "Media baru yang dipengaruhi teknologi informasi semakin mengarah ke user-generated content, interaktif, berjejaring sosial, ekonomi pro-konsumen dan fenomena iklan per klik," katanya menambahkan

Sementara itu, Agung Adiprasetyo selaku CEO Kelompok Kompas Gramedia (KKG) berpendapat, berbagai kondisi dan situasi beberapa tahun belakangan ini memperlihatkan konvergensi media membuat masyarakat sudah mengarah ke "cerdas sendiri", dengan kata lain mereka semakin banyak yang merasa banyak mendapatkan informasi dari Internet dibanding media massa.

"Persoalannya adalah bagaimana kita, masyarakat pers, menangkap tren dan fenomena konten yang diinginkan publik. Apalagi, publik melalui media Internet dapat memproduksi kontennya sendiri," ujarAgung menambahkan.

Peserta pertemuan tersebut secara umum juga membahas antara lain:

Pengantar oleh H. Margiono,
-.Diskusi ini bertujuan menampung pemikiran dan masukan untuk perumusan Rancang Bangun Masa,

-.Depan Pers Nasional.
-.Dalam jangka pendek ini, sebagai bagian dari Rancang Bangun Masa Depan Pers Nasional, tengah dirumuskan naskah ratifikasi perusahaan pers.

Tahapan
Tahapan pembuatan Rancang Bangun yang diusulkan: (1) merumuskan traget yang ingin dicapai; (2) mendalami kondisi pers saat ini; (3) merancang strategi yang akan dijalankan; dan (4) upaya pelaksanaan strategi yang sudah dirancang.

Rangkuman Gagasan Peserta Diskusi:


1.Pers sebagai pilar keempat demokrasi.

Konsep pers sebagai pilar keempat demokrasi makin kurang populer dan tidak mendapat perhatian dalam ilmu komunikasi. Pers telah berkembang dari “pengabdian kepada masyarakat’ ke arah “usaha bisnis” sehingga seringkali memunculkan konflik antara wartawan dengan pemilik perusahaan pers. Wartawan harus sering berdialog dengan pemilik media untuk mengatasi konflik ini.


Lembaga pers seperti Dewan Pers awalnya dibentuk sebagai bentul self-regulation di bidang pers. Kemudian di masa Orde baru berubah menjadi regulator. Saat ini Dewan Pers banyak berperan sebagai mediator untuk penyelesaian sengketa pers.


Pers Indonesia telah berkembang sangat baik karena masyarakat saat ini memiliki banyak pilihan media massa mana yang akan dikonsumsinya.


Banyaknya pers yang buruk adalah cerminan kondisi ekonomi-sosial masyarakat. Seiring perbaikan ekonomi-sosial masyarakat, pers buruk juga akan berkurang. Sekarang banyak media massa di daerah yang sangat bergantung pada iklan dari pemerintah daerah. Hal ini terjadi karena memang pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut belum seperti di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya yang memiliki banyak perusahaan pengiklan.

2.  Masa Depan Media Massa.
Ada perubahan ke arah “media massa baru” yang muncul dalam berbagai bentuk dan perkembangannya cenderung tidak mampu dikontrol oleh siapapun.

Sifat dari media massa baru tersebut antara lain: (1)Dikuasai oleh pemrakarsanya dan atau pemilik modalnya. Redaktur/wartawan tidak lagi berkuasa menentukan arah pemberitaan. (2)Terjadi perubahan pola konsumsi “media massa baru” yaitu melalui Internet, hand phone, atau media elektronik lainnya. Oplah media cetak cenderung turun. (3)Sesama media massa saling berkaitan satu dengan lainnya.(4)Perubahan pola pemasangan iklan.(5)Informasi berubah dan berkembang dengan sangat cepat.(6)Sangat interaktif dengan pembacanya, bersifat dinamis dan lebih lengkap sehingga dapat memenuhi keinginan publik. (7)Terjadi konvergensi, penggabungan cetak-audio-visual.

Dengan sifat “media massa baru” tersebut, fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi tidak lagi ditentukan oleh pers sendiri tapi juga oleh masyarakat melalui interaksinya dengan pers, dan media-media baru yang tersedia seperti blog.


Menghadapi pola perkembangan media massa baru, pola penulisan berita dan pengelolaan perusahaan pers juga harus disesuaikan.


Pembicaraan mengenai perkembangan pers seringkali melupakan generasi baru yang muncul saat ini. Padahal untuk membahas pers masa depan harusnya berangkat dari kecenderungan minat generasi baru tersebut.

Ke depan ada fenomena atau pragmatisme baru di bidang pers yang perlu ditangkap oleh pers.

Saat orang membaca koran ia berharap mendapat informasi yang lebih lengkap dibanding yang didapat dari media online (situs berita). Namun, media online saat ini terus menerus dan dengan sangat cepat meng-update informasinya. Sehingga bisa jadi informasi yang didapat di koran tidak ada yang baru lagi karena sebelumnya sudah muncul di Internet.


Saat ini pengiklan di media online sudah mulai hanya mau membayar sesuai berapa banyak orang yang melihat atau meng-klik iklan yang dipasangnya. Demikian juga, ada kecenderungan nantinya wartawan akan dibayar sesuai berapa banyak orang membaca berita yang ditulisnya.

Di masa depan profesi wartawan akan tetap dibutuhkan, yang berubah hanya format media massa.Media cetak ke depan bukan bisnis informasi tercepat tapi informasi terkredibel. Rancang Bangun yang akan dibuat dapat diarahkan untuk membangun kemampuan pers membuat informasi yang kredibel ini.

Perlu dikaji kode etik jurnalistik dan kurikulum pendidikan jurnalistik yang relevan dengan perkembangan teknologi media massa.

3.  Profesionalisme Wartawan.
Untuk meningkatkan profesionalisme wartawan, dapat dirancang strategi pendidikan wartawan secara bersama-sama, misalnya strategi dalam jangka waktu tiga tahun ke depan.


Bank Dunia pernah menawarkan kerjasama untuk melakukan serangkaian program pendidikan bagi wartawan. Dana program kerjasama tersebut disumbangkan oleh Bank Dunia, Pemerintah Indonesia, dan kalangan pers. Namun rencana ini tidak berjalan.


Dibutuhkan banyak sekolah jurnalistik (schools of journalism) untuk memasok jurnalis profesional, selain sekolah sejenis Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Jakarta, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS), dan Lembaga Penelitian Pendidikan dan  Penerbitan Yogyakarta (LP3Y).


Banyak yang berminat untuk menjadi wartawan televisi. Namun rata-rata mereka belum memahami seperti apa pekerjaan wartawan itu. Gambaran yang bisa diberikan kepada mereka yang berminat menjadi wartawan antara lain: (1) wartawan bisa menjadi kaya, tapi tidak kaya sekali; (2) wartawan bekerja 24 jam; (3) menjadi wartawan berisiko tinggi; (4) wartawan memiliki fungsi kontrol sosial; (5) wartawan harus selalu menjalani pendidikan untuk peningkatan profesionalisme.


Wartawan perlu belajar manajemen pers karena perusahaan pers sangat terkait dengan manajemen. Jika wartawan alergi terhadap manajemen, dia bisa merugikan perusahaan.


Tayangan infotainmen banyak sekali melanggar kode etik jurnalistik. Cara wartawan infotainmen mencari informasi sering kali melanggar prinsip etika.

Dapat diterbitkan jurnal yang isinya dapat dijadikan tolok ukur perkembangan pers nasional.

Saat ini sudah ada beberapa lembaga pendidikan jurnalistik (seperti LPDS, Stikosa-AWS dan LP3Y). Perusahaan pers perlu dianjurkan mengirim wartawannya untuk belajar jurnalistik ke lembaga-lembaga tersebut.

4.Perlindungan kemerdekaan pers.
Harus diperjuangkan hak konstitusional kemerdekaan pers dalam UUD 1945 dan reformasi politik hukum negara dari kriminalisasi pers ke dekriminalisasi pers.


UU Penyiaran mengancam wartawan lima tahun penjara. Dengan ancaman lima tahun ini, wartawan yang dilaporkan sudah bisa ditahan selama 40 hari.


Wartawan harus dilindungi dari sogokan dengan meningkatkan kesejahteraannya.


Komunitas pers harus banyak melobi pembuat UU agar tidak muncul peraturan atau UU yang menghambat kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi. Hal ini penting dilakukan karena belakangan muncul UU yang dapat mengancam kebebasan, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).


Perlindungan terhadap kebebasan pers sama dengan perlindungan terhadap semua kebebasan berpendapat.

Masukan untuk draft ratifikasi:

Ratifikasi adalah rencana jangka pendek yang bertujuan agar perusahaan melekatkan diri pada kode etik jurnalistik, standar kompetensi wartawan, dan standar lain yang telah dibuat.

Lima masalah yang belum diputuskan oleh tim kecil dari Dewan Pers, PWI, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Idonesia (IJTI), dan Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) yang merumuskan draft ratifikasi.

Tim kecil itu diketuai Wina Armada Sukardi, kemudian Priyambodo RH (sekretaris), H. Margiono, Nezar Patria, Margiyono/Megi, Imam Wahyudi, S. Albanjari, M. Ridlo 'Eisy (anggota).

Draft pertama tersebut sebagai berikut:

                                 Piagam/Kesepakatan1 Jakarta/Bali 2/Agustus3

Piagam Kesepakatan Perusahaan Pers di Jakarta/Bali/, Agustus

Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud dari kedaulatan rakyat berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, supremasi hukum, hak asasi manusia, dan profesionalitas. Kemerdekaan pers merupakan sarana hakiki warga negara/masyarakat4 untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna meningkatkan dan mengembangkan mutu kehidupan dan penghidupan manusia. Oleh karena itu kemerdekaan pers perlu dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, bangsa, negara, dan kemanusiaan.

Dalam mewujudkan kemerdekaan pers serta melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya, pers mengakui adanya kepentingan umum, keberagaman masyarakat, hak asasi manusia, dan norma-norma agama yang tidak dapat diabaikan. Agar pelaksanaan kemerdekaan pers secara operasional dapat berlangsung sesuai dengan makna dan asas kemerdekaan pers yang sesungguhnya, maka dibutuhkan pers yang profesional, tunduk kepada Undang-Undang tentang Pers, taat terhadap Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan didukung oleh perusahaan pers yang sehat serta dapat diawasi dan diakses secara proporsional oleh warga negara/masyarakat luas.

Atas dasar itulah kami, perusahaan pers yang bertandatangan dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari naskah ini, dengan niat untuk ikut melaksanakan, menjaga, dan menjamin tegaknya kemerdekaan pers, secara sukarela dan penuh tanggung jawab, dengan ini menyatakan dan mengikatkan diri pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Kami menyetujui dan sepakat, bersedia melaksanakan sepenuhnya Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Kompetensi Wartawan, dan ketentuan lain yang dikeluarkan oleh Dewan Pers5 serta akan menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan kami.

  1. Kami menyetujui dan sepakat, memberikan mandat kepada (a)6 lembaga independen yang dibentuk dan didukung oleh mayoritas masyarakat pers Indonesia/ (b) lembaga independen yang dibentuk Dewan Pers/ (c) Dewan Pers melakukan verifikasi kepada kami/para penandatangan naskah ini untuk menentukan penerapan terhadap kesepakatan ini. Kepada lembaga itu kami juga memberikan mandat penuh untuk membuat logo dan atau tanda khusus yang diberikan kepada perusahaan pers yang dinilai oleh lembaga tersebut telah melaksanakan kesepakatan ini.

  1. Kami menyetujui dan sepakat, logo dan atau tanda khusus yang dikeluarkan oleh lembaga yang diberi mandat untuk itu akan kami cantumkan dalam produk penerbitan atau penyiaran kami. Cara dan aturan terhadap pencantuman logo dan atau tanda khusus sepenuhnya menjadi kewenangan masing-masing dari perusahaan pers.

  1. Kami menyetujui dan sepakat, logo dan atau tanda khusus yang diberikan kepada perusahaan pers berlaku lima tahun/sepuluh tahun/selamanya.

  1. Kami menyetujui dan sepakat, menyatakan membuka kesempatan kepada perusahaan pers hanya memberlakukan beberapa bagian atau bagian tertentu saja dari Standar Perusahaan Pers, Standar Kompentensi Wartawan, dan ketentuan lain yang dikeluarkan oleh Dewan Pers selama masa transisi 2 (dua) tahun sejak naskah kesepakatan ini disetujui dan ditandatangi bersama. Setelah masa transisi 2 (dua) tahun, semua penandatangan kesepakatan ini menyatakan bersedia melaksanakan sepenuhnya Standar Perusahaan Pers, Standar Kompentensi Wartawan, dan ketentuan lain yang dikeluarkan oleh Dewan Pers serta akan menerapkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan-ketentuan yang berlaku di perusahaan pers kami.

  1. Kami menyetujui dan sepakat, perubahan terhadap naskah ini, baik sebagian maupun keseluruhan hanya dapat diberlakukan berdasarkan persetujuan mayoritas para penandatangan naskah ini.


-.Kalimat “dan ketentuan lain yang dikeluarkan oleh Dewan Pers” di dalam draft perlu dihapuskan karena tidak jelas dan bisa dipersoalkan.


-.Melalui ratifikasi, penegakan etika tidak lagi hanya dibebankan kepada Dewan Pers dan organisasi wartawan tetapi juga ke perusahaan pers.


-.Ada kekhawatiran ratifikasi yang memasukkan kode etik jurnalistik ke dalam peraturan perusahaan pers akan dijadikan alat oleh pemilik perusahaan pers untuk menekan wartawan.


-.Penutup Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa pemberian sanksi terkait pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dilakukan oleh perusahaan pers dan atau organisasi pers. Dengan program ratifikasi maka perusahaan pers akan melekatkan diri untuk menjalankan kode etik dengan memberi sanksi pada wartawannya yang melanggar kode etik.)

Dalam pertemuan yang berlangsung sekira dua jam tersebut dihadiri pula oleh sejumlah tokoh pers, H. Margiono, Sabam Siagian, Tribuana Said, Prof. DR Alwi Dahlan, Agung Adiprasetyo, Sabam Leo Batubara, Ishadi SK, Endy Bayuni, DH Assegaff, Atmakusumah Astraatmadja, Sofyan Lubis, Zulkarimein Nasution, Wina Armada dan Astrid B. Soerjo. (*)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA