Mengapa akhir akhir ini wilayah papua terjadi konflik jelaskan brainly

  • home
  • nasional
  • Dokumentasi petugas bersiaga di salah satu TKP penembakan di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. (ANTARA/HO-Humas Polda Papua)

    TEMPO.CO, Jakarta - Tanah Papua masih belum juga dapat lepas dari serangkaian konflik bersenjata. Dari sejak era Orde Baru hingga Reformasi telah berjalan, rangkaian kejadian kekerasan yang melibatkan aparat keamanan dan kelompok separatis pendukung kemerdekaan Papua masih terus terjadi. Tak sedikit warga sipil yang justru jadi korban.

    Yang paling terakhir, Senin, 15 Februari 2021 lalu seorang prajurit TNI bernama Ginanjar Arianda tewas tertembak di Sugapa, Intan Jaya, Papua. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengklaim bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

    Beragam upaya pendekatan oleh pemerintah dari lintas Presiden, hingga terakhir oleh Presiden Joko Widodo, masih belum mampu menekan konflik di Bumi Papua. Motif kekerasan semakin beragam. Tak hanya bermula dari isu kemerdekaan saja, tapi juga rasisme yang masih kerap menjangkit.

    Berikut catatan Tempo terkait beberapa konflik besar yang terjadi di Papua sejak Era Reformasi.

    1. Tragedi Wamena Oktober 2000
    Pada 3 Oktober 2000, sejumlah pemimpin di Jayapura mengklaim telah berhasil mencabut aturan pelarangan Bendera Bintang Kejora, simbol dari kemerdekaan Papua, oleh pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pengibaran pun dilakukan. Hingga tiga hari kemudian, aparat keamanan melancarkan operasi ke tujuh posko yang mengibarkan bendera di sekitar Wamena.

    Dari laporan Majalah Tempo 15 Oktober 2000, disebutkan setidaknya 30 orang tewas, 40 orang terluka, dan ratusan orang mengungsi pasca kejadian ini.

    Baca: Mabes Polri Sebut Ada Penyelewengan Pengelolaan Dana Otsus Papua

    2. Kasus Wasior Juni 2001
    Pada 13 Juni 2001 di Desa Wonoboyo, Wasior, empat orang penduduk sipil yaitu atas nama Daud Yomaki, Felix Urban, Henok Marani, dan Guntur Samberi dinyatakan tewas. Dari catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mereka diduga tewas oleh aparat keamanan yang melakukan pembunuhan di luar hukum. Selain itu, 39 orang mengalami penyiksaan dalam peristiwa ini, 5 orang dihilangkan secara paksa, dan 1 orang mengalami pelecehan seksual.

    Kasus ini digolongkan Komnas HAM sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM berat pasca reformasi. Namun hingga kini, kasusnya masih juga belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.

    3. Peristiwa Wamena April 2003
    Peristiwa Wamena terjadi pada April 2003. Saat itu, beberapa orang berhasil membobol gudang senjata di markas Kodim/1702 Wamena dan membawa lari 29 pucuk senjata api beserta 3.500 butir peluru. Kejadian ini menewaskan dua TNI dan seorang dari pihak pembobol.

    Untuk memperkuat pasukan guna pengejaran, Dandim/1702/JWY meminta tambahan pasukan dari Kopassus dan Kostrad sebanyak 158 orang. Dalam pengejaran itu terjadi tindak penangkapan, penyiksaan, penganiayaan, penembakan dan pembunuhan terhadap warga sipil.

    Selain itu, mereka juga melakukan pembakaran rumah penduduk, gereja, poliklinik, dan sekolah yang mengakibatkan penduduk mengungsi. Tim Komnas HAM yang turun ke lapangan menyimpulkan kejadian ini sebagai pelanggaran HAM berat karena menarget pada warga sipil.

    4. Tragedi Universitas Cendrawasih Maret 2006
    Pelanggaran HAM berat kembali terjadi. Kali ini di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pada 16 Maret 2006. Saat itu, demonstrasi berkepanjangan terkait dengan penolakan PT Freeport Indonesia di tanah Papua, tengah gencar-gencarnya dilakukan mahasiswa Universitas Cenderawasih, di Abepura.

    Dikabarkan belasan korban tewas, baik dari pihak mahasiswa maupun dari aparat keamanan.

    5. Tragedi Paniai Desember 2014
    Baru beberapa bulan menjabat, Presiden Joko Widodo langsung berhadapan dengan kasus yang kemudian dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Pada 7-8 Desember 2014, terjadi insiden penembakan warga Paniai di lapangan sepak bola Karel Gobai, Enarotali, Paniai, Papua.

    Empat warga dilaporkan tewas dan 21 lainnya terluka akibat kejadian ini.

    6. Demonstrasi Besar-Besaran Tolak Rasisme 2019
    Sejumlah aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur, memicu kemarahan masyarakat Papua. Aksi demonstrasi pun berjalan besar-besaran di Tanah Papua, maupun di Jakarta.

    Aksi demonstrasi berujung kerusuhan di Manokwari, Fakfak, hingga Mimika. Sepekan kemudian, kerusuhan terus meluas hingga Deiyai dan Jayapura, Papua. Sejumlah korban jiwa baik dari aparat keamanan maupun sipil, berjatuhan. Bahkan pemerintah sempat membatasi jaringan internet di Papua, dengan dalih membatasi arus informasi bohong di sana.

    7. Pembunuhan Pendeta Zanambani
    Pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, Papua terjadi pada saat konflik senjata antara OPM dengan aparat keamanan di Intan Jaya tengah memanas. Sebelum kematian Yeremia, dua anggota TNI tewas tertembak oleh OPM. Baik TNI maupun OPM awalnya saling tuding sebagai dalang di balik kematian Yeremia. Namun belakangan, investigasi Komnas HAM dan Tim Pencari Fakta Gabungan (TGPF) yang dibentuk pemerintah, menemukan adanya keterlibatan anggota TNI dalam kejadian tersebut.

    Bahkan, dari temuan lebih jauh, ditemukan bahwa terjadi konflik bersenjata yang menewaskan dua warga sipil lain, termasuk penghancuran tempat tinggal oleh aparat keamanan saat konflik di Intan Jaya terjadi. Hingga saat ini, situasi di Intan Jaya masih belum mereda. Banyak warga yang memilih mengungsi dan meninggalkan rumahnya.

    MAJALAH TEMPO | BERBAGAI SUMBER




    Personel Brimob Polda Sumatera Selatan mengusung peti jenazah personel Batalyon C Res III Pas Pelopor Korbrimob Polri Bharada I Komang Wira Natha saat tiba di terminal kargo Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang, Sumatera Selatan, Rabu, 28 April 2021. Anggota Satgas Nemangkawi Bharada tersebut gugur di Kampung Makki, Distrik Ilaga Utara, Kabupaten Puncak, Papua pada Selasa, 27 April 2021 lalu. ANTARA/Nova Wahyudi

    Setelah membunuh banyak warga sipil tak berdosa, menembak mati sejumlah personil TNI dan Polri dan merusak sejumlah fasilitas, lantas mereka mengancam akan membunuh orang Jawa yang tinggal di Papua. Ancaman itu ditebar oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) setelah pekan lalu pemerintah resmi menetapkan Kelompok Kriminal Senjata (KKB) Papua sebagai teroris.

    Sebenarnya pemerintah bisa bersikap lebih tegas, karena OPM kini tidak saja sebagai organisasi yang menuntut pemisahan diri Papua Barat dari NKRI, tapi juga melakukan aksi-aksi kekerasan bersenjata, yang mengganggu stabilitas pertahanan dan keamanan nasional di bumi Papua. Padahal dengan sekedar melabeli status teroris dan kriminal kepada OPM, pemerintah otomatis memiliki keterbatasan dalam mereaksi, setidaknya hanya memiliki wewenang layaknya menumpas teroris di tempat-tempat lain di Indonesia.

    Padahal, dengan aksi-aksi OPM yang semakin menjadi-jadi belakangan ini, Pemerintah justru dibuat terkesan gagal menghadirkan negara di sektor pertahanan dan keamanan di Papua, yang membuat legitimasi dan reputasi Indonesia semakin buruk di sana. Pemerintah yang telah menetapkan status “pemberontak” kepada pihak yang dituduh mengacau justru gagal melucuti kemampuan pemberontakan mereka. Jadi jangan disalahkan jika ada saja pihak yang mengenduskan tuduhan bahwa instabilitas di Papua sengaja dibiarkan seperti itu.

    Justru dengan mengambil langkah minimal seperti melabeli teroris, tapi secara diam-diam melakukan aksi militer, pemerintah akan semakin menjadi sasaran kritik dari banyak pihak, karena melakukan pelanggaran HAM secara diam-diam. Berbeda dengan bertahan dengan status pemberontak dan separatis, yang mengharuskan Indonesia menyepakati sebuah aksi strategis untuk mencegah terjadinya disintegrasi nasional, yang didukung penuh oleh semua elemen bangsa.

    Dan lebih berbahaya lagi jika pemerintah mengikuti permintaan Benny Wenda untuk menyelesaikan persoalan Papua secara damai melalui jalur diplomasi. Jika sampai disepakati, maka posisi bargaining power Indonesia dan Papua di ranah nasional maupun Internasional akan sepadan, yang berarti secara de facto Indonesia mengakui eksistensi negara Papua Barat merdeka yang diwakili OPM. Langkah ini akan semakin mempersulit posisi Indonesia di pentas Internasional, terutama di PBB, yang notabene secara hukum Internasional sudah ada di pihak Indonesia selama ini

    Jadi sebenarnya langkah pemerintah yang kurang tegas akan mempersulit pemerintah di kemudian hari, alias hanya menunda-nunda penyelesaian konflik Papua, sampai ke rezim selanjutnya. Jika pemerintah tak tegas, maka OPM dan Benny Wenda akan terus menuntut pemerintah untuk berunding melalui jalur diplomasi di pentas Internasional, yang berarti Indonesia akan semakin kekurangan kontrol dalam mengelola langkah-langkah penyelesaian konflik di Papua. Namun di sisi lain, pemerintah juga nampaknya takut mengambil sikap tegas karena takut berhadapan dengan isu HAM

    Masalahnya, jika tidak tegas, maka prospek positif justru ada di pihak OPM, karena berpeluang berujung di meja perundingan internasional. Jadi pemerintah harus memilih langkah yang tepat, tapi juga strategis untuk masa depan. Dan sebenarnya langkah itu sudah terbuka, karena ketua MPR, sebagai perwakilan rakyat nasional, telah tegas meminta pemerintah untuk menindak tegas OPM. Menindaklanjuti itu, Pemerintah perlu melakukan sosialisasi masif secara nasional untuk mendapat dukungan penuh dari publik Indonesia bahwa OPM memang pemberontak yang ingin mendirikan negara merdeka dan merusak persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Dengan adanya dukungan masif secara nasional, pemerintah bisa mengumumkan pernyataan perang terhadap OPM, dengan target-target yang terukur agar seminimal mungkin peluang terjadinya pelanggaran HAM terhadap warga sipil. Artinya, targetnya haruslah OPM secara organisasional dan underbow-underbow-nya. Pernyataan perang ini akan membuat OPM berada pada posisi musuh militer dan politik Indonesia, yang jika tak melakukan penyerahan diri, maka harus bersiap menerima risiko, baik politik, ekonomi, keuangan, dan militer.

    Sementara di ranah internasional, pemerintah harus melakukan containment strategy terhadap OPM. Ruang-ruang OPM untuk melakukan diplomasi secara setara dengan Indonesia harus ditutup, dengan dukungan dari negara-negara mitra Indonesia di PBB. Indonesia harus meyakinkan publik internasional di PBB bahwa urusan Papua adalah urusan internal Indonesia, bukan urusan publik Internasional. Artinya, dengan mendapat legitimasi di ranah internasional bahwa urusan Papua adalah urusan internal Indonesia, maka semua tindakan yang diambil Indonesia tidak lagi bergantung kepada lembaga internasional seperti PBB, tapi murni ada di tangan Jakarta.

    China melakukan strategi semacam ini untuk isu Uighur, Tibet, dan Hong Kong. Di ranah Internasional, bahkan negara-negara Timur Tengah pun sangat jarang membahas kebijakan China atas Provinsi Xinjiang yang berpenduduk mayoritas muslim Uighur, begitu pula dengan isu Tibet dan Hongkong. China berhasil mengurangi peran Dalai Lama misalnya di pentas Internasional, dan berani melakukan perlawanan diplomatik kepada negara-negara yang tidak memperlakukan persoalan Tibet sebagai persoalan internal China.

    Lalu soal Hong Kong. Saat China mengakhiri kesepakatan “one country two system” di Hong Kong, yang seharusnya masih berlaku sampai 2047, dunia bergeming dan Hong Kong dengan mulus akhirnya menjadi bagian dari Mainland China di tahun lalu. Dengan kata lain, China berhasil melakukan negosiasi dengan banyak negara di lembaga-lembaga internasional untuk mengakui bahwa persoalan Xinjiang, Uighur, dan Hong Kong adalah masalah internal China dan Beijing berhak penuh memutuskan solusi yang sesuai dengan kepentingan China untuk menyelesaikannya, tentu saja dengan feedback-feedback yang sepadan bagi negara-negara mitranya

    Jadi kembali ke persoalan Papua di ranah Internasional, negosiasi untuk mendapat pengakuan semacam itu tentu memerlukan imbal balik yang sepadan dengan negara-negara yang akan mendukung Indonesia di PBB, terutama negara-negara besar seperti Amerika dan China. Semisal pemerintah bisa mendapatkan dukungan penuh dari Amerika dan Israel untuk menumpas OPM dengan cara Jakarta, jika Indonesia juga menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel, misalnya. Jika itu terjadi, maka otomatis negara-negara sekutu Amerika juga berpeluang akan mengikuti langkah Amerika, bahkan akan diikuti oleh negara-negara Timur-Tengah yang bermitra strategis dengan Amerika seperti Saudi dan UEA.

    Langkah tersebut kemudian harus diikuti dengan kebijakan ekonomi di Papua. Pemerintah harus membangun Papua lebih serius lagi. Selain infrastruktur, kemiskinan di Papua masih tinggi, penganggurannya pun tak berbeda, juga sama dengan tingkat ketimpangannya. Di saat yang sama, masyarakat Papua terus menyaksikan kekayaan alamnya dikeruk habis-habisan, hutan-hutannya ditebang, lahan mereka dipreteli, dan uangnya entah kemana.

    Dengan kondisi itu, perlu evaluasi kebijakan ekonomi dan fiskal untuk Papua, agar keberadaan negara Indonesia bisa mereka rasakan manfaatnya. Bagi hasil pajak wajib diteruskan, namun dana otsus perlu disempurnakan penyalurannya, agar tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit lokal. Aktifitas-aktifitas ekonomi bisnis harus melibatkan masyarakat setempat, jika SDM nya belum memadai, maka wajid diupayakan agar segera memadai.

    Dan terakhir berlanjut kepada kebijakan sosial budaya, pengembangan mentalitas, dan perlindungan lingkungan. Pemerintah harus lebih agresif ketimbang organisasi nirlaba atau gereja. Alokasi fiskal untuk pembangunan sosial dan pengembangan budaya harus ditetapkan secara proporsional, seiring dengan anggaran pelestarian lingkungan dan penetapan aturan-aturan fundamental untuk menjaga lingkungan. Tidak saja terkait dengan pelestarian budaya, tapi juga pengembangan budaya yang membaurkan kearifan lokal dan kepentingan ideologi nasional. Aturan-aturan terkait social order di sana harus dijabarkan secara manusiawi dan bernuansa environmental, tidak saja atas pertimbangan ekonomi, tapi juga atas pertimbangan keberlanjutan kebudayaan dan lingkungan Papua. Semoga.

    Video yang berhubungan

    Postingan terbaru

    LIHAT SEMUA