Kenapa masyarakat desa menabukan untuk membicarakan tentang seks kepada anaknya

A. LATAR BELAKANG

Akhir-akhir ini telah terjadi banyak kasus kekerasan seksual pada anak. Berdasarkan laporan dari KPAI kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahunnya. Selama tahun 2013 dari 2700 kasus kriminal yang melibatkan anak dibawah umur, ada 42% merupakan kasus pelecehan seksual. Tahun 2014 terdapat 52% kasus pelecehan seksual, dan pada tahun 2015 terdapat 1756 kasus yang melibatkan anak, 58% merupakan kasus pelecehan seksual(//m.gresnews.com). Menurut Satgas KPAI, rata-rata 45 anak mengalami kekerasan seksualsetiap bulannya (//m.news.viva.co.id).

Beberapa waktu yang lalu, muncul kasus prostitusi di kalangan siswi SMP di Surabaya. Siswi yang berusia 15 tahun tersebut sudah menjadi mucikari dan korban prostitusi adalah kakak kandungnya sendiri (//id.theasianparent.com). Kasus yang paling baru adalah terungkapnya kasus prostitusi anak di bawah umur dengan jumlah korban eksploitasi seksual 15 anak dan rata-rata usia mereka 15-16 tahun (//m.metrotvnews.com). Selain itu, masih banyak kasus-kasus yang mempekerjakan anak di bawah umur di tempat karaoke atau di lokalisasi sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial). Hal ini menunjukkan betapa maraknya kasus–kasus eksploitasi pada anak.

Kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, sekolah, rumah bahkan lingkungan sekitar tempat tinggal. Kasus kekerasan seksual ini ternyata juga terjadi dikawasan prostitusi atau lokalisasi. Data Lembaga Pendamping Anak di Lokalisasi Dolly (PKBM), dalam 7 tahun terakhir terdapat 321 kasus menimpa anak di Dolly, yaitu mulai dari ditelantarkan orang tua sampai menjadi korban kekerasan seksual. Menurut Ketua PKBM, Mariani Zainal memberikan rincian dampak negatif lokalisasi Dolly sebagai berikut (//intisari-online.com):

Tabel 1

Rincian Dampak Negatif Lokalisasi :

81 anak Menjadi korban kekerasan domestik, seperti dipukul dan diperlakukan secara kasar. 45 anak Menjadi korban kekerasan seksual. 15 anak laki-laki Menjadi korban sodomi.

30 anak perempuan

Menjadi korban perkosaan.

8 anak Menjadi korban kekerasan ekonomi, seperti mengemis.

18 anak Terlibat masalah hukum seperti terlibat pencurian kendaraan bermotor, menjambret atau berjudi.

14 anak Ditelantarkan oleh orangtua.

134 anak Menjadi korban kekerasan rumah tangga. 5 anak Menjadi korban trafficking.

11 anak Menjadi kekerasan masa pacaran termasuk hamil di luar nikah.

5 anak Terjerat kasus narkoba.

Menurut Kepala Bapemas Surabaya, Nanis Chairani, saat ini Bapemas bersama psikiater sedang menangani seorang anak dari PSK (Pekerja Seks Komersial) yang masih berumur 8 tahun yang ditelantarkan

oleh orang tuanya dan anak tersebut mengalami kecanduan seks (www.news.detik.com). Ibunya adalah seorang PSK diberbagai lokalisasi di Surabaya.Sejak kecil tinggal bersama dan melihat langsung ibunya melayani para lelaki. Perilaku anak 8 tahun ini berbeda dengan anak seusianya, ia sudah berdandan atau memakai kosmetik. Ketika ada psikolog laki-laki datang melihat kondisi anak tersebut, psikolog itu digoda dan dipegang-pegang (www.jpnn.com).

Anak-anak di Dolly terbiasa melihat ibunya melayani pelanggan. Hal ini karena anak-anak mereka tinggal dalam wisma yang sama hanya disekat oleh tembok tipis. Dalam beberapa waktu yang lalu, seorang akademisi dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Surabaya melakukan penelitian di kawasan Dolly. Kemudian akademisi tersebut mengambil foto dan sempat ditayangkan di stasiun TV swasta. Foto tersebut menunjukkan seorang bayi, kira-kira batita yang tidur di sofa lobby wisma sekitar pukul 2 dini hari. Di sekitarnya terdapat seorang PSK yang tampak membelakangi kamera dan ada di ruangan yang berbataskan kaca (www.lifestyle.kompasiana.com). Tampaknya aktivitas prostitusi di Dolly

merupakan “aktivitas biasa” yang bisa disaksikan, dilihat bahkan

dinikmati oleh siapapun, kapanpun termasuk anak-anak.

Menurut Rongrong (Yulita Amaliyasari & Nunik Puspitasari, 2015) tinggal dikawasan lokalisasi dapat meninggalkan trauma. Kremil adalah salah satu lokalisasi di Surabaya. Para PSK merupakan PSK yang berusia lanjut dan berasal dari Dolly. Mereka cenderung agresif kepada semua pria

termasuk anak yang masih sekolah SD. Akibatnya anak SD di kawasan Kremil sudah memperoleh pengalaman seksual yang belum waktunya. Secara tidak langsung mereka juga terpengaruh oleh lingkungan. Banyak anak yang melubangi dinding rumahnya untuk melihat aktivitas PSK. Para orang tua terkesan tidak peduli dengan pergaulan dan pendidikan anaknya.

Menurut Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, fenomena anak 8 tahun yang mengalami kecanduan seks hanyalah fenomena gunung es. Beliau percaya masih ada anak-anak yang mengalami dampak buruk akibat keberadaan lokalisasi (www.republika.co.id). Anak yang tinggal di lokalisasi minim perhatian orang tua, mereka harus menyaksikan segala hal yang sebenarnya tidak layak untuk disaksikan. Anak menjadi dewasa sebelum waktunya, padahal usianya masih anak-anak. Anak mengalami overseks karena terbiasa bergaul dengan lawan jenis yang lebih tua (www.m.beritajatim.com). Rongrong (Yulita Amaliyasari & Nunik Puspitasari, 2015) awalnya anak yang tinggal di kawasan lokalisasi tidak tahu tentang aktivitas di lingkungannya. Namun seiring dengan semakin lama mereka berinteraksi, maka berpengaruh pada pertumbuhan psikologis anak. Bagaimana dengan nasib anak-anak yang bertempat tinggal di kawasan serupa?. Adakah pendampingan untuk anak-anak disana, sehingga ada antisipasi agar tidak terjadi hal-hal seperti diatas?.

Lokalisasi Dolly adalah hanya salah satu dari tempat prostitusi yang ada di Surabaya. Tidak hanya Dolly, beberapa daerah di Jawa Tengah juga terdapat lokalisasi. Salah satunya adalah di sebuah desa di Kecamatan

Pedan, Kabupaten Klaten terdapat lokalisasi tidak resmi (www.suaramerdeka.com). Menurut salah satu peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Sebelas Maret (PPK UNS) Solo, Argyo MSc, memaparkan hasil penelitian Rapid Assesment untuk Masalah HIV/AIDS di Kabupaten Klaten. Salah satu desa di Kecamatan Pedan terdapat bekas lokalisasi yang masih digunakan sebagai tempat transaksi seksual. Argyo mengungkapkan tempat tersebut sampai saat ini masih ada aktivitas (www.solopos.co.id).

Berdasarkan wawancara kepada Sekretaris Desa (1 Desember 2014)

menyatakan bahwa keberadaan “komplek” (istilah lokalisasi) sudah lama

yaitu sejak jaman Belanda dan aktivitasnya masih ada hingga saat ini. Beberapa tahun yang lalu, ada indikasi penularan HIV/AIDS di komplek tersebut. Keberadaan lokalisasi tersebut berada di perkampungan atau pemukiman penduduk dan sebagian penduduk di desa Sobayan membuka warung dan menjadi penyewa kos-kosan. Lokalisasi memberikan dampak secara ekonomi, sehingga secara tidak langsung lokalisasi menjadi tempat mencari nafkah untuk keluarga.

Kos-kosan yang mereka sewakan untuk PSK tergabung atau menjadi satu dengan rumah pemiliknya, kemudian anak-anak terbiasa melihat aktivitas yang terjadi. Para remaja mulai menghabiskan waktunya untuk nongkrong, bahkan satu RT di kawasan tersebut malas bekerja. Remaja suka merokok dan minum-minuman keras. Peredaran barang ini sangat mudah dan tersedia disana. Selain itu, pada tahun 2002 telah terjadi

pemerkosaan hingga korbannya tewas. Korban diperkosa secara tidak wajar oleh 3 pemuda yang berusia 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lokalisasi memberikan dampak yang cukup besar, diantaranya masalah kenakalan remaja dan kasus pemerkosaan. Disisi lain, secara ekonomi keberadaan lokalisasi ini juga memberikan dampak untuk pemenuhan kebutuhan keluarga.

Situasi sosial desa Sobayan menunjukkan bahwa keberadaan lokalisasi menjadi tempat untuk mereka mencari nafkah dan menjadi penopang perekonomian sebagian keluarga disana. Dalam hal pendidikan, khususnya mengenai seks di dalam keluarga, tampaknya orang tua masih mengabaikan pemberian pendidikan seks tersebut. Berdasarkan wawancara kepada beberapa orang tua di desa tersebut yang memiliki anak usia sekolah dasar, menyatakan bahwa mereka tidak memberikan penjelasan mengenai masalah seks, mereka beranggapan bahwa kelak jika sudah besar anak mereka akan mengetahui masalah tersebut. Selain itu, membicarakan seks adalah tabu, tidak pantas dibicarakan karena adat (16 Januari 2015 dan 19 Januari 2015). Wawancara awal yang memberikan informasi bahwa belum ada perhatian dan kepedulian dari orang tua mengenai pendidikan seks kepada anak, bahkan orang tua tampaknya cenderung pasif dalam memberikan pendidikan seks. Padahal pendidikan seks adalah wujud dari tindakan preventif sebagai antisipasi berbagai kasus seperti di Dolly dan kasus serupa yang pernah terjadi di salah satu

desa di Kecamatan Pedan tersebut. Peran orang tua juga menjadi sangat penting untuk anak-anaknya dalam memberikan pendidikan seks.

Berdasarkan uraian diatas, apa yang terjadi di desa Sobayan tampaknya sejalan dengan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan praktik pendidikan seks. Seks dianggap tabu dan tidak boleh dibicarakan secara terbuka dihadapan umum. Orang tua biasanya merasa malu untuk menjelaskan masalah seks pada anak. Anak justru akan mendapatkan informasi dari teman sebaya. Pada suku Jawa, seorang gadis mendapat informasi tentang seks secara samar dari ibu atau kakak perempuan yang telah menikah (Frans Magnis Suseno dalam Tukan, S. J. 1985:83). Menurut Suwardi (2009) kedudukan orang tua dalam sebagian masyarakat Jawa, terlebih masyarakat pedesaan, sejauh ini tidak memiliki fungsi sepenuhnya tentang masalah seks. Hal ini berkaitan dengan perasaan enggan dan pandangan yang masih sempit sehingga menjadi faktor penghalang pengungkapan seks di keluarga. Terlebih bagi orang tua yang memiliki sifat risih atau tidak blak-blakan dan sangat menjunjung ‘etika ketimuran’.

Pendidikan seks sangat perlu diberikan kepada anak sedini mungkin. Hal ini karena supaya mereka memiliki dasar pengetahuan yang kuat mengenai seks, sehingga dapat mengetahui baik-buruk tindakan-tindakan yang berhubungan dengan seks. Orang tua adalah lingkungan yang terdekat bagi anak sejak ia dilahirkan, maka dengan peranan orang tua sangat penting dalam memberikan dasar-dasar pengetahuan seks pada

anaknya (Sarlito W. Sarwono dan Ami Siamsidar,1986). Mulyadi (Pratiwi, 2010) menambahkan bahwa melalui pendidikan seks yang sehat, anak akan mendapatkan pemenuhan kebutuhan psikoseksualnya secara tepat dan benar sehingga anak juga akan memiliki sikap serta tingkah laku seksual yang bertanggung jawab, dan anak akan tahu apa yang dilakukan serta tahu apa akibat dari perbuatannya.

Pada kenyataannya adalah para orang tua merasa enggan untuk memberikan informasi tentang seks dan kesehatan reproduksi. Hal ini disebabkan oleh rasa rendah diri karena pengetahuan mereka yang rendah tentang kesehatan reproduksi atau pendidikan seks (Nugraha dalam S.R. Juliana Marpaung & Setiawan, tanpa tahun). Mereka memiliki pengetahuan yang terbatas, sehingga mereka menjadi kurang berfungsi sebagai sumber pendidikan seks. Selain itu, orang tua belum terbuka mengenai masalah seks. Mereka juga menabukan masalah seks dan mereka berpendapat seks adalah sesuatu yang alamiah, kemudian akan

diketahui setelah menikah (Sarlito W. Sarwono, 1994:18, Mu’tadin dalam

Evi Karota & Yesi Ariani, 2005). Orang tua juga memiliki nilai-nilai yang diyakini, ketika dibicarakan secara terbuka maka berpengaruh pada perilaku seksual anaknya (PKBI dalam Evi Karota & Yesi Ariani, 2005).

Komunikasi yang tidak efektif dan tidak terbuka saat anak menanyakan masalah seks, akhirnya membuat anak mudah terpengaruh untuk melakukan tindakan seksual (Sarwono dalam Evi Karota & Yesi Ariani, 2005). Orang tua tidak tahu kapan mereka memberikan pendidikan

seks. Orang tua tidak tahu bagaimana cara memberikan pendidikan seks yang tepat karena tidak memiliki pengalaman dalam memberikan informasi tentang seks (Widjanarko, dalam Evi Karota & Yesi Ariani, 2005). Seringkali orang tua tidak memahami perilaku anak ketika melakukan tahap perkembangan psikoseksual dan menganggap seks sebagai sesuatu hal yang terkesan belum waktunya untuk dijelaskan sehingga melewatkan pendidikan seks untuk diajarkan sejak dini kepada anak (//www.edukasi.kompasiana.com).

Informasi mengenai seks dan seksualitas perlu diberikan supaya manusia memahami dirinya dan seksualitasnya. Informasi tentang seks dan seksualitas manusia adalah bagian dari pendidikan seks (Djiwandono, 2008). Menurut Widjanarko, pendidikan seks adalah upaya mendidik dan mengarahkan perilaku seksual secara baik dan benar. Perilaku seks dalam hal ini berarti menekankan aspek fisik maupun psikis yang akan menimbulkan seks yang sehat bagi diri sendiri atau orang lain (Helmi A.F & I. Paramastri, 1998). Menurut psikolog Ratri Sunar Astuti, pendidikan seksual adalah tugas dan tanggung jawab orang tua. Dalam memberikan pendidikan seks, orang tua perlu memperhatikan rasa aman dan nyaman anak. Ditambahkan lagi bahwa orang tua tidak perlu malu dalam menjelaskan sesuatu kepada anak dan saat anak menanyakan pertanyaan tertentu. Penyampaian materi pendidikan seks perlu didukung suasana hangat, informasi diberikan dengan benar dan ilmiah, serta menggunakan bahasa sederhana. Orang tua harus memiliki sikap tenang, tidak terkejut

atau malu-malu dalam menjelaskan, memberikan penjelasan sesuai usia anak (//merdeka.com). Kenyataannya dalam hasil wawancara awal (16 & 19 Januari 2015) orang tua belum menunjukkan perhatian dan kepedulian untuk memberikan pendidikan seks.

Berdasarkan penelitian Utamadi (Titi , P; Nuryoto, S & Aviatin, D., 2002) menunjukkan bahwa pendidikan seks sejak dini telah mendapatkan sambutan positif dari para orang tua yang peduli terhadap perkembangan anak remaja. Selain itu, penelitian dari Zelnik dan Kim (dalam Sarlito W. Sarwono, 1994) menunjukkan bahwa remaja yang telah mendapatkan pendidikan seks tidak cenderung lebih sering melakukan hubungan seks, tetapi yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Penelitian yang lain oleh Fox dan Inazu (dalam Sarlito W. Sarwono, 1994) bahwa semakin sering membicarakan mengenai seks antara ibu dan anak, maka tingkah laku seksual anaknya akan semakin bertanggung jawab. Apabila komunikasi antara ibu dan anak dilakukan sebelum anak melakukan hubungan seks, maka hubungan seks dapat dicegah. Semakin awal melakukan komunikasi, fungsi pencegahannya semakin nyata.

Dalam konteks ini, pendidikan seks menjadi sangat penting, akan tetapi pentingnya pendidikan seks belum ada dukungan dari orang tua di desa Sobayan. Kondisinya adalah belum ada perhatian yang nyata dari orang tua mengenai pemberian pendidikan seks kepada anaknya, mereka cenderung pasif dan menabukan masalah seks. Disisi lain, keberadaan

lokalisasi menjadi tempat untuk mereka mencari nafkah dan menjadi penopang perekonomian sebagian keluarga disana. Dengan demikian, maka peneliti tertarik ingin lebih memahami dan mengetahui permasalahan-permasalahan orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi dalam memberikan pendidikan seks pada anaknya. Peneliti ingin melihat lebih dalam permasalahan-permasalahan orang tua dalam konteks hambatan-hambatan apa yang dihadapi orang tua kaitannya dengan pemberian pendidikan seks.

B. RUMUSAN MASALAH

Apa permasalahan-permasalahan para orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi dalam memberikan pendidikan seks untuk anaknya?.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menggali permasalahan-permasalahan para orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi dalam memberikan pendidikan seks pada anaknya.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam ilmu psikologi pendidikan dan keluarga, terkait dengan permasalahan-permasalahan para orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi dalam

memberikan pendidikan seks pada anaknya. Selain itu, memberikan informasi mengenai penyebab keengganan orang tua memberikan pendidikan seks sebagai wujud pemetaan sumber masalah.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini bisa memberikan informasi mengenai berbagai pandangan para orang tua terhadap pendidikan seks anak, sekaligus menjadi sarana untuk merefleksikan dan mengevaluasi praktik edukasi seksual dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan seks yang orang tua berikan kepada anak. Peneliti bisa memetakan permasalahan-permasalahan para orang tua yang tinggal di kawasan lokalisasi dalam memberikan pendidikan seks pada anaknya.

Dengan adanya data dan informasi mengenai permasalahan-permasalahan orang tua, maka data tersebut bisa dimanfaatkan oleh pihak atau instansi terkait, seperti BkkbN atau lembaga pendidikan, serta bisa ditindaklanjuti untuk mencari solusi dan jalan keluar.

13

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA