Konsumsi rumah tangga memiliki andil besar dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi

Pertumbuhan pengeluaran agregat konsumsi rumah tangga, yang merupakan proxy dari konsumsi, menyumbang porsi yang cukup besar pada pertumbuhan ekonomi. Besarnya pengeluaran konsumsi masyarakat dianggap sebagai penentu tingkat pertumbuhan ekonomi dan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Kajian ini disusun dengan tujuan untuk menjawab dan memberikan bukti tentang dinamika pertumbuhan dan pola konsumsi masyarakat kelas menengah serta implikasinya terhadap penerimaan perpajakan ke depan. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis deskriptif berdasarkan pengolahan data Susenas bulan Juli tahun 2010, Maret 2014 dan Maret 2018 dari Badan Pusat Statistik (BPS). Studi ini akan menggunakan kombinasi dari beberapa studi sebelumnya untuk mendefinisikan kelas menengah. Pada studi ini definisi kelas menengah adalah rumah tangga yang memiliki pengeluaran lebih dari US$ 2 PPP per kapita per hari. Kelas pendapatan akan dibagi menjadi lima yaitu poor, lower middle, middle middle, upper middle, upper. Berdasarkan pembagian kelas pendapatan tersebut selanjutnya akan dilakukan analisis incidence pajak pertambahan nilai (PPN). Besaran beban PPN pada kajian ini didasarkan pada pengeluaran sebagai salah satu proxy dari lifetime income.

Hasil analisis data konsumsi menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah Indonesia di wiiayah perkotaan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada Tahun 2010 sebanyak 86% rumah tangga perkotaan telah berada di kelas menengah dengan jumlah terbanyak pada kelas lower middle (39.57%) dan middle middle (38.65%). Empat tahun kemudian, proporsi mereka yang berada di kelas menengah naik menjadi 91.37%. Struktur kelas menengah sendiri juga mengalami perubahan dimana komposisi terbesar kelas menengah berada pada kelas middle middle (43.22%). Struktur masyarakat kelas pendapatan menengah Indonesia di perkotaan terus mengalami perubahan sejak 2010. Pada tahun 2018, 75% masyarakat kelas menengah berada pada kategori middle middle dan upper middle. Struktur tersebut jauh berbeda dengan kondisi delapan tahun sebelumnya, dimana hanya separuh (50%) masyarakat kelas menengah yang berada pada kelas middle middle dan upper-middle.

Jumlah masyarakat kelas pendapatan menengah di pedesaan juga menunjukkan tren kenaikan meskipun secara struktur menunjukkan sedikit perbedaan. Rumah tangga kelas menengah di pedesaan pada tahun 2010 mencapai 78%, dimana sebagian besar (61 %) diantaranya berada pada kelas lower middle. Di 2014, kelas menegah masyarakat pedesaan tumbuh cukup signifikan. Sekitar 92% masyarakat desa berada pada kelas menengah. Haltersebut disertai dengan penurunan yang cukup drastis pada kelas poor dan transisi dari kelaslower middle ke middle middle dengan jumlah yang signifikan. Transisi tersebut terus berlanjut hingga 2018, sehingga masyarakat pada kelas middle middle menjadi bagian terbesar kelas menengah di perdesaan. Meskipun demikian, jumlah mereka yang berada pada kelas uppermiddle masih sangat minim. Kondisi tersebut menyebabkan perbedaan yang cukup kontras dengan struktur masyarakat kelas menengah di perkotaan.

Adanya pergerakan menuju masyarakat kelas pendapatan menengah atas, baik di perkotaan maupun pedesaan, perlu mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Indonesia. Hal ini karena pergerakan tersebut mampu menjadi salah satu faktor penggerak perekonomian Indonesia di masa yang akan datang. Pergerakan perekonomian terjadi seiring dengan peningkatan nilai konsumsi masyarakat karena pertambahan pendapatan. Selain itu, peningkatan jumlah kelas menengah juga menyebabkan peningkatan sumber penerimaan negara di masa yang akan datang khususnya yang bersumber dari pajak atas konsumsi seperti PPN. Terkait hal tersebut, salah satu hal yang relevan untuk dilakukan yaitu melakukan identifikasi terhadap pola konsumsi masyarakat kelas menengah dalam membelanjakan pendapatan mereka.

Sebagai sebuah negara kepulauan dengan beragam suku, Indonesia memiliki indikator sosial dan ekonomi regional yang varlatif. Selain kondisi geografis dan demografis, adanya sentralisasi kegiatan ekonomi dan pembangunan pada masa lampau juga memiliki andil pada tingginya ketimpangan antarwilayah. Pemerataan pertumbuhan ekonomi menjadi sebuah solusi yang dapat menurunkan ketimpangan antar wilayah. Prioritas pembangunan infrastruktur di kawasan timur Indonesia menjadi salah satu kuncinya. Terlihat bahwa saat ini rumah tangga kelas menengah masih terkonsentrasi di wilayah Jawa yang memiliki populasi lebih besar daripada kawasan lainnya. Namun demikian, ketimpangan regional juga masih terjadi antarprovinsi di Pulau Jawa. Hal ini terlihat di Provinsi Jawa Tengah dan DIY, dimana pengeluaran rata-rata rumah tangga masyarakat per bulan lebih rendah dari rata-rata nasional. Adanya pembangunan infrastruktur, seperti tol trans-Jawa, diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat di kawasan tersebut sehingga ketimpangan juga dapat dikurangi secara signifikan. Sementara itu, beberapa wilayah di Pulau Sumatra secara umum tumbuh di bawah rata-rata nasional. Provinsi Riau sebagai provinsi terkaya akan sumber daya alam bahkan pertumbuhan PDRB-nya tidak sampai 3%. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengembangan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja pada sektor sekunder dan tersier masih perlu diperhatikan lebih lanjut. Di masa mendatang, Pulau Sulawesi juga berpotensi mengalami pertumbuhan kelas menengah yang cukup tinggi, mengingat di kawasan tersebut saat ini mengalami pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional.

Perbedaan pola rumah tangga dalam membelanjakan pendapatan dipengaruhi oleh perubahan antar waktu dan kelas pendapatan. Konsumsi rumah tangga pada periode 2010-2018 menunjukkan bahwa seiring dengan kenaikan kelas pendapatan, porsi pengeluaran rumah tangga untuk makanan akan berkurang sedangkan porsi pengeluaran untuk transportasi dan komunikasi, kesehatan dan pendidikan, serta perabotan akan bertambah. Selain itu, hasil analisis menunjukkan bahwa pada seluruh lapisan pendapatan terdapat pergeseran konsumsi makanan, dimana porsi konsumsi bahan makanan mulai berkurang dan bergeser ke konsumsi atas makanan jadi atau siap saji. Fakta lain yang juga ditemukan yakni usia kepala keluarga ternyata turut mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Hal ini karena rumah tangga dengan kepala keluarga berusia sekitar 50 tahun menjadi rumah tangga dengan total konsumsi tertinggi.

Analisis incidence PPN menunjukkan bahwa masyarakat pada kelas menengah merupakan kontributor utama PPN dengan kontribusi rata-rata sebesar 43%. Besarnya kontribusi PPN pada kelas menengah tidak terlepas dari jumlah rumah tangga pada kelas tersebut yang jauh lebih besar dari kelas lainnya. Lebih lanjut, kontribusi rumah tangga yang berada pada kelas bawah (poor dan lower middle) terus mengalami penurunan. Sementara kontribusi rumah tangga pada kelas menengah atas (upper middle dan upper) terus mengalami kenaikan. Analisis incidence PPN juga memberitahukan bahwa secara umum beban PPN untuk tiap kelas pendapatan cenderung proporsional atau netral. Dengan kata lain, beban PPN antara kelas pendapatan terendah dengan kelas pendapatan tertinggi tidak berbeda jauh. Pengeluaran PPN untuk rumah tangga menengah kebawah didominasi oleh pengeluaran bahan makanan dan pakaian, sementara itu pada kelas menengah dan menengah atas didominasi oleh pengeluaran transportasi dan komunikasi. Sedangkan rumah tangga pada kelas teratas didominasi oleh pengeluaran perabotan dan transportasi. Namun demikian, secara umum pada tahun 2018 pengeluaran PPN atas keperluan perumahan mendominasi beban PPN untuk seluruh kelas pendapatan.

Berdasarkan hasil analisis terhadap pola konsumsi rumah tangga dan incidence PPN terdapat tiga rekomendasi yang dapat disampaikan. Pertama, pertumbuhan kelas menengah menjadi salah satu sumber penerimaan negara di masa yang akan datang karena kelas menengah merupakan kontributor terbesar terhadap konsumsi agregat yang juga merupakan basis pajak terbesar untuk pajak konsumsi seperti PPN. Kedua, struktur dan tarif PPN di Indonesia masih menunjukkan tingkat progresivitas yang proporsional atau cenderung netral sehingga PPN masih cukup relevan untuk digunakan sebagai salah satu instrumen fiskal di masa yang akan datang seiring dengan terus tumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Ketiga, beberapa jenis konsumsi rumah tangga memiliki pola incidence yang cenderung tidak proporsional, salah satunya adalah pengeluaran untuk rokok dan alkohol. Struktur dan tarif PPN untuk jenis konsumsi barang tersebut perlu untuk diperhatikan kembali dan jika perlu dikombinasikan dengan instrumen lainnya untuk mengendalikan konsumsi atas barang tersebut.

Covid-19 yang cepat menyebar dan ‘mematikan’ menyebabkan WHO menetapkannya sebagai Pandemi Global pada tanggal 11 Maret 2020. Pandemi Covid-19 yang awalnya hanya mempengaruhi kesehatan, juga mempengaruhi perekonomian nasional dan global.

Mendorong Konsumsi untuk Pemulihan Ekonomi

Pada triwulan II tahun 2020, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar -5,3%. Kontraksi ekonomi Indonesia tersebut cukup dalam namun relatif lebih baik dibandingkan negara lain termasuk negara ASEAN misalnya Singapura. Penurunan kinerja ekonomi nasional antara lain disebabkan penurunan konsumsi rumah, belanja investasi dan realisasi belanja pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi suatu negara ditentukan oleh 5 (lima) komponen yaitu konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pengeluaran investasi, export dan import. Dari kelima komponen tersebut, komponen yang relatif dapat didorong oleh Pemerintah dalam jangka pendek adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Sementara untuk investasi, membutuhkan waktu relatif panjang. Untuk export, membutuhkan upaya yang lebih karena dunia usaha nasional belum pulih dan kondisi ekonomi global yang masih lesu.

Menyadari hal tersebut, dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, salah satu kebijakan yang diambil pemerintah adalah mendorong konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Konsumsi rumah tangga dilakukan oleh pemerintah, dengan mengalokasikan dana sebesar Rp203,9 triliun untuk Perlindungan Sosial. Tujuan Perlindungan Sosial tersebut adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah sekaligus mendorong konsumsi masyarakat. Perlindungan Sosial tersebut diberikan antara lain melalui Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, subsidi listrik dan Program Keluarga Harapan. Pemerintah juga memberikan BLT BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp600.000 untuk karyawan swasta yang mempunyai gaji Rp5 juta/bulan ke bawah.

Skema Perlindungan Sosial di atas diharapkan berjalan dengan baik dan tepat sasaran. Walaupun sulit untuk mencapainya namun diharapkan deviasinya tidak melebihi 5%. Demikian juga waktu penyaluran, dapat dilakukan segera, mengingat kebutuhan hidup masyarakat yang mendesak dan akhir tahun anggaran yang semakin mendekat. Realisasi penyalurannya juga diharapkan diatas 95%. Penyaluran Perlindungan Sosial yang dicantumkan dalam jenis Belanja Bansos dalam APBN relatif mudah. Prosedur pencairan harus disederhanakan tanpa menghilangkan akuntabilitasnya.

Di samping pengeluaran belanja untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, Pemerintah juga mengalokasikan belanja yang digunakan Kementerian/Lembaga (K/L). Total belanja belanja K/L (termasuk belanja Pemulihan Ekonomi Nasional) adalah sebesar Rp1.975,2 triliun.

Belanja K/L merupakan belanja untuk konsumsi pemerintah, terdiri dari tiga jenis belanja yaitu belanja Pegawai, Barang, dan Modal. Ketiga jenis belanja tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda. Belanja Pegawai direalisasikan secara ‘otomatis’ setiap bulan dan capaiannya biasanya tinggi, tahun 2019 mencapai 98,56%. Sementara itu Belanja Barang dan Modal direalisasi berdasarkan kegiatan, sebagian membutuhkan proses pengadaan, biasanya ‘menumpuk’ di akhir tahun dan capaiannya tidak setinggi belanja pegawai (tahun 2019 realisasi belanja Barang sebesar 96,87%, belanja Modal sebesar 93,93%)

Untuk dapat menggerakkan perekonomian, kegiatan pemerintah harus dipercepat dengan tetap menjaga good governance untuk merealisasikan belanja Barang dan Modal. Pengeluaran belanja tersebut seharusnya ditujukan untuk produksi dalam negeri sehingga usaha dalam negeri bergerak sehingga memberikan multiplier effects yang besar.

Peran Pemda dalam Mendorong Konsumsi Masyarakat dan Pemerintah

Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, tahun 2020, Pemerintah Pusat (Pempus) mengalokasikan dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp 763,9 triliun. Dana tersebut dicairkan secara bertahap ke pemerintah daerah (pemda). Untuk pemda yang Pendapatan Asli Daerah kecil, APBD pemda mengandalkan TKDD.

Pemda sebagai bagian integral dari Pemerintah Indonesia mempunyai peran yang strategis dalam mendorong konsumsi masyarakat dan konsumsi pemerintah. Jumlah pemda (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) sebanyak 542 mempunyai total APBD (pengeluaran belanja) sebesar Rp1.303,3 triliun (per 8 Juli 2020, Kemenkeu).

Pemda mempunyai otonomi dalam mengelola pemerintahannya dan APBD, mempunyai wilayah dan akses langsung dengan masyarakat. Oleh sebab itu, pemda dapat bersinergi dengan Pempus untuk meningkatkan konsumsi masyarakat. Dua hal yang dapat dilakukan oleh pemda yaitu berkordinasi untuk memberikan data yang valid dalam rangka pelaksanaan program Perlindungan Sosial dan mengalokasikan dana APBD untuk menambah program Perlindungan Sosial. Hal ini sekaligus dapat meng-cover masyarakat yang tidak mendapatkan program Perlindungan Sosial dari APBN.

Selanjutnya, pemda dapat mempercepat realiasi APBD terutama belanja Barang dan Modal. Jika seluruh pemda diasumsikan dapat merealisasikan anggarannya 95% dari total APBD sebesar Rp1.303,3 triliun maka likuiditas untuk menggerakkan perekonomian akan bertambah sebesar Rp1.238,14 triliun. Daya dorong realisasi APBD tersebut akan semakin besar jika ditambah dengan percepatan dan besaran realisasi APBN di daerah.

Demikian juga di Kalimantan Barat (Kalbar), pemda se-Kalbar harus mempercepat realisasi APBD untuk menggerakkan ekonomi Kalbar. Kalbar yang mempunyai 15 pemda (satu pemerintah provinsi dan 14 pemerintah kabupaten/kota), pada tahun 2020 memperoleh TKDD sebesar Rp18,585 triliun dengan total APBD sebesar Rp27,285 triliun. Sementara itu, total angaran belanja K/L di Kalbar sebesar Rp8,859 triliun.

Disamping mempercepat dan meningkatkan persentase realisasi anggaran, Pemda se-Kalbar diharapkan juga meningkatkan nilai tambah pengeluaran pemda dengan membeli produk lokal dan menciptakan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja dapat dilakukan dengan melaksanakan program padat karya tunai baik pada proyek pembangunan yang didanai APBD maupun Dana Desa.

Penulis : Edward UP Nainggolan (Kakanwil DJKN Kalimantan Barat)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA