Keadaan keadaan yang memperbolehkan seseorang tidak menepati janji dalam syariat Islam

Hukum berjanji adalah mubah, sementara hukum menepati janji adalah wajib sebagimana hutang dalam islam , sehingga melanggar janji berarti suatu keharaman sebagaimana pamer dalam islam dan hukum bertato dalam islam . Sebagaimana Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS: Al-Ma’idah: 1)

Lebih tegas lagi dijelaskan dalam Firman Allah Surat Al-Isra ayat 34 berikut :“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik bermanfaat sampai ia dewasa dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya” (Q.S. Al Isra’ 34).Ibnu ‘Abbas, mujahid dan beberapa ulama lainnya mengatakan: “Yang dimaksud dengan akad adalah perjanjian.” Ibnu Jarir pun menceritakan adanya ijma’ tentang hal itu. Ia mengatakan, ”Perjanjian-perjanjian adalah apa yang mereka sepakati, berupa sumpah atau yang lainnya.”Ali bin Abi Thalhah mengatakan dari Ibnu ‘Abbas, “Yang dimaksud dengan perjanjian tersebut adalah segala yang dihalalkan dan diharamkan Allah, yang difardhukan, dan apa yang ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an secara keseluruhan, maka kalian jangan mengkhianati dan melanggarnya”.Namun, adakalanya manusia menyepelekan perihal menepati janji dan kebanyakan dari mereka mengingkari dan bahkan tidak pernah menepati janji yang di ucapkan sebagaimana juga termasuk hukum menyakiti hati wanita dalam islam .Dalam hal ini, sebenarnya terdapat beberapa hukum melanggar janji dalam islam, namun harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Berikut 7 hukum melanggar janji dalam islam, simak selengkapnya.1. Diperbolehkan Tidak Ditepati atau Wajib tidak DipenuhiSebagaimana sifat manusia yang sangat dekat dengan perbuatan tercela. Kadang secara spontan dapat mengucapkan janji yang dapat membawa kepada hal yang tercela.Seperti misalnya janji untuk mencontek saat ulangan, mengajak ke club atau diskotik dan hal-hal yang berbau tindak kemaksiatan. Dalam hal ini maka hukum melabggar janji ialah diperbolehkan untuk tidak di tunaikan. Hal ini berdasarkan kaidah syara’ :“Setiap sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram, maka hukumnya haram.”2. Sunnah Untuk Tidak MemenuhinyaHukum yang kedua ialah Sunnah untuk menepatinya. Dalam hal ini sebagai contoh Anda berjanji jika lolos perguruan tinggi maka anda akan mencari kerja part time. Namun ternyata anda tidak jadi lolos perguruan tinggi, sehingga anda harus mengibah rencana awal anda dan memimilih untuk bekerja secara full time.Dengan demikian maka, konsekuensinya adalah anda harus membayar kifarat atas janjinya tersebut. Yakni berupa puasa kifarat yang dilakukan selama tiga hari berturut turut. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:“Demi Allah, sesungguhnya insyaallah, aku tidak akan bersumpah atas suatu sumpah, lalu aku melihat yang lainnya lebih baik darinya melainkan aku akan memilih yang lebih baik dan aku membayar kaffaratnya – dalam sebuah riwayat disebutkan – dan aku membayar kaffarat atas sumpahku itu”3. Sunnah MemenuhinyaHukum yang berikutnya dalam melanggar janji ialah sunnah memenuhinya atau boleh meninggalkan. Dalam hal ini janju yang diucapka tidak bersifat dan berkaitan dengan ketentuan agama. Misal anda berjanji tidak akan merokok lagi. Maka sebagai konsekuensinya ialah anda boleh meninggalkan kebiasaan tersebut.4. Dalam Kondisi Badan Tidak Mampu Memenuhi JanjiHukum melanggar janji yang selanjutnya ialah diperbolehkan apabila dalam kondisi sakit. Namun, sakit yang dimaksud disini ialah sakit yang membuat kita terbaring lemas dan tidak mampu terbangun. Sehingga dalam kondisi tersebut kita tidak mampu bangun untuk bisa menunaikan janji yang diucapkan sebelumnya .5. Tiba-tiba Hilang AkalKondisi berikutnya ialah tiba-tiba hilang akal, seperti pingsan atau gila. Tentunya dalam kondisi ini hukum melanggar janji diperbolehkan. Sehingga dalam kondisi ini, janji yang pernah diucapkan tidak memiliki kewajiban untuk dilaksanakan arau di tunaikan.6. Terkendala Cuaca yang EkstrimHukum melanggar janji berikutnya yang diperbolehkan ialah karena adanya kendala cuaca. Dalam hal ini, cuaca ekstrim seperti hujan deras di sertai angin kencang dan dapat menimbulkan resiki ya g besar apabila kita berkendara.Maka dalam hal ini anda boleh melanggar janji yang telah diucapkan tadi. Misalnya pada saar itu anda berjanji untuk bertemu dengan klien maka dalam konfisi yabg tidak memungkinkan tersebut anda bisa melanggarnya.7. Tiba-tiba Ada Kerabat yang Sakit atau MeninggalSatu lagi hukum yang memperbolehkan melanggar janji ialah ketika tiba-tiba ada kabar mengejutkan dimana saudaa atau kerabat jatuh sakit atau meninggal. Maka dalam hal ini, anda bisa membatalkan janji yang telah di buat.Kondisi ini tentu mengharuskan anda segera menjenguk atau berkunjung kerumah duka. Sehingga tentunya anda boleh melanggar janji yang telah anda buat sebelumnya.Jika tidak dalam kondisi di atas, maka membatalkan kesepakatan ataupun janji adalah hal tidak diperbolehkan. Karena membatalakan ataupun melanggarnya bisa melukai hati orang lain hingga bisa mendzalimi orang lain.“… dan Allah tidak menyukai orang-orang yang dzalim.” (QS. Ali Imran: 57).Itulah tadi, 7 hukum melanggar janji dalam islam. Tentunya Allah SWT tidak membebankan sesuatu yang berada diluar kesanggupan umatnya. Meskipun demikian, jangan sampai hal-hal diatas menjadi di buat-buat sehingga dapat di jadikan alasan untuk melanggar janji.

Sesungguhnya mengingkari janji adalah sesuatu yang berbahaya sebagimana bahaya berbohong dan hukumnya dalam islam serta bahaya berhutang dalam islam . Semoga artikel ini dapat bermanfaat.

Sebagian orang sangat mudah membuat janji, namun mudah pula menyelisihi janji yang dibuatnya dan tidak mau berusaha menepati janjinya. Tindakan semacam ini termasuk dosa lisan, dan merupakan salah satu tanda kemunafikan. Berikut kami akan coba jelaskan hukum menepati janji.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu ada tiga, (1) jika berbicara berdusta; (2) jika berjanji maka tidak menepati; dan (3) jika diberi amanah, dia berkhianat.” (HR. Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan diksi “ayat” (tanda). Dalam bahasa Arab, “ayat” adalah tanda yang tidak mungkin meleset, berbeda dengan “alamat” (yang juga memiliki makna “tanda” dalam bahasa Indonesia) yang bisa jadi meleset. Sehingga dapat dipahami dari hadits di atas, bahwa siapa saja yang memiliki tiga karakter di atas, maka bisa dipastikan bahwa terdapat cabang kemunafikan dalam dirinya.

Hal ini juga dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Terdapat empat perkara yang jika semuanya ada pada diri seseorang, maka jadilah dia orang munafik tulen (maksudnya, akan mengantarkan kepada nifak akbar, pen.). Dan jika ada pada dirinya salah satunya, maka dia memiliki sifat kemunafikan, sampai dia meninggalkannya, (yaitu): (1) jika berbicara, dia berdusta; (2) jika membuat perjanjian, dia melanggarnya; (3) jika membuat janji (untuk berbuat baik kepada orang lain, pen.), dia menyelisihi janjinya; dan (4) jika bertengkar (berdebat), dia melampaui batas.” (HR. Bukhari no. 34 dan Muslim no. 59, lafadz hadits ini milik Bukhari)

Terdapat dua kondisi dalam diri seseorang yang melanggar (menyelisihi) janji, yaitu:

Pertama, membuat janji untuk berbuat baik kepada orang lain (misalnya memberi hadiah), akan tetapi ketika membuat janji, dia sudah berniat dan bertekad untuk tidak memenuhi janji tersebut, dan secara riil memang dia tidak memenuhi janji yang sudah dibuat. Ini adalah perbuatan menyelisihi janji yang paling jelek.

Ke dua, ketika membuat janji tidak ada niat untuk tidak memenuhi janji tersebut. Dia memiliki tekad untuk memenuhi janjinya. Namun ketika tiba hari H, dia tiba-tiba tidak memenuhi janjinya tersebut tanpa alasan yang bisa dibenarkan.

Dua perbuatan ini termasuk dalam perbuatan menyelisihi janji atau tidak menepati (memenuhi) janji yang telah dibuat.

Baca Juga: Pandemi: Kepastian Janji Allah dan Ujian bagi Orang-Orang Sabar

Dalam masalah hukum menepati janji atau hukum menyelisihi janji, ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini.

Pendapat pertama yaitu pendapat jumhur ulama. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum memenuhi janji yang itu murni berbuat baik kepada orang lain adalah sunnah (mustahab) dan tidak wajib.

Janji yang murni berbuat baik kepada orang lain misalnya seseorang berjanji jika dia mendapatkan bonus gaji, dia akan mentraktir makan bakso temannya. Maka menurut jumhur ulama, janji semacam ini hukumnya sunnah untuk dipenuhi, tidak sampai derajat wajib.

Pendapat ke dua adalah pendapat Imam Malik rahimahullah yang mengatakan bahwa hukum memenuhi janji itu wajib jika janji tersebut menyebabkan orang lain sudah melakukan suatu tindakan tertentu, dan jika janji tersebut tidak dipenuhi, maka orang tersebut akan menderita kerugian atau mengalami kesusahan.

Misalnya, ada seorang pemuda bujangan yang ingin menikah namun tidak memiliki dana untuk melangsungkan pernikahan. Lalu seseorang berjanji kepada pemuda tersebut bahwa dia lah yang akan menanggung mahar dan biaya pernikahannya. Dengan janji tersebut, sang pemuda melamar wanita yang hendak dinikahinya. Janji seperti inilah yang dalam madzhab Imam Malik rahimahullah wajib untuk ditunaikan dan haram diselisihi karena akan menimbulkan kesusahan bagi orang lain.

Pendapat ke tiga mengatakan bahwa memenuhi janji hukumnya wajib secara mutlak dan menyelisihi janji hukumnya haram.

Dan wallahu a’lam, pendapat ke tiga inilah yang paling kuat karena menyelishi janji adalah tanda kemunafikan, sehingga tidak mungkin kita katakan bahwa hukum menyelisihi janji itu tidak sampai derajat haram. Dan juga, menyelisihi janji disamakan dengan berkata dusta, sedangkan dusta (bohong) itu haram, sehingga tidak mungkin kalau menyelisihi janji itu tidak haram (sebatas makruh saja, misalnya). Sehingga yang lebih tepat, menyelisihi janji itu hukumnya haram dan sebaliknya, hukum memenuhi janji adalah wajib.

Oleh karena itu, karena hukum menepati janji adalah wajib, dan menyelisihinya adalah haram, maka sudah seharusnya seorang muslim berhati-hati dalam membuat janji. Seorang muslim tidak akan bermudah-mudah mengobral janji kemudian melupakan dan menyelisihi janjinya sendiri.

[Selesai]

Baca Juga:

***

@Jogjakarta, 10 Syawwal 1440/14 Juni 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.Id

Catatan kaki:

Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, karya Syaikh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani rahimahullahu Ta’ala, hal. 97-98 dengan tambahan penjelasan dari guru kami, Ustadz Aris Munandari hafidzahullahu Ta’ala ketika menjelaskan bab tersebut.

🔍 Materi Tauhid, Hukum Bekerja Di Bank, Hadist Tentang Solat, Dalil Cinta Tanah Air, Baju Sutera

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA