Kenapa disebut istilahnya kumpul kebo

KITA sering mendengar ungkapan kumpul kebo yang berarti ‘hidup bersama sebagai pasangan di luar pernikah­an’. Ungkapan itu digunakan untuk menggantikan kata ongehuwd samenleven dari bahasa Belanda. Ongehuwd memiliki arti ‘belum menikah’, sedangkan samenleven berarti ‘hidup bersama’.

Dalam bahasa Belanda, samenleven diartikan semakna dengan ‘huddle’ (berkerumun), ‘coexistence’ (hidup berdampingan), dan ‘cohabit’ (hidup bersama sebagai pasangan tanpa ikatan perkawinan).

Dengan lebih dari satu definisi itu, penulis dalam tulisan ini mengacu ke samenleven dengan definisi cohabit. Hal itu disebabkan samenleven dalam budaya Belanda berkonotasi positif, yakni hidup berdampingan dalam bermasyarakat. Karena itu pula, penulis merasa perlu memperjelas ungkapan kumpul kebo dalam bahasa Belanda, yakni ongehuwd samenleven.

Kumpul kebo bukan ungkapan yang benar dalam bahasa Indonesia karena diambil dari bahasa daerah (Jawa). Apabila menginginkan kumpul kebo menjadi ungkapan dalam bahasa Indonesia, kita harus mengubah bentuknya menjadi kumpul kerbau. Kata dalam bahasa Indonesia yang benar ialah kerbau, bukan kebo.

Ungkapan kumpul kebo memang lebih akrab di telinga kita karena dahulu ada istilah kumpul gebouw. Gebouw dalam bahasa Belanda diartikan ‘graha, rumah, bangunan, wisma, balai, gedung, panti’. Karena itulah kumpul gebouw dipersepsikan ‘berkumpul di bawah satu atap rumah’. Pengucapan kata gebouw secara lisan mirip dengan kata kebo. Mungkin lantaran itu, ungkapan kumpul kebo lebih familier di telinga. Namun, bila mengacu pada bahasa Indonesi­a yang benar, pemakaian ungkapan kumpul kerbau-lah yang benar.

Adakah kata dalam bahasa Indonesia untuk menggantikan kata samenleven dalam bahasa Belanda? Ternyata ada. Kita tidak harus menggunakan ungkapan kumpul kerbau untuk mewakili kata samenleven. Ada satu kata, yaitu kohabitasi (nomina). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (KBBI), kohabitasi diartikan ‘perihal tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan’.

Kata kohabitasi diserap dari bahasa Inggris, cohabitation. Dalam bidang sosiologi, menurut Collins English Dictionary, cohabitation diartikan keadaan atau kondisi hidup bersama dalam hubungan suami istri tanpa ikatan perkawinan. Dalam bidang politik, cohabitation memiliki arti ‘bekerja sama untuk tujuan tertentu tanpa membentuk koalisi’.

Kita sudah sangat sering mendengar ataupun membaca ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia yang menyerta­kan nama-nama binatang, seperti kumpul kerbau, kambing hitam, sapi perah, kelinci percobaan, kutu loncat, tikus berdasi, kutu buku, cacing kepanasan, buaya darat, lintah darat, kupu-kupu malam, musang berbulu domba, dan bermuka badak. Hampir semua ungkapan dengan penyertaan nama binatang tersebut berkonotasi negatif, kecuali mungkin kutu buku (orang yang rajin membaca buku).

Ungkapan kumpul kebo (atau yang baku kumpul kerbau) yang sering kita dengar atau baca terasa peyoratif. Meski, anggap saja, ungkapan itu memiliki arti negatif, setidaknya terkait dengan budaya Timur kita, ada baiknya kata kohabitasi yang dipakai untuk menggambarkan kondisi tersebut. Manusia ialah makhluk yang mulia atau lebih tinggi derajatnya ketimbang binatang, terlepas dari bagaimanapun tabiatnya.

Karena itu, pemakaian kata kohabitasi kiranya lebih halus untuk bisa diaplikasikan dalam menggambarkan kondisi hidup bersama sebagai pasangan di luar perkawinan. Selain ‘benar’, kita harus berbahasa Indonesia yang ‘baik’.

Hati orang tua Sinta akhirnya luluh juga. Apalagi setelah melihat anaknya yang sudah dewasa dan bisa mandiri secara finansial. “Mereka okey aja karena melihat aku dan pacarku udah bisa bertanggung jawab dan secara ekonomi okey kalau ada apa-apa, misalkan sampai hamil pun nggak akan nyusahin orang tua,” tutur Sinta.

Terlepas dari latar belakang orang tua mereka berdua, Sinta dan pasangannya menjalankan kohabitasi karena keduanya menemukan keinginan yang sama. Mereka ingin menghabiskan waktu bersama lebih lama dan membutuhkan tempat tinggal yang dapat mengakomodasi keinginan mereka, yaitu murah dan tak jauh dari tempat kerja. Saat itu, Sinta tengah bekerja dan indekos di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Sedangkan pacarnya tinggal dengan orang tua di daerah Sunter, Jakarta Utara.

“Buat indekos aja sebulan aku harus bayar Rp 2,4 juta. Berapa banyak yang bisa dihemat kalau kita beli apartemen dan tinggal bareng,” katanya. Lagi pula, hingga kini Sinta dan pasangannya belum ada pikiran untuk menikah, apalagi punya anak.

Aku nggak mau asal kenal terus nikah. Kalau bisa aku mau kenal luar dalam dulu baru menikah."

“Prioritas kita tinggal bareng, bukan nikahnya. Kita merasa menikah itu hanya komitmen yang dipamerkan. Sedangkan kita udah komitmen, yang tahu kita berdua aja nggak perlu orang lain tahu kita komitmen apa. Toh, sama aja. Kalau sudah menikah tetap bisa cerai. Mau pisah, ya, pisah aja, selingkuh juga selingkuh aja,” Kata Sinta.

Pernikahan beda agama yang ribet juga menjadi salah satu alasan yang membuat Sinta mengurungkan niat untuk menikah. Sinta yang merupakan pemeluk agama Kristen Protestan, sementara pacarnya beragama Katolik. Kecuali jika suatu saat Sinta dan pasangan menginginkan buah hati, barulah mereka bisa berubah pikiran.

“Kita, sih, pengen nikah kalau misalkan ada calo yang bisa ngurusin semua keperluan, kita terima beres aja. Tapi aku juga nggak semau itu, sih,” ujar Sinta.

Kehidupan dan rutinitas Sinta dan pacarnya tak jauh berbeda dengan pasangan yang sudah menikah. Sebelum tinggal bersama, Sinta sudah menyepakati berbagai hal, termasuk urusan rumah tangga beserta keperluannya. Mereka sepakat membagi dua biaya untuk keperluan rumah tangga termasuk urusan makan. Kebiasaan ini sudah Sinta dan pacarnya terapkan sejak awal pacaran. Kebetulan mereka berdua punya penghasilan dengan jumlah yang hampir sama.

“Tinggal bareng sama pacar itu nggak seperti yang orang bayangkan. Isinya bukan enak-enak aja,” tutur Sinta.

· 1 menit baca

INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Orang Indonesia menyebut pasangan yang tinggal bersama, serumah meskipun tidak menikah dengan istilah ”kumpul kebo”. Cara hidup seperti itu, dahulu, disebut koempoel gebouw. Dalam bahasa Belanda, gebouw berarti bangunan atau rumah. Jadi koempoel gebouw artinya adalah berkumpul di bawah satu atap rumah.

Tetapi, telinga orang kita menangkap kata gebouw sebagai kebo. Maka perilaku yang ditunjukkan oleh laki-laki dan perempuan yang memutuskan hidup bersama dalam satu rumah tanpa ikatan pernikahan disebut kumpul kebo.

Kumpul Kebo berasal dari istilah zaman dulu, yaitu 'Koempoel Gebouw'. Dalam bahasa Belanda, gebouw bermakna bangunan atau rumah. 

Jadi, koempoel gebouw maksudnya adalah berkumpul di bawah satu atap rumah (tanpa ikatan pernikahan). Atau praktek seks bebas di luar pernikahan.

Istilah gebouw lalu berubah menjadi kebo, sehingga menjadi 'Kumpul Kebo'. Orang pun menganggap kata 'kebo' ini merujuk ke kerbau. Padahal bukan. Itu bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.

Makanya, sampai saat ini, Asosiasi Kerbau Indonesia masih mempertanyakan, mengapa mereka dilarang kumpul2. 

Ini jelas melanggar HAK (Hak Asasi Kerbau)!


Lihat Hiburan Selengkapnya

Page 2

Kumpul Kebo berasal dari istilah zaman dulu, yaitu 'Koempoel Gebouw'. Dalam bahasa Belanda, gebouw bermakna bangunan atau rumah. 

Jadi, koempoel gebouw maksudnya adalah berkumpul di bawah satu atap rumah (tanpa ikatan pernikahan). Atau praktek seks bebas di luar pernikahan.

Istilah gebouw lalu berubah menjadi kebo, sehingga menjadi 'Kumpul Kebo'. Orang pun menganggap kata 'kebo' ini merujuk ke kerbau. Padahal bukan. Itu bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.

Makanya, sampai saat ini, Asosiasi Kerbau Indonesia masih mempertanyakan, mengapa mereka dilarang kumpul2. 

Ini jelas melanggar HAK (Hak Asasi Kerbau)!


Lihat Hiburan Selengkapnya

Page 3

Kumpul Kebo berasal dari istilah zaman dulu, yaitu 'Koempoel Gebouw'. Dalam bahasa Belanda, gebouw bermakna bangunan atau rumah. 

Jadi, koempoel gebouw maksudnya adalah berkumpul di bawah satu atap rumah (tanpa ikatan pernikahan). Atau praktek seks bebas di luar pernikahan.

Istilah gebouw lalu berubah menjadi kebo, sehingga menjadi 'Kumpul Kebo'. Orang pun menganggap kata 'kebo' ini merujuk ke kerbau. Padahal bukan. Itu bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.

Makanya, sampai saat ini, Asosiasi Kerbau Indonesia masih mempertanyakan, mengapa mereka dilarang kumpul2. 

Ini jelas melanggar HAK (Hak Asasi Kerbau)!


Lihat Hiburan Selengkapnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA