Mengapa Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia

Sumber foto: //bit.ly/3HdVhnv/elshinta.com.

Elshinta.com - Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan oleh pihak Belanda. Kedua belah pihak lalu beberapa kali duduk bersama untuk mencapai kesepakatan di mana puncaknya terjadi pada akhir Desember 1949. Pada 27 Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan (atau soevereiniteitsoverdracht yang berarti penyerahan kedaulatan) Indonesia sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB, Ronde Tafel Conferentie) di Den Haag, Belanda. Pengesahan penyerahan kedaulatan ini dilakukan di dua tempat, yakni Jakarta, Indonesia dan Amsterdam, Belanda. Selain Belanda dan Indonesia, ada satu pihak yang terlibat di dalam KMB saat itu, yaitu United Nations Commissioner of Indonesia (UNCI) yang bertindak sebagai penengah. Perundingan yang berlangsung lama dan diselingi beberapa perdebatan alot akhirnya menghasilkan sebuah perjanjian dengan isi yang di antaranya pengakuan Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat dan Irian Barat dijadikan negara terpisah. Sebelum penyerahan kedaulatan, Sukarno telah terpilih sebagai presiden RIS dengan Hatta sebagai Perdana Menterinya. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

Namun, RIS hanya seumur jagung karena pada pertengahan 1950 resmi dibubarkan yang kemudian berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta Konferensi Meja Bundar (KMB) atau De Ronde Tafel Conferentie (RTC) merupakan pertemuan antara pihak Belanda, Indonesia, dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) atau negara federal bentukan Belanda di Indonesia. Momen penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ini dilakukan pada 23 Agustus sampai 2 November 1949.

KMB yang digelar di Den Haag, Belanda itu bertujuan untuk menyelesaikan masalah antara Indonesia dan Belanda yang sudah sekian lama terjadi. Seperti diketahui, Belanda pernah menjajah wilayah Indonesia selama ratusan tahun. Sejak 1942, Belanda menyerah kepada Jepang sehingga wilayah Indonesia diambil-alih oleh Dai Nippon.

Indonesia akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945 setelah Jepang kalah dari Sekutu di Perang Dunia II. Namun, Belanda kemudian datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. Pada 18 Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer II terhadap Indonesia dan melanggar Perjanjian Renville yang telah disepakati.

Sebelumnya, Belanda juga pernah melancarkan Agresi Militer I sebagai bentuk pelanggaran Perjanjian Linggarjati. Agresi Militer II membuat Belanda mendapat kecaman dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dunia internasional.

Terlebih, Belanda menangkap beberapa pemimpin Republik Indonesia termasuk Ir. Sukarno, Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, dan beberapa menteri kabinet yang saat itu bertugas di ibu kota sementara, Yogyakarta.

Kendati begitu, Indonesia masih eksis karena kekuasaan pemerintahan sempat dialihkan ke Sumatera Barat dan dijalankan oleh Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara dan kawan-kawan.

Penangkapan terhadap para pemimpin RI yang dilakukan Belanda membuat PBB dan beberapa negara memberikan dukungan kepada Indonesia. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB memberi teguran terhadap Belanda dan menuntut dikembalikannya seluruh petinggi RI serta pemulihan pemerintahannya.

Tanggal 4 April 1949, digelar Perundingan Roem-Royen antara Belanda dan Indonesia. Perundingan ini berakhir pada 7 Mei 1949 dan menghasilkan beberapa kesepakatan, di antaranya persetujuan diadakannya KMB di Den Haag, kembalinya pemerintahan Republik ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949, dan penerapan gencatan senjata.

Setelah itu, perundingan antara pihak RI dan BFO dilakukan. Pertemuan ini disebut sebagai Konferensi Inter-Indonesia, dilaksanakan pada 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta dan 31 Juli-3 Agustus di Jakarta. BFO atau Majelis Permusyawaratan Federal adalah sebuah komite yang terdiri dari 15 pemimpin negara bagian dan daerah otonom di dalam Republik Indonesia Serikat (RIS).

Presiden Sukarno memerintahkan gencatan senjata di Jawa sejak 11 Agustus 1949. Sedangkan untuk Sumatera perintah tersebut dimulai pada 15 Agustus 1949. Perintah ini merupakan bagian dari persiapan sebelum digelarnya KMB.

Indonesia membentuk delegasi pada 11 Agustus 1949 yang akan turut dalam perundingan KMB di Den Haag, Belanda. Selain Mohammad Hatta sebagai ketua delegasi, beberapa tokoh juga dilibatkan. Mereka adalah Mohammad Roem, Mr. Supomo, Dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, Sukiman, Mr. Sujono Hadinoto, Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, dan Mr. Muwardi.

Sementara delegasi dari BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) yaitu negara federal bentukan Belanda di Indonesia adalah Sultan Hamid II.

Sedangkan Delegasi Belanda dalam KMB yakni Johannes Henricus van Maarseveen, Willem Dress, dan J. A. Sassen.

Sejarah 27 Desember: Pengakuan Kemerdekaan Indonesia oleh Belanda. liputan6.com

JABAR | 27 Desember 2020 05:30 Reporter : Andre Kurniawan

Merdeka.com - Indonesia memiliki sejarah panjang dalam mencapai kemerdekaannya. Pada 17 Agustus 1945, kata merdeka akhirnya berhasil didapatkan melalui proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno. Ya, hingga saat ini kita sebagai rakyat Indonesia merayakan hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus.

Sayangnya, sejarah perjuangan kemerdekaan kita tidak berhenti sampai di situ. Karena Belanda, yang dikatakan telah menguasai wilayah Indonesia sejak abad ke-16, tidak mau mengakui kemerdekaan yang didapat bangsa Indonesia kala itu.

Pihak Belanda seperti tidak rela jika wilayah koloninya lepas begitu saja. Alih-alih memberi selamat, Belanda justru mengirimkan 120 ribu pasukan menuju Tanah Air untuk melancarkan agresi militernya. Perang pun akhirnya kembali pecah.

Perang revolusi ini pun dimulai sejak setelah Soekarno membacakan teks Proklamasi, hingga Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Tercatat lebih dari 300 ribu orang Indonesia dan 6.000 orang di pihak Belanda gugur dalam perang ini.

2 dari 5 halaman

Agresi militer yang dilakukan oleh Belanda terjadi sebanyak dua kali, yang sampai saat ini kita kenal sebagai peristiwa Agresi Militer I dan Agresi Militer II. Tujuannya sudah jelas, ingin kembali menjadikan Indonesia sebagai sapi perah bangsa Belanda.

Mengutip dari situs Radio Netherlands Worldwide (RNW), pihak Belanda menolak untuk menyebut konflik ini dengan istilah "perang kolonial". Mereka tidak ingin mengakui bahwa konflik yang sedang terjadi melibatkan dua negara.

Sebagai gantinya, Belanda menyebut pengiriman pasukan menuju Indonesia ini sebagai "Aksi Polisionil". Ya, dari pada menggambarkan situasi ini sebagai konflik dua negara, Belanda justru menganggapnya sebagai masalah internal Belanda.

Pertempuran kala itu tidak hanya melibatkan bedil dan bambu runcing, tapi juga perang urat saraf di atas meja perundingan. Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan kedaulatan dari Belanda.

Mulai dari Perjanjian Linggarjati, Renville, hingga Roem-van Roijen, perundingan pun akhirnya berujung pada penyerahan kedaulatan dari Negeri Belanda ke Republik Indonesia, tepat pada 27 Desember 1949.

Kabar tersebut disambut kegembiraan. Koran Australia, Canberra Times, ikut menggambarkan bagaimana suasana Indonesia dalam artikel "Indonesia Opens New Chapter as Sovereign State", yang dimuat pada 28 Desember 1949. Salah satu cuplikan dalam artikel tersebut berbunyi, "Drum berhias pita merah putih ditabuh di Jawa, Sumatra, Bali, Kalimantan, hingga Timor."

Belanda pun akhirnya menutup lembaran terakhir dari kisah penjajahannya di tanah Nusantara yang telah berlangsung selama lebih dari 300 tahun.

3 dari 5 halaman

liputan6.com

Penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda ke Indonesia digelar tiga kali. Pertama, di gelar di Amsterdam, tepatnya di Istana Op de Dam. Wakil Presiden sekaligus perdana menteri, Mohamad Hatta memimpin sebagai delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).

"Kedua negara (Belanda dan Indonesia) tak lagi saling berlawanan, kini kita berdiri berdampingan," kata Ratu Belanda Juliana kala itu, sesaat setelah naskah penyerahan kedaulatan ditandatangani.

Bung Hatta, yang berbicara dengan Bahasa Indonesia dalam sebuah pertemuan KMB, menekankan pentingnya penyelesaian damai dari konflik dua negara. "Empat tahun lamanya rakyat kita timbal balik hidup dalam persengketaan, karena merasa dendam di dalam hati ... Bangsa Indonesia dan Bangsa Belanda, kedua-duanya akan mendapat bahagianya. Anak cucu kita, angkatan kemudian akan berterima kasih pada kita," kata dia.

4 dari 5 halaman

liputan6.com

Penyerahan kedaulatan juga dilakukan di Istana Negara, Jakarta. Penyerahan ini dilakukan antara wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia, Tony Lovink, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang bertindak sebagai perwakilan perdana menteri.

Setelah selesai penandatanganan, Sri Sultan dan Tony Lovink keluar, dan berdiri di depan Istana. Di sana tampak bendera merah putih biru milik Belanda diturunkan.

Lalu, bendera merah putih pun dikibarkan dalam suasana dramatis. Setelah berhasil mengibarkan sang saka merah putih, sorak sorai ribuan orang pecah. Menandakan pentingnya peristiwa ini bagi mereka.

Upacara lain juga dilaksanakan pada hari itu, namun tidak disiarkan melalui radio. Upacara tersebut dilaksanakan di Gedung Negara Yogyakarta, ketika berada di tengah rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI).

5 dari 5 halaman

fimela.com

Penyerahan kedaulatan tersebut bukan berarti Belanda mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia jatuh pada 17 Agustus 1945. Pihak Belanda justru mengakui kemerdekaan Indonesia adalah pada tanggal 27 Desember 1949, di mana hari ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani.

Cukup lama bagi Belanda untuk bisa mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Belanda baru mengakui 17 Agustus 1945 sebagai hari kemerdekaan Indonesia setelah 60 tahun kemudian, tepatnya pada 16 Agustus 2005.

Pengakuan kemerdekaan ini disampaikan oleh menteri dari Kerajaan Belanda bernama Bernard Rudolf Bot. Bot datang ke Jakarta pada 16 Agustus 2005 untuk menghadiri peringatan 60 tahun kemerdekaan Indonesia di Istana Negara. Ini juga pertama kalinya dalam sejarah, utusan resmi dari Kerajaan Belanda hadir dalam perayaan proklamasi dan hari kemerdekaan Indonesia. 

Ditemani Menlu Indonesia saat itu, Hassan Wirajuda, Bot menyampaikan pidato resminya di Gedung Departemen Luar Negeri (Kementerian Luar Negeri), sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Keesokan harinya, 17 Agustus 2005, Bot juga kembali menyampaikan pidatonya pada peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan Indonesia di Istana Negara, Jakarta.

(mdk/ank)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA